Teguh Winarsho AS
“CERITAKANLAH kepadaku satu kejadian yang menakjubkan,” pinta Erina pada seorang juru cerita.
Sesaat sang juru cerita menatap bola mata Erina yang binar-binar menyala, lalu mulai menuturkan kisahnya:
MALAM itu hujan turun deras. Di atas loteng rumah berpapan kayu, tampak dua anak kecil meringkuk dalam selimut kusam, kumal. Dua tubuh bocah itu terlihat kurus dan dekil, sesekali mengigil, gemetar, menahan dingin dan lapar. Sudah sehari semalam mereka terjebak tak bisa keluar rumah lantaran banjir yang tiba-tiba datang mengepung rumah mereka. Beruntung mereka segera naik ke loteng atas yang biasa digunakan sebagai gudang. Tak terpikirkan oleh dua bocah itu, buku-buku sekolah, seragam, sepatu, tas, yang pastilah sudah hancur atau hanyut terbawa arus.
Genangan air hampir menyentuh papan loteng, ketika dua bocah itu, Ani dan Agus, terlelap dalam kantuk berat. Guntur sesekali menggelegar disusul hujan deras seperti kemarahan yang lama terpendam dan kemudian teremas. Air di dalam rumah kembali berbuncah, meriak, mengombak, merangkak, menjilat-jilat papan loteng. Sesekali terdengar suara papan loteng berkeriut, seperti regang mau patah. Tapi dingin dan lapar telah membuat tidur dua bocah itu kian lelap. Sedikit pun tak terusik oleh gemuruh hujan, papan loteng yang berkeriut, maupun kecipak air yang mulai menyentuh papan loteng.
Tapi tengah malam tiba-tiba Ani terbangun. Ia merintih memegangi perutnya yang berkerucuk lapar. Melilit-lilit seperti ada puluhan cacing yang menggigit. Di sebelahnya Agus masih tidur pulas, mendengkur lirih. Terdengar ganjil suara dengkur Agus di tingkah guntur dan halilintar. “Aku lapar. Apakah Bapak sudah pulang.....” Susah payah Ani membuka mulutnya yang gigil dan pucat. Matanya berkedip-kedip seperti berusaha menembus gelap malam. Tapi malam terlampau gelap membuat gadis kecil itu terus menggosok-gosok mata mencari cahaya.
Jelas tak ada jawaban dari mulut Agus, lantaran bocah laki-laki usia dua belas tahun itu tidurnya sangat nyenyak, tanpa gerak. Tak tega membangunkan kakaknya, Ani kembali merapatkan selimut. Meringkuk. Membenamkan wajah di lipatan bantal. Ingin tidur. Tapi tiba-tiba beberapa ekor nyamuk berdenging-denging di telinganya, berputar-putar, sesekali menukik di wajah. Ani merasa terganggu, mencoba menepuk nyamuk-nyamuk nakal itu, tapi selalu gagal.
Agus tersentak kaget mendengar bunyi tepukkan Ani. Sesaat wajah Ani merasa bersalah. Agus segera bangun, menggeliat, menggosok-gosok mata. Dalam gelap, samar-samar Agus masih bisa melihat Ani, adik perempuan satu-satunya, duduk di dekatnya. Agus menyibak selimut ikut duduk di sebelah Ani. Rambutnya kusut acak-acakkan. Matanya sayu seperti mata kupu-kupu. “Sudah malam. Kenapa kamu belum tidur?” Suara Agus terdengar lirih ditelan gemuruh hujan. Di luar, sesekali kilat menyambar.
Ani tak menjawab. Kedua tangannya masih sibuk menepuk-nepuk nyamuk. Ia seperti gemas dengan nyamuk-nyamuk nakal itu.
“Aku lapar....” ucap Ani suaranya serak. Wajahnya memelas.
“Bersabarlah. Semua makanan yang kita miliki terendam air. Kita sudah tak punya makanan lagi.”
“Kenapa Bapak belum pulang juga?”
“Sebentar lagi Bapak pasti pulang. Sekarang kita tidur saja....” Agus menghela napas berat, mencoba menenangkan adiknya.
“Apakah Bapak akan bawa makanan buat kita?”
“Ya, Bapak pasti akan bawa makanan banyak...”
“Apakah Bapak akan berenang lagi seperti ketika berangkat?”
Sekilas menatap Ani, Agus menggelengkan kepala pelan. Bibirnya tersenyum getir. “Tidak. Bapak akan datang bersama aparat dengan perahu untuk mengangkut kita keluar dari rumah ini. Sayang, air sudah terlalu tinggi dan kemarin aparat yang bertugas mengangkut penduduk keluar dari jebakan banjir tak sampai ke sini..” Ada kekecewaan tiba-tiba membayang di wajah Agus. Kekecewaan yang sama memantul pula di wajah Ani yang murung, sedih. Di luar hujan semakin deras. Angin mendesau menghempas-hempas seng atap rumah.
“Andai saja....” Ani tiba-tiba bersuara, tapi tak diteruskan kalimatnya. Jari-jari tangannya memain-mainkan ujung selimut.
“Andai apa?”
Sesaat Ani menarik napas dalam-dalam, pandangan matanya menerobos hujan dan kelam malam di luar. “Andai saja perahu Nabi Nuh datang kemari menolong kita.....”
“Perahu Nabi Nuh?!” Tiba-tiba Agus seperti diingatkan oleh sesuatu. Bola matanya mengerjap. Bibirnya merekah. Ia ingat guru ngaji di madrasah pernah cerita tentang sejarah perahu Nabi Nuh. Ketika banjir besar melanda, perahu Nabi Nuh menyelamatkan orang banyak. Bahkan binatang-bintang ternak juga diselamatkan. “Tapi....” Mendadak Agus tak meneruskan kalimatnya. Wajahnya murung ditekuk ke bawah. Bola matanya kembali redup.
“Kenapa?”
“Perahu Nabi Nuh sudah tidak ada. Peristiwa itu sudah lama berlalu.”
“Tapi apa salahnya kita berdoa dan berharap?”
“Berdoa? Ya, kita memang harus terus berdoa....” Agus mengangguk-angguk. Dalam hati ia membenarkan ucapan adiknya.
Hujan turun semakin deras. Langit seperti murka. Air di dalam rumah kembali berbuncah dan mulai merambat papan loteng. Seketika Ani memekik manakala ujung kakinya terkena air yang menggenang di lantai papan loteng. Refleks Ani melompat. Menjerit.
Dalam gelap, dalam panik, dalam takut, dalam lapar, teramat susah bertindak bijaksana. Namun, Agus, bocah laki-laki dua belas tahun itu sigap bertindak. Agus ingat, ada dua buah meja panjang tak jauh dari situ. Dengan sisa-sia tenaga yang ada ia segera mendorong meja panjang di sudut, disatukan dengan meja lainnya. Dua meja dijadikan satu menjadi lebih lebar. Dengan isyarat tangan Agus kemudian menyuruh Ani naik ke atas meja sebelum air semakin tinggi. Tapi sayang, selimutnya tak sempat dibawa, keburu basah. Agus sendiri segera meloncat ke atas meja, jongkok menggigil kedinginan.
Kini air benar-benar sudah menggenang papan loteng, berbuncah bercampur sampah. Tampak selimut Ani mengapung dalam air, bergerak-gerak mengikuti riak. Dalam diam Agus merasakan sesekali meja di bawahnya bergerak-gerak, seperti ada kekuatan yang perlahan-lahan menggasak. Lalu, sesekali telinganya juga menangkap bunyi aneh dari papan loteng seperti mulai regang. Tapi Agus merekam semua itu hanya untuk dirinya sendiri. Ia tak ingin membuat Ani semakin takut. Padahal jika air semakin tinggi, lantai loteng yang terbuat dari kayu itu bisa roboh.
“Bagaimana jika air terus naik ke atas? Aku takut....” suara Ani mengejutkan Agus.
Agus mendekap erat adiknya. Dalam hati ia terus berdoa agar perahu Nabi Nuh segera datang menyelamatkan dirinya.
“Tidak. Sebentar lagi air pasti surut.”
Benar. Di luar hujan mulai reda. Tinggal gerimis riwis-riwis seperti kelambu tipis. Agus menarik napas lega, ingin meneruskan tidurnya. Tapi entah kenapa tiba-tiba rasa kantuknya berangsur-angsur menjauh. Matanya menyala.
Agus teringat Bapak yang hingga kini belum pulang. Apakah Bapak lupa jalan pulang karena air cukup tinggi? Gelap? Pekat? Atau ke mana? Pertanyaan-pertanyaan itu cukup menggelisahkan Agus. Membuat kepalanya suntuk. Terbayang di benak Agus, sore menjelang gelap sewaktu Bapak berenang keluar untuk mencari makanan dan bantuan perahu. Sudah berapa jam? Tak ada jam di ruangan itu. Tapi Agus bisa menandai malam sudah larut.
Ah, perahu Nabi Nuh. Perahu Nabi Nuh.... ***
SEMENTARA itu pada saat yang sama di tempat lain, seorang laki-laki, merangkak di bawah gerimis, wajahnya bengkak, memar, berlumur darah. Laki-laki naas itu adalah Bapak Agus dan Ani. Di sekelilingnya puluhan orang menatap laki-laki naas itu dengan penuh kemarahan sambil menggenggam batu dan pentungan kayu. Beberapa bungkus roti, mie instan, kemasan air mineral, berserak di jalan, terinjak-injak. Tak ada yang memperhatikan barang-barang itu karena sosok laki-laki naas dengan wajah bengkak, memar, berlumur darah jauh lebih menarik.
Kian lama kerumunan orang itu kian bertambah banyak. Berteriak-teriak serupa kesurupan. Mengumpat. Memaki. Menendang. Memukul. Membuat suasana malam yang dingin menjadi panas, gerah, gaduh dan ribut. Orang-orang yang sedang tidur terbangun mendengar suara-suara itu, lalu lari keluar. Meski berkali-kali laki-laki naas itu melolong kesakitan dan memohon belas kasihan, namun tangan-tangan kekar di sekelilingnya terus menghajar. Batu dan pentungan kayu terus melayang.
“Ayo! Ayo! Jangan dikasih ampun!”
“Dasar pencuri tak tahu diri!”
“Ayo! Hajar terus!”
“Pukul! Pukul!”
Sembari merangkak dan mengerang kesakitan, laki-laki naas itu mendengar suara riuh rendah orang-orang di sekelilingnya yang terus menghajar tubuhnya. Dalam posisi seperti ini tiba-tiba ia sadar betapa sesusungguhnya bukan kematian dirinya yang ia takutkan, tapi nasib dua anaknya yang ia tinggal di rumah. Entah, pikiran semacam itu tiba-tiba melintas di benaknya. Hingga tiba-tiba ia tak merasakan lagi rasa sakit dan perih luka-lukanya. Ia berhenti merangkak, diam, pasrah menerima caci maki dan pukulan. Sebagian orang tampak heran, tapi lebih banyak yang justru membabi buta kesetanan.
Sementara dari arah kios bensin seberang jalan, seorang laki-laki kekar bertato lari membawa jerigen sembari berteriak lantang, “Bakar! Bakar!”
Dan, persis saat laki-laki kekar bertato hendak mengguyur laki-laki naas itu dengan bensin, dari kerumunan belakang terdengar suara seorang perempuan tak kalah lantang. “Astaghfirullah! Hentikan! Hentikan! Jangan lakukan itu! Jangan!” Tersengal-sengal napas perempuan itu merangsek ke dalam kerumunan. Orang-orang saling pandang. Heran.
“Tapi dia pencuri. Harus diberi pelajaran!”
“Betul! Orang lain susah kebanjiran, dia malah mencari kesempatan!”
“Tunggu! Jangan main hakim sendiri! Perbuatan kalian yang ingin membakar laki-laki itu sungguh sangat biadap! Tidak berperikemanusiaan! Sedangkan Allah saja Maha Pengampun! Kenapa kalian mudah kalap?!” Perempuan itu menatap tajam lawan bicaranya. Jantungnya berdegup keras. Wajahnya memerah. Lututnya gemetar.
“Jangan-jangan Ibu komplotannya!”
“Demi Allah aku tak kenal siapa laki-laki ini. Tapi kudengar dia mencuri di tokoku. Aku mengikhlaskannya. Tapi tolong bawa dia ke kantor polisi.”
Orang-orang seketika terdiam. Bungkam. Pada saat bersamaan mobil polisi datang dengan sirene meraung-raung. Kerumunan orang itu segera bubar menyelinap masuk ke dalam gang. Batu-batu dan pentungan kayu disembunyikan. Dalam sekejap jalanan menjadi lengang.
Laki-laki naas itu kemudian diangkut mobil patroli polisi dengan kedua tangan diborgol di belakang. Sepanjang jalan ia lebih sering menundukkan kepala, teringat kedua anaknya yang ia tinggal di rumah. Gerimis masih menderai membuat luka di tubuhnya menganga. Memutih. Tapi laki-laki itu tidak merintih seperti tidak merasakan sakit. ***
LAKI-LAKI itu bersyukur, polisi tidak menahannya. Ia diperbolehkan pulang esok harinya. Bahkan oleh perempuan pemilik toko yang ikut mengantar ke kantor polisi, yang terharu mendengar ceritanya, ia diberi banyak makanan untuk dibawa pulang. Meski tubuh laki-laki itu penuh luka, namun ia melangkah pulang dengan perasaan bahagia. Sekarung makanan melekat erat di punggungnya. Laki-laki itu terus berjalan riang di bawah gerimis yang terus berderai. Sesekali ia menatap langit di atas memastikan apakah akan turun hujan deras.
Tak ada mobil atau sepeda motor melintas di jalan karena ruas jalan itu telah tergenang air setinggi pinggang. Laki-laki itu berjalan dalam genangan air coklat melawan arus deras. Sesekali tubuhnya menggigil oleh udara dingin. Kadang kakinya terperosok lubang, membuat tubuhnya sempoyongan mau jatuh, namun sekuat tenaga ia berusaha menjaga sekarung makanan di punggung agar tidak jatuh terkena air. Baginya makanan itu jauh lebih berharga dari luka-luka di tubuhnya yang kian menganga atau bahkan nyawanya sekalipun.
Di tepi jalan yang posisinya jauh lebih tinggi, di banding tanah seberang jalan, laki-laki itu berdiri, menatap kampungnya yang tergenang air. Seulas senyum melingkar di bibirnya yang lebab hitam. Ia akan berenang untuk mencapai rumahnya. Ia masih punya sedikit tenaga. Tapi meski sudah berkali-kali menggosok mata, hingga perih dan merah, ia tetap tak menemukan di mana posisi rumahnya. Ia justru terkesiap, baru sadar, kini di depan matanya yang tampak justru sebuah telaga dengan air coklat berbuncah-buncah. Tak sebuah rumah tampak. Ujungnya sekali pun!
Terlepas begitu saja karung berisi makanan dari punggung laki-laki itu. Tubuhnya lemas seperti kehilangan tenaga dan gairah hidup. Tapi ia masih sanggup berjalan menuju jembatan. Hati-hati naik ke atas jembatan, berpengangan erat pada pilar-pilar baja. Di bawah jembatan, air sungai meluap-luap. Jika tidak hati-hati ia bisa terpeleset jatuh dan terbawa deras arus sungai.
Cukup lama ia berdiri di atas jembatan. Mengedar pandang, mencari di mana posisi rumahnya. Tapi sekali lagi yang tampak hanya genangan air. Kampungnya telah rata dengan air! Laki-laki itu menunduk dan menangis sesengukkan. Usahanya untuk menyelamatkan kedua anaknya sia-sia. Ia merasa marah dan kesal. Ia sudah tak punya apa-apa lagi di dunia ini.
Persis saat laki-laki itu ingin mengakhiri hidupnya dengan terjun ke sungai, tiba-tiba ia mendengar suara kedua anaknya memanggil-manggil dari kejauhan. Ia segera mengangkat kepalanya mencari di mana arah sumber suara. Cukup lama ia mengedar pandang hingga tiba-tiba bibirnya tersenyum saat matanya menangkap di jauhan, di atas air yang menggenang seluruh kampung, tampak sebuah perahu berlayar mendekat. Laki-laki itu menggosok-gosok mata merasa tidak yakin dengan penglihatannya.
Tapi, perahu itu memang benar-benar nyata! Tampak kedua anaknya, Ani dan Agus, tersenyum melambai-lambaikan tangan. “Bapak, Bapak, kami naik perahu Nabi Nuh!” teriak Ani dan Agus bersamaan. Tapi laki-laki yang dipanggil Bapak itu terus menggosok-gosok mata seperti tak percaya.
“Begitulah ceritanya, Erina....” kata juru cerita mengakhiri kisahnya.
“Apakah yang dinaiki dua bocah itu memang benar-benar perahu Nabi Nuh?” tanya Erina penasaran.
“Entahlah. Aku hanya mendengar cerita ini dari orang lain. Waktu itu aku pun juga menanyakan hal yang sama. Dia menjawab hanya mendengar cerita itu dari orang lain juga....”
Depok, 2006
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 06 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar