Kamis, 16 September 2010

Sastrawan NTT di Manakah Kau?

Penghargaan yang Menggertak
Marsel Robot*
http://www.pos-kupang.com/

PAGI sekali, (pertengahan Juni 2010) lalu, tiga perempuan menyeberang embun, kemudian lekas bergegas berkumpul di lantai satu gedung Perpustakaan Daerah Propinsi NTT. Mereka adalah Dr. Free Hearty, M.Hum, Dra. Yvonne De Fretes, M.A., dan seorang wanita dari Kupang, Dra. Mezra Pellandou. Ketiganya tergabung dalam Komunitas Perempuan Penulis Indonesia (sastrawati).

Ada dua motif penting perjumpaan ketiga sastrawati itu. Pertama, mereka hendak mengadakan ‘peluncurkan’ buku antologi puisi dari penulis perempuan Indonesia berjudul: “Nyanyian Pulau-Pulau”. Kedua, mereka hendak memberikan penghargaan kepada sejumlah orang-orang eksentirik, yang oleh Komunitas Penulis Perempuan dipandang mempunyai kontribusi dalam memajukan dunian kesusastraan di Nusa Tenggara Timur.

Ada beberapa kategori penghargaan. Kategori penulis (sastrawan) diwakili Mezra sendiri. Kategori pengamat tersebut nama AG Netti. Kategori akademisi tersebut nama Dr. Feliks Sanga, M.Pd, Drs. Samuel Nitbani, M.Pd., Dra. Angela Lili Nai, M.Hum, dan saya. Semuanya dosen pada Pendidikan Bahasa dan Sastra FKIP Undana dan FKIP Universitas PGRI Kupang. Tersebut pula nama Sam Haning SH, MH (Rektor PGRI). Kategori pemerintah tersebut nama Esthon Foenay (Wakil Gubernur NTT), dan Nahor Talan (Kepala Badan Perpusatakaan Daerah Propinsi NTT). Kategori media diberikan kepada Pos Kupang melalui Tony Kleden.

Setiap orang yang menerima penghargaan itu diberikan buku kumpulan puisi dan membacakan salah satu puisi dalam buku itu. Kesempatan itu mereka mengisap suasana dengan cara masing-masing sambil menempel pidato ringan atas penghargaan yang diterimanya. Kecuali saya, tidak kebagian buku dan tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pidato, karena keburu disuruh untuk menjadi protokol saja. Karena itu saya tidak sempat melampiaskan rasa risih atas penghargaan yang menurut saya tidak pantas saya terima.

Sehari sebelum menerima penghargaan itu, Mezra Pellandou seorang penulis produktif, dan sangat giat dalam ‘dusun’ (dunia sunyi) itu menghubungi saya. Ia memberitahukan perihal penghargaan itu. Kepada Mezra saya bertanya, “Apa memang saya pantas menerima penghargaan itu?”

“Ya! Bapak pantas menerima itu.”

“Apa tak ada orang lain yang lebih pantas?”.

“Ini penilaian sangat independen, pak. Mereka merekam jejak bapak melalui internet.”

Daripada buang-buang pulsa sementara rasa risih tetap melengket di tebing hati. Sudahlah! Saya nekat pergi menghadiri undangan, siapa tahu diberikan kesempatan untuk berkata-kata, dan kesempatan itu saya ingin melegokan semua rasa risih saya atas penghargaan itu.

Pagi hari itu udara Kota Kupang lagi ngambek (tidak bersahabat). Angin meniup kencang meliukkan pepohonan sepanjang kota. Debu jalan merayap pada lembar-lembar daun gugur. Tetapi, ikhwal itu tidak menghentikan warga kota mengepung hari-harinya.

Acara penyerahan penghargaan dilangsungkan di gedung Perpustakaan Daerah Propinsi NTT. Gedung itu letaknya sangat khas di jantung Kota Kupang. Rautnya ke laut, dikelilingi ikon-ikon (petunjuk-petunjuk makna) seakan memamerkan tradisi intelektual kota itu. Di hadapannya menjulang sebuah gereja besar (Katedral) yang memberi arti bahwa warga kota cukup religius. Tak jauh dari gedung itu, menjulang gedung Bank Mandiri begitu kemilau, dan bagian sisi lain ada gedung Bank Indonesia yang tingginya melebihi menara katedral, seakan memberi isyarat bahwa kebutuhan duniawi jauh lebih tinggi daripada kebutuhan surgawi. Bagian depan gedung perpustakaan berdiri Patung Sonbai mengendarai kuda menyuguhkan arti tentang kota yang lahir dari perjuangan sang pahlawan.

Kembali pada penghargaan tadi. Siang itu kami menerima penghargaan itu. Sejak menerima hadiah hingga menulis artikel ini saya merasa sedang digertak oleh tiga perempuan tadi (baca perempuan penulis). Saya gugup. Sebab, belum banyak yang saya lakukan untuk memajukan dusun (dunia sunyi) sastra itu. Kalau saja penghargaan itu dirumuskan dalam idiom verbal logat Kupang kurang lebih berbunyi: “Lu baru kerja begitu saaa… Mulai sekarang lu lebih giat lai.” Artinya, penghargaan itu merupakan bentuk wanti-wanti agar saya bergulat lebih hebat atau bergumul lebih khusuk memajukan dusun sastra.

Terus terang, tak banyak yang saya kerjakan untuk memberi energi pada kehidupan sastra di NTT, dan tak satu kapsul pun yang berisikan gairah-gairah kesastraan yang saya serahkan kepada persada yang memang teramat romantis ini. Kecuali menjadi dosen sastra, berteater alakadar, menulis puisi alakadar, sesekali menulis cerpen dan menulis artikel seperti ini. Singkatnya, dalam sastra saya cuma bekerja serba alakadar. Honornya pun di bawah standar alakadar dan lebih banyak sekadarnya.

Tetapi, bersastra buat saya adalah usaha menjatuhkan grendel-grendel titik-titik sedih. Saya paling doyan bersedih, menatap dan meratap hari-hari hidup. Bersedih melihat wajah kampung yang kian memelas, miskin nilai oleh tingkah laku hidup yang semakin pragmatis. Bersedih melihat wajah-wajah serem karena sebagian orang tampak wajah arogan dan bekerja sebagai garong. Garong di kantor, garong di sekolah, garong di gereja dan di mana-mana terjadi pemerataan penggarongan (baca korupsi). Sedih menatap teaterikal anak manusia yang kian mementaskankan kegilaan yang sangat masif.

Bagi saya, kebiasaan bersedih adalah simfoni yang bisa melumat rasa seni hingga darah dalam darah. Bersedih membuat saya bisa meniti makna pada kelamnya gunung, dapat menangkap sunyi yang menidurkan lorong-lorong, dan mampu merekam wajah-wajah orang kampung yang selalu memukau. Mungkin juga karena saya sungguh tak tahan hidup dalam goncangan orasi politik yang terkadang memalukan. Tak tahan berpartipasi dalam kekenesan pragmatis yang melenyapkan ruang berkabung dan hidup hanya gundukan sampah materialistik. Sedih ketika tak ada perarakan selain prahara yang menjilat hari-hari kita. Sedih ketika tak ada upacara penyucian diri di ruang rutin, selaian di etalase berpose telanjang tanpa keadaan.

Maaf! Akhirnya tulisan ini belepotan seperti ini membuat yang tidak berminat sastra benar-benar tersiksa dengan tulisan ini. Tapi kali ini saya mau bilang, sastra mampu menggenangi dan menggenapi hidup manusia menjadi lebih manusiawi. Kalau Ndalur, teman saya yang cengeng itu berkata sungut. “Memangnya kita makan puisi, makan cerpen.” Saya kira apa yang dikatakan teman itu sungguh benar. Namun, kita sungguh-sungguh tak pernah hidup hanya dengan makan nasi, susu dan keju. Jiwa adalah inti badaniah. Jiwa atau rohani kita memerlukan asupan gizi melalui seni (termasuk seni sastra tentunya) agar hidup lebih bertenaga. Dengan demikian, hidup kita tidak sekadar selembar tikar kusam di pinggir kubur.

Satrawan NTT di Manakah Kau?

Sesudah makan siang, kami berbincang. Saya mengatakan, NTT mempunyai banyak sastrawan. Sudahlah! Jangan kita hitung Gerson Poyk, Umbu Landu Paranggi, Yulius Siyaramual (alm), Dami Ndandu Toda (alm) yang berkarya setelah merantau ke ibu kota. Maka ketika kita hendak mengajukan pertanyaan: Sastrawan NTT di manakah kau? Boleh jadi jawabannya ringkas. “Saya di sini, sedang asyik bersastra.” Banyak sastrawan NTT bersastra dengan kadarnya sendiri-sendiri, apa dia dukun pereda hujan, atau pencari ilmu di kubur tua, atau pemantra di kamar tengah untuk meloloskan calon bupati dan lain-lainnya.

Jika yang dimaksudkan dengan sastrawan adalah orang yang menghasilkan karya sastra secara tertulis, maka saya menyebut beberapa nama yang lagi keren, Mezra Pellandou, Maria Matildis Banda, Yos Herin, Yefta, itu karena mereka menghasilkan karya sastra dalam bentuk tulisan, dan karya itulah yang membabtis mereka sebagai sastrawan.

Suatu hal yang membuat saya terpukau dengan menyebut nama-nama yang disebutkan tadi bukan saja local color (warna lokal) yang mereka arak ke pentas sastra) tetapi mereka bersastra tidak harus melalui Jakarta. Mereka keluar dari tirani Jakarta yang dianggap sebagai Roma dan Mekanya sastrawan. Mereka pun tidak meletakkan tangan di atas Majalah Horison (majalah sastra) yang angker yang sering dipandang sebagai sungai Yordan tempat pembabtisan sastrawan. Jika tulisannya dimuat dalam majalah itu, maka jadilah dia sastrawan. Padahal, banyak karya sastra bermutu yang dimuat pada koran lokal dan di tulis di tempat-tempat yang amat jauh dari Jakarta.

Kembali pada pertanyaan tadi. Sastrawan NTT di manakah kau? Minimal ada tiga jawaban melilit sekujur pertanyaan itu. Pertama, kita tidak mempunyai alat ucap (media) yang menjadi modus ungkap sastra. Surat kabar sangat terbatas dan ruang untuk menggoreng hasrat bersastra sangat kecil. Sering pelampiasan selera sastra lewat majalah dinding dari TK (tingkat kanak-kanak) sampai PT (perguruan tinggi), dari tembok terminal, sampai tembok WC.

Kedua, masyarakat kita belum mempunyai tradisi membaca. Apalagi membaca sastra yang memerlukan kening kerut. Rugilah surat kabar yang memuat karya sastra, lantas tidak dibaca (dibeli) orang. Masyarakat kita masih oral dan terpesona pada pesan instan yang datang melalui mata.

Ketiga, belum ada penghargaan terhadap sastra. Bersastra sekadar iseng. Semisal, membaca puisi untuk selingan dalam suatu hajatan. Secara nominal pun kurang dihargai. Honor menulis puisi atau cerpen jauh lebih murah dari pendapatan seorang buru pelabuhan di Tenau (Kupang). Belum ada sastrawan NTT yang eksis di sini dan menggantung hidupnya pada menulis puisi, menulis novel, menulis cerpen atau mementaskan naskah drama.

Akan tetapi, keadaan itu tidak membekukan kreativitas sastrawan yang saya sebutkan tadi. Mereka bersastra ‘di sini’ (NTT) dan melukis jagad sastra Indonesia dengan latar di sini. Mereka merupakan laskar sastra yang militan melahirkan karya sastra di kuni agu kalo (meminjam istilah Manggarai yang berarti tanah tumpah darah) dan dengan semangat goliat memecahkan keangkuhan Jakarta kemudian dibagikan ke daerah-daerah seraya berkata: “Inilah karyaku dan bacalah sebagai kenangan akan daku.” *

*) Staf pengajar Undana, Kupang

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae