Minggu, 18 Januari 2009

Mengkritisi Kritik Sastra

Sjifa Amori
http://jurnalnasional.com/

Harus terus digairahkan, di antara menderasnya karya-karya sastra Indonesia yang bermunculan.

Suatu kali, HB Jassin pernah berkata, "Seorang kritikus adalah manusia biasa." Kalimat yang dilontarkan kritikus sastra terkemuka ini dituliskan kembali dalam Resume Mata Kuliah Kajian Puisi: Sajak Mengundang Asosiasi, Bukan Interpretasi, pada blog komunitas anak sastra.

Apa kiranya yang membuat HB Jassin mengutarakan pernyataan ini? Apakah karena tuntutan terhadap seorang kritikus, terutama sastra, begitu beratnya sehingga membuat kritikus merasa terbebani. Seperti kata Kris Budiman, kritikus toh bukan nabi yang membawa pesan dari Tuhan untuk manusia. Jadi, bagaimana bisa kritikus diminta menjawab semua persoalan sastra. Meski dalam prakteknya, pengkritik haruslah orang yang memiliki wawasan jauh lebih luas daripada orang awam ataupun sastrawannya sendiri.

"Syarat mutlaknya jelas wawasan yang luas. Dia juga harus mampu berpikir interdisipliner," kata sastrawan dan dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Ibnu Wahyudi. Ini menjadi wajib ketika kritik sastra diharapkan memberi kontribusi kepada perkembangan sastra itu sendiri.

Tentunya syarat ini juga untuk mencegah adanya kritik sastra yang tidak memadai. Yaitu yang diistilahkan Nensi Suherman dalam www.kartunet.com tergolong kritik sastra memprihatinkan. Karena kritikus yang menulis kritik sastra tidak mendalami bidangnya secara sungguh-sungguh. Belum lagi isi kritik sastra yang kurang ilmiah, dan lontaran berupa kritik sastra yang obyektif, intuitif, serta pesan-pesan, lebih banyak menceritakan isi karya sastra tanpa ulasan yang harusnya menjadi faktor utama.

Padahal, ada masanya ketika kritik sastra bahkan mampu mengungkap keaslian sebuah karya. Karena sejak zaman dulu, banyak fenomena di mana karya yang dihasilkan sebenarnya merupakan sebuah bentuk penceritaan kembali dari satu karya yang telah hadir lebih dulu (already told). Dalam hal ini, kritik sastra berfungsi sebagai penengah antara karya asli dan kebudayaan pendukungnya. Hal ini dikemukakan dalam rosiadha.wordpress.com yang menulis Perkembangan Kedudukan Kritik Sastra dalam "Criticism as a Secondary Art" karya Murray Krieger.

Kritik seni, menurut Saut Situmorang yang memperluas definisi kritiknya kritikus Amerika MH Abrams, dinyatakan sebagai studi analisis bersifat interpretatif-evaluatif atas karya seni ataupun seorang seniman.

JJ.Kusni, menulis di Paris pada Februari 2004, seperti dimuat dalam www.freelists.org, mengenai kritik modern. Khususnya metode retrospektif Denis Diderot, penulis dan pemikir besar Perancis abad XVIII. Dengan metode tersebut, diharapkan kritik tidak terlalu jauh dari kenyataan. Boleh jadi dengan metode ini, kata JJ. Kusni, kita bisa membaca isi ide yang disampaikan penulis "sebelum" dan "sesudah karya itu ditulis".

Boleh jadi, karena adanya kaidah-kaidah tertentu yang tak tertulis dalam mengkritisi karya sastra dan ukuran kategori dalam kritik sastra, maka kritik sastra jadi tidak begitu diminati. Malah, Saut dengan sangat prihatin menyatakan tentang ketiadaan kritik sastra, apalagi sebuah tradisi kritik sastra, yang mendampingi perjalanan sejarah sastra berbahasa Indonesia. Benarkah sudah sekritis ini kondisi kritik sastra Indonesia?

Bekal Pengetahuan

"Saya tidak bersepakat dengan Saut Situmorang yang menyatakan kritik sastra telah mati. Kita memiliki tokoh-tokoh semacam Kris Budiman, Hudan Hidayat, Arif B Prasetyo, Maman S Mahayana, Nirwan Dewanto, dan lain-lain. Kesemuanya terus menulis untuk mewujudkan kritik sastra yang sehat. Berusaha memasuki teks sastra untuk diapresiasi. Ditafsirkan. Lihat saja tulisan Kris Budiman yang membahas puisi Mashuri dan Iyut Fitra. Tulisan tersebut cukup mampu menelaah dan memposisikan puisi dalam kerangka struktural. Dan setelah melalui penelaahan, baru diketahui, puisi Mashuri dan Iyut Fitra masih lemah dalam menjalin logika tekstual," kata kritikus sastra Ribut Wijoto.

Kris Budiman sendiri memilih untuk tidak memusingkan perkara siapa yang mampu, bisa dan boleh, serta akan mengkritik karya seni. Baginya, kritikus adalah juga pembaca. "Siapa saja yang pernah belajar kritik sastra silahkan menulis kritik sastra. Yang penting punya bekal keterampilan pengetahuan untuk membuat itu." Artinya, bagi Kris, tidak masalah apakah sang kritikus adalah jebolan Fakultas Sastra atau justru pelaku sastranya sendiri.

Secara jumlah, kritik sastra yang ditulis kalangan akademisi jauh lebih banyak. Sayang, kritik sastra yang akademik ini dianggap tidak banyak memberikan pencerahan terhadap pembaca sastra dan terhadap kesustraannya sendiri.

"Ada betulnya memang anggapan itu. Terutama kalau tolak ukurnya adalah media massa cetak, seperti koran, majalah, dan jurnal khusus seperti Horison. Karena yang muncul di media ini kan pasti lebih banyak praktisi. Yaitu sastrawan yang juga melakukan kritik. Situasi ini sebenarnya tidak ideal. Karena bagaimanapun ada unsur subyektif yang kemudian tak mampu lagi dibedakan apakah dia sedang mengkritik atau sedang memuji teman komplotannya atau sedang melakukan studi sastra. Karena kalau bicara mengenai kritik kan sebenarnya berbicara mengenai sebuah disiplin. Keilmuan yang berkembang kan di perguruan tinggi. Masalahnya tidak banyak orang di perguruan tinggi yang menerapkan kritik itu mendapatkan publisitas dari media massa cetak umum," kata Ibnu Wahyudi pada Jurnal Nasional.

Permasalahan makin kompleks ketika akademisi sastra yang semestinya menjadi pihak "ideal" dalam mengkritisi sastra karena dianggap kuat secara teori dan bebas keberpihakan justru tak pernah mengkritik dengan sungguh-sungguh.

Mayoritas Sampah

Seperti yang digambarkan oleh kritikus sastra Ribut Wijoto bahwa sampai saat ini, belum ada skripsi yang mampu mempresentasikan kritik sastra secara jernih dan argumentatif. "Mayoritas adalah sampah. Karena kesadaran mahasiswa sastra terhadap kritik sastra amat rendah. Mereka menyikapi skripsi sebagai tugas. Hal lain adalah kemampuan dosen. Banyak dosen sastra Indonesia yang hanya sibuk sebagai pegawai negeri. Mereka enggan mendatangi forum-forum sastra. Keilmuan mereka juga tidak beranjak. Baca buku teorinya hanya ketika masih kuliah. Artinya, dosen tidak mampu membimbing mahasiswa untuk menciptakan karya kritik yang cemerlang. Tapi tidak bisa dipungkiri, pasti ada satu atau dua skripsi yang memiliki kekuatan kritik sastra. Persoalannya, apakah pihak penerbit mau susah payah menyisir ke kampus-kampus."

Belum lagi miskinnya buku teori kritik sastra. Dalam literatur Kritik "Sakit' Sastra Indonesia dalam Jurnal Kebudayaan The Sandour edisi III 2008 di situs www.sastra-indonesia.com, Liza Wahyuninto menjelaskan bahwa hingga saat ini, kesusastraan Indonesia dapat dikatakan terus saja miskin buku-buku teori kritik sastra. Buku-buku teori yang ada, kebanyakan buku terbitan lama dengan pembicaraan yang tidak lagi mutakhir. Buku-buku terbitan lama itu pun sulit didapat karena jumlahnya sedikit dan dimiliki oleh kalangan terbatas.

Di sinilah Ibnu Wahyudi melihat adanya ketimpangan antara kritik sastra oleh pelaku sastra dan oleh sarjana sastra. Yaitu bahwa banyak dari kalangan sarjana sastra tidak punya sikap melihat sastra sebagai bagian kehidupan intelektual mereka.

"Banyak faktor yang menyebabkan kritik sastra ditinggalkan jauh di belakang oleh karya sastranya. Mungkin saja karena media untuk kritik sastra terbatas. Atau karena pendidikan sastra kurang baik. Dan faktor-faktor ini tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu sistem. Atau ada kondisi lain seperti persoalan ekonomi yang membuat kritik tidak ditulis orang. Jadi jangan menyalahkan akademisi atau sastrawan yang mengkritik. Boleh aja sastrawan menulis kritik seperti pelukis mengomentari pelukis lain. Kalau masalah subjektivitas, memang apa sih yang obyektif?" kata Kris Budiman yang tulisan-tulisannya, terutama mengenai sastra, gender, dan media, dipublikasikan di beberapa surat kabar, majalah, jurnal, dan buku bunga rampai.

Karena keterkaitan yang disampaikan oleh Kris ini, jadi terlihat bahwa tidak sesederhana itu menyimpulkan mengenai perkembangan kritik sastra di dunia perguruan tinggi. Faktanya, Ribut bersama teman-teman di Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) termasuk dari salah satu produk akademik yang mayoritas adalah bekas mahasiswa Sastra Indonesia Unair Surabaya. "Tapi proses kreatif kami lebih banyak berada di luar kampus. Itu artinya, tidak ada keterkaitan langsung antara proses pengajaran dengan proses kreatif. Kami harus menciptakan sendiri forum-forum diskusi sastra. Tapi apakah kami ada kalau tidak ada Fakultas Sastra. Hal ini masih perlu diperdebatkan lagi."

Ketika kritik sastra akademik ternyata perlu ditambahi juga oleh proses kreatif yang seringkali malah membuat sang sarjana sastra mencemplungkan diri dalam pembuatan karya sastra. Itu artinya batas antara kritik sastra akademik dan non-akademik menjadi kabur. Mungkin ini merupakan bagian dinamika dari kritik sastra di Indonesia. Sebagaimana dinamika di mana sebuah kritik lama-lama menjelma menjadi karya sastra itu sendiri, seperti yang diungkapkan Ibnu.

Mencari Kritik Argumentatif

Tapi rupanya dinamika semacam ini terjadi juga di negara-negara Barat. Atau, lebih tepatnya, apa yang terjadi pada kritik sastra di Indonesia memang segala sesuatu yang terjadi di luar negeri. Bahkan, teori-teori yang dipakai dalam sebuah kritik sastra adalah teori yang berasal dari Barat. Biar bagaimana pun, budaya kritik sendiri memang bukan kepunyaan bangsa ini. Wajar kalau banyak dari kontennya memang mengacu ke Barat.

Pada pertengahan sampai akhir dasawarsa 1980-an, pernah ramai dibincangkan kemungkinan dilahirkannya kritik sastra Indonesia yang khas bercirikan keindonesiaan.

Beberapa istilah pun kemudian bermunculan. Satyagraha Hoerip, misalnya, melontarkan gagasannya dengan mengusung istilah Teori dan Kritik Sastra PDN (produksi dalam negeri). Yang lain menyebutnya dengan teori dan kritik sastra yang khas Indonesia. Apa pun istilahnya, kata Maman Mahayana dalam http://mahayana-mahadewa.com, telah ada perbincangan yang membahas perlunya dirumuskan teori dan kritik sastra yang tak lagi berkiblat ke Barat. Maman mengakui kalau teori dan kritik sastra Barat tidak dapat terhindarkan.

"Kalau kita baca karya Danarto dengan pendekatan luar negeri ya nggak cocok. Cuma metode kritik kita pinjam. Tapi, saya kira, meskipun pada tahun 70-an ada perdebatan antara kritik sastra aliran Rawamangun yang diusung dosen sastra UI, M.S. Hutagalung, M. Saleh Saad, dan J.U. Nasution, dan kritik Ganzheit dari Goenawan Mohamad dan Arief Budiman, para pengkritik sekarang juga sudah lupa. Teori ini jarang dipakai waktu mengkritik. Terutama kritik sastra di media massa cetak. Paling di jurnal khusus, tapi itu jarang," kata Ibnu lagi.

Meski begitu, di mata Ribut yang esai sastranya pernah jadi pemenang pertama pilihan Pusat Bahasa Depdiksnas, percobaan apresiasi karya sastra tetap penting. "Semakin banyak apresiasi tentu akan membuat situasi sastra bertambah ramai. Kondusif. Kita memang membutuhkan perspektif dan eksplorasi baru. Itu karena usia sastra modern Indonesia juga belum terlalu tua. Kita bisa menuliskan kritik sastra secara argumentatif dan mendalam saja sudah bagus. Jadi keinginan untuk menelorkan teori sastra sendiri adalah keinginan yang terlalu berlebihan."

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae