Minggu, 18 Januari 2009

Orang Gila

Sipri Senda
http://www.kompas.com/

Orang-orang menyebutku gila. Aku tak peduli. Entah apa alasannya, aku sendiri tidak tahu. Aku adalah aku. Titik. Orang gila cumalah sebutan. Nalarku masih lurus. Perasaanku masih tajam. Kepekaanku masih hidup. Segala kapasitas sebagai manusia masih kumiliki dan berjalan normal. Dan aku bahagia karena kemanusiaanku. Aku senang menjadi diriku sendiri. Manusia merdeka. Manusia bebas yang merangkai kekinian dengan keyakinan menuju masa depan gemilang. Meskipun…. Ya meskipun…. Hmmm selalu ada meskipun dalam hidup ini. Tapi aku tetap bergembira dengan meskipun. Ya… meskipun aku hanya gelandangan miskin di kota ini….

Dulu aku lahir dan dibesarkan dalam kemiskinan. Sekarangpun masih hidup dalam kemiskinan. Orangtuaku mati berkubang kemiskinan. Kuterima warisan kemiskinan dan kegelandangan, justeru di kota yang kaya raya ini. Ya, kota metropolitan dunia yang kaya segala-galanya. Termasuk kaya gelandangan dan kemiskinan. Dan aku bangga menjadi bagian dari kota ini, meskipun, walaupun, kendatipun harus mendapat sebutan orang gila. Apakah kemiskinan dan kegelandangan selalu akrab dengan kegilaan? Entahlah. Mereka yang menyebutku gila punya pandangan tersendiri, karena mereka tidak miskin, tidak menggelandang. Buntutnya menurut mereka, mereka tidak gila. Tapi apakah itu benar? Ah... sudahlah. Peduli amat! Itu bukan urusanku. Yang jelas aku tetap miskin dan menggelandang. Namun menurutku, meskipun aku miskin dan menggelandang, aku tidak gila. Titik.

Aku tidak punya rumah di belantara gedung bertingkat di kota ini. Rumahku tak tentu. Hari ini di kolong jembatan. Esok di stasiun. Lusa di galeria. Tula di piazza. Dan seterusnya. Dan seterusnya. Aku bercakap dengan dunia, dengan benda, dengan binatang, dengan manusia, dan dengan Tuhan. Semua kuanggap saudaraku. Saudara dunia kelihatan semakin tua, tapi dia senang kusapa dengan kasih sayang. Saudara air selalu menyejukkan dahagaku. Saudara burung di udara kerap datang bertengger di bahuku. Saudara pengemis di depan gereja senang berbagi rezeki denganku. Saudara walikota dulu semangat sekali berpidato di televisi dalam masa kampanye tentang kemiskinan, tapi sekarang entah kenapa hilang semangat soal kemiskinan. Saudara pastor masih tetap berkotbah tentang kemiskinan dan sesudah misa kembali ke pastoran yang mirip istana raja. Saudara Tuhan tetap menyayangiku dan memberiku nafas kehidupan dan kebebasan menjalani hidup ini. Ya, meskipun walaupun kendatipun biarpun aku miskin dan menggelandang, tapi saudara Tuhan masih memeliharaku sampai sekarang. Aku tak pernah kuatir tentang makanan dan pakaian karena saudara Tuhan selalu memberiku rezeki secukupnya setiap hari, sebagaimana terungkap dalam doa Bapa kami, sebuah doa yang amat kusenangi. Aku miskin, tapi tak pernah kelaparan. Aku tak punya rumah, tapi banyak tempat tinggal. Aku tak punya tempat tidur, tapi selalu tidur nyenyak di mana saja. Ah, aku bahagia menjadi diriku sendiri. Semua saudaraku memainkan peranannya masing-masing dengan baik untuk keberadaanku.

Hari ini hari ketiga di bulan pertama di tahun baru. Matahari tersenyum malu-malu di balik awan tipis. Aku menggelandang di piazza depan basilika besar. Tak kuhiraukan orang-orang yang berseliweran. Ada yang bisik-bisik sambil menunjuk diriku. Kedengar pula desisan orang gila di bibir mereka. Tapi aku tidak marah dan tersinggung. Cuma senyum di bibirku. Kuangkat mata ke puncak basilika. Di sana ada salib. Hmmm.... di situ ada saudaraku Manusia Tersalib. Bukankah dia pernah berkata dari atas salib: “Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang diperbuatnya?” Ya, itulah kata-katanya. Aku ingat persis kata-kata itu, walaupun meskipun kendatipun tidak tahu di bagian mana terdapat dalam kitab suci lantaran aku buta huruf tak bisa baca kitab suci dan tak punya kitab suci pula, tapi pernah dengar kotbah saudara pastor di gereja. Ini dia! Kata-kata yang sama, kuucapkan sekarang kepada bibir-bibir suci yang menyebutku orang gila. Senyumku makin sumringah. Kulihat salib bercahaya dan wajah si Manusia Tersalib tersenyum padaku. Kataku padanya: “Hai Saudara Tersalib! Terima kasih atas teladanmu. Aku belajar darimu untuk mengampuni mereka yang berbicara jelek padaku.” Dia tetap diam dan tersenyum.

Sementara itu orang-orang di sekitarku heran melihatku berbicara seorang diri dengan wajah menghadap langit. Maka semakin serulah bibir-bibir suci itu menggaungkan cap orang gila padaku.

Aku tak peduli dengan mereka. Aku sedang bercakap dengan saudara Tersalib. “Terima kasih atas semua ajaranmu, tapi terlebih teladanmu melaksanakan apa yang kau ajarkan, Saudaraku.. Aku coba menirumu meskipun walaupun kendatipun tidak sempurna. Aku hidup miskin dan menggelandang dari tempat ke tempat dan kerap tak mampu melaksanakan apa yang kauajarkan. Oya, terima kasih juga atas doa yang kauajarkan. Maukah kau berdoa bersamaku sekarang?”

Aku lalu merentangkan tanganku menjangkau orang di kiri kananku, tapi semua serentak menjauh dan memandangku heran bercampur takut. Ah, sudahlah. Orang-orang berbibir suci ini tak mau diajak berdoa bersama Bapa kami sambil bergandengan tangan. Biarlah aku berdoa saja dengan saudara Tersalib. “Bapa kami yang ada di surga, dimuliakanlah namamu. Datanglah kerajaanmu, jadilah kehendakmu di atas bumi seperti di dalam surga. Berilah kami rezeki pada hari ini, dan ampunilah kesalahan kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami. Dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan, tapi bebaskanlah kami dari yang jahat. Amin.”

Orang-orang menontonku berdoa. Mereka heran bahwa seorang gila bisa berdoa demikian lancarnya doa bapa kami.. Hmm... mereka keliru. Aku bukan orang gila. Aku waras seratus persen. Setidak-tidaknya menurut pandanganku sendiri aku ini orang waras yang sedang belajar beriman. Tapi sudahlah, daripada beperkara dengan orang-orang yang tidak mengerti ini, lebih baik aku cabut dari sini. Kubuat tanda salib, lalu kiss by pada saudara Tersalib. Dia tersenyum padaku dan mengangguk kecil.

Aku melangkah gontai menuju stasiun. Di sanapun terdapat begitu banyak manusia berseliweran. Ada yang datang dan ada yang pergi. Tak ada basa-basi. Semua bergerak cepat seperti robot. Dikejar oleh bayangan ketakutan tak berupa. Kecemasan terpantul dari wajah mereka. Entah takut mati, takut miskin, takut celaka, takut dirampok, takut dicopet, takut ditipu, takut gagal, takut hilang, takut menderita….. lalu masing-masing menutup diri. Terasing satu sama lain. Tak ada komunikasi. Mereka berdiri berdampingan, tapi tanpa komunikasi. Ada terbentang jarak sedemikian jauh. Sama-sama tenggelam dalam keterasingan.

Aku tersenyum geli melihat ketakutan mereka. Mereka orang-orang terpenjara dalam diri sendiri. Mereka tidak tahu bahwa orang yang takut menderita, menderita karena ketakutan. Maka aku coba menyapa dan tersenyum. Tapi justeru mereka menjauh dariku dan mendesiskan orang gila. Ya ampun, bibir-bibir cemas itu begitu takut akan diriku yang mencoba mendesiskan sebuah sapaan persaudaraan, sebuah jembatan komunikasi. Mereka kan saudara-saudaraku. Tapi mereka menolak aku. Uhhh, sudahlah. Itu bukan urusanku. Aku manusia merdeka, bebas dari ketakutan pada apapun.

Maka kuberjalan lagi menuju gereja tempat saudaraku pengemis biasa duduk menanti sedekah dari para pemuja saudara Tuhan yang mau bermurah hati. Seperti biasa hanya sedikit yang diperoleh, karena sedikit sekali para pemuja saudara Tuhan yang mau bermurah hati seperti saudara Tuhan. Kusapa saudaraku pengemis dan kami berdua ngobrol ngalor ngidul menikmati hidup, tertawa terkekeh-kekeh bila ada hal yang lucu. Orang-orang yang lewat di depan gereja memandangi kami dengan heran. Aku bisa menduga mengapa mereka heran. Mungkin karena mereka melihat bagaimana si pengemis bisa begitu akrab dan berbicara ngalor ngidul bersama si orang gila.

Tapi kami tidak mempedulikan itu semua. Kami asyik bercerita ke sana ke mari. Sampai suatu saat, perutku terasa keroncongan.

“Saudara Pengemis, aku lapar. Adakah padamu makanan?” tanyaku. Sambil tersenyum saudara pengemis membuka kantongnya dan memberiku sepotong pizza yang masih hangat. “Ini untukmu. Tadi aku beli dengan uang hasil mengemis. Kuingat kau, maka kusimpan sebagian untukmu, karena kutahu kau pasti datang padaku, karena kau sahabatku. Ini bagianmu, ambillah dan makanlah!” Kata-kata yang sama yang selalu terucap dari bibirnya kala kami bertemu dan kuminta makanan. Seperti biasa pula, aku berterima kasih padanya lalu kubuat tanda salib dan menyantap makananku dengan penuh syukur. Hemmm.. lezat sekali rasanya. Saat ini, terlaksanalah doaku bersama saudara Tersalib tadi. Rezeki secukupnya untukku pada hari ini. Terima kasih saudara Tuhan. Kau baik sekali. Kata batinku.

Sesudah itu aku pamit pada saudara pengemis. Dia tidak pernah bertanya ke mana aku pergi. Dia hanya tersenyum dan mengangguk. Aku berjalan dan terus berjalan. Hidupku adalah berjalan. Yang kubawa hanya kemiskinan dalam kegelandanganku. Aku tak punya apa-apa tapi kupunya segala. Semua saudaraku. Maka aku bahagia.

Matahari tenggelam di barat. Kegelapan tiba, serentak cahaya lampu menerangi seluruh kota. Satu hari kan berlalu. Dunia bertambah tua. Aku pun bertambah tua. Entah berumur berapa sekarang aku tak tahu. Akhirnya aku tiba di kolong jembatan. Beberapa saudaraku pengemis dan gelandangan telah tiba juga dan mulai mengarungi alam mimpi. Aku membaringkan diri di antara mereka dan tidur. Sebelum terlelap, kubayangkan manusia-manusia berbibir suci yang semakin berlarut-larut dalam ketakutan. Mereka begitu terasing dalam dunia. Tiba-tiba aku jadi kasihan pada mereka. Mereka sangat kaya, tapi tidak bisa membeli kedamaian batin. Aku masih tetap pengembara yang miskin, hidup menggelandang, tapi aku memiliki damai di hati.

Aku tersenyum damai. Kubuat tanda salib, lalu pulas ke alam mimpi sembari mendesis lirih, “Aku manusia merdeka.”***

Roma, 3 Januari 2009

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae