Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Seniman sejati berkarya lantaran desakan hati nurani. Reputasi, kebesaran, dan popularitasnya, pertama-tama sangat ditentukan oleh kualitas karyanya. Maka sesiapa pun dia, dengan ideologi apa pun, dan dengan latar belakang kebudayaan mana pun, tetap akan sampai pada prestasi yang reputasional, jika ia berhasil membangun kualitas karyanya menjadi monumen! Tanpa kualitas, ia hanya akan menjadi pelengkap, medioker, dan namanya tercatat dalam sebuah senarai dengan urutan angka dan daftar karya, tanpa torehan stabilo, tanpa peristiwa. Kualitas karya itulah yang utama. Ketika terjadi pembonsaian atas mahakaryanya, usaha itu akan terpental sendiri. Sebuah mahakarya di dalamnya mendekam perisai tolak bala. Sebuah mahakarya tidak memerlukan suntikan imunisasi, karena ia lahir dengan kesanggupan mempertahankan diri dari serangan pihak mana pun. Di dalam dirinya tersedia program antivirus yang memungkinkannya kebal dan mempunyai kemampuan melakukan counter attack.
Sebaliknya, segala karya karbitan, tanpa didukung oleh kualitas seni sejati, tetaplah akan tinggal sebagai sensasi sesaat yang akan redup dengan sendirinya ditelan waktu. Ia mungkin saja heboh seketika, tetapi tiba-tiba ia bisa mendadak tenggelam lalu menghilang dalam kesenyapan panjang. Jadi, politik kebudayaan yang coba melakukan pengkarbitan, selalu akan berhadapan dengan kegagalan, ketika kualitas karyanya tak cukup mempunyai kemampuan mempertahankan diri. Pengkarbitan adalah politik kebudayaan murahan, ketika kualitas diabaikan. Pengkarbitan dan pembonsaian tidak diperlukan bagi sebuah mahakarya, bagi karya-karya adiluhung!
Sebuah mahakarya akan melambungkan reputasinya, menggelembungkan nama senimannya, dan menggelindingkan popularitasnya memasuki ruang publik, mencatatkan namanya dengan tinta emas sejarah kesenian perjalanan kebudayaan sebuah bangsa. Dan itu, pertama-tama dan terutama lantaran ia mempunyai kekuasaan dalam memancarkan kualitas.
Meski begitu, jangan lupa. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari berbagai kepentingan. Ketika kepentingan itu menyangkut semangat mengangkat martabat kebudayaan manusia –yang dalam bahasa Chairil Anwar—sebagai harga manusia, harga Penghidupan ini…, maka semangat pembonsaian dan pengkarbitan itu, tampil dengan seolah-olah hendak membawa baju peradaban. Ia akan melakukan berbagai cara untuk melakukan pemanipulasian. Itulah yang terjadi dalam perjalanan kebudayaan kita sejak zaman kolonial Belanda sampai kini. Lihat saja, bagaimana Belanda membongsai Melayu dan mengkarbit tokoh-tokoh romantisisme (De Tachtiger Beweging –Angkatan 80) Belanda. Melayu, meski dengan berbagai cara dibonsai dan dipinggirkan, akhirnya tokh tetap tampil sebagai pemenang dalam tarik-menarik bahasa Melayu dan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran di sekolah. Pengkarbitan tokoh-tokoh romantisisme seolah-olah aliran itu datang dan dikembangkan sastrawan Belanda, akhirnya ketahuan juga, bahwa awal semaraknya romantisisme di Belanda, justru ketika aliran itu sudah mulai pudar di Inggris, Italia, Prancis, dan Jerman. Ternyata lagi, sejarah sastra Eropa tidak mencatat satu pun sastrawan atau mahakarya yang dihasilkan Belanda.
Begitulah politik kebudayaan melalui pembonsaian dan pengkarbitan selalu akan berakhir dengan kegagalan. Maka, sejauh politik kebudayaan dijalankan para pelaku budaya dalam rangka mengusung harga manusia, harga penghidupan, sejauh itu pula kita meski ikut bergerak menyokong dan menyumbang apa pun bagi usaha mengangkat martabat manusia dan kemanusiaan. Sebaliknya, ketika terjadi pembonsaian di satu pihak, dan pengkarbitan di pihak lain, kita harus melakukan perlawanan. Meskipun dalam karya-karya adiluhung tersedia perisai tolak bala, usaha penggaungannya tetap harus dilaksanakan. Maka peran individu, komunitas atau institusi, mesti tampil ke depan menyampaikan suara lain.
***
Geliat sastra lahir dari pribadi kreatif. Ia mungkin saja menjadi sekadar gerak-riak. Sangat boleh jadi pula menjelma gelombang ombak yang memukau. Segalanya bergantung pada kegelisahan kreatif seorang individu sastrawan. Kreativitas bagi sastrawan sesungguhnya merupakan ruh yang memungkinkannya melakukan tindak mencipta, berkarya, dan membuat perubahan. “Kreativitas harus menjadi tanda perubahan mentalitas yang sangat berarti dalam diri makhluk manusia,” begitulah Nietzsche menekankan pentingnya kreativitas bagi manusia. Itulah sebabnya, Nietzsche beranggapan, bahwa “Para pencipta adalah kaum yang lebih tinggi.” Mengingat kesusastraan –dan kesenian umumnya—tidak dapat terlepas dari soal kreativitas ini, jadilah ia serta-merta menyatu dengan proses kreatif penciptaan. Tanpa itu, ia akan menjadi tukang, pembebek, atau masuk dalam barisan para epigon; kelompok penjiplak yang malas memanfaatkan otaknya.
Penciptaan karya sastra adalah urusan individu. Kemandirian seorang sastrawan adalah modal utama. Dengan begitu, independensi mutlak menjadi dasar sosok pribadinya. Hanya dengan itu, ia dapat menggenggam gelombang yang kapan saja dapat dipancarkan ke segala arah atau cukup untuk dirinya sendiri. Maka, celakalah seorang sastrawan yang begitu amat bergantung pada pihak lain. Ketergantungan akan membawa seorang sastrawan pada musibah besar keterkungkungan kreatif. Ia terbelenggu oleh ketakbebasan. Itulah penjara pikiran yang sangat berbahaya bagi kebebasan berkreasi. Bukankah kebebasan merupakan fitrah manusia yang akan menjadikannya sebagai manusia yang bermartabat. Dalam bahasa eksistensialisme, “Realitas manusia adalah bebas, pada dasarnya dan sepenuhnya bebas!”
Komunitas sastra adalah sekelompok manusia –yang mestinya—independen. Mereka adalah sekumpulan pribadi yang sering kali dipersatukan oleh kegelisahan yang sama mengenai persoalan kesusastraan persekitarannya. Tidak jarang pula mereka mempunyai pandangan dan harapan tertentu dalam menyikapi masa depan kesusastraan bangsanya. Mereka berkumpul dan berinteraksi dengan kesadaran adanya kesamaan kegelisahan, harapan, dan pandangan. Mereka niscaya sangat menyadari pentingnya mengusung kebebasan berkreasi. Jika di dalamnya ada simpang-siur gagasan, perbalahan pendapat, pertentangan ideologi atau perselingkuhan kreatif, tentu saja semuanya sah. Itulah salah satu konsekuensi diberlakukannya kebebasan berpendapat dan kebebasan berkreasi. Oleh karena itu, biarkanlah perbedaan itu tetap mekar. Suburkan pula perbalahan dalam kerangka olah pikir. Silakan perbedaan itu menjadi bebuahan karya yang kaya gagasan, memancarkan dan menyemarakkan pergulatan pemikiran, melimpahkan model yang beraneka ragam dan menjelmakan rangkaian peristiwa kemanusiaan yang bermartabat, luhur dan berbudaya.
***
Dalam sejarahnya, telah banyak berbagai komunitas yang melahirkan tokoh. Atau sebaliknya, tidak sedikit pula ketokohan seseorang justru yang membesarkan komunitasnya. Sutan Takdir Alisjahbana dan Chairil Anwar adalah dua tokoh yang membesarkan Pujangga Baru dan Angkatan 45. Lahirnya sejumlah tokoh itu tidak pula berarti bahwa individu tokoh yang bersangkutan sangat bergantung pada keberadaan komunitas. Komunitas sekadar wadah. Ia tidak melahirkan kreativitas, karena kreativitas datangnya dari individu-individu itu. Bahwa dari sebuah komunitas muncul seorang tokoh, duduk perkaranya sangat mungkin lantaran dalam komunitas itu, bermukim pribadi lain yang berkualitas. Boleh jadi juga di sana berkecamuk perbalahan pemikiran. Atau, mungkin pula dalam komunitas itu telah tercipta kondisi yang memungkinkan setiap pribadi bebas berpendapat, bebas menyampaikan gagasan, dan bebas bertengkar argumen.
Kenanglah sebuah komunitas di Riau yang bernama Rusydiah Kelab (1895); sebuah kelompok diskusi yang syarat keanggotaannya ditentukan oleh minimal telah menghasilkan sebuah karya. Tanpa karya, seseorang tak berhak menjadi anggota Rusydiah Kelab. Oleh karena itu, karya-karya anggotanya itulah yang mempertemukan komunitas ini dalam sebuah diskusi, dalam lalu lintas pemikiran. Penyair Gurindam Dua Belas—Raja Ali Haji, Perintis Novel Modern dan jurnalis Melayu—Syed Syeikh Al-Hadi, dan Pujangga Sunda yang awal—Hasan Mustapa, tercatat pernah menjadi anggota komunitas ini.
Kolompok perkawanan Kwee Tek Hoay, konon, telah berhasil membangun tradisi berdiskusi di kalangan para penulis peranakan Tionghoa. Dari sana tumbuh semangat untuk terus berkarya dan menciptakan karya yang lebih baik lagi. Bahkan, menurut Kwee Tek Hoay, jauh sebelumnya, di Bogor pernah pula terbentuk komunitas para nyonya Tionghoa yang biasa mendendangkan pantun dalam sebuah pesta keluarga Tionghoa.
Dalam kesusastraan Sunda, pembentukan komunitas model itu, juga bukanlah hal yang baru. Pada tahun tahun 1930-an ketika majalah Parahiangan begitu berpengaruh, lewat prakarsa M.A. Salmun, dibentuklah komunitas sastrawan Sunda yang benama “Angkatan Parahiangan.” Pada awal tahun 1958, Rukasah S.W., juga melakukan hal yang sama dengan membentuk komunitas peneliti sastra Sunda, bernama Badan Pangulik Budaya Kiwari dengan Achdiat Karta Mihardja sebagai Ketuanya. Tercatat sejumlah anggotanya, antara lain, Ajip Rosidi, Ayatrohaedi, Dodong Jiwapraja, Ramadhan KH, Toto S. Bachtiar, Utuy Tatang Sontani.
***
Begitulah, sebuah komunitas terbentuk seringkali dipicu oleh adanya kesadaran yang sama dalam memandang problem yang melatarbelakanginya dan harapan yang melatardepaninya. Terbentuknya komunitas itu, boleh jadi juga didasari oleh hasrat besar memancarkan kreativitas, dan bukan sekadar membentuk kumpulan orang yang segagasan, sekegelisahan dan sepengharapan. Di sana ada sesuatu yang hendak disumbangkan, ada keinginan untuk memberi kontribusi bagi kemajuan, ada desakan kuat untuk melakukan perubahan. Jadi, ada peristiwa kultural di belakangnya dan di depannya, terbentang harapan-harapan perubahan. Itulah hakikat dan peran sebuah komunitas.
Cermatilah langkah yang digerakkan Gelanggang Seniman Merdeka, 19 November 1946. Semangat untuk menguak (: menolak) Takdir (: Pujangga Baru) dan menawarkan perubahan, dimanifestasikan melalui “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Mereka berhasil mengusung sebuah nama. Atas nama itu pula mereka melakukan gerakan. Jadilah ia sebuah angkatan yang bernama “Angkatan 45”. Dalam konteks kultural, kembali, nama itu bukan sekadar label. Ia menjadi identitas, kepribadian, dan sekaligus gerakan kultural.
Di negara tetangga kita, Malaysia, sekelompok sastrawan yang waktu itu bermukim di Singapura, juga memproklamasikan komunitas yang bernama Sastrawan Asas 50. Komunitas inilah yang lalu melempangkan jalan bagi begitu banyak perubahan. Bahkan, lebih dari itu, slogan yang diusungnya, “Sastra untuk Masyarakat” telah menggiring sastra menjadi alat perjuangan. Sastrawan sungguh telah memainkan peran sosialnya secara signifikan. Sastrawan dan pers, bahu-membahu membangun sebuah kebudayaan bangsa.
Di berbagai negara manapun, kelahiran dan peranan sebuah komunitas, sering kali menjadi pioner dan sekaligus sebagai agen perubahan. Tak sedikit pula yang pengaruhnya justru mengubah paradigma, pola berpikir, dan membuka berbagai kemungkinan yang lebih luas bagi kemajuan kebudayaan dan kemanusiaan. Periksa saja tindak yang dilakukan kelompok Opojaz dan Golongan Linguistik Moskow yang menyebut diri kaum Formalis Rusia tahun 1914. Lewat peranan kedua komunitas inilah konsep tentang sastra berikut metode kritiknya, yang tadinya sangat subjektif, dirombak—dibangun menjadi lebih objektif. Ketika pada tahun 1926, sebuah komunitas di Praha lewat tokoh pentingnya, Roman Jakobson, meneruskan dan merumuskan kembali gagasan kaum Formalis Rusia itu, sastra berikut perangkat analisisnya secara meyakinkan menjelma menjadi sebuah paradigma baru. Sastra pun menjadi sebuah artefak penuh makna dan kritik sastra mempunyai harga ilmiah. Pengaruhnya pun merambah disiplin ilmu lain dan bergentayangan ke belahan benua lain. Itulah peran penting sebuah komunitas!
Dalam dunia kesusastraan Jepang yang mempunyai sejarah panjang tentang peran komunitas sastra, eksperimentasi, pembelotan pada tradisi, dan gerakan pembaharuan, justru datang dari sastrawan yang punya atau yang tergabung dalam komunitas-komunitas. Di sana, komunitas memainkan peran sebagai bengkel penggodokan. Proses belajar dan pematangan terjadi dalam komunitas-komunitas, meski tentu saja karier kesastrawanannya sangat ditentukan oleh kreativitas sastrawan yang bersangkutan. Sebut saja, misalnya, Mori Ogai, Tayama Katai, Natsume Shoseki, Mishima Yukio atau Yasunari Kawabata. Mereka sengaja bergabung atau membentuk komunitas dengan kesadaran membangun sebuah genre, aliran, atau berbagai aktivitas olah pikir untuk mematangkan profesi dan sekaligus memantapkan peranan kesastrawanannya. Untuk mencapai tujuan itulah, mereka lalu menerbitkan jurnal, majalah, atau buku-buku antologi karya anggota komunitas itu.
***
Bagaimanakah dengan keberadaan dan peran komunitas-komunitas sastra –dan dewan kesenian— yang berada di Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek)?
Penelitian yang dilakukan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) tahun 1998 tentang keberadaan komunitas-komunitas sastra di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, menunjukkan betapa kesusastraan Indonesia sungguh tidak terpencil dari masyarakatnya, sebagaimana pernah begitu gencar didengungkan banyak pengamat sastra. Di keempat wilayah itu, telah terbentuk poros-poros sastra –dan budaya—yang niscaya telah ikut menyemarakkan konstelasi kesusastraan di Jakarta dan sekitarnya. Secara keseluruhan, menurut penelitian itu, tercatat di Jakarta ada 20 komunitas, Bogor lima komunitas, Tangerang 18 komunitas, dan Bekasi tiga komunitas. Bahwa ke-46 komunitas sastra itu sampai tahun 1998, masih menjalankan aktivitasnya, tentu saja itu merupakan kekayaan yang dapat melahirkan sastrawan penting Indonesia di masa depan.
Jika di keempat wilayah itu, tercatat ada 46 komunitas (sampai tahun 1998), maka dapat kita bayangkan, berapa banyak komunitas yang ada di Indonesia. Poros-poros gerakan kesusastraan Indonesia di Lampung, Pekanbaru, Medan, Aceh, Jambi, Palembang, Tanjung Pinang, Batam, Padang, dan entah kota mana lagi di Sumatera, kemudian di Yogyakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan pasti masih dapat kita deretkan lebih panjang lagi, merupakan wilayah pemasok sastrawan yang kiprahnya secara nasional, tidak dapat diragukan lagi. Persoalannya tinggal, bagaimana setiap komunitas itu dapat bersinergi dan membentangkan jaringan komunikasi antar-komunitas itu.
Semakin banyak komunitas sastra bermunculan, semakin baik bagi kehidupan kesusastraan itu sendiri. Oleh karena itu, keberadaan setiap komunitas mesti dimaknai sebagai aset penting. Dari komunitas itulah lahir sejumlah sastrawan dengan kualitas yang bermacam-macam dan kegelisahan yang juga bermacam-macam. Maka, biarkanlah komunitas-komunitas itu lahir dan bertumbuh membawa semangatnya sendiri. Biarkan pula perbedaan itu tetap mekar sebagai kekayaan. Jika saja segenap komunitas itu membentangkan jaringan antarkomunitas, dan masing-masing bersinergi mengusung kreativitas yang berkualitas, karya-karya agung yang menumental sangat mungkin akan lahir, justru dari komunitas-komunitas itu. Sebaliknya, jika ada komunitas yang tak lagi berkarya dan ia sekadar mengusung papan nama, maka patutlah kita berdoa sambil berharap: “Kembalilah ke jalan yang benar!”
Bagaimana pula hubungan komunitas itu dengan dewan kesenian? Salah satu hal penting yang mestinya menjadi ciri utama sebuah komunitas adalah sifatnya yang independen. Kemandirian adalah hal yang penting dan mutlak menyatu dengan gerak langkah komunitas yang bersangkutan. Oleh karena itu, ada atau tidak ada hubungan dengan dewan kesenian, tidaklah menjadi soal benar. Tetapi perkaranya bukan terletak di situ. Ketika keberadaan dewan kesenian hanya berfungsi sebagai papan nama; secara institusional legal lantaran ada legitimasi dari pemerintah daerah, tetapi secara operasional, melempem, loyo, bahkan mati suri, maka mestinya dewan kesenian dapat memanfaatkan peranan komunitas dalam hal menjalankan segala aktivitas yang menjadi tanggung jawab dewan kesenian.
Lalu apakah dengan demikian komunitas sastra dapat menggantikan peran dewan kesenian. Tentu saja tidak. Sebab, dewan kesenian dan komunitas sastra adalah dua lembaga yang berbeda. Keduanya dapat menjalankan fungsinya sendiri tanpa harus saling bergantung. Komunitas adalah sebuah lembaga yang kelahirannya, keberadaannya, dan segala kegiatannya diusahakan sendiri oleh para pengelolanya. Sedangkan Dewan kesenian adalah institusi yang diberi tempat, difasilitasi, dan didanai oleh pemerintah daerah. Ia memainkan peranan sebagai mitra pemerintah daerah untuk melakukan pemantauan, pembinaan, dan penggerak kehidupan berkesenian. Di situlah sesungguhnya dewan kesenian –yang didanai uang rakyat—dapat memainkan peranan penting mendorong dan memfasilitasi berbagai kegiatan yang dilakukan komunitas-komunitas. Bersinergi dan saling membantu, dan masing-masing tidak berjalan sendiri-sendiri seperti minyak dengan air.
***
Apa yang terjadi dengan komunitas-komunitas sastra (di Jabodetabek) dewasa ini? Inilah perkara yang mungkin menjadi kegelisahan seorang Asrizal Nur, sosok pekerja seni yang tampak hendak mengabdi pada puak yang telah melahirkan dan membesarkannya; pada ibu budayanya yang dalam istilah Sutardji Calzoum Bachri sebagai Mak Budaya. Kegelisahannya bermuara dari terkonsentrasinya berbagai kegiatan kesusastraan (: kesenian) yang asyik-masyuk dengan dirinya sendiri, dengan komunitasnya sendiri. Seolah-olah, terpampang plang besar yang bertuliskan: Verboden bagi individu atau komunitas lain. Tak ada pintu masuk bagi seniman yang bukan berasal dari komunitasnya. Asrizal Nur tampaknya memahami benar posisinya. Maka, meski ia sebenarnya telah sejak lama berkiprah di ibukota, ia tetap galau lantaran kerap ditempatkan di garis pinggir. Tak masuk hitungan semata-mata karena ia punya obsesi sendiri.
Pendirian Yayasan Panggung Melayu (YPM) adalah salah satu bentuk ekspresi untuk membangun sebuah komunitas lain dengan orientasi dan ideologi yang juga lain. Di satu pihak, baik dewan kesenian, maupun komunitas lain, tidak pernah memberi tempat dan kesempatan baginya untuk berkiprah menyalurkan kreativitasnya, dan di pihak yang lain, kesenian Melayu dan secara keseluruhan dunia Melayu yang menjadi Mak Budayanya, kerap tidak dipandang sebelah mata. Selama ini, segala yang berkaitan dengan kesenian yang berbau Melayu selalu diposisikan tidak berada dalam sebuah mainstream. Kesenian Melayu adalah orkes dangdut: tidak lebih dari itu! Itulah yang terjadi dalam pencitraan kesenian Melayu selama hampir dua dasawarsa. Kesenian Melayu direduksi, dibonsai, dan dimarjinalisasi sedemikian rupa, sehingga senantiasa dipandang tidak bermarwah, rendah dan murahan. Kesenian Melayu seperti tidak punya martabat!
Asrizal Nur, melalui Yayasan Panggung Melayu, coba menghancurkan pencitraan itu. Ia tidak melakukan perlawanan, melainkan sekadar hendak menempatkan kesenian Melayu –dan dalam lingkup yang lebih luas, kebudayaan Melayu— secara proporsional. Itulah yang kemudian dilakukannya melalui serangkaian kegiatan dengan orientasi memberi pemahaman yang benar tentang kesenian Melayu, tentang dunia Melayu. Maka yang dilakukannya adalah tindakan kongkret: berbuat! Ia tidak berteori, tidak pula memberi ceramah. Juga tidak nyinyir mengusung gagasan tentang marwah Melayu. Sekali lagi: yang dilakukannya adalah berbuat! Itulah dasar pikirannya yang lalu menggelindingkan sejumlah perhelatan.
Meski begitu, disadari pula, bahwa perhelatan apa pun, dengan semangat sekadar ada kegiatan, cuma say hello, pentas ecek-ecek, tetaplah tidak akan dipandang sebelah mata. Bahkan malah akan menjerumuskan citra yang lebih buruk lagi. Oleh karena itu, dapat dipahami jika sejumlah perhelatan yang diselenggarakan YPM, tampak megah dan spektakuler. Lihat saja, sekadar menyebut beberapa perhelatan, Pertunjukan Puisi Asrizal Nur (26 September 2005), Jalan Bersama: Pembacaan Puisi Gubernur—Wakil Gubernur—Walikota—Bupati (4 November 2006), Gelar Sajak Tunggal Suryatati (14 April 2007), Pekan Presiden Penyair (15—19 Juli 2007), Semarak Negeri Zapin (15—18 Februari 2008) dan Festival Pantun Serumpun (25—29 April 2008). Semuanya dikemas secara memukau dan diselenggarakan dengan semangat membangun marwah. Maka, yang memancar kemudian adalah serangkaian pentas kesenian yang spektakuler. Bukankah pementasan yang seperti itu hanya mungkin dapat dilaksanakan jika penyelenggaranya mempunyai kesadaran berkebudayaan—berkesenian dengan militansi yang luar biasa, dengan semangat mengangkat martabat, dan dengan harapan mencapai citra kemarwahan.
Apakah pernyataan itu berlebihan? Bandingkanlah sejumlah perhelatan itu dengan semua kegiatan yang diselenggarakan dewan kesenian dan komunitas-komunitas di Jabodetabek? Asrizal Nur bersama YPM-nya telah menunjukkan kualitas sebagai pekerja seni—budaya; sebagai seniman sejati yang menyadari pentas seni sebagai sebuah panggung kreativitas yang di sana kualitas kesenimanan diukur kewibawaannya. Ia sangat menyadari bahwa kegiatan berkesenian adalah sebuah totalitas. Maka, hidup sebagai seniman adalah keseluruhan pengabdian pada kesenian, pada kebudayaan, pada kemanusiaan. Itulah politik kebudayaan. Kongkret, berbuat! Itulah teladan bagi pekerja seni-budaya, bagaimana politik kebudayaan dijalankan secara bermartabat. Dari sanalah memancar marwah peradaban manusia!
Pertanyaannya kini, bagaimana dampaknya jika politik kebudayaan dijalankan seperti itu? Kebudayaan Melayu dengan berbagai cabang keseniannya, ternyata bukan model kesenian murahan. Masyarakat di Nusantara ini, kini, kerap akan selalu gagal menyembunyikan decak kagum pada Sutardji Calzoum Bachri –yang menurut saya lebih besar dari Chairil Anwar—, Tenas Effendy –yang tak ragu digelari sebagai Bapak Pantun, Sang Ensiklopedia Melayu—, Bulang Cahaya, Rida K Liamsi sebagai novel politik yang bermartabat, Tanjung Pinang sebagai Kota Gurindam—Negeri Pantun, Bengkalis sebagai Negeri Zapin. Belum lagi nama-nama lain yang sejak lama berkiprah –sekadar menyebut beberapa: Ibrahim Sattah, Idrus Tintin, BM Syamsuddin, Ediruslan Pe Amanriza. Kemudian lagi, Tien Marni, Al-Azhar, Taufik Ikram Jamil, Fakhrunnas MA Jabbar, Marhalim Zaini, Tusiran Suseno, Sudarno Mahyudin, Harry B Koriun, dan sederet panjang nama-nama yang kelak akan ikut menyemarakkan peta sastra dan kebudayaan Indonesia.
Dunia Melayu kini makin tegas menunjukkan jati dirinya sebagai sebuah puak budaya yang telah menyumbang Indonesia, bukan hanya bahasanya, melainkan juga kebudayaannya dan totalitas kiprah kesenimannya yang memukau dan inspiring! Tentu saja tulisan ini baru sepercik lelatu dari kobaran api semangat sumbangan yang diberikan Melayu pada Indonesia.
*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar