Sipri Senda
http://www.kompas.com/
Orang-orang menyebutku gila. Aku tak peduli. Entah apa alasannya, aku sendiri tidak tahu. Aku adalah aku. Titik. Orang gila cumalah sebutan. Nalarku masih lurus. Perasaanku masih tajam. Kepekaanku masih hidup. Segala kapasitas sebagai manusia masih kumiliki dan berjalan normal. Dan aku bahagia karena kemanusiaanku. Aku senang menjadi diriku sendiri. Manusia merdeka. Manusia bebas yang merangkai kekinian dengan keyakinan menuju masa depan gemilang. Meskipun…. Ya meskipun…. Hmmm selalu ada meskipun dalam hidup ini. Tapi aku tetap bergembira dengan meskipun. Ya… meskipun aku hanya gelandangan miskin di kota ini….
Dulu aku lahir dan dibesarkan dalam kemiskinan. Sekarangpun masih hidup dalam kemiskinan. Orangtuaku mati berkubang kemiskinan. Kuterima warisan kemiskinan dan kegelandangan, justeru di kota yang kaya raya ini. Ya, kota metropolitan dunia yang kaya segala-galanya. Termasuk kaya gelandangan dan kemiskinan. Dan aku bangga menjadi bagian dari kota ini, meskipun, walaupun, kendatipun harus mendapat sebutan orang gila. Apakah kemiskinan dan kegelandangan selalu akrab dengan kegilaan? Entahlah. Mereka yang menyebutku gila punya pandangan tersendiri, karena mereka tidak miskin, tidak menggelandang. Buntutnya menurut mereka, mereka tidak gila. Tapi apakah itu benar? Ah... sudahlah. Peduli amat! Itu bukan urusanku. Yang jelas aku tetap miskin dan menggelandang. Namun menurutku, meskipun aku miskin dan menggelandang, aku tidak gila. Titik.
Aku tidak punya rumah di belantara gedung bertingkat di kota ini. Rumahku tak tentu. Hari ini di kolong jembatan. Esok di stasiun. Lusa di galeria. Tula di piazza. Dan seterusnya. Dan seterusnya. Aku bercakap dengan dunia, dengan benda, dengan binatang, dengan manusia, dan dengan Tuhan. Semua kuanggap saudaraku. Saudara dunia kelihatan semakin tua, tapi dia senang kusapa dengan kasih sayang. Saudara air selalu menyejukkan dahagaku. Saudara burung di udara kerap datang bertengger di bahuku. Saudara pengemis di depan gereja senang berbagi rezeki denganku. Saudara walikota dulu semangat sekali berpidato di televisi dalam masa kampanye tentang kemiskinan, tapi sekarang entah kenapa hilang semangat soal kemiskinan. Saudara pastor masih tetap berkotbah tentang kemiskinan dan sesudah misa kembali ke pastoran yang mirip istana raja. Saudara Tuhan tetap menyayangiku dan memberiku nafas kehidupan dan kebebasan menjalani hidup ini. Ya, meskipun walaupun kendatipun biarpun aku miskin dan menggelandang, tapi saudara Tuhan masih memeliharaku sampai sekarang. Aku tak pernah kuatir tentang makanan dan pakaian karena saudara Tuhan selalu memberiku rezeki secukupnya setiap hari, sebagaimana terungkap dalam doa Bapa kami, sebuah doa yang amat kusenangi. Aku miskin, tapi tak pernah kelaparan. Aku tak punya rumah, tapi banyak tempat tinggal. Aku tak punya tempat tidur, tapi selalu tidur nyenyak di mana saja. Ah, aku bahagia menjadi diriku sendiri. Semua saudaraku memainkan peranannya masing-masing dengan baik untuk keberadaanku.
Hari ini hari ketiga di bulan pertama di tahun baru. Matahari tersenyum malu-malu di balik awan tipis. Aku menggelandang di piazza depan basilika besar. Tak kuhiraukan orang-orang yang berseliweran. Ada yang bisik-bisik sambil menunjuk diriku. Kedengar pula desisan orang gila di bibir mereka. Tapi aku tidak marah dan tersinggung. Cuma senyum di bibirku. Kuangkat mata ke puncak basilika. Di sana ada salib. Hmmm.... di situ ada saudaraku Manusia Tersalib. Bukankah dia pernah berkata dari atas salib: “Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang diperbuatnya?” Ya, itulah kata-katanya. Aku ingat persis kata-kata itu, walaupun meskipun kendatipun tidak tahu di bagian mana terdapat dalam kitab suci lantaran aku buta huruf tak bisa baca kitab suci dan tak punya kitab suci pula, tapi pernah dengar kotbah saudara pastor di gereja. Ini dia! Kata-kata yang sama, kuucapkan sekarang kepada bibir-bibir suci yang menyebutku orang gila. Senyumku makin sumringah. Kulihat salib bercahaya dan wajah si Manusia Tersalib tersenyum padaku. Kataku padanya: “Hai Saudara Tersalib! Terima kasih atas teladanmu. Aku belajar darimu untuk mengampuni mereka yang berbicara jelek padaku.” Dia tetap diam dan tersenyum.
Sementara itu orang-orang di sekitarku heran melihatku berbicara seorang diri dengan wajah menghadap langit. Maka semakin serulah bibir-bibir suci itu menggaungkan cap orang gila padaku.
Aku tak peduli dengan mereka. Aku sedang bercakap dengan saudara Tersalib. “Terima kasih atas semua ajaranmu, tapi terlebih teladanmu melaksanakan apa yang kau ajarkan, Saudaraku.. Aku coba menirumu meskipun walaupun kendatipun tidak sempurna. Aku hidup miskin dan menggelandang dari tempat ke tempat dan kerap tak mampu melaksanakan apa yang kauajarkan. Oya, terima kasih juga atas doa yang kauajarkan. Maukah kau berdoa bersamaku sekarang?”
Aku lalu merentangkan tanganku menjangkau orang di kiri kananku, tapi semua serentak menjauh dan memandangku heran bercampur takut. Ah, sudahlah. Orang-orang berbibir suci ini tak mau diajak berdoa bersama Bapa kami sambil bergandengan tangan. Biarlah aku berdoa saja dengan saudara Tersalib. “Bapa kami yang ada di surga, dimuliakanlah namamu. Datanglah kerajaanmu, jadilah kehendakmu di atas bumi seperti di dalam surga. Berilah kami rezeki pada hari ini, dan ampunilah kesalahan kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami. Dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan, tapi bebaskanlah kami dari yang jahat. Amin.”
Orang-orang menontonku berdoa. Mereka heran bahwa seorang gila bisa berdoa demikian lancarnya doa bapa kami.. Hmm... mereka keliru. Aku bukan orang gila. Aku waras seratus persen. Setidak-tidaknya menurut pandanganku sendiri aku ini orang waras yang sedang belajar beriman. Tapi sudahlah, daripada beperkara dengan orang-orang yang tidak mengerti ini, lebih baik aku cabut dari sini. Kubuat tanda salib, lalu kiss by pada saudara Tersalib. Dia tersenyum padaku dan mengangguk kecil.
Aku melangkah gontai menuju stasiun. Di sanapun terdapat begitu banyak manusia berseliweran. Ada yang datang dan ada yang pergi. Tak ada basa-basi. Semua bergerak cepat seperti robot. Dikejar oleh bayangan ketakutan tak berupa. Kecemasan terpantul dari wajah mereka. Entah takut mati, takut miskin, takut celaka, takut dirampok, takut dicopet, takut ditipu, takut gagal, takut hilang, takut menderita….. lalu masing-masing menutup diri. Terasing satu sama lain. Tak ada komunikasi. Mereka berdiri berdampingan, tapi tanpa komunikasi. Ada terbentang jarak sedemikian jauh. Sama-sama tenggelam dalam keterasingan.
Aku tersenyum geli melihat ketakutan mereka. Mereka orang-orang terpenjara dalam diri sendiri. Mereka tidak tahu bahwa orang yang takut menderita, menderita karena ketakutan. Maka aku coba menyapa dan tersenyum. Tapi justeru mereka menjauh dariku dan mendesiskan orang gila. Ya ampun, bibir-bibir cemas itu begitu takut akan diriku yang mencoba mendesiskan sebuah sapaan persaudaraan, sebuah jembatan komunikasi. Mereka kan saudara-saudaraku. Tapi mereka menolak aku. Uhhh, sudahlah. Itu bukan urusanku. Aku manusia merdeka, bebas dari ketakutan pada apapun.
Maka kuberjalan lagi menuju gereja tempat saudaraku pengemis biasa duduk menanti sedekah dari para pemuja saudara Tuhan yang mau bermurah hati. Seperti biasa hanya sedikit yang diperoleh, karena sedikit sekali para pemuja saudara Tuhan yang mau bermurah hati seperti saudara Tuhan. Kusapa saudaraku pengemis dan kami berdua ngobrol ngalor ngidul menikmati hidup, tertawa terkekeh-kekeh bila ada hal yang lucu. Orang-orang yang lewat di depan gereja memandangi kami dengan heran. Aku bisa menduga mengapa mereka heran. Mungkin karena mereka melihat bagaimana si pengemis bisa begitu akrab dan berbicara ngalor ngidul bersama si orang gila.
Tapi kami tidak mempedulikan itu semua. Kami asyik bercerita ke sana ke mari. Sampai suatu saat, perutku terasa keroncongan.
“Saudara Pengemis, aku lapar. Adakah padamu makanan?” tanyaku. Sambil tersenyum saudara pengemis membuka kantongnya dan memberiku sepotong pizza yang masih hangat. “Ini untukmu. Tadi aku beli dengan uang hasil mengemis. Kuingat kau, maka kusimpan sebagian untukmu, karena kutahu kau pasti datang padaku, karena kau sahabatku. Ini bagianmu, ambillah dan makanlah!” Kata-kata yang sama yang selalu terucap dari bibirnya kala kami bertemu dan kuminta makanan. Seperti biasa pula, aku berterima kasih padanya lalu kubuat tanda salib dan menyantap makananku dengan penuh syukur. Hemmm.. lezat sekali rasanya. Saat ini, terlaksanalah doaku bersama saudara Tersalib tadi. Rezeki secukupnya untukku pada hari ini. Terima kasih saudara Tuhan. Kau baik sekali. Kata batinku.
Sesudah itu aku pamit pada saudara pengemis. Dia tidak pernah bertanya ke mana aku pergi. Dia hanya tersenyum dan mengangguk. Aku berjalan dan terus berjalan. Hidupku adalah berjalan. Yang kubawa hanya kemiskinan dalam kegelandanganku. Aku tak punya apa-apa tapi kupunya segala. Semua saudaraku. Maka aku bahagia.
Matahari tenggelam di barat. Kegelapan tiba, serentak cahaya lampu menerangi seluruh kota. Satu hari kan berlalu. Dunia bertambah tua. Aku pun bertambah tua. Entah berumur berapa sekarang aku tak tahu. Akhirnya aku tiba di kolong jembatan. Beberapa saudaraku pengemis dan gelandangan telah tiba juga dan mulai mengarungi alam mimpi. Aku membaringkan diri di antara mereka dan tidur. Sebelum terlelap, kubayangkan manusia-manusia berbibir suci yang semakin berlarut-larut dalam ketakutan. Mereka begitu terasing dalam dunia. Tiba-tiba aku jadi kasihan pada mereka. Mereka sangat kaya, tapi tidak bisa membeli kedamaian batin. Aku masih tetap pengembara yang miskin, hidup menggelandang, tapi aku memiliki damai di hati.
Aku tersenyum damai. Kubuat tanda salib, lalu pulas ke alam mimpi sembari mendesis lirih, “Aku manusia merdeka.”***
Roma, 3 Januari 2009
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 18 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar