Rakhmat Giryadi
http://sastraapakah.blogspot.com/
Hidup di gang sempit, para tetangga seperti punya alat perekam yang canggih. Kupingnya seperti alat pendeteksi, matanya seperti hidencamera, yang setiap gerak gerik kita, semua terekam. Dan otak mereka seperti hardisc yang mampu menyimpan miliaran data. Sekali tekan tombol : mulut mengoperasikan data itu menjadi gosip yang berkepanjangan.
Hidup di gang sempit memang tidak ada rahasia. Kita seperti hidup di ruang kaca. Semua polah tingkah kita akan segera bisa diketahui dari gang satu ke gang lain, kemudian merebak bagai gelombang radio yang dalam sepersekian detik, kabar itu bisa diterima ke pendengar terjauh sekalipun.
Hidup di gang sempit, semua orang boleh mengetahui apa yang kami miliki dan tidak kami miliki. Hidup di gang sempit, ruang hidup kita memang benar-benar sempit. Mata, telinga, dan otak tetangga ada disisi kita, menempel di dinding, seperti lumut yang menggerogoti tembok.
Dan kali ini lumut itu menggerogoti tembok kami.
Sore yang sumpek dan gerah, seperti biasa Sukir mulai belajar membaca. Ia selalu belajar membaca dengan suara lantang. Ia tidak bisa membaca dalam hati. Apalagi ia masih belajar mengeja. Suaranya hampir mengalahkan tarqim dari musala kampung. Otot-otot lehernya terasa mencuat. Ludahnya muncrat. Lidahnya sekali-kali mengelap ludahnya yang ndlewer di ujung bibirnya, persis seperti ular Cak Nurdin tukang sulap keliling itu.
Kami menyambut gembira. Tetapi, tidak bagi tetangga kami.
“Apa yang kamu baca, sudah saya baca sejak kecil. Dilarang membaca keras-keras!” seru Bejan dengan wajah tersungut-sungut.
“Tidak tahu surub, ta? Dilarang membaca keras-keras!,” teriak Karno yang baru pulang dari nyopet di terminal Joyoboyo, sok alim.
“Nggak punya telinga, ya. Ini kan magrib! Dilarang teriak-teriak,” himbau Kaji Dofir, yang gelar Kaji atau Haji di depan namanya itu sebenarnya hanya gelar-gelaran. Dia dipanggil Kaji Dofir karena dia sangat rajin salat magrib di musala. Para tetangga yang mulutnya panjang memperoloknya dengan sebutan Kaji. Gelar itu tersemat begitu saja.
Mendapat teguran dari tetanga sebelah, Sukir tak pernah menghiraukan. Ia malah membaca dengan sangat lantang. Lantang sekali! Sampai saya dan istri harus menegurnya. Tetapi dasar anak kecil yang sedang senang-senangnya belajar, semua dianggap angin lalu.
“Kalau baca yang lirih. Nggak tahu ada tetangga sakit!” hardik Cak Dahlan yang meski lambungnya rusak, masih saja mulutnya menyemburkan bau alkohol.
Larangan tetangga tak menyurutkan Sukir untuk terus membuka bukunya, halaman demi halaman. Halaman demi halaman seperti misteri yang harus ia pecahkan dengan rasa kegembiraan. Setiap kata ia eja dengan lantang. Tentu itu bukan kemauan Sukir. Tetapi begitulah guru Sukir mengajarinya. Atau mungkin juga bukulah yang mengharuskan Sukir membaca dengan tegas dan lantang.
Menurut saya memang wajar. Tetapi menurut tetangga kami tidak.
Apakah Sukir mengalah? Tidak! Ia tetap saja belajar mengeja dengan suara lantang. Bahkan kali ini cukup lantang, seperti teriakan seorang telah menemukan jalan baru ketika terjebak di jalan buntu. Namun, kerasnya sikap Sukir disambut sikap keras para tetangga.
Pak RT berkunjung ke rumah. Ia mewakili warga yang protes. Dengan nada ditegas-tegaskan ia menghimbau kami agar bisa membimbing anak berlaku sopan dalam bertetangga. Bahkan ia membawa plakat bertuliskan : ‘Dilarang Berisik!’ Plakat itu ia pasang di gerbang RT. Saya dan istriku bisa mengerti saran Pak RT. Tetapi apakah Sukir bisa mengerti?
Besoknya Sukir masih berprilaku sama. Bahkan kali ini ia membaca dengan irama cepat dan lantang. Bahkan, sekarang ia tidak hanya membaca buku pelajarannya. Setiap ada tulisan, ia eja. Tulisan di tembok, di koran, di kalender, di kardus-kardus bekas, di kaleng-kaleng bekas, di spanduk-spanduk, di iklan-iklan tempel, di baliho, di poster, di majalah, semua ia baca. Ia seperti sedang membuka rahasia kehidupan yang hari demi hari ia lalui. Tak lupa ia membacanya dengan cepat dan lantang.
Bahkan kini, tidak hanya sekedar membaca, tetapi diikuti dengan pertanyaan tentang arti kata yang diejanya. “Fuk y-o-u itu apa?,” tanya Sukir pada Giono yang kaosnya bertuliskan : Fuck You dan gambar jari tengah menelunjuk ke atas.
Giono yang preman lulusan SD itu malah menunjukan jemari tengahnya tepat di hidung Sukir. Sukir membalas dengan gaya yang sama. “Fak yu, men!”
Sukir dijitak. Sukir menangis.
Hampir semua tetangga mendapat jatah pertanyaan dari Sukir. Pertanyaannya itu tidak hanya menyibukan kami, tetapi juga guru, teman-temannya di sekolah, orang di jalanan, dan tentunya orang sekampung. Ada saja yang dieja dan ditanyakan. Tulisan-tulisan yang bertebaran di jalan, di tembok, di pagar seng, di tiang listrik, di mobil, di becak, di truk, di angkot, semua diejanya. Tetapi yang tidak bisa kami pahami adalah pertanyaannya itu.
Kali ini tidak Pak RT yang berkunjung ke rumah, tetapi juga Pak RW dan dua Hansip. Memang kedatangan Pak RW tidak membentak-bentak. Dengan didatangi pejabat kampung, tentu itu suatu sasmita bagi orang kecil seperti kami.
“Saya tidak melarang anakmu belajar membaca. Tetapi dilarang banyak tanya!” kata Pak RW.
Kami harus mengerti. Tetapi apakah Sukir bisa mengerti?
Suatu hari ia menangis sesenggukan. Gara-garanya ia dipukul Cak Bendol. Kata Sukir, ia hanya tanya pada Cak Bendol yang sedang cangkruk di becak, arti kata cabul. Besokan juga terjadi hal yang sama. Katanya ia baru saja dicubit Ning Maryati hanya gara-gara ia tanya arti kata lonthe. Ning Maryati yang mantan pelacur itu tentu naik pitam.
Kebiasakan ‘buruk’ Sukir, membuat Pak RT dan Pak RW bertindak tegas. Mereka menghimbau agar kami pindah rumah. Karena perbuatan Sukir sudah memusingkan orang sekampung. Dengan nada dihaluskan, beliau menghimbau kami agar anaknya diajari sopan santun. Hidup di kampung harus tau tepa selira. Memahami hak-hak tetangga. Dan yang lebih penting adalah tidak mengganggu tetangga.
Istri saya sempat protes. Tetapi apalah artinya protes bagi suara kecil yang terselip di gang sempit seperti itu?
“Sssst! Sabar, sabar!” kataku menenangkan.
“Sabar, sabar. Sampeyan itu wong lanang kok tidak bisa bela keluarga. Ini hak kita, Cak. Hak anak kita!”
***
Sepulang sekolah, Sukir nangis lagi. Katanya ia baru dipukul Cak Dul. Masalahnya sepele. Ia tanya arti kata : ‘Narapidana.’ Karena jengkel, Cak Dul memukul kepala Sukir. Saya cari Cak Dul di pangkalan becak, dekat gedong ludruk Irama Budaya, milik Cak Zakia.
“Kenapa kamu Drat. Cari saya ta?. Kamu tidak terima anakmu saya pukul?. Mau apa?!,” sergah Cak Dul jumawa.
Saya sedikit grogi. Demi anak, saya beranikan diri melawannya, meski Cak Dul yang gemar lagunya Roma Irama ini pernah dipenjara, karena membunuh teman becakannya yang ngencani istrinya.
“Kalau anak kamu sendiri saya pukul, bagaimana?”
“Tak bunuh orangnya!” potong Cak Dul.
Saya semakin terpojok. Apakah saya juga akan membunuhnya? Orang-orang sudah mulai menjauh. Sayapun keder. Karena Cak Dul mulai turun dari becaknya. Tangannya mencengkeram leher saya. Matanya melotot tajam. Mulutnya menyemburkan bau minuman keras.
“Kamu mau membunuh saya?” tantangnya.
Kali ini saya beranikan diri, mendorong tubuhnya keras sekali sampai terjengkang ke becak. Cak Dul hendak beranjak dengan wajah memerah. Tetapi satu tendangan, membuatnya terjungkal lagi. Kali ini Cak Bokir, Kolik, Gimo, Rodli, Sariban, mengerubut Cak Dul yang naik pitam sembari mengerang-ngerang. Sementara saya diseret Cak Ripin pergi menjauh.
Malam harinya, Pak RW datang lagi. Kali ini ia bicara agak keras. Bahkan berbau ancaman. Paling tidak itulah yang saya rasakan.
“Demi ketenangan, ada baiknya sampeyan merubah sikap. Kalau tidak kita sebagai aparat desa, tidak bisa berbuat apa-apa kalau rakyat bertindak sendiri-sendiri….,” kata Pak RT, kemudian menyudahi kunjungannya itu dengan kalimat singkat tetapi penuh harapan sekaligus ancaman : “Camkan itu!”
Untuk melawan tentu kami tidak punya modal. Sederhananya, terpaksa kami memaksa Sukir untuk belajar membaca dalam hati.
“Tidak perlu bersuara. Cukup dibatin saja. Dan yang penting jangan banyak tanya,” sergahku. Bahkan kali ini dengan menjewer telinganya.
***
Sejak anak saya tidak membaca dengan keras, rumah terasa sepi. Bahkan kampung juga terasa sepi. Setiap usai magrib, tak ada suara, selain suara ketokan penjual bakso. Klakson penjual roti. Atau teriakan penjual sate ayam. Teriakan anak-anak kecil yang main petak umpet.
Buku-buku sukir tertata rapi di meja kecil. Ia enggan menyentuhnya, apalagi membukanya. Ia lebih memilih bermain dengan mainan apa adanya. Terkadang ia bermalas-malas di tempat tidur, sambil nonton TV. Sepulang sekolah ia juga tak menyentuh buku. Ia memilih nonton TV.
Yang merisaukan, Sukir menjadi enggan sekolah. Bahkan kali ini ia sama sekali tidak mau masuk sekolah. Terpaksa Sukir saya pindahkan sekolah di desa orang tua saya. Namun tiga bulan kemudian, orang tua saya memulangkan Sukir.
“Anakmu tak kembalikan, di sana merepotkan sekali,” kata Bapak yang dibenarkan Ibu.
Begitu juga mertua saya, mereka memulangkan Sukir dengan alasan sama.
Sukir kembali kepangkuan kami. Ia tetap tidak mau sekolah.
“Kalau Sukir tidak mau sekolah, nanti kan tidak bisa membaca?” kata saya suatu hari. “Kalau sukir mau sekolah nanti dibelikan bapak buku baru,” rayu saya.
Sukir bergeming. Kami tidak memaksakan diri, meski kami was-was dengan masa depannya.
Pada tahun ajaran baru, kami mengajak Sukir pergi sekolah. Untung sekali ia mau kembali ke sekolah. Hati kami lega. Tetapi suatu siang Sukir pulang sekolah dengan berurai air mata.
Saya tidak berani bertanya. Saya melihat ada rasa kecewa yang dalam dari sorot matanya. Sukir saya biarkan menangis. Begitu juga istriku, ia tetap sibuk menata barang-barang bekas.
Pada malam harinya, saya baru berani mendekati Sukir yang tampak sudah melupakan kejadian tadi siang. Dengan sedikit bercanda saya beranikan diri bertanya pada Sukir.
“Kenapa kamu tadi siang menangis?”
“Habis, Bu Guru tanya terus pada Sukir. Sukir kesal. Sukir bilang ‘dilarang bertanya!’ Eh, Sukir dipukul pakai penggaris,” cerita Sukir.
“Terus?”
“Dilarang bertanya terus!” sergahnya. Kali ini ini dengan nada lepas dan tanpa beban.
Kami melongo. Hidup di gang sempit memang tidak ada kata tanya.
Surabaya, Desember 2007
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 11 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar