Penghargaan yang Menggertak
Marsel Robot*
http://www.pos-kupang.com/
PAGI sekali, (pertengahan Juni 2010) lalu, tiga perempuan menyeberang embun, kemudian lekas bergegas berkumpul di lantai satu gedung Perpustakaan Daerah Propinsi NTT. Mereka adalah Dr. Free Hearty, M.Hum, Dra. Yvonne De Fretes, M.A., dan seorang wanita dari Kupang, Dra. Mezra Pellandou. Ketiganya tergabung dalam Komunitas Perempuan Penulis Indonesia (sastrawati).
Ada dua motif penting perjumpaan ketiga sastrawati itu. Pertama, mereka hendak mengadakan ‘peluncurkan’ buku antologi puisi dari penulis perempuan Indonesia berjudul: “Nyanyian Pulau-Pulau”. Kedua, mereka hendak memberikan penghargaan kepada sejumlah orang-orang eksentirik, yang oleh Komunitas Penulis Perempuan dipandang mempunyai kontribusi dalam memajukan dunian kesusastraan di Nusa Tenggara Timur.
Ada beberapa kategori penghargaan. Kategori penulis (sastrawan) diwakili Mezra sendiri. Kategori pengamat tersebut nama AG Netti. Kategori akademisi tersebut nama Dr. Feliks Sanga, M.Pd, Drs. Samuel Nitbani, M.Pd., Dra. Angela Lili Nai, M.Hum, dan saya. Semuanya dosen pada Pendidikan Bahasa dan Sastra FKIP Undana dan FKIP Universitas PGRI Kupang. Tersebut pula nama Sam Haning SH, MH (Rektor PGRI). Kategori pemerintah tersebut nama Esthon Foenay (Wakil Gubernur NTT), dan Nahor Talan (Kepala Badan Perpusatakaan Daerah Propinsi NTT). Kategori media diberikan kepada Pos Kupang melalui Tony Kleden.
Setiap orang yang menerima penghargaan itu diberikan buku kumpulan puisi dan membacakan salah satu puisi dalam buku itu. Kesempatan itu mereka mengisap suasana dengan cara masing-masing sambil menempel pidato ringan atas penghargaan yang diterimanya. Kecuali saya, tidak kebagian buku dan tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pidato, karena keburu disuruh untuk menjadi protokol saja. Karena itu saya tidak sempat melampiaskan rasa risih atas penghargaan yang menurut saya tidak pantas saya terima.
Sehari sebelum menerima penghargaan itu, Mezra Pellandou seorang penulis produktif, dan sangat giat dalam ‘dusun’ (dunia sunyi) itu menghubungi saya. Ia memberitahukan perihal penghargaan itu. Kepada Mezra saya bertanya, “Apa memang saya pantas menerima penghargaan itu?”
“Ya! Bapak pantas menerima itu.”
“Apa tak ada orang lain yang lebih pantas?”.
“Ini penilaian sangat independen, pak. Mereka merekam jejak bapak melalui internet.”
Daripada buang-buang pulsa sementara rasa risih tetap melengket di tebing hati. Sudahlah! Saya nekat pergi menghadiri undangan, siapa tahu diberikan kesempatan untuk berkata-kata, dan kesempatan itu saya ingin melegokan semua rasa risih saya atas penghargaan itu.
Pagi hari itu udara Kota Kupang lagi ngambek (tidak bersahabat). Angin meniup kencang meliukkan pepohonan sepanjang kota. Debu jalan merayap pada lembar-lembar daun gugur. Tetapi, ikhwal itu tidak menghentikan warga kota mengepung hari-harinya.
Acara penyerahan penghargaan dilangsungkan di gedung Perpustakaan Daerah Propinsi NTT. Gedung itu letaknya sangat khas di jantung Kota Kupang. Rautnya ke laut, dikelilingi ikon-ikon (petunjuk-petunjuk makna) seakan memamerkan tradisi intelektual kota itu. Di hadapannya menjulang sebuah gereja besar (Katedral) yang memberi arti bahwa warga kota cukup religius. Tak jauh dari gedung itu, menjulang gedung Bank Mandiri begitu kemilau, dan bagian sisi lain ada gedung Bank Indonesia yang tingginya melebihi menara katedral, seakan memberi isyarat bahwa kebutuhan duniawi jauh lebih tinggi daripada kebutuhan surgawi. Bagian depan gedung perpustakaan berdiri Patung Sonbai mengendarai kuda menyuguhkan arti tentang kota yang lahir dari perjuangan sang pahlawan.
Kembali pada penghargaan tadi. Siang itu kami menerima penghargaan itu. Sejak menerima hadiah hingga menulis artikel ini saya merasa sedang digertak oleh tiga perempuan tadi (baca perempuan penulis). Saya gugup. Sebab, belum banyak yang saya lakukan untuk memajukan dusun (dunia sunyi) sastra itu. Kalau saja penghargaan itu dirumuskan dalam idiom verbal logat Kupang kurang lebih berbunyi: “Lu baru kerja begitu saaa… Mulai sekarang lu lebih giat lai.” Artinya, penghargaan itu merupakan bentuk wanti-wanti agar saya bergulat lebih hebat atau bergumul lebih khusuk memajukan dusun sastra.
Terus terang, tak banyak yang saya kerjakan untuk memberi energi pada kehidupan sastra di NTT, dan tak satu kapsul pun yang berisikan gairah-gairah kesastraan yang saya serahkan kepada persada yang memang teramat romantis ini. Kecuali menjadi dosen sastra, berteater alakadar, menulis puisi alakadar, sesekali menulis cerpen dan menulis artikel seperti ini. Singkatnya, dalam sastra saya cuma bekerja serba alakadar. Honornya pun di bawah standar alakadar dan lebih banyak sekadarnya.
Tetapi, bersastra buat saya adalah usaha menjatuhkan grendel-grendel titik-titik sedih. Saya paling doyan bersedih, menatap dan meratap hari-hari hidup. Bersedih melihat wajah kampung yang kian memelas, miskin nilai oleh tingkah laku hidup yang semakin pragmatis. Bersedih melihat wajah-wajah serem karena sebagian orang tampak wajah arogan dan bekerja sebagai garong. Garong di kantor, garong di sekolah, garong di gereja dan di mana-mana terjadi pemerataan penggarongan (baca korupsi). Sedih menatap teaterikal anak manusia yang kian mementaskankan kegilaan yang sangat masif.
Bagi saya, kebiasaan bersedih adalah simfoni yang bisa melumat rasa seni hingga darah dalam darah. Bersedih membuat saya bisa meniti makna pada kelamnya gunung, dapat menangkap sunyi yang menidurkan lorong-lorong, dan mampu merekam wajah-wajah orang kampung yang selalu memukau. Mungkin juga karena saya sungguh tak tahan hidup dalam goncangan orasi politik yang terkadang memalukan. Tak tahan berpartipasi dalam kekenesan pragmatis yang melenyapkan ruang berkabung dan hidup hanya gundukan sampah materialistik. Sedih ketika tak ada perarakan selain prahara yang menjilat hari-hari kita. Sedih ketika tak ada upacara penyucian diri di ruang rutin, selaian di etalase berpose telanjang tanpa keadaan.
Maaf! Akhirnya tulisan ini belepotan seperti ini membuat yang tidak berminat sastra benar-benar tersiksa dengan tulisan ini. Tapi kali ini saya mau bilang, sastra mampu menggenangi dan menggenapi hidup manusia menjadi lebih manusiawi. Kalau Ndalur, teman saya yang cengeng itu berkata sungut. “Memangnya kita makan puisi, makan cerpen.” Saya kira apa yang dikatakan teman itu sungguh benar. Namun, kita sungguh-sungguh tak pernah hidup hanya dengan makan nasi, susu dan keju. Jiwa adalah inti badaniah. Jiwa atau rohani kita memerlukan asupan gizi melalui seni (termasuk seni sastra tentunya) agar hidup lebih bertenaga. Dengan demikian, hidup kita tidak sekadar selembar tikar kusam di pinggir kubur.
Satrawan NTT di Manakah Kau?
Sesudah makan siang, kami berbincang. Saya mengatakan, NTT mempunyai banyak sastrawan. Sudahlah! Jangan kita hitung Gerson Poyk, Umbu Landu Paranggi, Yulius Siyaramual (alm), Dami Ndandu Toda (alm) yang berkarya setelah merantau ke ibu kota. Maka ketika kita hendak mengajukan pertanyaan: Sastrawan NTT di manakah kau? Boleh jadi jawabannya ringkas. “Saya di sini, sedang asyik bersastra.” Banyak sastrawan NTT bersastra dengan kadarnya sendiri-sendiri, apa dia dukun pereda hujan, atau pencari ilmu di kubur tua, atau pemantra di kamar tengah untuk meloloskan calon bupati dan lain-lainnya.
Jika yang dimaksudkan dengan sastrawan adalah orang yang menghasilkan karya sastra secara tertulis, maka saya menyebut beberapa nama yang lagi keren, Mezra Pellandou, Maria Matildis Banda, Yos Herin, Yefta, itu karena mereka menghasilkan karya sastra dalam bentuk tulisan, dan karya itulah yang membabtis mereka sebagai sastrawan.
Suatu hal yang membuat saya terpukau dengan menyebut nama-nama yang disebutkan tadi bukan saja local color (warna lokal) yang mereka arak ke pentas sastra) tetapi mereka bersastra tidak harus melalui Jakarta. Mereka keluar dari tirani Jakarta yang dianggap sebagai Roma dan Mekanya sastrawan. Mereka pun tidak meletakkan tangan di atas Majalah Horison (majalah sastra) yang angker yang sering dipandang sebagai sungai Yordan tempat pembabtisan sastrawan. Jika tulisannya dimuat dalam majalah itu, maka jadilah dia sastrawan. Padahal, banyak karya sastra bermutu yang dimuat pada koran lokal dan di tulis di tempat-tempat yang amat jauh dari Jakarta.
Kembali pada pertanyaan tadi. Sastrawan NTT di manakah kau? Minimal ada tiga jawaban melilit sekujur pertanyaan itu. Pertama, kita tidak mempunyai alat ucap (media) yang menjadi modus ungkap sastra. Surat kabar sangat terbatas dan ruang untuk menggoreng hasrat bersastra sangat kecil. Sering pelampiasan selera sastra lewat majalah dinding dari TK (tingkat kanak-kanak) sampai PT (perguruan tinggi), dari tembok terminal, sampai tembok WC.
Kedua, masyarakat kita belum mempunyai tradisi membaca. Apalagi membaca sastra yang memerlukan kening kerut. Rugilah surat kabar yang memuat karya sastra, lantas tidak dibaca (dibeli) orang. Masyarakat kita masih oral dan terpesona pada pesan instan yang datang melalui mata.
Ketiga, belum ada penghargaan terhadap sastra. Bersastra sekadar iseng. Semisal, membaca puisi untuk selingan dalam suatu hajatan. Secara nominal pun kurang dihargai. Honor menulis puisi atau cerpen jauh lebih murah dari pendapatan seorang buru pelabuhan di Tenau (Kupang). Belum ada sastrawan NTT yang eksis di sini dan menggantung hidupnya pada menulis puisi, menulis novel, menulis cerpen atau mementaskan naskah drama.
Akan tetapi, keadaan itu tidak membekukan kreativitas sastrawan yang saya sebutkan tadi. Mereka bersastra ‘di sini’ (NTT) dan melukis jagad sastra Indonesia dengan latar di sini. Mereka merupakan laskar sastra yang militan melahirkan karya sastra di kuni agu kalo (meminjam istilah Manggarai yang berarti tanah tumpah darah) dan dengan semangat goliat memecahkan keangkuhan Jakarta kemudian dibagikan ke daerah-daerah seraya berkata: “Inilah karyaku dan bacalah sebagai kenangan akan daku.” *
*) Staf pengajar Undana, Kupang
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar