Rabu, 14 Januari 2009

Epik dan Lirik yang Panjang Umur

Asarpin
http://www.lampungpost.com/

Biasanya saya akan menjawab agak ragu: Dengan seluruh tubuhnya. Ototnya menarik denyut pikiran, bulu pada dagingnya mengernyitkan denyar rasa yang menukik di kedalaman, otaknya bekerja merangsang bibir, gigi, lidah menggiring darah. Darah pada jantungnya memompa mesin perasaan, paru-parunya menapaskan atau mengembuskan. Maka jadilah puisi. Dan kena sentuh puisi Iswadi, maka bahasa membatu dan selanjutnya ia tamat sebagai bahasa; ia menjelma sajak.

Karena hampir semua ritme sajak liris terbentuk oleh kerja menghela napas dan mengembuskannya, seperti pendirian klasik Whitmen juga diakui Octavio Paz, maka hampir tak ada kata yang tepat untuk melukiskan makna sebuah sajak. Tapi izinkan aku mengutip sebuah frase dari kalif keempat kita dalam buku terjemahan Nahzul Balaghah: Kerja menghela napas dan mengeluarkannya, bisa menghasilkan embusan-embusan spiritual, atau ahwal, yang sesungguhnya berasal dari yang Maha Tanpa Muasal. Di sinilah "Sang Maha Tanpa Muasal memasukkan embusan-embusan di hatimu tanpa kau sadari".

Puisi Iswadi, sebagai objek yang tersusun dari dan oleh kata-kata, memang tak gampang diberi label ini dan itu. Kata-katanya mengalir-masuk perlahan menukik dinding keharusan, seperti tetes hujan melubangi batu. Karena itu, atau karena salah satu tabiatnya itu, objek-objek (yang) tersembunyi atau terangkat ke permukaan sajaknya, justru tak tergapai pembaca. Lebih lagi jika pembaca seperti saya tidak akrab dengan metafor puitis Iswadi, yang hemat saya cenderung ekuivalen dengan yang lain.

Kefasihan mengungkapkan kehendak yang sederhana, remeh, yang kadang jelas kadang gelap, dengan lentik-lentik lirik yang menimbulkan epik, agaknya perlu mendapat perhatian sedikit di sini. Zaman epik yang dianggap telah berlalu ternyata masih hidup; mungkin tidak akan pernah berakhir. Walau perkembangan puisi kini nyaris sampai pada titik akhir sebagai alat menulis drama dan novel, epik tetap berada dalam pesona. Bisa jadi "warna" epik merupakan transmutasi atau patahan dari konvensi dramaturgi yang melahirkan sesuatu yang baru tapi bukan baru, bukan baru tapi juga baru. Bila biografi Iswadi kita sertakan di sini, tidak mustahil konvensi dramaturgi yang selama ini ia geluti juga bagian dari upaya menguatkan kematangan aku lirik dan epik.

Membaca kecenderungan wawasan puitik Iswadi memang harus bingung, kalau tidak bukan lirik dan epik namanya. Kebingungan itu bisa memuncak bila saja kita telusuri lebih menukik di dasar lirik epik yang apik.

Setidaknya, tak kurang dari tiga buah puisi setengah lirik setengah epik dalam Gema Secuil Batu: Fragmen Pertempuran, Fragmen Tanjungkarang, Dongeng Pepohonan. Ketiga sajak ini terasa membangkitkan kembali semesta gema dan analogi. Lirik dan epik adalah--sambil mengutip Karlina Leksono dalam konteks lain--"tradisi kuna yang panjang umur".

Iswadi bekerja lewat proses transmutasi menjadi transformasi: Antara sajak liris dan mitos akhirnya menghasilkan gaya epik. "Sudah mafhum jika puisi epik bersandar pada dinding mitos--atau sesuatu yang dimitoskan atau seolah-olah mite--sebagai bahan mentahnya", tulis Octavio Paz suatu kali.

Metamorfosa epik menjadi novel selama ini terjadi karena kemunduran relatif mitos di tangan sejumlah penyair modern di Barat. Sementara di Timur, sejumlah mitos terdesak pula oleh utopi politik sekaligus utopi erotik.

Mitos memiliki kedekatan dengan puisi liris dan filsafat. Dalam puisi liris, kedekatan itu terdapat dalam fungsi minimalis dari kata. Dalam filsafat, yaitu koinsidensi dengan gagasan semesta.

Dalam Gema Secuil Batu, ekuivalensi antara puisi lirik dan mitos menghasilkan epik pranovel yang tak mudah dibentang-pisahkan sebagaimana membentangkan waktu kronometris dan episode dalam epik yang telah jadi novel sekarang. Epik pranovel pradrama dekat dengan mitos; dan adalah mitos itu sendiri sekaligus puisi liris itu sendiri.

Proses yang unik ini sesuai dengan kelahiran tradisi epik sebagai bentuk-tengah atau bentuk-antara: Sejarahnya adalah tersingkapnya ruang antara sajak liris dan mitos, yang melahirkan sajak epik. Ruang interior atau lawa yang melahirkan puisi epik itulah yang kini tak lagi banyak digeluti oleh penyair.

Kehadiran lirik menjadi epik dalam Gema Secuil Batu bisa dinikmati melalui sekian banyak tema yang jadi kebutuhan eksistensial lirik dan epik. Pemaparan epik dalam puisinya tidak terlampau ketat. Alurnya buntung, tidak lengkap, tidak ada tahap-tahap atau episode-episode dan penokohan yang spektakuler.

Namun ada beberapa bentuk cerita dengan adegan-adegan yang seru nan syahdu, nenes, dan cengeng, dialog-dialog batin dalam ragam bentuk, deskripsi-ilustrasi dan musikalisasi, amanat, dan sublimitas yang sederhana, cukup kena, dan menggugah saya.

Semua ciri epik sebelum jadi novel dan drama begitu tipis jaraknya dengan lirik sehingga sulit sekali membedakan keduanya dengan tegas, sebagaimana halnya membedakan antara kata dan imaji dalam puisi Iswadi. Sublimitas "peristiwa" sering (hanya) dikonstruksi dengan sederhana, kadang dengan memasukkan tema sepele dan jauh dari tragedi dan kemabukan, apalagi histeria.

Kata hampir semuanya sunyi, bisu. Sikap kepenyairan yang jelas-jelas "fanatisme pada puisi" yang terungkap lewat frase "betapa nikmat hati yang tak bisa pasti" sebagai lawan dari ilmu pasti. Kata dan kalimat tersusun bagai tenun hening jiwa sebagai lawan tenung yang memaksa waktu.

Memang terdapat beberapa sajak yang membahana, hendak bermantra, tetapi tekanan bahana akhirnya jadi gema di ujung, dan terus masuk dalam bisik lirih seumpama subuh, kadang seperti asap yang senyap, bukan awan yang bergelombang, hingga melahirkan matra kewaktuan dan bukan matra keruangan.

Ketika komunikasi lewat kata telah diperalat sedemikian rupa, maka "gramatika secuil batu" bisa menjadi media yang tangkas untuk berkomunikasi dalam puisi. Ketika ada sesuatu yang dirasa mengganggu, maka batu adalah arsenal yang ampuh di tangan penyair.
***

Ada beberapa penyair yang juga menerbitkan buku puisi dengan judul batu. Sitor Situmorang dan Radhar Panca Dahana adalah dua nama yang dekat dengan gramatika kebatuan alias kebisuan.

Saya ingin menggunakan kembali kutipan saya atas telisik puisi Biografi Kehilangan Dina Oktaviani dalam membaca gramatika puisi Iswadi--yang keduanya memang bagaikan suami-istri yang serasi dan sama-sama "anak spiritual Goenawan".

Melanggar sedikit gramatika tak mengapa, asal seperti Iswadi yang berhasil mengkrital pengalaman komunikasi yang tidak melantangkan suara, tetapi kediam-dirian yang hening. Puisi-puisinya ibarat seutas tali kebisuan, di mana gema bahasa hanyalah simpul-simpulnya. Artinya: Bunyi bukan yang utama.

Komunikasi dalam puisi tak cuma dengan bersuara. Seperti bunyi frase puitik Ivan Illich--dalam terjemahan yang kena oleh Goenawan Mohamad--komunikasi dengan kebisuan adalah kefasihan dari diam.

Kalau betul bahwa kata-kata adalah bagian dari keberdiam-dirian, begitu kata Illich, maka yang terdengar elok-laku-nian bukan bunyi atau suara, melainkan keheningan akan proses batin si pembuat kata itu. Berkomunikasi dengan diam, karena itu, menyuguhkan keintiman reflektif yang terasa lebih intens dan intim ketimbang dengan bersuara.

Sudah jelas dalam puisi ada bunyi dan sunyi, bahana dan diam, tetapi yang dominan dalam puisi Iswadi jelas bukan bahana, bukan bunyi, melainkan sunyi dan diam. Kalaupun masih terdengar bunyi, maka seturut dengan Iswadi, itulah bunyi suci (wingit).

Ada beberapa saja puisi yang melantunkan bunyi i di tengah dan di ujung baris, selebihnya bunyi a komposisi gerak-diam. Batu diam. Waktu membisu. Secuil batu yang bisu adalah material yang mengkristal. Batu pualam menjadi batu kaca. Batu tidak semua seperti hazar aswad karena ada batu damar yang berkilau bagai Acer Crystal di komputer tempatku mengetik telisik ini.

Batu adalah bagian dari laku kediamdirian yang membatu. Batu yang tergeletak di sudut jalan, di tepi kali, di sungai dan pegunungan,

sebagai material intim dalam Gema Secuil Batu.

Dengan batu, membatu, makna dan arti pun seperti udang di balik batu. Kadang bukan arti dan makna yang hadir, apalagi makna konotatif, melainkan cukup nikmati saja karena memang nikmat membacanya (di antara sajak nikmat membacanya adalah Seorang Sahabat, Selalu Kukatakan Padamu, Memandang, dan Asmara). Metafor-metafor mungil dan sepele mengandung isyarat pekat-kental.

*) Pembaca sastra.

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae