Rabu, 07 Juli 2010

Ziarah ke Setapak Jalan Kepenyairan

Goenawan Mohamad: Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001

Arif B. Prasetyo
http://majalah.tempointeraktif.com/

Karya : Goenawan Mohamad Penerbit :Metafor Publishing, 2001
Seperti dalam film lama kota pun terbelah besi trem terendam dalam kabut (Seperti dalam Film Lama, 2000) Goenawan Mohamad, penyair unggul yang masih terus menulis puisi itu, tahun ini mengetengahkan buku puisi terbaru yang berisi semua karyanya dari rentang penciptaan paling awal hingga terkini.

Dalam buku ini, puisi yang benar-benar baru sesungguhnya hanya berjumlah 12 judul, ditulis pada tahun 2000-2001. Sisanya, hampir 90 persen, adalah puisi-puisi yang sudah muncul dalam kumpulan terdahulu, Asmaradana (1992) dan Misalkan Kita di Sarajevo (1998)-keduanya masih cukup mudah didapati di toko buku.

Sebagian kecil puisi berasal dari kumpulan lebih tua, Pariksit (1971) dan Interlude (1973), yang sudah lenyap dari pasaran. Dan sejumlah amat kecil berupa karya-karya yang, dengan berbagai pertimbangan, oleh penyairnya di masa silam tidak pernah diloloskan masuk bukunya.

Momen penerbitan buku puisi lengkap ini bersamaan dengan 60 tahun usia penyairnya. Dalam momen yang sama pula, terbit buku Kata, Waktu: Esai-Esai Goenawan Mohamad 1960-2001 (TEMPO, 2001)-sehimpun karya yang juga sudah pernah dipublikasikan di sana-sini.

Mungkin bukan kebetulan jika, bersama momen semacam ini, buku puisi terbaru Goenawan menyingkapkan paradoksnya sendiri: seraya menyajikan puisi, ia menggeser pusat pemaknaan dari puisi. Pergeseran itu terbaca pada pesan penerbit di sampul belakang buku: “Inilah buku pertama yang merupakan himpunan lengkap puisi-puisi dari rentang waktu lima windu karir seorang penyair Indonesia.

Menghimpun seluruh puisi yang ditulis Goenawan Mohamad, sang penyair, esais dan wartawan, selama 40 tahun proses kepenyairannya.” Cukup jelas, tekanan memang terasa lebih memberat pada “karir seorang penyair Indonesia” dan “proses kepenyairannya”. Yang dipersembahkan buku ini pada dasarnya adalah teks kepenyairan pengarangnya-bukan “sekadar” teks puisi.

Esai pengiring dari Sapardi Djoko Damono, kolega Goenawan sesama penyair, berjudul Mencoba Menghayati Si Malin Kundang, terasa semakin mempertegas ruang pemaknaan puisi dari sudut biografi kepengarangan penyairnya.

Sebuah posisi yang seakan menggemakan kepercayaan Octavio Paz, pemenang Nobel Sastra 1990, bahwa “penyair dan kata-katanya adalah satu”. Dalam konteks Indonesia, posisi ini sekaligus mengisyaratkan bahwa kepenyairan hingga kini masih lebih penting dibanding syair, ketika sejarah sastra nasional masih terus hanya ditulis berdasarkan nama-nama sastrawan dan peristiwa di seputarnya.

Lantas, apakah yang khas pada jalan kepenyairan Goenawan? Buku ini menampakkan bahwa Goenawan, sebagai seorang penyair papan atas Indonesia, ternyata tak terlalu produktif menghasilkan puisi. Jumlah 132 puisi yang meliputi lima windu proses kepenyairannya, berarti setiap tahun puisi yang lahir tak sampai empat buah. Namun, yang luar biasa, jumlah puisi yang tak seberapa itu secara relatif diimbangi dengan ketekunan menuliskan pemikiran tentang puisi.

Di antara para penyair terkemuka nasional lainnya, hampir pasti Goenawan paling rajin dan konsisten menulis esai-esai tentang puisi yang layak dikenang berkat mutunya, sejak awal kepenyairannya sampai masa yang jauh belakangan.

Pada Goenawan, kepenyairan sebagai sebentuk aktivitas verbal memang seakan menggigil dengan gigih di tepi hamparan berbagai aktivitas lain. Goenawan adalah penyair, tapi khalayak luas pasti lebih mudah membayangkan sosoknya sebagai tokoh jurnalis, industrialis pers, intelektual publik, aktivis prodemokrasi, deklarator partai politik, atau yang lain.

Sebagian besar dari kegiatan itu bersentuhan langsung dengan arus peristiwa aktual dan seakan menempatkan Goenawan di latar depan pentas sejarah dengan kerumun dan kampiunnya, gelinjang dan gejolaknya.

Puisi-puisi Goenawan muncul dengan membentangkan sehampar jarak terhadap sejarah, tapi tanpa menafikannya. Realitas historis tetap diakui, tetapi seraya dijaga ketat agar tidak menenggelamkan autentisitas manusia.

Menulis puisi, dalam tradisi kepenyairan Goenawan, seolah tindak penebusan yang membebaskan manusia dari gerak roda sejarah yang ingar-bingar dan cenderung menderetkan eksemplar-eksemplar.

Berpuisi adalah berjuang menyelamatkan sekeping wajah manusia-autentik tatkala disadari bahwa “Hidup hanya sehimpun headline” (Bintang Kemukus, 1970) dan “Ingatan hanya akan membentuk sebuah kontinu-itas yang asing dan merisaukan, ketika hidup berpindah-pindah dalam berjuta-juta lempeng yang patah” (K.T.P, 2000).

Dengan menampik tirani sejarah dan kebanalan realitas, puisi-puisi Goenawan jadi cenderung berwatak “hermetik”, terselubung, dengan visi yang seakan digelayuti mendung. Auranya sering bergelimang suasana mirip perkabungan-bahkan saat berbicara tentang gelegak erotika, misalnya.

Berbagai ihwal dan peristiwa yang berlangsung dalam kehidupan nyata, dalam puisi-puisi Goenawan, diaransemen sedemikian rupa hingga terkesan tidak natural, asing, enigmatik-menjelma jadi kehadiran puitik yang kadang terasa sulit dipahami.

Memang, Goenawan sendiri kerap menyatakan, baik tersurat maupun tersirat, bahwa puisinya bukan ditulis untuk melayani pemahaman, pengertian, atau “pengetahuan”. Puisinya hanya membujuk pembaca agar hanyut menikmati petualangan puitik penyair, tanpa pretensi menguasai arti.

Sebab, bagi Goenawan, “Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa,” dan berpuisi hanyalah “mencoba memberi harga pada sesuatu yang sia-sia” (Pada Sebuah Pantai: Interlude, 1973).

Makna puisi-puisi Goenawan tidak terletak di seberang kata puisi, tapi berlangsung di dalamnya. Dalam gairah pemaknaan semacam ini pula Goenawan cenderung menulis puisi yang amat sadar-bunyi, kadang bahkan berkualitas musikal-meski ia bukanlah tipe penyair yang piawai melantunkan puisi di atas panggung.

Namun, betapapun, pembaca yang serius akan tetap tergoda untuk meraih secercah “maksud” di seberang kata-kata puisi Goenawan. Bagaimana mungkin pemikiran pembaca bisa tenteram jika puisi-puisi itu sering kali menghadirkan pokok yang punya “kuasa” tertentu di benak khalayak: Asmaradana, Gatoloco, Sinterklas, Yap Thiam Hien, Frida Kahlo, Aung San Suu Kyi, Internasionale, Pemilihan Umum, Oedipus, Minotaur, Winnetou, Nuh, Berlin, Hiroshima, Yerusalem, Sarajevo, serta masih banyak lagi.

Tapi, lewat puisi, Goenawan mengubah perbendaharaan umum itu jadi privat, justru untuk meng-”umum”-kan khazanah pribadinya sendiri. Sebuah paradoks? Barangkali kepenyairan memang ditakdirkan untuk hidup di jantung paradoks, kontradiksi, dan ironi.

Dalam esai pengiring kumpulan puisi lengkap ini, Sapardi Djoko Damono-lewat pembacaan atas esai terkenal Goenawan, Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang-mengungkapkan berbagai paradoks dan kerumitan yang dihadapi Goenawan dalam merumuskan jalan kepenyairannya.

Bukan hanya esai itu, sebetulnya. Semua esai Goenawan tentang puisi pada dasarnya dapat dibaca sebagai upaya keras-kepala untuk memahami (dan membela) posisi puisi yang tampak absurd-baik di hadapan latar personalnya sebagai penyair maupun di tengah zaman yang kian menempatkan “nilai-guna”, bahkan “nilai-tukar”, di atas segalanya.

Goenawan tahu puisinya adalah seonggok keganjilan. Tidak berguna, tak selaras dengan dunia yang kian pragmatis, tidak likuid sebagai ajang pertukaran komoditi. Tapi Goenawan toh tetap setia kepadanya. Bila kata-kata ibarat cahaya, pancaran sinar terangnya akan menerpa tubuh penyair dan menghasilkan bayang-bayang berupa puisi yang menghantui ke mana pun penyair pergi.

Puisi lahir, karena memang tak dapat ditolak oleh penyair. Di titik ini pula, sebuah buku puisi lengkap menganugerahkan secercah “hadiah”. Pembaca yang cermat dapat menikmati pergulatan Goenawan dengan kata-kata puisi, yang sulit terlihat dalam kumpulan puisi pilihan.

Ungkapan puitik “malam yang mengigau dengan gerimis tak kelihatan” pada puisi Saya Cemaskan Sepotong Lumpur (1978) kembali muncul pada puisi Di Serambi (1979) dan Di Tengah Rumah (sekitar 1986)-dengan sedikit perubahan redaksional. Dua puisi terakhir yang berjarak tahun penciptaan cukup jauh itu juga mengandung frase yang sama, yakni “hutan hendam-karam”. Kenapa bisa terjadi? Tentu karena puisi adalah misteri. Dalam puisi selalu “ada sesuatu yang tak perlu terjangkau, juga oleh aku dan engkau” (Di Nara, 2001).

Dengan cara yang ganjil dan irasional, kata-kata puisi memang bisa muncul dan bergaung di sepanjang jalan kepenyairan seseorang, entah untuk apa. Di antara banyak kemungkinan tafsir, barangkali adalah puisi itu sendiri yang ditunjuk Goenawan saat mengatakan bahwa “ada sebuah negeri yang ingin kita lepaskan tapi tak kunjung hilang” (Seperti Sebuah Negeri, 2001).

Masih tersisa “hadiah” lain di buku ini. Khalayak sastra mengenal Goenawan sebagai penyair murung yang berkutat dengan lirik-lirik personal dan simbolik, sang konseptor pasemon dan “puisi suasana” yang khidmat, juga penanda tangan Manifes Kebudayaan yang menolak doktrin realisme-sosialis ala rezim revolusioner Demokrasi Terpimpin di awal 1960-an.

Namun, ternyata, Goenawan pernah menulis puisi bernuansa “sosialis” yang sarat simpati terhadap penderitaan rakyat (Surat-Surat tentang Lapar, 1961). Bahkan ia sempat pula mengguriskan baris-baris puisi bernada “progresif-revolusioner” yang menggelora, berjudul Batasan (1963): Revolusi adalah getar-getar peluh dan nadi Membatas lapar kelam hari-hari Revolusi adalah kembang kristal air hujan Di jam kemarau yang kita habiskan Revolusi adalah bintang-bintang putih yang abadi Di langit dunia, riwayat anak-anak manusia

Arif B. Prasetyo, penyair

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae