Jurnal Kebudayaan The Sandour, III 2008
Azizah Hefni
Ribut. Teriakan sahut-menyahut. Suara serak beradu suara kecil di ruangan berselambu. Ada nyala televisi dengan volume tinggi. Belum lagi bunyi sirine kereta jalan. Semua bercampur dan siap pecah. Lantaran selambu kamar tak ada, pantulan mentari jadi meraja. Gerah. Tiap titik kegerahan menyimbolkan resah serta amarah. Tak tahan, perempuan itu membanting tasnya ke lantai dan berjalan mantap ke ruangan.
Seorang gadis remaja, anak sulungnya itu, mengisyaratkan pada sang ibu untuk tenang. Laki-laki mendelik. Suara gagaknya tertahan. Mata menyala api. Dan bocah di sudut ruangan—dengan kereta sirinenya—menatap lugu ibunya yang siap meledak. Ia segera mematikan bebunyian itu dan berlari ke halaman. Si sulung mengikuti adiknya keluar ruangan.
Kini hanya tinggal dirinya; si bungsu dan laki-laki itu. Remote masih dipegang keduanya. Alis menyeringai dari muka bapak dan anak. Keheningan dari sentakannya hanya sesaat saja. Setelah itu, si bapak menyentak lebih hebat lagi pada si bungsu. Ia juga menarik benda itu lekas dan mengumpat tegas. Bocah kecil menangis, mengadukan ulah kejam bapaknya.
Ia berjalan menghampiri Bayu yang merengek-rengek. Tangan perempuan menarik lengan anaknya yang baru dua tahun. Remote televisi mutlak digagahi laki-laki serak. Makin melengking saja tangisan Bayu. Tak ada pilihan, ia menggendongnya ke halaman dan keluar melintasi jalanan tanpa aspal. Bayu terus mengadukan kesewenangan bapaknya. Jalanan lengang itu nanti akan mengantarkan keduanya pada perkebunan Kalibakar yang luas. Sebuah perkebunan yang melintasi lima desa sekaligus. Pohon-pohon hutan lindung dan sebagian wilayah berkakao di sana menuai banyak untung.
Namun, tak sampai kesana, Idawati berbelok ke jalan tikus, mengantarkannya pada tanah tanjakan. Sebuah bukit kecil. Ia menepuk-nepuk pantat Bayu agar diam. Lantas, ia melepas gendongannya, menggandeng Bayu duduk di batu besar bawah pohon. Dari tanah bukit ini, tampak manggis dan pisang dari kebun buah warga berjajar seperti batalyon. Di sebelah utara, area pertanian jagung dan ketela. Kakao tak tampak sama sekali. Hanya di perkebunan raksasa itu yang sanggup menanamnya. Ini karena mahalnya tanaman dan lamanya masa panen.
Dari atas bukit kecil itu, area perkebunan Kalibakar terlihat seperti hutan raksasa di tengah-tengah pemukiman penduduk. Pohon-pohon lindung dan produksi gagah megah. Truk-truk pengangkut kayu tertata rapi--kejauhan seperti mainan yang berjalan-jalan dengan baterai. Dan sebelah truk-truk itu, ada pabrik pengolahan kayu.
Ia melepaskan gandengan anaknya yang masih terisak-isak pelan. “Kamu harus ngalah pada bapakmu, ngerti?” Ia meyakinkan, “Bapakmu itu pengku !” Bayu masih terisak, Idawati mengecup keningnya. Saling tatap. Air mata masih menghujan. Ia lantas memangku Bayu, diciumnya ubun-ubun bocah itu. Siur angin menambah dingin. Ia mendekapnya seerat mungkin, seperti ketika rahimnya mendekap jabang mungilnya hangat.
“Tapi Bapak kan sudah besar, Ibu!”
“Sssssttt!” telunjuk Idawati rapat dibibirnya “Kamu mau dipukul? Dilempar tongkat, heh?”
Bayu menggeleng pasrah. Ia melirik lengan Ibunya yang balur. Kayu itu tampaknya berat. Semalam ia melihat dengan kepala sendiri bagaimana bapaknya menampar batang kayu ke lengan ibunya.
Mendadak terdengar daun kering terinjak. Idawati menoleh cepat. Beberapa meter, berdiri seorang laki-laki di ujung tanjakan. Ia berseragam putih kusam dan bercelana hitam. Matanya kelelahan. Dari bibirnya sesungging senyum. Ia mengangkat bahu, menghela ringan, dan berjalan mendekat.
“Aku melihatmu berjalan cepat tadi,” gagap, suaranya serak. “Aku meneriakimu, tapi kamu tidak dengar. Jadi, aku langsung ke sini saja,”
Perempuan itu tersenyum ramah. Bayu menatap laki-laki itu asing. Ia berjalan mendekati Idawati dan duduk menjajari. Bau keringat menyengat. Angin sore di perbukitan melambai-lambaikan rambutnya. Ia bertanya kabar, dan laki-laki itu menjawab seadanya. Senyumnya masih tetap sama, tapi sorot matanya berbeda. Matanya dalam dan menusuk, gelap, menantang penuh semangat namun terpendam. Dan di pelipisnya ada lebam biru mengharu.
“Kamu masih sering di sini, Rusman?” tanyanya kemudian.
“Yah, aku selalu di sini untuk menghibur diri,” sangat apa adanya, “dulu kamu juga sering ke sini, kan? Kamu yang memberitahuku tempat ini,”
Mengangguk. Ya, dulu, sebelum matahari berubah menghitam. Sebelum langit muram kusam, sebelum semesta menunjukkan keangkuhan. Di sinilah ia menanam harapan. Hanya sebuah harapan, tentulah kalah dibanding dengan kekuatan. Laki-laki berkumis itu memiliki kekuatan dan menggilas habis harapannya.
Ia melirik perempuan yang bahkan menyapanya saja seolah ia tak berhak. Perempuan mendendangkan lagu macapat lirih. Bayu masih sesenggukan. Pasti berakhir karena tiap tepukan dari lembut tangannya menyebarkan tenang. Sepasang mata telaga, menggenang perahu yang hanya diam di permukaan. Ia ingat bagaimana Rodiah menceritakan perempuan ini menangis tersedu. Ia tak pernah bahagia. Selama linggis masih belum bisa mengapung, kesedihan tak akan bisa dibendung.
Karena menahan gejolak, leher jenjang itu bergerak-gerak menahan sesak. Dan dua butir embun siap jatuh membasahi pualam pipi. Ia mengecup ubun-ubun si buyung--bersamaan dengan itu, tetesan itu jatuh.
“Apa yang bisa kulakukan sekarang? Melihatmu begini, aku sangat menderita,” tatapan matanya naif, “Aku tak mau kau memikulnya sendiri,”
Cepat disaputnya. Ia menoleh sejenak, lantas memandangi hamparan pepohon. “Maksudmu?” Idawati berpura-pura.
“Rodiah menceritakan semuanya padaku. Jangan sembunyikan apapun lagi,” Idawati menunduk, matanya berkaca-kaca “Tak akan bisa. Penderitaan ini tak sebanding dengan penderitaan yang kamu alami,” laki-laki itu mengernyit pada perempuan di sebelahnya, “Aku juga sudah mendengar semuanya dari Pak Suhar. Dia bilang, suamiku selalu memarahimu, bahkan suka sekali menendang atau memukulmu,”
“Semua mandor melakukan itu,”
“Ya, tapi dia yang terkeji, kan? Dia tau masalalu kita,”
“Aku tahu dia dendam. Apa dia sering memukulimu juga?”
Tak ada jawaban. Rambutnya dibelai-belai angin, membuat sepasang mata bening itu menyipit. Ketenangan Bayu sempurna. Ia turun dari pangkuan dan memetik daun-daun tanaman liar.
“Sejak ia tahu masalalu kita, dia suka sekali memarahiku,” suaranya penuh dendam, ”Lambat laun ia pasti akan terbiasa memukuliku,” Bagi perempuan, perlakuan kasar itu adalah penderitaan terpanjang. Dia seperti tak sadar bahwa ia istri yang dibelinya atas nama Tuhan. Sepasang mata kembali mengembun. Berkaca-kaca dan siap pecah. Wajah merah, dagu bergetar resah. Bersamaan dengan tarikan nafasnya, mengalirlah air mata itu dengan lancar.
Tahukah, ia ingin sekali memeluk? Mengambil bebannya yang berpunuk? Hanya, mata laki-laki itu seperti mata setan, bertebaran dimana-mana. Purwanto, mandor gemuk sialan itu mengadukan hubungan yang sejujurnya sudah dimakan waktu itu pada suami Idawati yang juga seorang mandor. Culas, pedas. Ia lupa kalau dulu ia pernah miskin, pernah mengeluh tak memiliki pekerjaan. Kini, setelah diangkat menjadi mandor, begitu bebasnya ia membusungkan dada dan mencelakakan para buruh perkebunan.
Sungguh ia tak sanggup. Pernikahan paksa atas mandat bapaknya yang juga kaki tangan mandor bejat itu sudah amat melukainya. Idawati sempat mengancam akan membunuh dirinya dengan terjun dari bukit ke lembah berbatu. Lebih baik mati dari pada menikah dengan mandor licik seperti Totor Raharjo. Hanya saja, ada kekuatan abstrak yang diatur melingkupinya. Banyak yang membantu kutukan itu bertahan, termasuk tetuo di lereng Semeru. Konon, ia telah bertapa puluhan tahun. Selama linggis masih tenggelam dalam air, ia tak akan bisa lepas. Kematian akan datang, entah pada siapa, dirinya atau laki-laki kenangannya. Haruskah ia rela mati, agar sepasang mata itu merekah lagi, seperti saat Rusman mengajaknya melihat lingsir matahari?
“Kita lari saja,” Suara Rusman memecah udara, memecah tenang dalam diri perempuan itu. “Kita pergi dari Kalibakar! Pergi sejauh-jauhnya!”
“Kamu pikir mudah? Salah satu dari kita akan mati! Bagaimana dengan anak-anakku? Lagipula, aku tak mau kamu mati! Djati Kusumo itu pertapa hebat. Supri dan Jukri mati disantetnya. Wati, anak yang menolak lamaran Purwanto, mandor tengik itu mati mengenaskan. Perutnya banyak kabel dan baterai! Banyak kutukan yang berhasil dan abadi!” ia berteriak panik. Bayu melihat ibunya menegang.
“Emakmu itu, bagaimana bila kehilangan kamu? Adikmu belum menikah! Kamu juga. Bukankah kabarnya kamu akan menikah dengan Rodiah?”
“Aku tidak akan menikah dengan siapapun!!”
Ia diam, mencerna kalimat yang dilontarkan begitu tegas memegas. Idawati menarik nafas, dan melemparnya kasar. Air mata deras tak tertahan. Isaknya menggebu-gebu. Bayu semakin tak tahu menahu.
Rusman tak tahan. Ia memeluk tubuh Idawati yang ringkih. Mata laki-laki itu tak kuasa menahan derita. Ia ingat dulu, saat ia masih begitu leluasa memeluk kekasihnya atau sekadar menghapus air matanya. Idawati tak mengelak. Ia memang butuh dermaga lantaran terlalu lama menderita. Karena angin mengerti, maka diamlah ia berkelebat. Dua helai daun jatuh, tepat ketika Idawati membalas pelukan kekasih lamanya. Bayu menatap ibunya tak mengerti.
***
Dan ia berjalan, mengangkut kayu-kayu ke atas truk. Keringat sudah berbaris rapat-rapat. Seorang buruh tampak ditendang pantatnya lantaran terlihat menerima kiriman makanan dari perempuan--mungkin istrinya. Para buruh di sini berhadapan dengan mandor-mandor berwatak kompeni. Belanda sudah berlalu, tapi watak kemlondo masih menyatu. Ia sering mendengar keluhan buruh perkebunan. Bagaimana si mandor meraung-raung, memukul atau menendang buruh yang terlambat. Bagi buruh yang terlambat, hari itu tidak akan mendapat upah. Upah dari pusat akan masuk ke kantong mandor-mandor tengik itu.
Ia berdiri di sana. Dua tangannya berkacak pinggang. Rusman merapatkan badan, berbisik pada rekan sebelahnya. Ia membisikkan rencana pertemuan rahasia setelah pulang kerja pada para buruh satu persatu. Sekalipun tampak takut dan khawatir, para buruh itu mengangguk. Amarah itu sudah menjadi kerak-kerak raksasa di dada mereka. Dan pemuda bernama Rusman itu akan melebarpaksakan nyali mereka yang sempit.
Senja tiba, para buruh mulai berbondong pulang ke rumah. Rusman berjalan paling belakang. Krah baju tiba-tiba tertahan. Wajah laki-laki beringas sudah menyeringai di belakangnya. “Hari ini kamu tidak mendapat upah!”
“Tapi, apa salahku? Aku tidak terlambat! ”
“Lebih dari terlambat. Kamu menemui istriku, Ccuuhh!” ia meludah tepat di wajahnya. Rusman memejamkan mata, merasakan pukulan keras di pipinya beberapa kali.
***
Malam kelam. Sekelompok orang melingkar di rumah Kang Utomo. Tegang memanggang. Dan beberapa buruh tampak mengangguk sepakat. Ada yang menyeru nama Tuhan, ada yang berteriak merdeka. Rusman tahu respon rekan-rekannya akan sangat baik. Mereka hanya butuh dipancing untuk sedikit lebih berani.
Begitulah, perkumpulan rahasia itu tiap hari diadakan. Semakin matang buah pikiran mereka. Lahan di Kalibakar adalah lahan nenek moyang desa. Dulu, Belanda memang menguasainya, namun, sekarang Belanda sudah pergi, maka tanah harus kembali ke pangkuan desa. Pemerintah sudah mengeluarkan pernyataan perihal hak tanah, namun hanya sebagian kecil. Pemilik perusahaan perkebunan masih duduk nyaman di kota. Sementara pula, para mandor berbuat sewenang-wenang.
***
Perempuan itu berjalan seorang diri di bukit. Ia menduduki satu-satunya batu di bawah pohon dan menatap hijau daun di sepanjang mata. Laki-laki itu ada di dalam sana, di gerombolan pohon raksasa. Apa yang ia lakukan? Apakah ia baik-baik saja? Ia ingat, kemarin Rusman mengatakan cinta dan menciumnya. Ia tersenyum sendiri.
Lantas, Idawati meraba pipinya yang masih panas. Semalam suaminya memukulnya keras sekali. Sebelumnya lagi, ia mendorongnya hingga membentur meja. Lihat, pelipisnya tersumbat perban. Ada darah mengalir dan nyaris masuk ke mata kanannya, tersebab suaminya tahu bahwa ia bertemu Rusman. Pastilah Djati Kusumo yang memberitahunya.
Di tempat sunyi ini, terdampar seribu lebih ilusi. Ia ingin kembali melewati area perbukitan, melewati laut dengan guruh gelombangnya, melewati angkasa yang menaburkan benih bintang gemintang. Ia mendesah, mengingat-ingat lagi masa dimana ia memilihnya menjadi pendamping hidup. Betapa rapuh mentalnya! Hanya karena sentakan bapaknya yang mengatasnamakan Tuhan dan status darahnya, ia rela menjalani hidup dengan duda tanpa anak itu. Sejujurnya, apakah hakekat sebuah jalinan rumah tangga? Kenapa ia menjadi sebuah kewajiban bila sejatinya begitu membuat menderita?
Tiba-tiba ia melihat kobaran api. Idawati mengemasi lamunannya. Ia bangkit dan menyipitkan pandangan. Pohon-pohon bergumbul itu tampak terbakar. Pabrik dan truk-truk juga. Ramai riuh. Kepulan asap bergulung-gulung di udara. Aih!
Serta merta ia ingat Rusman. Laki-laki itu ada di sana. Panik mengantarkan kakinya dengan sangat cepat menuruni tanah tanjakan, dan melewati jalan-jalan sempit tak beraspal. Sampai ia terantuk batu dan tersungkur. Darah mengalir dari dua lututnya dan beberapa jari. Idawati bersegera berdiri dan terus melarikan kakinya.
Suara teriakan kian dekat, panik kian hebat. Dari gerbang perkebunan tampak para buruh berliaran keluar. Perempuan mencari-cari. Ia menanyakan kepada beberapa pegawai pabrik yang bebas lari, namun mereka tak menggubris. Para buruh kehilangan kendali dan masing-masing berusaha menyelamatkan diri.
Mata Idawati nanar. Ia meneriaki nama kekasihnya. Hingar bingar. Ia menahan sakit di kakinya. Namun, ia kembali tersungkur saat sebuah kaki besar bersepatu boat menjegalnya. Seterusnya, banyak yang menginjak punggungnya, tangannya, kepalanya, rambutnya, lehernya, kakinya... Kemudian perempuan itu tak merasakan apa-apa lagi.
***
Pembakaran perkebunan mendapat sorot tajam dari media. Pemerintah turun lapangan dan menyelesaikan masalah. Buruh yang bermain di belakang layar mulai dicari. Sementara status tanah diperdebatkan lagi. Kalibakar menjadi sebuah lahan sunyi dan penuh dendam. Banyak korban, tak satupun mandor yang hidup. Jauh diluar dugaan, kematian begitu banyak.
Para buruh menyimpan dendam kesumat demikian lama. Sungguh ini diluar dugaan. Keliaran itu lahir saat api membakar kawasan. Banyak penduduk dan para petani ikut masuk dan mengacaukan susana. Orang-orang sudah terlanjur menyukai jalan ini. Jalan teriakan, umpatan, pembakaran, dan pembunuhan. Satu lagi, jalan kutukan! Semua ini karena dendam. Ketenangan itu, bagi mereka, hanya mampu diselesaikan dengan darah.
Atas nama sepasang mata perempuan yang semakin tertekan menahan beban, Rusman menjadi pelopor. Saat api mulai berkobar, laki-laki itu berlari memasuki kantor dan melempar obor ke tubuh mandor tengik itu. Ia ingat bagaimana tubuhnya menggelinjang seperti cacing terpanggang. Ia sangat puas melihat tubuh yang terbakar itu menghitam dan benar-benar diam.
Idawati, tahukah, karena kehilanganmu, maka kurelakan penjara menghimpitku. Batin Rusman tercacah. Perempuan itu, bagaimana bisa tergeletak dengan simbah darah di perkebunan? Apa yang ia lakukan di sana? Bukankah seharusnya ia mengurus anak-anaknya di rumah dengan tenang? Setelah membakar tubuh Totor Raharjo, Rusman berlari ke rumah kekasihnya. Betapa terkejut ia saat Bayu menggelengkan kepala dan mengatakan sang ibu tak ada di rumah.
Laki-laki itu digelandang, juga beberapa buruh lain yang tak bisa lari dan sembunyi. Ia menunduk, menghindari jepret media dan sorot kamera. Betapa luka telah menggores seluruh komponen kedirian laki-laki itu. Ia merasa tidak hidup lagi. Ia adalah entah.
Bayu dan dua kakaknya menangisi kedua orang tua mereka yang bersatu dengan tanah. Jepret-jepret kamera tak kalah ramai. Pekuburan dikunjungi banyak orang. Selama linggis masih tenggelam ke dalam air, semuanya memang tak ada gunanya. Bukit lengang. Sepasang mata perempuan di atas bukit kembali tergenang. Ia harus rela jasadnya bersebelahan dengan suaminya lagi.***
Malang, 28 Juni 2007
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 01 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar