Sjifa Amori
http://jurnalnasional.com/
Harus terus digairahkan, di antara menderasnya karya-karya sastra Indonesia yang bermunculan.
Suatu kali, HB Jassin pernah berkata, "Seorang kritikus adalah manusia biasa." Kalimat yang dilontarkan kritikus sastra terkemuka ini dituliskan kembali dalam Resume Mata Kuliah Kajian Puisi: Sajak Mengundang Asosiasi, Bukan Interpretasi, pada blog komunitas anak sastra.
Apa kiranya yang membuat HB Jassin mengutarakan pernyataan ini? Apakah karena tuntutan terhadap seorang kritikus, terutama sastra, begitu beratnya sehingga membuat kritikus merasa terbebani. Seperti kata Kris Budiman, kritikus toh bukan nabi yang membawa pesan dari Tuhan untuk manusia. Jadi, bagaimana bisa kritikus diminta menjawab semua persoalan sastra. Meski dalam prakteknya, pengkritik haruslah orang yang memiliki wawasan jauh lebih luas daripada orang awam ataupun sastrawannya sendiri.
"Syarat mutlaknya jelas wawasan yang luas. Dia juga harus mampu berpikir interdisipliner," kata sastrawan dan dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Ibnu Wahyudi. Ini menjadi wajib ketika kritik sastra diharapkan memberi kontribusi kepada perkembangan sastra itu sendiri.
Tentunya syarat ini juga untuk mencegah adanya kritik sastra yang tidak memadai. Yaitu yang diistilahkan Nensi Suherman dalam www.kartunet.com tergolong kritik sastra memprihatinkan. Karena kritikus yang menulis kritik sastra tidak mendalami bidangnya secara sungguh-sungguh. Belum lagi isi kritik sastra yang kurang ilmiah, dan lontaran berupa kritik sastra yang obyektif, intuitif, serta pesan-pesan, lebih banyak menceritakan isi karya sastra tanpa ulasan yang harusnya menjadi faktor utama.
Padahal, ada masanya ketika kritik sastra bahkan mampu mengungkap keaslian sebuah karya. Karena sejak zaman dulu, banyak fenomena di mana karya yang dihasilkan sebenarnya merupakan sebuah bentuk penceritaan kembali dari satu karya yang telah hadir lebih dulu (already told). Dalam hal ini, kritik sastra berfungsi sebagai penengah antara karya asli dan kebudayaan pendukungnya. Hal ini dikemukakan dalam rosiadha.wordpress.com yang menulis Perkembangan Kedudukan Kritik Sastra dalam "Criticism as a Secondary Art" karya Murray Krieger.
Kritik seni, menurut Saut Situmorang yang memperluas definisi kritiknya kritikus Amerika MH Abrams, dinyatakan sebagai studi analisis bersifat interpretatif-evaluatif atas karya seni ataupun seorang seniman.
JJ.Kusni, menulis di Paris pada Februari 2004, seperti dimuat dalam www.freelists.org, mengenai kritik modern. Khususnya metode retrospektif Denis Diderot, penulis dan pemikir besar Perancis abad XVIII. Dengan metode tersebut, diharapkan kritik tidak terlalu jauh dari kenyataan. Boleh jadi dengan metode ini, kata JJ. Kusni, kita bisa membaca isi ide yang disampaikan penulis "sebelum" dan "sesudah karya itu ditulis".
Boleh jadi, karena adanya kaidah-kaidah tertentu yang tak tertulis dalam mengkritisi karya sastra dan ukuran kategori dalam kritik sastra, maka kritik sastra jadi tidak begitu diminati. Malah, Saut dengan sangat prihatin menyatakan tentang ketiadaan kritik sastra, apalagi sebuah tradisi kritik sastra, yang mendampingi perjalanan sejarah sastra berbahasa Indonesia. Benarkah sudah sekritis ini kondisi kritik sastra Indonesia?
Bekal Pengetahuan
"Saya tidak bersepakat dengan Saut Situmorang yang menyatakan kritik sastra telah mati. Kita memiliki tokoh-tokoh semacam Kris Budiman, Hudan Hidayat, Arif B Prasetyo, Maman S Mahayana, Nirwan Dewanto, dan lain-lain. Kesemuanya terus menulis untuk mewujudkan kritik sastra yang sehat. Berusaha memasuki teks sastra untuk diapresiasi. Ditafsirkan. Lihat saja tulisan Kris Budiman yang membahas puisi Mashuri dan Iyut Fitra. Tulisan tersebut cukup mampu menelaah dan memposisikan puisi dalam kerangka struktural. Dan setelah melalui penelaahan, baru diketahui, puisi Mashuri dan Iyut Fitra masih lemah dalam menjalin logika tekstual," kata kritikus sastra Ribut Wijoto.
Kris Budiman sendiri memilih untuk tidak memusingkan perkara siapa yang mampu, bisa dan boleh, serta akan mengkritik karya seni. Baginya, kritikus adalah juga pembaca. "Siapa saja yang pernah belajar kritik sastra silahkan menulis kritik sastra. Yang penting punya bekal keterampilan pengetahuan untuk membuat itu." Artinya, bagi Kris, tidak masalah apakah sang kritikus adalah jebolan Fakultas Sastra atau justru pelaku sastranya sendiri.
Secara jumlah, kritik sastra yang ditulis kalangan akademisi jauh lebih banyak. Sayang, kritik sastra yang akademik ini dianggap tidak banyak memberikan pencerahan terhadap pembaca sastra dan terhadap kesustraannya sendiri.
"Ada betulnya memang anggapan itu. Terutama kalau tolak ukurnya adalah media massa cetak, seperti koran, majalah, dan jurnal khusus seperti Horison. Karena yang muncul di media ini kan pasti lebih banyak praktisi. Yaitu sastrawan yang juga melakukan kritik. Situasi ini sebenarnya tidak ideal. Karena bagaimanapun ada unsur subyektif yang kemudian tak mampu lagi dibedakan apakah dia sedang mengkritik atau sedang memuji teman komplotannya atau sedang melakukan studi sastra. Karena kalau bicara mengenai kritik kan sebenarnya berbicara mengenai sebuah disiplin. Keilmuan yang berkembang kan di perguruan tinggi. Masalahnya tidak banyak orang di perguruan tinggi yang menerapkan kritik itu mendapatkan publisitas dari media massa cetak umum," kata Ibnu Wahyudi pada Jurnal Nasional.
Permasalahan makin kompleks ketika akademisi sastra yang semestinya menjadi pihak "ideal" dalam mengkritisi sastra karena dianggap kuat secara teori dan bebas keberpihakan justru tak pernah mengkritik dengan sungguh-sungguh.
Mayoritas Sampah
Seperti yang digambarkan oleh kritikus sastra Ribut Wijoto bahwa sampai saat ini, belum ada skripsi yang mampu mempresentasikan kritik sastra secara jernih dan argumentatif. "Mayoritas adalah sampah. Karena kesadaran mahasiswa sastra terhadap kritik sastra amat rendah. Mereka menyikapi skripsi sebagai tugas. Hal lain adalah kemampuan dosen. Banyak dosen sastra Indonesia yang hanya sibuk sebagai pegawai negeri. Mereka enggan mendatangi forum-forum sastra. Keilmuan mereka juga tidak beranjak. Baca buku teorinya hanya ketika masih kuliah. Artinya, dosen tidak mampu membimbing mahasiswa untuk menciptakan karya kritik yang cemerlang. Tapi tidak bisa dipungkiri, pasti ada satu atau dua skripsi yang memiliki kekuatan kritik sastra. Persoalannya, apakah pihak penerbit mau susah payah menyisir ke kampus-kampus."
Belum lagi miskinnya buku teori kritik sastra. Dalam literatur Kritik "Sakit' Sastra Indonesia dalam Jurnal Kebudayaan The Sandour edisi III 2008 di situs www.sastra-indonesia.com, Liza Wahyuninto menjelaskan bahwa hingga saat ini, kesusastraan Indonesia dapat dikatakan terus saja miskin buku-buku teori kritik sastra. Buku-buku teori yang ada, kebanyakan buku terbitan lama dengan pembicaraan yang tidak lagi mutakhir. Buku-buku terbitan lama itu pun sulit didapat karena jumlahnya sedikit dan dimiliki oleh kalangan terbatas.
Di sinilah Ibnu Wahyudi melihat adanya ketimpangan antara kritik sastra oleh pelaku sastra dan oleh sarjana sastra. Yaitu bahwa banyak dari kalangan sarjana sastra tidak punya sikap melihat sastra sebagai bagian kehidupan intelektual mereka.
"Banyak faktor yang menyebabkan kritik sastra ditinggalkan jauh di belakang oleh karya sastranya. Mungkin saja karena media untuk kritik sastra terbatas. Atau karena pendidikan sastra kurang baik. Dan faktor-faktor ini tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu sistem. Atau ada kondisi lain seperti persoalan ekonomi yang membuat kritik tidak ditulis orang. Jadi jangan menyalahkan akademisi atau sastrawan yang mengkritik. Boleh aja sastrawan menulis kritik seperti pelukis mengomentari pelukis lain. Kalau masalah subjektivitas, memang apa sih yang obyektif?" kata Kris Budiman yang tulisan-tulisannya, terutama mengenai sastra, gender, dan media, dipublikasikan di beberapa surat kabar, majalah, jurnal, dan buku bunga rampai.
Karena keterkaitan yang disampaikan oleh Kris ini, jadi terlihat bahwa tidak sesederhana itu menyimpulkan mengenai perkembangan kritik sastra di dunia perguruan tinggi. Faktanya, Ribut bersama teman-teman di Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) termasuk dari salah satu produk akademik yang mayoritas adalah bekas mahasiswa Sastra Indonesia Unair Surabaya. "Tapi proses kreatif kami lebih banyak berada di luar kampus. Itu artinya, tidak ada keterkaitan langsung antara proses pengajaran dengan proses kreatif. Kami harus menciptakan sendiri forum-forum diskusi sastra. Tapi apakah kami ada kalau tidak ada Fakultas Sastra. Hal ini masih perlu diperdebatkan lagi."
Ketika kritik sastra akademik ternyata perlu ditambahi juga oleh proses kreatif yang seringkali malah membuat sang sarjana sastra mencemplungkan diri dalam pembuatan karya sastra. Itu artinya batas antara kritik sastra akademik dan non-akademik menjadi kabur. Mungkin ini merupakan bagian dinamika dari kritik sastra di Indonesia. Sebagaimana dinamika di mana sebuah kritik lama-lama menjelma menjadi karya sastra itu sendiri, seperti yang diungkapkan Ibnu.
Mencari Kritik Argumentatif
Tapi rupanya dinamika semacam ini terjadi juga di negara-negara Barat. Atau, lebih tepatnya, apa yang terjadi pada kritik sastra di Indonesia memang segala sesuatu yang terjadi di luar negeri. Bahkan, teori-teori yang dipakai dalam sebuah kritik sastra adalah teori yang berasal dari Barat. Biar bagaimana pun, budaya kritik sendiri memang bukan kepunyaan bangsa ini. Wajar kalau banyak dari kontennya memang mengacu ke Barat.
Pada pertengahan sampai akhir dasawarsa 1980-an, pernah ramai dibincangkan kemungkinan dilahirkannya kritik sastra Indonesia yang khas bercirikan keindonesiaan.
Beberapa istilah pun kemudian bermunculan. Satyagraha Hoerip, misalnya, melontarkan gagasannya dengan mengusung istilah Teori dan Kritik Sastra PDN (produksi dalam negeri). Yang lain menyebutnya dengan teori dan kritik sastra yang khas Indonesia. Apa pun istilahnya, kata Maman Mahayana dalam http://mahayana-mahadewa.com, telah ada perbincangan yang membahas perlunya dirumuskan teori dan kritik sastra yang tak lagi berkiblat ke Barat. Maman mengakui kalau teori dan kritik sastra Barat tidak dapat terhindarkan.
"Kalau kita baca karya Danarto dengan pendekatan luar negeri ya nggak cocok. Cuma metode kritik kita pinjam. Tapi, saya kira, meskipun pada tahun 70-an ada perdebatan antara kritik sastra aliran Rawamangun yang diusung dosen sastra UI, M.S. Hutagalung, M. Saleh Saad, dan J.U. Nasution, dan kritik Ganzheit dari Goenawan Mohamad dan Arief Budiman, para pengkritik sekarang juga sudah lupa. Teori ini jarang dipakai waktu mengkritik. Terutama kritik sastra di media massa cetak. Paling di jurnal khusus, tapi itu jarang," kata Ibnu lagi.
Meski begitu, di mata Ribut yang esai sastranya pernah jadi pemenang pertama pilihan Pusat Bahasa Depdiksnas, percobaan apresiasi karya sastra tetap penting. "Semakin banyak apresiasi tentu akan membuat situasi sastra bertambah ramai. Kondusif. Kita memang membutuhkan perspektif dan eksplorasi baru. Itu karena usia sastra modern Indonesia juga belum terlalu tua. Kita bisa menuliskan kritik sastra secara argumentatif dan mendalam saja sudah bagus. Jadi keinginan untuk menelorkan teori sastra sendiri adalah keinginan yang terlalu berlebihan."
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar