Pernah dimuat di Jurnal Kebudayaan The Sandour, edisi I 2006
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=66
Prolog:
Di usia ke 69 bagus Burhan (nama kecil R.Ng. Ronggowarsito, 1802-1873), pujangga India Rabindranath Tagore dilahirkan dunia. Tepatnya di Joransko, jantung kota Kalkutta pada tanggal 6 Mei 1861, sebagai putra keempat belas dari lima belas bersaudara atas pasangan Maharishi Debendranath Tagore dan Sarada Devi. Atau 6 tahun setelah wafatnya Pangeran Diponegoro (1785-1855) Kakek buyut R. Tagore adalah penggerak Renaissans India, yang bernama Rommohan Roy.
Dengan sahabat karibnya Mahatma Gandhi (1869-1948), Tagore dianggap oleh masyarakat India sebagai perlambang insan setengah dewa. Tahun lahirnya beliau bersamaan dengan seniman ambisius Frederic Remington (1861-1909) yang karyanya rupa lukisan, pahat dan tulis. Di tahun itu pula Abraham Lincoln (1809-1865) terpilih sebagai presiden Amerika Serikat. Karya-karya Rabidranath Tagore (1861-1941) diantaranya berupa puisi, novel, cerpen, lukisan serta musik. Dalam usianya ke 52, anak Bengali ini dianurahi Nobel Kesusastraan 1913. Dan tahun 1915 mendapat gelar bangsawan dari pemerintahan Inggris, namun beberapa tahun kemudian, dia kembalikan gelar tersebut bagi protes kebijakan-kebijakan kerajaan Inggris di tanah India.
Di sini penulis akan menguak tabir puisi beliau, yang berjudul Kepada Tanah Jawa, tertanda tahun 1927. dia berlawatan ke tanah Jawa setelah perjalanan laut ke Eropa (1924-1925). Di usianya ke enam puluh enam (ke Jawa) masa istirah sebenarnya, namun seperti parikan pernah tersiar berkembang; bahwa tanah Jawa itu bencah kedua India. Di Jawa memang tiada sungai Gangga, tapi bengawan Solo cukup jadi legenda baginya. Kalau tembok Cina dapat terlihat dari bulan, kisah-kisah perdagangan tempo dulu yang melalui aliran bengawan Solo sudah melekat disanubari masyarakat Jawa hingga kini. Jika pesulap David Copervill sanggup menembus benteng Cina, pencipta lagu, Gesang (lahiran 1-10-1917) telah menuturkan alunan bengawan Solo untuk diperdengarkan ke telinga dunia.
Di bawah ini puisi Rabindranath Tagore, yang saya peroleh dari K.R.T. Suryanto Sastroatmodjo, dan kisah tergambar itu, ialah getaran rasa atas kalimat-kalimatnya, yang saya suguhkan bagi bukti Tagore benar-berada ke tanah Jawa atau tidak?
KEPADA TANAH JAWA
Rabindranath Tagore/1927
Dalam zaman yang kalem, yang jauh, yang tidak tertulis
kita bersua, engkau dan aku
dan dalam perkataanku terjalin dalam perkataanmu
dan jiwaku dalam jiwamu.
Rabindranath Tagore seperti tancapkan keyakinan dalam-dalam, bergumul dalam persetubuhan bathin antara dirinya dengan bencah Dwipa. Tangannya yang santun begitu lembut menggenggam lemah Jawa kuat-kuat. Di pandangnya berkesungguhan sangat; ia rasakan keharuan, dijilatnya lempung tersebut bagi tradisi Jawa; mengampuh, lalu diusapkan debu-debu tersebut ke kening, bagi hormat syukur dipertemukan raganya dengan siti Jawa (tanah Jawa). Menurut para wisatawan asing tahun 1803-1939, masih melihat ketujuh candi Singosari (bagi bukti kebenaran terbentuknya dinasti) peninggalan kerajaan Singosari (Kerajaan Singosari berdiri 1222 M, raja pertamanya Ken Angrok, merupakan cikal bakal kerajaan Majapahit), tetapi sayang, peninggalan berupa candi tersebut kini tinggal satu. Inilah bukti keserakan penjajah juga keteledoran anak bangsa (Jawa) merawat peninggalan sejarah.
Di kala itu gunung-gemunung segar bugar, memberi kesejukan mata memandang; Bathin menyaksikan mengalir bagai mataair elok berkumambang di bebatuan hitam, penuh kedalaman renung. Burung -burung pun tidak enggan berkicau, nyaring bersiul di telinga pagi dan petang. Bebunga bermekaran tanpa diusik sebutan mematikan, seperti gengsi ditaruh pada pot kemewahan. Andaipun ada, bunga-bunga di rumah panggung, itu masih menyapa bebunga lainnya, yang tidak diperhatikan pemilik rumah. Alam bersahaja memantul ke jiwa, rupa nyanyian ketentraman dan para gadis bersenandung ketika langkah kaki lincah menuju sendang; membiar kulit halusnya dielus aliran tirta pegunungan, penuh hangat kesejukan. Tagore menatap tanah pertiwi dalam-dalam, lekat hingga tulang sum-sumnya membeku diketidak berdayaan waktu lahirkan kata-kata. Begitu indah menerima tembang-tembang puja alam pada Sang Pencipta. Sampai dirinya dapat rasakan limpahan berkah dari lemah Dwipa, seakan terlahir lagi ke dunia; Segar, seharum tubuh masih muda. Di sama itu, Sultan Hamengku Buwomo IX (1912-1988) baru injakkan usianya yang ke 15 tahun.
Dengan berbaju warna putih layaknya sang resi, ia terus lanjut-kan kisah kembaranya…
Angin timur membawa seruanmu yang merdu
melalui jalan angkasa yang tidak terlihat
jauh, ke tempat matahari menyinari pesisir
yang dipayungi daun-daun kelapa.
Tagore duduk di antara bebetuan dan angin pantai menerpanya, ingatkan awal perjalanan ke bencah Dwipa. Sebelum pelayarannya ke tanah Jawa, dirinya dapati titah pujangga dari Yang Maha Kuasa, menuruti kalbu, menumpangi kapal kecil. Membelah gelombang, membelai cahaya sambil bercanda dengan decak ombak samudra, disamping membaca alamat kembara, awan jiwa.
Kala siang, kulit mulai keriput itu tersengat mentari, tapi seakan perjalanan awalkali, ia nikmati seperti pendakian gunung pertama; sungguh menghibur hingga kulit punggung terkelupas tidak terasa. Ibarat bocah temukan barang mainannya yang lama disembunyikan kedua orang tuanya, karena menyebabkan lupa makan juga istirah. Malamnya, senantiasa berdialok dengan gemintang dan sesekali putri bulan datang menghibur kesendiriannya. Diri Tagore seakan tidak pernah lekang dari keramaian percakapan paling sunyi nan bening; menimbang, merasai dan berfikir di segenap waktu disetia. Ia selalu diingatkan pengajaran para pujangga lama, membuat dirinya tetap teguh pendirian, laksanakan perintah meski dikepayahan sangat dalam rasa kantuk memberat, serta menjaga dari kesambilla-luan menggoda. Orang pilihan itu mampu memilih dan laksanakan pilihannya berteguh hati. Di tempat lain, pemuda Soekarno (1901-1970) baru injakkan kaki diusianya yang ke 26 tahun.
Lalu Tagore beranjak di antara bebatuan. Membuyar ingatannya tentang perjalanan kemarin, terus langkahkan kaki di bencah pasir-pesisir, pantai pasir putih, batu-batu mungil. Sesekali, melihat tarian janur-janur kelapa serasi waktu membiru dan angin kibas rambut panjangnya yang ikal membentang itu, bagai anak-anakan ombak sungai Gangga. Ia senantiasa tersenyum di setiap kesendirian, men-yapa alam pertiwi, harap berbagi teman sepermainan. Sekali waktu kaki-kaki tua itu tergores duri bunga-bunga kaktus liar-meliar, ia ikhlaskan demi salam canda lebih akrabkan ke jiwa. Sementara bunga-bunga mayang jadi saksi kecantikan matanya, yang ranum merangkum pengetahuan alam oleh kembara. Kerling bola matanya berbinar atas tempaan mutiara hayat yang pernah di-nikmati. Dan kini, ia kembali temukan mata air itu; sumber falsafah hidup sahaja, serupa alam tropis luhur penuh kemewahan wibawa. Keindahan batin terjemah kelembutan, bola mata memandang tiada kesudahan, mendapati pancuran bening kesantausaan; kesungguhan cinta dijanjikan, bagi setiap insan yang sudih tebarkan hawa kasih; hakekat kemanusiaan.
Seruan itu bersatu dengan bunyi sangkala
yang ditiup ketika sembahyang
dalam candi di tepi Gangga keramat.
Alunan gending gending sebentar sayu lalu menggenta. Itulah debaran bathiniah maknai seruan Sang Kuasa, tergurat kalimat sakti lewat jemari tangan beliau, kian bergetar ketika benar-benar cahaya kapujanggaan menimpa diri kembara. Seakan diserang demam mendadak, sebelum ucap kata-katanya membahana kepada relung jiwa alam semesta. Menggoyang pucuk-pucuk cemara, meniup benih-benih kembang, hadiah keindahan seterusnya. Inilah putik-putik bunga ditebar tangan beliau saat memasuki jalan ke perkampungan. Senja mulai menghampiri, Tagore menatap mentari sedemikian peluh-rindu, tiada mau berpisah atas perkawanan itu.
Rerumputan pepadi di pinggir desa menguning, runduk tubuh lengkungnya, sulur daunnya matang mentari, tawarkan bau kedewasaan. Dan setiap penciuman adalah awal sebuah musim dan diteruskan menjelma pengertian, sedangkan saling memahami itu bahasa tidak lekang oleh perubahan zaman. Mulanya mengangguk terdiam sambil tebarkan senyum kegaiban. Senja mulai kemerah, anak-anak tidak lagi diperbolahkan bermain, istilah Jawa-nya sandiolo (dekat keburukan). Warna mirah itu makin lama mengungu, menggaris-garis langit senjakala, serupa ada tepian sungai, di sana ia teringat sungai Gangga keramat di negerinya.
Dewi Wisnu yang mulia raya bersabda kepadaku
dan Uma, dewi berlengan sepuluh, demikian pula;
“Sediakanlah kapak dan bawalah menyebrangi laut yang asing,
sekalian ucapkan menyembah kami”
Saat memandang gegaris senjakala seakan lekukan tubuh sungai Gangga. Tagore merasakan dirinya sehawa dalam sebuah candi, denting klenengan kian seru bersusulan, ditabuh angin genderang, begitu pun genta di kalungan leher sapi putih kemerahan, bersahut-sahutan. Dirinya merasa membumbung kepada puncak mega-mega, bersatu dalam kehendak langit masa itu. Kembali, jiwanya digetar-kan seruan kemarin silam (semasa di India). Panggilan kedua yang sama, bagi pelaksanaan tugas setelah injakkan kaki di bencah Dwipa. Sesudah sebrangi lautan asing, di mana tempat mentari kumpulkan energi, bintang-gemintang kuat pancarkan tubuhnya di tanah Jawi.
Senja terus rampungkan tugasnya, tenggelamkan surya, bangun-kan kunang-kunang hiasi malam ganjil, lalu jiwanya balik turun ke bumi (selepas mengawang); mengenang seruan sabda Mulia Raya. Kampung persinggahan kala itu, menerimanya sebagai ruang paling bersahabat. Seorang kembara ialah tamu para pemukim. Pengelana itu raja tidak punya istana mungil (keduniawian), tapi kastilnya rupa alam semesta; tiang-tiang berdiri niat berketeguhan, perabotan-nya terdiri kepasrahaan dari keikhlasan di setiap tingkap cobaan, sedang mahkotanya bernama kesetiaan.
Malam makin menanjak, ia meminum seteguk air putih demi pengganjal lapar dan dihisapnya aroma dini hari, sekuat menyetu-buhi kesungguhan titah. Seorang mulia, persembahkan hidupnya bagi Sang Wenang; seluruh peribadatan di dalam menjalani hidup. Semua tadang dan pergi padanya, menjelma tetembangan yang terus berkumandang. Jika kesedihan mendentang, disusul sukacita kemesraan, sampai temukan kesempurnaan, keseimbangan bathin, keselarasan jiwa, kepaduan nada-nada kalbu pada jantung hidupnya dan amalkan perintah bukanlah hal memberat, setelah bersatu pada tubuh kehendak.
Sungai Gangga mengulurkan tangannya ke lautan timur
dalam gelombang amat dahsyat
dari langit bersabdah dua suara yang kuasa kepadaku- yang satu
yang menyanyikan keindahan sengsara Rama,
yang lain menyanyikan kemenangan Arjun.
Mendesak daku membawa kakawinnya meyebrangi laut
ke pulau-pulau timur.
Fajar menyingsing, Tagore kembali diingatkan keindahan sungai Gangga atas lahirnya mentari timur. Dua suara datang bertubi-tubi padanya, sengsara dan kemenangan. Dirinya seakan diperintahkan seberangi antara keduanya. Pagi itu ia bersemedi, menuwang segala perhatian bathin melangkah, susuri busur pana atas tarikan nafas lama. Melesat bagai kilat, tidak hirau sakit gembira, tidak merasai sedih pun suka memberat, masuk ke alam hampa. Hilang rasa cinta selama ini, begitu pun benci. Jiwanya ampang seampas tebu habis dihisap anak-anak gembala. Seolah tidak bermakna dan terus.
Sampailah bathinnya ditarik oleh kedua arah itu semakin kuat. Ada daya grafitasi antara sengsara Rama juga kemenangan Arjuna, namun ia usahakan tidak bertepuk dalam pesta, juga tidak alirkan airmata kesedihan. Ini lawanan nafsu-nurani. Rabindranath Tagore masih pejamkan mata sambil menghadap mentari. Dirinya telah berada di timur (tanah Jawa), tetapi busur pana itu tetap mengajak melesat, akhirnya menghujam ke matahari. Ia pun merasakan terkena pana; ada titik kebertemuan, jiwanya dengan sang surya, lalu firasat semedinya purna. Ia membukakan mata kala mentari setinggi pohon jambu kelutuk di samping rumah penduduk, letak di mana semalam menginap.
Esoknya, ia lanjutkan perjalanan. Entah berapa bulan berada di tanah Dwipa, tapi dirinya masih terngiang tanah kelahirannya. Atau tengah memadukan energi dari pulau Jawa dan India, sebab dalam benaknya, Jawa-India satu tumpah darah. Langkah berayun terus-kan niatan, baju dikenakannya mulai coklat kekuningan atas tempa-an panas mentari juga hempasan debu kaki pedati. Sampailah ia di lempeng kaki candi Borobudur dan serentak; itu tubuh bersembah sujud pada Yang Asih.
Masa itu penjajah di tanah Jawa tidak begitu hirau orang-orang asing, apalagi dari dataran tanah India. Kiranya sekedar wisata atau ngelukkru beribadah kalau beragama Hindu atau Budha. Dan agama Islam sudah menjadi momok ancaman penjajah, bagi jalan tempuh kemerdekaan kedua, di tanah sumpah Palapa. Masa dimana pendiri organisasi Nahdhotul Ulama:’ Hasyim Asyari (1875-1947) dalam usia -nya yang ke 52 tahun. Kala itu di tempat lain, daerah Ponorogo; desa Tegalsari, Jetis. Pesantren Kyai Ageng Muhammad Besyari sudahlah tersohor atas mutiara santrinya yang bernama R.Ng. Ronggowarsito (dimakamkan 54 tahun lalu di desa Palar, Klaten; dari hitungan Rabindranath Tagore di tanah Jawa). Dan ia terus menaiki tangga tingkatan candi Borobudur, dari tingkatan paling bawah; kamadhatu menuju ke tingkatan rupadhatu, sampai tiga tingkatan arupadhatu. Pada stupa paling akhir itu, atas ketinggian mega jua burung-burung kelana, ia membalik terkenang perjalanan. Kalaulah Goenawan Mohamad pernah menuliskan; “Di mana masa silam datang pada kita, dan kitalah yang menjadi tamu.”
Pagi hari datang; kapalku menari di gelombang biru tua
layarnya yang putih kembang gagah di tiup angin
ia mencium pesisirmu, langit gemetar dan selubung hijau dewi rimbamu
pun bergerak, kita bersua dalam bayang-bayang senjakala,
ketika malam sunyi-senyap, malam menjadi muram;
siang hari menebarkan emasnya di jalan ---tempat kita bersua
jalan jiwa kita berdua menempuh jaman bersama-sama,
dari abad-ke abad, antara impian yang gilang-gemilang yang tidak terbilang.
Pada sap candi Borobudur paling tinggi arupadhatu, ia menuliskan sajak bertitel Candi Borobudur, sambil bersandaran di tubuh stupa terbesarnya. Letak itu, Tagore memandang lepas ke sekeliling candi; pohon-pohon kelapa berdiri tegak, sulur dedaunnya senantiasa digoyang angin pegunungan. Rumput pepadian hijau perawan, menyiarkan berita kesuburan. Sesekali burung-burung hinggap di atas stupa, seperti mengucapkan salam kedatangan. Warna biru langit penuh, bicarakan pelayarannya masa lalu; saat disapa burung pantai, camar berkejar di muka pesisir menebar cerecah. Gunung-gemunung hijau daun pepohon dikenang, selalu menyirap dirinya pada kedalaman bathin keunggulan. Sampai datang senja seakan tiba-tiba atas lamunan lembut melembutkan rasa, lentur melenturkan suara. Bayang-bayang senjakala mulai kelihatan pada tubuh-tubuh stupa, pepohon pisang tampak kecil di ketinggian jauh.
Waktu mulai temaram, seorang gadis belia penduduk setempat datang ke candi, letak Tagore tua tengah menikmati pemandangan. Perempuan itu bertubuh semampai berbusana kebaya, senyumnya bagaikan gula-gula jawa tebarkan pesona, menghatur sang pujangga untuk menikmati bebuahan yang ia bawa. Gadis itu memang setiap temaran ke sini, demi mendatangi kalau-kalau ada seorang kembara singgah di candi. Ritual tersebut dilakukan sebagai hormat perintah orang tuanya; lalu darah kelelakian Bengali itu teringat wajah-wajah gadis di negerinya, yang juga malu-malu ketimuran. Dan tak berapa lama, gadis manis meminta pamit, tinggalkan buah-buahan bagi beliau. Tagore menggaguk tanda terima syukur. Kembali, ia disergap keheningan malam, tiada kunang-kunang pada ketinggian Borobudur, kicauan burung pun telah sirna bersamaan senja pulangkan mentari lewat senja.
Bengi senyap membungkus tubuh tersebut dengan angin dingin yang sangat, raga rentah itu seakan tak kuasa tiupan malam. Tetapi ia tidak mau turun dari ondakan-ondakan pada lereng candi. Barulah ketika wajah bulan muncul, kesenyapannya terhibur, sedikit demi sedikit mulai merasakan kehangatan. Lantas ia bersila di ketinggian candi sampai pagi menjemput mentari kembali.
Sinar pepagi keemasan mulai meniup hawa kehangatan, seperti jalan-jalan angkasa dan fikiran berkendara imaji tetap melangkah, menebar kemungkinan bertemu nilai, sambil bawa setumpuk kisah, untuk diselidik ulang balik pada perhitungan ganjil penentu rasakan kepenuhan, sebuah kesehatan bathin. Dan spiritualitas itu cahaya menempa tubuh berulang-ulang. Memasuki abad-abad lalu tengge-lam, diteruskannya sampai kekinian, hingga jaman gilang-gemilang, puncak dimana dirinya bagi satuan saksi pencerah tanah Dwipa.
Zaman pun silam, malam yang gelap menutupi kita
kita tidak kenal mengenal lagi
tempat kita duduk hilang lenyap, tertimbun abu roda kereta.
Tagore seakan melempar jala kemungkinan teramat mengganjal. Ia lengkingkan kegelisahan akan masa tidak mengenak. Menujum kemungkinan suram tertandakan, dari alam mulai bosan atas anak-anak manusia mengenyam keserakahan. Melihat roda penjajah yang makin mencengkeram lahan-lahan liat, peradaban timpang tambah beringas, kalbu nurani tersisikan ke tepian kesunyian. Akal budhi menjadi asing, semua terhapus; diganti norma-norma kepentingan, jiwa tercampak jauh dan terpencil, sulit diketemukan kembali.
Bencah tanah Jawa dan India terasing kembali dari adat istiadat-nya, serempak berganti baju modernisasi tidak berpribadi pribumi, wewacana asing tenggelamkan rasa, angkat logika setinggi-tingginya hingga tata kerama hilang musnah, semua tergadai oleh perhitungan butuh. Pengertai orang kaya dulu; kurangnya meminta kebutuhan pribadi, tapi senantiasa memberi pengayoman sesama (kasih), atau sedikit kebutuhan diri, tapi penuhi kebutuhan orang lain berikhlas sayang. Wajah-wajah lugu diganti muka molek rayu, senyum rama berubah senyum sungging menginjak sesama.
Di mana para pendahulu telah meramalkan, pun beliau. Seorang pujangga itu mengambil jarak atas jamannya, tidak terhanyut pula tidak berkendara. Ia berada di sebrang kenyataan, tempat lain lebih hakiki dari sekedar realitas tampakan (profan). Pujangga adalah seorang penarik nilai-nilai luhur berkesungguhan sahaja demi dipersembah pada tanah tumpah darah, pertiwi; agar tidak kebablasan melupa. Tapi bukan berarti ambil akar-akaran tidak berfaedah, ia menarik akar-akar penting bagi jamu, guna kesehatan sesama, kelangsungan hayat berbudaya, menjunjung tinggi hakekat fitroh bermasyarakat; kemanusiaan adil penuh wibawa yang dalam istilah R.Ng. Ronggo-warsito; Sastra Jendra Ayuningrat.
Dan aku dihanyutkan pasang surut kelupaan
kembali ke pesisirku sendiri yang sunyi
senyap-tanganku hampa dan semangatku kosong
laut di rumahku jadi bisu,
tidak menceritakan pertemuan kita yang disaksikannya itu,
dan sungai Gangga yang gemar bicara itu
tidak memberitahukan kepadaku di mana jalan yang tersembunyi
dan yang jauh, ke tempatnya yang lain, yang keramat.
Di kala itu Tagore diambang keputusasaan kabut, diseret alunan nujumnya pada alam kelam, kosong ingatan akan kebeningan tekat berbinar-binar kemarin silam, luntur satu persatu benang harapan-nya, ketika melihat alam menjerit meminta tolong. Ia tidak kuasa kembalikan rindu kepada tempat semula; kehendak suci lagi mulia. Semangatnya berangsur menuju hampa, bukan tengah istirah atau kendorkan urat syaraf. Tetapi sedang rasakan tubuh tenggelam di kepiluan memberat. Andai pun ada dendam, itu tidak akan mampu mencuat.
Saat kepiluannya membumbung, tak kuasa lagi terima keadaan. Semua terlihat bisu dihadapan, alam dulunya renyai selalu beri kabar padanya, diganti kesenyapan. Bathinnya sunyi seolah tuhan tinggal-kan kalbu mungil itu. Tanpa ada kesaksian ketika waktu-waktu pilu terus berlalu. Mendiamkan diri bersama kabut pedut, larut ke alam kenangan buram. Ia kehilangan jejak kemuliaan atau seperti masa-masa kebosanan, menutup seluruh pintu kemungkinan, sampai tak ada lagi pengajaran masuk nan mengena. Segala asing jadi hal biasa, dan yang biasa, makin lama hilang pengertiannya.
Warna senjakala tiada lagi bicarakan sungai Gangga pada garis-garis keningnya. Seumpama seekor burung lupa arah, ngapung lupa tujuan ke mana, berputar tetapi bukan mencari mangsa, cari alamat yang hilang dari peredaran kembaranya. Hanya kelelahan; kekosongan itu dipapanya ke pembaringan, menuju alam kegelapan. Tagore tertidur di kepayahan mencari, ruh alam memberkati; memenuhi jiwanya saat ia tidak sadarkan diri, dalam kepulasan.
Saya datang kepadamu, memandang matamu
dan seperti melihat cerlang gaib yang kemilau
ketika kita bersua pertama kalinya dalam hutanmu, cerlang suka cita raya.
ketika kita saling mengikat pergelangan dengan benang merah persaudaraan.
Rabindranath Tagore terbangun dari tidurnya. Memulai kembali ingatan, dari yang mengantarnya lelap dalam kepulasan; kehampaan nujumnya kepada peradaban, kalau-kalau nanti anak kehidupan hanya sekedar menuntut kebutuhan bagi roda jaman. Kalau ditarik dari sejarah, Einsten (1879-1955) berusia 48 tahun di masa itu.
Ia pandangi langit siang terik seperti melihat harapan cemerlang melayang-layang di atas kepala. Awan putih menyebar ke tepi-tepi cakrawala. Ia menyaksikan langit biru lepas tanpa mega keraguan. Matahari memberi cahaya kepenuhan saat itu, menyentakkan sedari lamunan panjang kegagalan.
Bayu menyapa kembali, lewati sulur daun pohon rindang raya antarkan kabar kegembiraan bagi kehampaan jiwa. Lalu kemanusia-annya menari-nari, serasa awalkali injakkan kaki di bumi. Senandu-ng alam tropis tanpa bersolek pun jadi memikat hati. Ia terhanyut kebersamaan, kepaduan panorama sekitar dengan diri, bagi tamu di tanah Jawi. Sekarang Tagore telah jadi tamu sekaligus tuan rumah. Sebab tanah tumpah darah itu keluhuran budi menterjemah alunan timur ke pelosok sejati rasa, dusun terpencil naluri manusia.
Tagore kembali bugar untuk beberapa kalinya di tanah Jawa. Tapi, lalu balik bertanya; Apa ini sekedar halusinasi, sudah merasa persahabatan intim? Jiwanya diantar balik antara sungguh dan ragu, semangat dan sambillalu, yang setiap masanya sanggup menjerat. Ia seolah balik dikemuraman batu, namun ada yang tertahan; masih sungguh mendengar perintah awal perjalanan, titah Sang Wenang, demi diri kembara layari laut temui kepulauan timur Jawa.
Alam tua itu telah muram,
akan tetapi belum lepas dari tanganmu.
Ia kembali tegaskan pada dirinya, akan kabar terang dari selipan mera-mega membuyar. Tagore menancapkan janji-janji bagi jiwa-jiwa kesungguhan, mereka yang teguh tekat, pemilik niat membaja. Ia bukan merayu, inilah teguran amat sungguh bagi bangsa pertiwi yang tidak ingin lepas dari takdir besarnya. Tagore tua berseru kepada tanah Jawa juga India, demi anak-anak nantinya, pewaris terhormat dari tradisi ketimuran mulia. Namun siapakah sanggup menterjemah petuahnya, ketika insan saling berlomba mencari kedudukan duniawi (waktu itu, 12 tahun sebelum Perang Dunia II, 1939-1945). Bathin bukanlah perkara jasad dan jasad berbusana gemerlak, tidak mampu duduk lama dimana tepat di turunkan berkah mahabbah pujangga. Nafsu temu nafsu, nurani berjumpa bangsanya, semuanya mengalir ikuti jalan masing-masing, begitu juga niat bertirakat.
Di jalan yang kita tempuh dahulu
masih tersebar bekas perkataanku,
sehingga aku mendapat jalan lagi ke dalam jantung hatimu,
tempat sinar masih bercahaya, sinar kita nyalakan bersama-sama,
pada malam pertemuan dahulu kala.
Rabindranath Tagore seakan berkata; “Jikalau rindu datanglah menuju tempat semula, letak kita berjumpa sedia kala, sedia jalani keseiramaan bathin atas saling membuka. Buanglah segala curiga juga was-was hantui jiwa, sebab bangunan tertata berasal tumpukan kangen menggebu rasa.”
“Barangsiapa rindu tentu bertemu, yang kayungyung berjumpa pula. Kebertemuan inilah sinar cahaya terang, takdir kebersatuan menambah cerlang kilaunya, meski pada kemalaman gelap. Sebab kelam pun menambah pikat sukma. Merambah kepada keheningan penciptaan paling mulia, bathin menjembatani ke alam timur raya.”
“Sukurlah kebertemuan itu, hingga cerlangnya awet sampai dipembaringan jaman. Persahabatan kita akan abadi seperti muda-mudi setiai janji sehidup semati. Perkataanmu menjelma merkata-anku dan perkataanku juga perkataanmu saat benar-benar diri kita dalam kuluman bibir samudra rindu. Yang jauh tidak lagi jauh dan dekat semakin erat, semua berlangsung berkenikmatan sungguh.”
“Rasa cinta benderang, menghimpun rasa hingga fajar menjelang. Kita satukan senja-fajar pada ingatan jaman, atas perjalanan terus terekam dalam bayang-bayang juga cerecah burung terbang.” “Ruh kita bersama tubuh elang kelana, demi mencari pengalaman, rasa syukur beribadah di segenap tingkah laku hayat terima takdir nyata, atas kaki-kaki disempurnakan doa moyang, dan ridho Sang Wenang. Saat diharuskan berpisah di perempatan jalan, kita masih sejiwa pada kembara, ritual doa.”
Ingatlah aku sebagaimana aku mengingat wajahmu
dan lihatlah padaku sekalian yang telah silam
akan tetapi yang harus kita hidupkan kembali nan kita perbaru.
“Perpisahan bukan akhir persahabatan, sebab kita hakekatnya bersama. Sekedarlah beda tempat, kau di Jawa aku di India. Wajah keelokan pertiwimu senantiasa ku hirup bau kembangnya dan tidak akan ku lepas; bau warna serta gelombang bathin kita saling tebarkan jala, olehnya tidak merasa hilang sampai akhir masa. Mata dunia pun merekam persahabatan langgeng kita, dalam pembaharuan alam tropis, yang terus berhembus kepada kaki-kaki gunung kepulauan. Dan perkataan kita adalah bukti kelangsungan persetubuhan jiwa-jiwa mandiri.”
“Sekali lagi, jarak waktu dan tempat bukanlah apa, setelah kesamaan ombak mencipta daya dinaya. Diriku memandangmu dalam, lekat tak pernah sirna, meski bukan dalam pejaman mata dan pada dirimu pun berlaku sama. Kesatuan saksi ini siarkanlah, agar mereka tahu bahwa aku benar pernah langkahkan kaki di tanahmu. Dan biarkan yang tidak percaya, sebab mereka kan mengerti bagaimana rasanya, kalau kita pergi meninggalkannya.”
“Mari mengibarkan panji-panji kapujanggan di tanah pertiwi kita masing-masing, kesemangatan jadi peleburan nilai atas titah pujangga Sang Asih. Kita alirkan sungai tersebut hingga mereka tersadarkan, di waktu yang tidak terekam selain debur ombak angin dan lautan, antarkan kebaharuan bagi ikut serta dalam perjuangan.”
4-Desember 2005
*)Pengelana dari desa Kendal-kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar