Imamuddin SA
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
“A … a … a … tida …k! Ini tidak mungkin! Bagaimana semua ini bisa terjadi? Sungguh aku tidak percaya. Semuanya terasa begitu cepat. Baru kemarin aku melihat matahari masih terbit dari timur, namun sekarang? Ia telah terbit dari barat!”. Gemuruh batin Fatikh terasa menyesak dada. Ia bingung akan kejadian pagi itu. Begitu juga dengan orang-orang yang ada disekelilingnya. Mereka berlari-larian kian ke sana dan ke mari. Mencari jawaban yang pasti.
“Ya Allah, sebenarnya apa yang terjadi hari ini? Apa yang mesti aku lakukan?”. Fatikh takut. Ia berlari kencang ke selatan. Menghampiri sebuah pohon besar seraya mencari perlindungan.
Di sisi lain, orang-orang banyak yang bergelimpangan. Jatuh dan bangun lagi. Bertabrakan satu sama lain sebab kepanikan yang semakin berpilin. Goresan luka tak dapat dicegah. Darah mengucur dari kening, tangan, kaki, dan bagian tubuh yang lain. Namun semuanya tak dirasa. Hanya keselamatan nyawa yang menjadi tujuannya.
Jerit histeris terdengar di mana-mana. Satu persatu nyawa melayang tergilas kaki-kaki sesamanya. Yang terjatuh dan tak mampu bangkit, kematian pasti menghampirinya. Terik matahari semakin lama bertambah menyengat. Jaraknya hanya tinggal sehasta. Orang-orang semakin bingung di buatnya.
“Mungkinkah kita akan mati semua? Tuhan ……” teriak seorang lelaki dari kejauhan.
“Aku tidak ingin mati seperti ini! Tolong ……” teriak seorang gadis yang berambut ikal.
“Panas ……”.
“Ini kiamat ……Kiamat telah datang ……”.
“Tidak ……ini bukan kiamat. Ini hanya bencana alam biasa.”.
Mereka tidak tahu lagi akan apa yang harus dilakukannya. Mereka hanya mampu berlari dan berteriak histeris menghadapi keadaan yang begitu pelik. Sementara itu, Fatikh masih berada di bawah pohon besar. Berdiri dengan pandangan mata yang kosong. Menatap pesona yang begitu merong-rong. Tiba-tiba pohon itu daun-daunnya terbakar. Merambat pada ranting dan dahannya. Batangnya pun akhirnya pecah dan terjatuh.
“A ……a ……a ……” Fatikh menjerit. Berlari menjauh dari pohon itu.
“Ya Allah, mengapa bumi jadi begini? Mungkinkah ini akibat ulah tangan kami? Tolong hentikanlah semua ini. Jangan biarkan bumi hancur tak terkendali. Berikanlah kami kesempatan taubat sekali ini. Ya Allah. Kepada siapa lagi kami mengharap pertolongan diri, selain kepada-Mulah Dzat yang menguasai.” puji Fatikh disela nafasnya yang kian tersengal-sengal. Ia masih saja berlari. Menghampiri satu tempat ke tempat yang lain. Namun tak ada satu pun yang mampu memberinya perlindungan. Kini, hanya sebatas alunan tasbih yang bisa dikumandangkan. Ia larut dalam prahara zaman.
* * *
Fatikh terlihat gelisah. Tubuhnya berkeringat dingin. Dan nafasnya tersengal-sengal. Raut wajahnya bak bulan kesiangan. Tampaknya ada sedikit rasa tertahan.
“Ah ……h ……h ……”. Fatikh menghentakkan suaranya keras-keras. Ia terbangun dari tidurnya. Masih dalam pandangan hampa. Keseimbangan jiwanya belum juga sempurna. Ia duduk melongo mencoba menyetabilkan irama nafasnya. Sedikit berfikir akan kejadian yang sempat dialaminya.
Saat itu, malam masih bercumbu. Mendekap jasad dengan sayap-sayap dingin merayu. Fatikh masih bercanda dalam kehampaan jiwa dan kesunyian ruang itu. Pengap tanpa seberkas lampu.
Lirih lambaian angin bersalam. Mengantar qasidah adzan menyapa gendang pendengaran. Namun ini bukanlah adzan subuh. Ini adzan qobla subuh. Tepatnya kira-kira pukul 2.30 dini hari. Sayu, Fatikh mendengar lantunan andzan itu. Lahan perlahan keseimbangan jiwanya kembali utuh. Ia bangkit dari duduknya. Berjalan sedikit gontai ke arah meja. Mengambil sebatang lilin dan menyalakannya.
Sedikit demi sedikit ruangan itu bertambah terang seiring keseimbangan jiwa Fatikh yang semakin gemilang. Ia menunggingkan lilin itu. Dan melelehlah. Tetes demi tetes lelehan itu jatuh di hamparan meja dekat tempat tidurnya. Lelehan lilin itu laksana deru jantung Fatikh yang kian mereda. Ia lalu menegakkan lilin itu di atas lelehan tadi. Di atas meja. Begitu pun ia juga menegakkan hatinya yang beberapa saat lalu sempat gundah. Oleng akan sebuah peristiwa.
Fatikh berjalan kembali ke tempat tidurnya. Duduk menghadap pintu. Ia mencoba merenungkan kembali, mimpi yang telah dialami.
“Mengapa aku bisa bermimpi seperti itu? Apa yang akan terjadi pada diriku di hari akhir esok? Akan selamatkah aku saat hari itu tiba? Apa yang akan terjadi dengan kehidupan ini? Bagaiman nasib bumi di kemudian hari? Benarkah kiamat itu demikian? Orang-orang sama-sama sibuk dengan urusannya sendiri. Mencari perlindungan dan keselamatan diri. Tanpa memandang siapa yang ada di sisi. Entah sanak, saudara, dan bahkan keluarga.”.
Seribu pertanyaan berjubal menumpuk dalam pikiran Fatikh. Ia galau setelah mendapat mimpi seperti itu. Pandangannya masih tertuju ke pintu yang sedikiti mengatup. Pintu itu tiba-tiba lirih terbelai angin. Sedikit mengembang. Dan lumayan terbuka melebar.
“Adakah semua ini kan menjadi pembuka pintu hatiku yang selama ini masih rapat terkunci? Megantar aku agar semakin mendekatkan diri pada Dia yang Maha Suci nan Sejati! Sungguh aku tak mau dalam kepayahan diri seperti mimpi yang telah terlukis ini!”.
Fatikh menghempaskan nafas keras-keras. Seraya melepaskan segala beban yang menggumpal di dadanya. Sekarang ia sedikit lega. Sejenak ia menolehkan kepalanya ke samping kanan. Dalam pandangan matannya, ia menangkap seberkas cahaya lilin yang berkobar menyala-nyala. Berklebat menyambar-nyambar mengarah angkasa.
“Apakah mimpiku tadi adalah seberkas sinar pencerahan? Meskipun hanya kecil, namun sudah cukup memberi petunjuk jalan. Menerangi hatiku yang pekat kelam. Mungkinkah ini ……?” Fatih tiba-tiba terdiam. Membekukan gumamannya.
Suasana saat itu memang benar-benar sunyi. Membawa keheningan dan kejernihan hati. Mungkin sebab itulah Rasulullah dulu menyaran kepada umatnya agar berkenan melakukan shalat malam dan bermunajat kepada Allah. Saat itulah, dimana akan tercipta satu kedekatan batin antara Sang Khaliq dengan hambannya. Apa lagi di sepertiga malam terakhir. Dan konon dikisahkan bahwa sesungguhnya setiap malam, di sepertiga akhir malam, Allah turun ke langit dunia. Allah menawarkan kepada siapa saja yang pada saat itu bermunajat kepadan-Nya. Allah berseru dan memanggil mereka. Adakah yang bisa aku Bantu? Adakah yang bisa aku Bantu? Namun semua itu bukan berarti Allah benar-benar turun dan menghampiri manusia, melainkan berkah dan rahmat-Nnyalah yang diturunkan-Nya.
“Ya Allah, apa arti semua mimpiku ini? Sungguh, aku begitu takut akan segala apa yang akan terjadi menimpaku kelak. Aku tak kuasa dan tak kuat jika itu menimpaku. Aku tak ingin semua mimpiku benar-benar menjadi nyata. Aku berharap kepada-Mu ya Allah dengan segenap puja-pujiku.”.
Fatikh khusuk dalam renungannya. Tak terasa derai air mata mengalir lewat kedua sudut kembarnya. Pipi yang tadinya kering kini telah terlihat basah. Fatikh sesekali merebahkan tubuhnya. Menerawang jauh ke angkasa. Ia teringat akan semua perbuatannya.
Pernah ia menikam perasaan ibunya dengan pisau kata-kata. Saat itu, Fatikh sedang asyik melihat tayangan televisi dan ibunya memanggil-manggil, meminta tolong kepadanya agar mengisi kola musholah. Menimbakan air dari sumur yang ada di sampingnya. Tapi, ia menolaknya. Ia tidak mau diganggu sebab lagi ada siaran langsung pertandingan sepak bola.
Yang sangat di sesalkan, Fatikh menolaknya dengan ungkapan yang sedikit menggigit hati ibunya. Apa lagi saat ibunya datang di hadapannya. Ia justru membentak-bentak hingga mata ibunya sempat berkaca-kaca. Sementara itu ia masih asyik melihat tayangan televisi tersebut. Dan malah mengeraskan suara televisinya. Ibunya terpukul lalu mengundurkan diri dari hadapannya.
“Apa ibu tidak dengar? Saya bilang nanti, ya nanti. Tunggu sebentar saja tidak bisa. Sabaran dikit apa tidak bisa. Pertandingan lagi seru-serunya kok bisanya ganggu saja. Kalau ingin cepat ya isi saja sendiri. Lagian orang-orang bisa mengambil air wudlu di rumahnya masing-masing. Ibu ngerti sedikit sama Fatikh dong!” seru Fatikh dengan nada sedikit membentak.
“………” Ibunya hanya terdiam. Menjatuhkan embun air mata dari bening sinar matanya.
Kejadian itu begitu membekas di hati dan pikiran Fatikh. Sehingga ia menghubungkannya dengan mimpinya barusan. Kini kejadian itu ditangkapnya laksana penjaga gawang yang menangkap bola pengalaman. Dipegang dan digenggam erat untuk direnungkan. Dijadikan sinar pencerahan demi suatu hikmah kehidupan.
Dalam hatinya, kini Fatikh pun beri’tikad kuat mempertahankan mahmudah sikapnya agar tidak sampai kebobolan lagi oleh serangan nafsu sesaat yang membabi buta. Membendung dan menghalau jauh-jauh bola permasalahan yang ada. Ia laksana pemain belakang dalam permainan sepak bola. Ia juga berusaha melakukan perlawanan dan penyerangan terhadap kemungkaran yang selalu menyugesti pribadinya. Berusaha mengobrak-abrik dan mengalahkannya. Ia layaknya striker yang tak kenal lelah dalam permainan denyut batinnya. Mencari cela kosong kesadaran untuk menumbangkan nafsu angkara murka.
Di hening sunyi malam itu, Fatikh sadar akan keseimbangan hidupnya. Ia merasa butuh mengatur keseimbangkan diri dalam membendung dan menyerang segala hal yang memicu kemungkaran pribadinya. Entah yang dipicu oleh kehendak pribadinya maupun orang lain. Ia mencoba mengatur irama pemainan hidupnya.
Dalam kamar itu pikiran Fatikh menerawang jauh entah ke mana. Percik perenungan diri seolah terus mengalir laksana mata air pegunungan yang tak berkesudahan. Ia bahkan gemetaran tatkala mimpi itu terus menimbulkan seribu pertanyaan akan jejak akhlaknya yang sungsang. Ia hanyut dalam lambaian lilin oleh lirih angin yang berpilin.
“Ibu, maafkan aku. Sungguh besar dosa yang kuperbuat untukmu hingga sampai medapat peringatan seperti ini. Ya Allah, ampunilah dosaku atas kelalaianku. Sungguh aku tak mau mengantongi kesusahpayahan di esok hari.”.
“Bu, berapa banyak tetes keringat yang kau tumpahkan untukku! Sejak kepergian mendiang ayah waktu itu, kau telah berjuang sendirian. Menumpahkan kasih sayang yang tak berkesudahan. Namun apa yang kau dapatkan dariku Bu? Sakit hati yang telah aku persembahkan kepadamu. Luka yang telah aku tanam di hatimu.”.
“Bu, aku tahu betapa besar harapan Ibu kepadaku. Kau beri aku nama Fatikh sebab kau ingin diriku berhiaskan kebajikan. Menyuarakan kandungan al-Quran. Tapi apa yang sekarang bersarang dalam diriku? Sungguh Bu, sekarang ini aku tak pantas menyandang nama Fatikh. Apa yang aku lakukan terlalu menyimpang jauh dari hakikat nama itu. Ya Allah, mungkinkah aku tak kuat menyandang nama seagung itu hingga aku berpaling dari hakikat namaku sendiri? Dan ketika aku perhatikan, setiap ada nama agung semacam itu kebanyakan perilakuku manusianya bertolak belakang dengan hakikan namanya. Apakah ini sudah menjadi kodrat? Atau hanya sekedar isyarat? Sungguh, ampunilah aku Ya Allah atas segala dosa-dosaku.”.
Meski tanpa suara yang terisak-isak, linangan air mata Fatikh kian menggerimis. Satu persatu butiranya jatuh di pangkuannya. Membasah kain sarung yang dipakainya. Ia merasa begitu berat beban dosa yang dipanggulnya.
“Fatikh, Fatikh, bangun Nak. Sudah jam tiga.”. Lirih suara Ibu Fatikh terdengar di telinga.
Suara itu memecah keheningan jiwa Fatikh yang larut dalam perenungan. Namun Fatikh masih khusuk dalam keheningannya. Justru dengan suara itu, pesona batin Fatikh semakin bergelora. Ia bertambah haru akan ungkapan cinta kasih yang diberikan ibunya. Samudra penyesalan kini membuncah. Menghantamkan tangan-tangan ombak pada karang hati yang mulai luluh oleh suasana.
“Tikh, apa kamu sudah bangun ya? Kalau sudah, lekas kemari. Ibu sudah persiapkan semuanya. Tapi kamu cuci muka dulu ya.”
Terdengar suara gaduh di ruang makan. Suara piring yang bersinggungan dengan sendok dan meja makan. Tampaknya Ibu Fatikh telah selesai mempersiapkan makanan sahur untuk hari itu. Tidak lama kemudian suara jam dinding berdenting tiga kali dengan kerasnya. Pertanda waktu sudah menunjukkan tepat pukul tiga dini hari.
Makan sahur merupakan sebuah rutinitas yang bersifat sunnah sebelum melakukan ibadah puasa di kala waktu fajar tiba hingga terbenanmnya matahari. Konon dikisahkan bahwa waktu yang paling afdhol malakukan makan sahur adalah menjelang imsak. Jadi, ini sudah menjadi kebiasaan jika seseorang mengakhirkan makan sahurnya. Kalau boleh diperkirakan ya, kira-kira lima belas menit sebelum imsak tiba. Saat itulah seseorang harus melakukan makan sahur. Semuanya itu demi mendapatkan keafdholannya.
Waktu telah menunjukkan tepat pukul tiga. Sementara itu, imsak jatuh kira-kira pukul empat kurang lima belas menit. Jadi, harus menunggu setengah jam lagi Fatikh dan Ibunya agar mendapatkan keafdholan dari makan sahurnya.
“Iya Bu, Fatikh sudah bangun”.
“Lekas kemari Nak, nanti makanannya keburu dingin”.
“Sebentar lagi Bu”.
“Ya sudah. Ibu tunggu ya”.
“………” Fatikh berdiam diri. Kesunyian malam kembali melingkupi.
“Ya Allah, hanya kepada-Mulah, aku menyembah dan mengharap pengampunan. Kaulah Dzat Yang Maha Pemurah lagi Maha Bijak Sana. Pada bulan yang mulia ini, limpahkanlah rahmat dan pengampunanmu atas diriku yang telah lalai.” Puji Fatikh lewat geming kecil bibirnya.
“………” Fatikh sejenak terdiam. Dan kembali terbersit sebaris pertanyaan dalam benaknya. Ia gamang akan puja-pujinya.
“Namun bagaimana aku bisa mendapatkan ampunan-Mu, sementara aku belum mendapatkan ampunan dari sesamaku? Aku belum minta maaf kepada ibuku atas kekhilafan dan kedurhakaanku? Apakah saat ini juga aku harus minta maaf kepada ibuku?”
“………Ah tidak, lain kali saja. Sebentar lagi kan lebaran! Aku totalan dosa waktu itu saja. Lagian hanya tinggal beberapa hari saja. Tidak lebih dari dua minggu lagi.”
“………Tapi, bagaimana jika ajalku telah medahuluinya? Aku mati sebelum minta maaf kepada ibuku! Aku pasti akan membawa beban dosa yang begitu berat ke akhirat sana. Bagaimana dengan nasibku saat hari kiamat tiba? Dalam mimpiku saja sudah sebegitu payahnya, apalagi dalam kenyataannya. Sungguh aku tak sanggup membayangkannya. Aku tak kuat. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan saat ini? Sementara, saat ini aku masih malu-malu mengakui kasalahan dan meminta maaf kepada ibuku!”
Waktu telah hampir menunjukkan tepat pukul tiga lebih tiga puluh menit. Fatikh masih berjibaku dengan serpihan-serpihan pertanyaan yang kian menggumpal dalam benaknya. Sementara itu ibunya masih setia menunggunya di meja makan tanpa seorang kawan. Ia pikir, Fatikh tertidur lagi. Jadi, ia terpaksa mengulangi seruannya sekali lagi kepada Fatikh.
“Nak, kamu tidar lagi ya? Lekas kemari! Sudah hampir imsak nih. Nanti kamu tidak kuat loh puasannya. Apa mesti harus ibu susul dulu?”
Mendengar serua itu, dengan sesegera mungkin Fatikh menyahutnya. “Tidak perlu Bu. Fatikh akan bergegas ke Ibu.”
Fatikh pun bangkit dari duduknya. Sejengkal demi sejengkal mengayunkan langkah. Ia terlihat sedikit gontai dalam berjalan. Kakinya sedikit kesemutan. Bersama keteguhan hati yang masih lunglai dan keseimbangan jiwa yang masih terhuyung-huyung oleh ombak perdebatan, ia mencoba memenuhi seruan ibunya. Ia harus berperang dengan dirinya sendiri untuk sebuah keputusan yang pasti. Kini pun ia harus bersahur. Untuk perjalanan esok yang lebih luhur. Berpuasa, bukan sekedar menahan haus dan lapar, namun membendung segala kemungkaran insaniah. Belajar mati dalam kehidupan. Membutakan pandangan. Menulikan pendengaran. Membisukan lisan. Dan bahkan mendiamkan denyut nafsu yang terdalam. Berkiblat pada satu tujuan. Keridloan Tuhan.[]
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 03 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar