Minggu, 18 Januari 2009

Kemiskinan Kudus

Sukron Abdilah
http://www.kompas.com/

Fajar menyingsingkan kegelapan dengan cahaya kemilau yang terpancar dari tubuhnya yang menyala-nyala. Merekahkan dedaunan layu yang kedinginan sedari malam karena diembusi angin semilir sepoi-sepoi. Dan, pagi buta ini, di sebuah rentang ruang dan waktu, kekudusan-Mu mulai menggerayangi.

“Ashshalatu khairu minannaum”…
“Ashshalatu khairu minannaum”, suara muazin itu terdengar sayup-sayup dari bebukitan yang sepi tanpa penghuni.

Ki Jumantar, dua puluh tahun lalu adalah seorang pengusaha sukses. Rumah luas mentereng dengan halaman seluas lapangan sepakbola menambah kesan laiknya istana keraton di kerajaan Mataram.

Istri cantik, dan anak sehat perawakannya adalah karunia Tuhan yang diberikan kepada Jumantar. Jumantar, selain pengusaha, juga seorang manusia yang haus ilmu agama. Setiap hari, aktivitas wirid-nya dihabiskan berjam-jam di depan mihrab masjid.

Ritual agama telah meresapi aliran darahnya hingga terobsesi menjadi setingkat wali yang suci.
Sebagai manusia biasa, ia pernah gelisah. Gelisah dengan kondisi tetangganya yang miskin. Miskin akibat tak bisa mengolah potensi alam. Sumber daya manusia di kampungnya juga nol koma sekian.
“Bapak…Bapak…bapak”, suara Syahareza putra pertamanya terdengar memanggil dari luar bangunan masjid.

Kontan saja, wirid Ki Jumantar terhenti seketika. Ia kecewa. Meratap dalam batin. “Kenapa aku menghentikan ritual suci ini”, katanya setengah berbisik pada diri sendiri. Sambil menggeliatkan tubuhnya yang ringkih dan tinggi. Dengan sorot matanya yang menyala keapi-apian, ia keluar dari ruang suci masjid.
“Ada apa Eza!” teriaknya memecahkan suasana di tengah hiruk pikuk muslim yang sedang
beribadah.

Syahreza ketakutan melihat sorot mata ayahnya yang setajam silet membedah hatinya. Ia mundur selangkah. Dan, menjawab pelan sekali:
“Itu..tu,” suaranya tersedak tak karuan, “ada mang Jumali datang bertamu ke rumah”, jawabnya sambil menundukkan pandangan ke arah tanah gembur berwarna merah di halaman masjid.
“Memangnya ada keperluan apa dia datang kesini. Mengganggu orang yang sedang beribadah saja,” gerutu Ki Jumantar terlihat kesal.

Syahreza, pemuda berumur 20 tahun hanya bisa tertunduk lesu. Ia merasa bersalah karena telah mengganggu ayahnya yang sedang menghadiri jamuan suci. Sekelebat bayangan putih dengan wajah bersih menakjubkan menengok ke arah Jumantar dan Syahreza. Setelah itu, hilang tak meninggalkan bekas bebauan yang janggal di hidung manusia.

“Ayo…Eza, kita pergi menemui pamanmu itu.”, kata Ki Jumantar melunak.
Kedua orang itu. Ayah dan anak berjalan menelusuri jalan sempit di kampungnya tanpa
berbincang-bincang.
“Oh, kenapa engkau ini bapak. Rela berjalan 8 km hanya untuk shalat dan wirid di masjid ini,” bisik Syahreza pelan-pelan.

Tanpa diduga, Ki Jumantar, pria berusia 43 tahun itu menjawab. Seolah tahu apa yang sedang dipikirkan anaknya.
“Eza.., aku rela berjalan ke masjid ini, karena di sinilah ketenangan itu kuperoleh. Di Masjid kampung kita, hal itu tidak aku peroleh. Jamaah hanya sibuk dengan kemiskinan. Orang kaya seolah menyibukkan diri dengan kekayaannya. Alhasil, ritual agama kering dari ikatan primordial yang spiritualistis. Seharusnya, keduniawian tidak melenakan warga kita dari sisi lain Tuhan di muka bumi ini, Za.”

“Dunia ini, kalau kita memburunya, Za.”, ujar Jumantar sambil menengok Syahreza, “akan
terus berlari. Dan, kita akan kelelahan mengejarnya, tahu?”
“Bapak kamu ini, Za. Tidak ingin menjadi bagian dari makhluk-Nya yang tak bersyukur.
Kamu tahu tidak Za, bahwa kekayaan kita yang melimpah, di akhirat sana, tidak
akan menolong hukuman yang diberikan-Nya.”

Syahreza saat itu hanya bisa mengangguk pelan, tentunya sambil berbisik kecil dalam hati.
“Kenapa Bapak tidak memanfaatkan harta kekayaan untuk menyelamatkannya di akhirat kelak. Bukankah, di sekitar rumahnya masih ada orang-orang miskin. Meskipun Bapak pergi ke Mekkah puluhan kali, kalau di sekitar masih ada warga yang kelaparan dan miskin, apakah status hajinya menjadi sah? Aku rasa tidak.”

Lagi-lagi Ki Jumantar seolah tahu apa yang dikatakan Syahreza.
“Bapak memang akhir-akhir ini sering merenung, Za. Kamu tahu, kan, kalau Bapak sudah pergi ke Mekkah puluhan kali. Tapi, merasakan ada yang tidak diperoleh dari ibadah haji itu. Setiap kali sedang berada di hadapan Kabah, Bapak melihat jerit tangis tetangga kita yang kelaparan. Setiap kali shalat di Masjid Al-Haram, memang terasa nikmat dan khusuk. Pokoknya, ruh Bapak seakan bercengkrama mesra bersama Tuhan. Akhirnya, bayangan tetangga miskin itu lenyap kembali, Za.”

“Dan, ketika Bapakmu ini pulang ke Tanah Air, ibu kamu sibuk menggosipkan pengalamannya ketika di Mekkah, Za. Tanpa lirik samping kiri dan kanan. Tidak ada percik pertanyaan bahwa para pendengar setianya itu, dari pagi sudah mendapatkan makan.”

“Kenapa tidak engkau peringati Ibu, malah setiap kali Ibu bersikap seperti itu Bapak masuk ke dalam kamar. Dan, mulai tenggelam dengan kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali.”
“Ingat, Za !” Ki Jumantar meneruskan perbicangan ruhaniyah dengan Syahreza, “selain kitab Ihya Ulumuddin, Bapakmu ini membaca kitab Risalah Tauhid-nya Ibn Taimiyah, belum lagi kemarin-kemarin sedang tenggelam dengan bulir pemikiran Muhammad Iqbal. The Reconstruction of Religious Thought in Islam, memang membuka cakrawala pemikiran. Islam, katanya, Za. Bukan hanya gagasan, pengalaman dan pengamalan saja. Tapi, sebuah keseluruhan.”

“Sekumpulan karya, karsa, dan rasa.”, aku menjawab dalam represi batin yang terus bergolak
kuat.
“Iya, betul sekali, anakku,” jawab Ki Jumantar singkat sambil menengok ke belakang di mana aku berjalan setengah berlari terpincang-pincang.
***

Usiaku waktu itu delapan belas tahun. Terpaut dua tahun lebih muda dari Syahreza, kakakku. Aku adalah anak kedua dari lima bersaudara. Bapakku. Begitulah aku sering menyapanya. Sangat menyayangi sebesar gunung Krakatau yang meletus pada tahun 1800-an, yang kepulan asapnya sampai ke benua Eropa. Bahkan, aku kira tidak ada yang menandingi kasih-sayang Ki Jumantar padaku.

Ketika Bapakku sedang berkumpul di ruang tengah keluarga, biasanya aku menyelinap ke dalam kamarnya yang besar dan luas. Mata ini akan tertuju ke sebuah pintu yang tertutup rapat. Di mana didalamnya ada rak setinggi tiga meter, dengan tumpukan buku, kitab, dan catatan kecil Ki Jumantar yang terletak di meja. Biasanya catatan inilah yang akan aku baca sampai selesai.

Dan, waktu malam tadi. Aku menemukan buku terjemahan karya Muhammad Iqbal tergeletak di atas catatan harian Bapakku. Hebat, aku tertarik dengan konsep insan kamil-nya yang memadukan gagasan, pengalaman dan pengamalan dalam memahami Islam.

Belum juga selesai aku membaca pengantar penulisnya, tak terasa waktu seolah tak menghendaki aku berlama-lama di ruangan ini. Aku pun pergi menemui ayah, Ibu, Syahreza, Maharani, dan dua adikku yang lain. Mereka asyik bercengkrama membincangkan segala soal yang tidak membuatku tertarik.

“Dari mana saja, Nak?”, tanya Bapakku malam itu.
Aku hanya terdiam seraya merebahkan tubuh ini di samping Ki Jumantar. Kakiku yang kepincangan dia elus-elusi selembut tangan menyentuh kapas yang ranum.
“Apa yang sudah kamu baca malam ini, anakku?”, tanya Ki Jumantar sambil berpindah membelai rambutku yang keriting keikal-ikalan.

“Pengantar Iqbal dan sepenggal syair puitisnya yang menggugah, Bapak.”
“Coba beritahu aku, anakku,” tanya Ki Jumantar.

“Wahai kawan yang mengembara di angkasa tinggi/Coba engkau sejenak yakin akan dirimu di muka bumi,” aku membaca kalimat puitis Muhammad Iqbal dengan harapan Ki Jumantar tidak lagi berkeluh putus asa mencari kebenaran melangit.

Kepalanya mengangguk-angguk. Jenggotnya yang basah dengan air wudlu terus bersinar tak rasional dalam sudut pandanganku yang awam.

Dan, pagi buta kali ini. Ketika ia meracau menjawab pertanyaan batin Syahreza. Aku terhanyut dalam ketakmengertian. Baju putih bersih yang kukenakan menjadi basah diwarnai noda kecoklatan dari tanah merah yang bercipratan dari jalanan becek yang kami lewati bersama. Hanya karamah ataukah mukjizat. Atau, seperti yang dikatakan Sigmund Freud bahwa itu adalah akibat obsesi yang tertekan di kedalaman batin seorang manusia yang gelisah. Ia meracaukan sensasi kenikmatan ruhani yang melangit.

Memang betul bahwa ayahku terobsesi dengan kesatuan wujud dengan-Nya. Tapi di satu sisi ia tidak bisa meninggalkan realitas yang kongkret. Akibatnya, ia seringkali merasa gelisah. Hingga suatu hari kegelisahannya itu meledak merembesi kebiasaan duniawi sehari-harinya. Ia menjadi duduk berlama-lama di depan mihrab masjid tempat mengasingkan diri dari hiruk-pikuk keduniawian.

Usaha menjual pupuk kepada petani juga diurus oleh Mang Jumali, adiknya, sehingga hasil penjualannya jarang sampai kepada kami. Ia – Bapakku – menjadi hilang selera menumpuk-numpuk harta kekayaan. Pernah suatu hari, aku berdiskusi dengannya soal konsep kefakiran dalam Islam. Ia mengartikan kefakiran sebagai jalan menuju penyucian diri. Aku mengartikannya sebagai jalan menuju pengingkaran kepada Tuhan (bahasa kasarnya kekufuran).

“Apa tadi kamu bilang anakku?” dari arah depan wajah ayahku melebar laiknya duri-duri seekor Landak yang sedang terancam keselamatannya.

Sembari menghentikan langkah kakinya, ia terus memandangiku dari kepala sampai ke kaki.
“Memang benar pendapatmu itu. Tetapi, aku,” ujar Bapak, “akan terus berada pada kemiskinan kudus ini. Inilah jalan terjal menuju kemuliaan yang tak pernah terkena kenisbian ruang dan waktu, anakku.”

Aku terpukul. Diam. Dan, terus mencari apakah benar apa yang dikatakan Ayahku itu.
“Ah, mana ada Tuhan yang memerintahkan manusia menjadi miskin. Yang ada kita harus berjuang seperti Bunda Teresa dan KH. Ahmad Dahlan, mengangkat manusia dari jurang kemiskinan struktural yang menindas. Sebab, agama mengandung misi pembebasan”, batinku meratap dan merenungi kemiskinan kudus keluargaku ini.

18 Desember 2008

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae