http://www.balipost.co.id/
Raudal Tanjung Banua
Minok tertegak menahan isak. Ujung kaitan melayah di lantai, belum sempat ia singsingkan, ketika Agus -- putra kecil semata wayangnya -- kembali mengucapkan kata itu, ''Bu, besok Agus ikut menyeberang, mencari ayah...''
SESUNGGUHNYA, Minok bisa saja membentak si anak, namun ia merasa tak ada gunanya. Hanya akan membuat Agus menangis. Dan lebih dari itu, jauh di lubuk hati terdalamnya, sebenarnya Minok tak tega menghancurkan begitu saja impian anak sekecil itu. Atau malah akan membuat Agus tambah berpaling kepada neneknya, lengket dan membangun impian-impian itu lagi, lebih kukuh, dari malam ke malam. Mungkin yang pantas dihentikan adalah sang nenek, ibu Minok sendiri, yang selalu membawa sang cucu mengembara bersama cerita dan dongeng-dongengnya.
Tentang kerajaan seberang, bula-bula sakti dan keris pusaka. Tentang istana dan sang raja, tentang... ''Ibu boleh ikut sama Agus, biar Agus nggak sendirian, biar ayah senang ketemu di istana. Ayah Agus raja kan, Bu?'' suara itu lagi, seperti mimpi atau igauan, namun jelas bukan dongeng.
Kini, Minoklah yang hendak menangis. Ia tahankan sebisanya. Sia-sia. Dipungutnya ujung kain yang terlayah di lantai, mengusap mata. Tertunduk ia dengan kepala terguncang, dan bagi Agus itu sudah cukup -- ibunya seperti orang mengangguk, bahkan berulang-ulang.
''Hore, ibu Agus baik, ibu Agus baik, Agus beri tahu nenek!'' Begitu saja, Agus sudah meloncat pergi, dan berlari mencari sang nenek di warungnya. Suara anak usia empat tahunan itu seketika lenyap ditelan suara-suara lain yang menyeruak sepagi itu: denting piring, dangdut di radio, ban yang dicongkel, sumpah-serapah sopir truk pada kernet, mesin truk yang lenguh....
Memang selalu begitu: daerah ujung pulau, dekat pelabuhan penyeberangan, dengan warung-warung sederhana yang berjejer, truk-truk berhenti selayaknya kapal yang sandar. Warung itu pula, sebagaimana warung lainnya, yang menjadi sandaran hidup bagi Minok dan ibunya. Betapa bising sebetulnya. Betapa keras menelan suara anaknya. Untunglah, di malam hari, ketika giliran Minok menjaga warung, sang ibu punya waktu menemani si buyung, dengan dongeng-dongeng itulah. Dongeng bermata dua!
Minok tak tahan akhirnya. Ia singsingkan ujung kainnya, ligat tangannya mengambar ember cucian, lalu bergegas menemui ibunya di warung. Satu-dua sopir menggodanya, tapi ia memasang tampang aneh -- antara garang dan murung. Di dapur, ia dapatkan ibunya sedang mengulek bumbu, sementara Agus masih berteriak-teriak riang,'' Agus akan menyeberang, Agus akan ketemu ayah...''
''Hei, buyung, tak usah jauh-jauhlah kau menyeberang, awak ini mau jadi ayahmu!'' Situmorang, si sopir truk, menimpal dengan logat Batak yang kental.
''Nggak mau, nggak mau...'' Agus kecil berlari menyusul ibunya. Dari dapur, Minok mendengar sang kernnet ikut berujar, ''Macam mana pula abang ini, ayahnya 'kan raja?''
''Si Raja Tega!'' sambung sopir lain, dan tertawa.
''Hahahaha....!!''
Sungguh kurang ajar. Minok tak tahan. ''Mak dengar? Ini gara-gara Mak selalu menceritakan dongeng itu....'' ''Minok!''
''Tapi Mak dengar sendiri, kan? Aku tak tahan...''
''Tapi Mak tak bermaksud buruk, Nok. Bagaimanapun, Agus kelak akan bertanya siapa ayahnya, maka Mak beritahu pelan-pelan lewat dongeng itu....''
''Lalu Agus menganggapnya sungguh-sungguh, itu yang Mak mau? Lebih baik katakan saja semua padanya...'' ''Agus masih kecil, Nok. Kasihan ia. Lagi pula ia tak bakal mengerti.''
''Mungkin lebih baik! Sedari kecil ia tahu bahwa ayahnya seorang laki-laki tak bertanggung jawab, seorang mandor yang memelihara perempuan gelap!''
''Minok!'' Sang ibu berteriak tertahan. Matanya yang sedari tadi memang perih oleh percikan rempah, seketika ganti memercikkan air mata. Minok tak peduli. Bergegas ia pergi, dan tersentak ketika ia dapati putra kecilnya termangu di tepi pintu.
***
DI tepi muara sungai kecil, Minok bercermin. Parasnya terpantul di air payau, gundah dan risau. Matanya yang merah karena begadang hingga tengah malam -- menjaga warung, dipersembab oleh air mata. Ucapan sang anak kembali terngiang, serasa sayatan pisau kecil di gendang telinganya. Bagaimana tidak. Ucapan tak berdosa itu, selalu membuat Minok kelabakan.
Minok kesal kepada ibunya yang telah membuat Agus begitu. Sayang nenek kepada cucu dengan dongeng pengantar tidur -- apalagi di tengah situasi warung yang keras, Minok maklum, bahkan bersyukur. Namun mengapa cerita ''Minak Kejala Bidin dan Minak Kejala Ratu'' yang selalu tinggal di kepala Agus? Cerita itulah yang mendorongnya untuk selalu menanyakan ayah, dan akhirnya menganggap ayahnya sebagai raja, sebagaimana tadi diucapkannya. Kalau tidak karena si nenek yang gemar mengulang, bahkan mungkin menjadikan Agus sebagai umpama, mustahil sang anak begitu lekat dengan cerita itu.
Ah, Minok tahu belaka siapa ibunya. Perempuan berangkat tua itu sedari dulu seolah berpegang pada cerita masa lalu, yang entah bagaimana cukup telak dengan jalan hidup Minok kemudian. Kekuatan apakah yang ada pada dongeng, pada legenda, dan pada yang bernama masa lalu, sehingga melekat nyaris persis dengan jalan hidup seseorang? Apakah karena cerita itu diucapkan seorang ibu, secara berulang pula, dan siapapun tahu, ucapan perempuan yang bernama ibu betapa makbulnya?
Sambil mencuci, Minok ingat masa hidup di kampung, jauh di Gunung Sugih, Lampung Tengah, sedari kecil ia akrab dengan dongeng itu. 0, tak hanya akrab, tapi telah menjadi bagian -- kalau bukan beban -- hidupnya. Semua orang kampung jelas mengenal cerita ''Minak Kejala Bidin dan Minak Kejala Ratu'', apalagi diyakii bahwa Putri Kandang Rarang dan Putri Sinar Alam yang dinikahi Raja Banten, berasal dari Punggung, masih di Lampung Tengah.
Dan Minok tak mungkin lupa. ''Konon, setelah menikahi dua perempuan bersaudara itu, sang raja kembali ke Banten tanpa mengajak serta mereka ke istana....'' begitu dulu ibunya kerap bercerita. Minok kecil terhanyut karenanya, mungkin seperti Agus kecil.
Ya, Minok ingat bahwa menurut cerita, kedua perempuan yang tetap tinggal di Pungung itu akhirnya hamil. Putri Kandang Rarang melahirkan lebih dulu. Anaknya bernama Minak Kejala Ratu. Lalu Putri Sinat Alam melahirkan pula kemudian, anaknya bernama Minak Kejala Bidin. Putri dan putra raja inilah, yang setelah dewasa mempertanyakan siapa ayah mereka, dan oleh sang ibu diberitahu: sang ayah tak lain seorang raja di tanah seberang. Maka menyeberanglah mereka, menempuh perjalanan jauh sampai Minak Ratu tak tahan lagi, menyerah dan untuk sementara tinggal di suatu daerah yang kelak bernama Pelabuhan Ratu. Sementara Kejala Bidin selamat menghadap raja yang tak lain sang ayah, lalu pulang membawa bula-bula sakti beserta tiga buah keris pusaka: Kelambi Sani, Atteu Lawt dan Cemmai Segannik. Minak Ratu yang kemudian datang menyusul ke istana, hampir saja tak dipercayai sebagai anak oleh raja, tapi untunglah ia lulus dari ujian yang diberikan kepadanya, sehingga ia pun pulang membawa sebuah keris keramat, Stemen Piteu namanya.
Ya, begitulah cerita itu, terutama Minok dengar langsung dari sang ibu yang entah mengapa, kelewat senang menceritakannya meski di antara letih, setelah seharian bekerja di kebun sawit. Barulah ketika beranjak dewasa, Minok menyadari, mungkin cerita itu disukai ibunya lantaran dengan itu sang ibu merasa memiliki wadah buat menumpangkan harapan beserta penghiburan diri.
''Nok,'' sesuara menyentakkan kenangan panjang Minok. Ternyata Bi Geni datang mendekat. ''Kalian bertengkar lagi? Kenapa?''
Minok memaksakan diri tersenyum. ''Biasa, Bi, nggak ada apa-apa.''
''Tapi ini tak biasa, Nok. Sejak kalian tinggal di sini, baru kali inilah bibi lihat ibumu pergi....''
''Pergi?'' cepat Minok berdiri. Ditatapkan Bi Geni, perempuan baik yang telah menampung mereka selama ini. Bersama paman Inung, suaminya, Bi Geni mengontrakkan warung bagi mereka, sampai mereka bisa berusaha sendiri. Sekarangpun Bi Geni tak berubah. Masih dengan bahasa lembut merajuk membawa berita. Maka tanpa menunggu lagi, langsung Minok berlari pulang. Cuciannya tercecer tak ia pedulikan. Dan benar, sang ibu sudah tak ada. Juga Agus! ''Nok, kamu tak usah ke mana-mana, pamanmu telah menyusul mereka...,'' tangan Bi Geni merangkul bahu Minok. Didekapnya erat. Agar ada sedikit damai dan ketenangan. ''Tenanglah, Situmorang telah memberi tahu ke mana ibumu pergi,'' katanya lembut.
***
TERNYATA Mak Wima, ibu Minok, naik kapal penyeberangan. Tujuannya satu: mengajak Agus mencari sang ayah. Sebelum kapal bergerak, Mak Wima memutar ingatannya.
Sejak ayah Minok meninggal, sesungguhnya Mak Wina menggantungkan harapan kepada Minok seorang, anak perawannya yang cantik dan menawan. Karenanya Mak Wima sengaja memelihara dongeng-dongeng dan cerita paling menyenangkan -- tentang raja seberang lautan, datang meminang! Mungkin semacam doa yang dipanjatkan. Tentu, Mak Wima merasa cukup layak dan berhak menumpangkan harapan pada buah hatinya itu. Sebab, Minok tumbuh sebagai muli sikep yang menawan: tubuhnya tinggi langsing, kulitnya kuning langsat, rambutnya panjang. Alam Gunung Sugih yang permai dengan kebun sawit luas membentang telah membentuk tubuh dan pribadi anaknya itu sebagai muli yang pantas mendapat sanjungan di seluruh tiyuh, sepenuh kampung. Terkadang, tanpa sengaja ia mendapatkan Minok di tepian, sepertinya sedang mengaca bayangan!
Ah, tak apa, ini pertanda baik, begitu ia selalu berbisik. Sebab berarti Minok telah menyadari bahwa dirinya banyak dikagumi laki-laki. Ya, banyaklah memang laki-laki sekampung dan di perkebunan yang menaruh minat pada anak gadisnya. Dan sebagai harapan, salahkah kalau Mak Wima tak ingin melepas Minok ke sembarang lelaki? Laki-laki itu mestilah yang terpilih, laki-laki yang bakal memberi hidup lebih baik, mungkin seperti indahnya dongeng, tempat ia menumpangkan harapan!
Itulah mungkin yang hendak diraih, ketika suatu hari Mak Wima resmi menerima pinangan mandor perkebunan: Mandor Bayong! Minok pun tak menolak. Ia tersedu di depan penghulu, dulu. Namun, ketika Minok dalam keadaan hamil besar, sang mantu yang mandor besar dipindahkan ke Pulau Jawa. Anehnya, tak kunjung berkabar, bahkan sampai Minok melahirkan. Sampai akhirnya, Mak Wima dan Minok beserta bayi merah dalam gendongan, mencarinya ke seberang! Mereka mencari si mandor besar di kaki Gunung Karang, Pandegelang, tempat bertugasnya yang baru. Tapi lelaki manakah gerangan yang mau kiamat ditemui perempuan gelap? Ya, ternyata bagi Mandor Bayong, Minok tak lebih istri simpanan.
Apa hendak dikata, Mak Wima dan Minok pulang dengan pedih. Mak Wima ingat bagaimana Minok, anaknya yang malang (juga dirinya yang malang) tak henti-hentinya menangis di atas kapal penyeberangan, sambil bergantian mendekap sang cucu yang masih merah. (Ah, juga sekarang, hanya saja kini Agus sudah tumbuh menjadi bocah). Dan tak mudah bagi mereka kembali ke Gunung Sugih, karena pastilah cakap dan gunjing siap menanti. Bakal terucap tak hanya oleh perempuan-perempuan di perkebunan, tapi juga dari mulut-mulut muli mekhani yang dulu iri, cemburu dan dengki. Tentu, sambil mencari kutu di ijan, di setiap nuwo atau saat mencuci di tepi way. Untunglah, ketika singgah di Bakauheni, di tempat seorang saudara jauh, Bi Geni dan Paman Inung, mereka mendapat tawaran yang tak mungkin ditolak. Bi Geni yang kebetulan membuka warung kecil-kecilan di daerah penyeberangan itu, menawarkan usaha serupa: menyewa warung sederhana, tempat di mana Mak Wima dan Minok dan cucunya akhirnya bertahan.
Pluit kapal melengking pertanda keberangkatan. Mak Wima mendekap sang cucu lebih erat, menggumamkan tekad, ''Ini kedua kali aku mencari kau mandor, dulu bersama Minok dan Agus yang masih merah, sekarang anakmu sudah pandai berbicara. Kuajarkan ini memimpikan ayah, untuk mendapatkan kau kembali atau meludahi kepengecutanmu...'' Saat itulah, Inung, suami Bi Geni muncul di hadapan Mak Wima, ''Ayuk...'' suaranya tenang. Meski nafasnya sesak baru datang, tapi ketenangannya mampu menghadirkan ketenteraman seketika itu juga. ''Ayuk Wima tak boleh berangkat sekarang, kita rundingkan dulu baik-baik di rumah. Mari kita turun, kapal akan berangkat....''
Mak Wima tiba-tiba merasa lumpuh oleh ketenangan itu. Wibawa Inung telah merenungnya tanpa harus banyak berkata-kata. Mak Wima ingin meraung, tapi suaranya bagai lenyap ditelan pluit keberangkatan. Pelan ia menurut.
***
NENEK dan cucu itu kembali akhirnya, tentu tetap tak bisa lepas dari lirik sumbangan mata orang-orang. Mata perempuan-perempuan penjaga warung yang berjejer kiri-kanan, yang meluber sampai ke tepi semak bakau.
''O, jadi ayah si Agus raja di Banten? Kenapa tak jadi menyeberang, bukankah begitu banyak kapal ke Merak?'' seorang perempuan beranting-anting bagai membuka kotak suara. Di antara gemerincing telinganya.
''Tak tahulah, mungkin rajanya keburu ditangkap, korupsi 'kali..''
''Ada-ada saja!'' Dan tawa pecah bersama-sama di luar sana.
Di dalam rumah, Minok merangkul anaknya, dan Mak Wima merangkul Minok. Mereka menangis bersama-sama. Sedang Agus kembali kepada permintaannya, ''Agus ingin menyeberang, Bu, naik kapal besar...''
Minok belajar terbiasa. Senyumnya mengelopak mengambang.
Lampung - Rumahlebah, Yogyakarta, 2003.
Catatan (Kosakata Lampung):
- Bula-bula : guci dari tanah tempat air suci dalam dongeng Minak Kejala Ratu.
- Muli sikep : gadis manis.
- Tiyuh : kampung.
- Muli Mekhani : bujang-gadis.
- Ijan : tangga rumah.
- Nuwo : rumah.
- Way : sungai.
- Ayuk : kakak perempuan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 15 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar