Pranita Dewi
http://www.balipost.co.id/
Warna malam begitu kelam. Sungguh sangat kusam. Seakan malam tahu suasana hatiku yang muram. Tak kudengar nyanyian cicak yang biasanya suka bersenandung di dinding-dinding kamarku, menunggu terbitnya fajar. Entah apa yang terjadi malam ini. Mungkin Tuhan tidak adil padaku? Betapa tidak? Sekejap pun mataku tak mampu terpejam. Pikiranku berputar-putar memasuki labirin kenangan demi kenangan. Tak satu pun kutemui jalan keluar yang mampu membebaskan aku dari kenangan.
BEGITU gundah hatiku kini. Sisa-sisa malam masih mengambang di jendela kamarku. Dedaun pohon waru di halaman gemerisik dimainkan angin dinihari. Bulan seperti perahu berayun-ayun di antara awan kelabu. Burung hantu yang suka merenungi kelam malam di dahan pohon waru itu, masih saja terangguk-angguk, memamerkan suaranya yang parau, namun menyeramkan. Matanya yang bulat dan penuh cahaya kegaiban itu seperti mampu menyorot isi perasaanku.
Memang hatiku sedang terkenang akan sesuatu. Tiba-tiba saja kenangan itu muncul lalu menyergapku tanpa ampun. Akibatnya aku tidak bisa tidur, meski jarum waktu telah menunjuk angka dua pada jam di dinding kusam kamarku. Ternyata, lelaki itu, kenangan itu telah membawaku terjaga sepanjang malam. Senyumnya yang dingin, yang menyimpan beribu gunung es di tengah samudera yang siap membekukan siapa saja, kembali membayang-bayangi hatiku. Parasnya yang senantiasa nampak muram dengan pandangan mata sekelam malam, timbul-tenggelam di dinding-dinding kamarku. Dan, rambutnya…! Rambut yang ikal itu seperti segulungan gelombang yang mampu melipat dan menelan siapa saja, terlebih yang merasa jatuh hati padanya.
Malam ini, aku merasa bahagia, namun juga pedih. Aku kembali bertemu dengan penyandang bulanku, meski hanya berupa kenangan usang. Ah, aku tak mau terlalu berharap! Siapa tahu ia bukan penyandang bulanku yang kembali berlayar, entah ke mana. Atau bisa jadi ia racun paling mematikan yang dikirim entah oleh siapa untuk membinasakan aku dalam keluguan cinta? Membayangkan ini, aku jadi ngeri sendiri!
***
SEMUA ini bermula ketika aku masih bekerja sebagai penjaja koran. Mengapa aku mau menjadi penjaja koran? Usiaku waktu itu 15 tahun, masih kelas 3 SMP. Orangtuaku cukup mampu membiayai sekolahku, meski tidak kaya untuk ukuran seorang guru. Meski aku tidak dididik layaknya anak tentara, namun aku mencoba untuk belajar hidup mandiri, berdiri di atas kemampuanku sendiri. Untuk itulah aku menjadi penjaja koran ketika libur panjang sekolah.
Dan, ayahku yang seorang guru sangat bangga melihat putrinya mencoba belajar hidup, belajar mengais rejeki di bawah terik dan sengatan matahari kota. Namun tidak demikian halnya dengan kawan-kawanku. Ada saja yang menyindirku dengan perkataan yang seringkali aku anggap angin lalu, namun sesekali juga menyakitkan hatiku. Mereka merasa malu mempunyai kawan seorang penjaja koran. Maklum kawan-kawanku itu rata-rata anak orang kaya, anak pengusaha, anak pejabat, anak penguasa kota, anak mami. Sedangkan aku hanya anak seorang guru sekolah dasar.
Maka aku pun menjadi penjaja koran, dengan segala kepercayaan diri yang kumiliki. Saat itu, matahari menumpahkan segala sinarnya, meluapkan segala cahayanya di jalan-jalan kotaku. Dengan bertemankan topi rimba yang selalu setia melindungi kepalaku dari kejamnya sengatan matahari siang, aku menyusuri jalanan yang sibuk dan pikuk oleh segala macam kendaraan. Tanpa sungkan aku menjajakan koran kepada para pengendara yang melepaskan ketegangan lalu lintas di depan lampu merah.
Setelah beberapa hari menjajakan koran, aku pun mulai akrab dengan penjaja koran yang lain, yang umumnya anak laki-laki yang sebaya denganku. Hanya aku seorang yang perempuan. Aku pun menyadari betapa susahnya mencari uang dengan tangan sendiri. Begitu banyak saingan, begitu banyak tantangan.
Terkadang aku pun tidak lepas dari gangguan penjaja koran lain, yang tidak rela wilayah kekuasaannya direbut oleh penjaja koran perempuan seperti aku ini. Namun selalu saja kawan akrabku, penjaja koran yang bersimpati kepadaku, membelaku dari gangguan anak-anak bandel itu. Kami pun semakin akrab. Aku merasa mendapat perlindungan. Sering kali kami bahu membahu dalam menjajakan koran. Kalau korannya telah habis terjual, ia seringkali membantu menjajakan koranku tanpa meminta imbalan sepeser pun dariku. Aku kagum dan bersyukur atas kebaikannya.
Suatu kali aku menjajakan koran kepada seorang bapak pengendara mobil Mercy. Saat itu lampu merah menyala. Aku menjadi leluasa menjajakan koran kepada para pengendara. Ketika kutawarkan koran kepadanya, bapak itu malam menatapku dengan aneh. Bapak itu memandangku begitu lekat seakan melihat malaikat yang mendadak turun dari langit. Aku jadi serba salah dan kikuk dibuatnya. Mungkin ia merasa aneh melihat seorang gadis menjadi penjaja koran. Bapak itu membeli koran yang kutawarkan. Ia membayar dengan uang dua puluh ribuan. Disuruhnya aku mengambil kembalian uang itu. Aku jadi heran. Apa tampangku sangat memelas sehingga bapak itu merasa kasihan denganku? Setelah dipaksa-paksa, dengan perasaan sungkan aku pun menerima kembalian itu, sembari mengucapkan terima kasih. Kejadian serupa itu beberapa kali kualami. Ternyata Tuhan masih menyayangiku.
Jarum jam di tangan menunjuk angka tiga. Sudah sore. Perut lapar tidak terasa. Aku duduk di trotoar jalan yang hampir meleleh ditimpa terik matahari siang tadi. Senja belum juga ber-tiwikrama. Senja belum menitis. Sejumlah koran belum terjual.
Dengan langkah gontai aku berjalan menyusuri sore. Langkahku terhenti di sebuah taman kota yang teduh. Di kota yang sumpek ini, hanya di taman kota ini aku menemukan sedikit kesegaran dan keteduhan. Di sebuah bangku kayunya aku duduk dan tenggelam dalam lamunan. Sampai akhirnya aku sadar, ada seseorang yang juga duduk di sampingku. Seorang lelaki. Lelaki itu termangu dengan pandangan kosong menatap ke arah senja.
Aku mengutuki diriku sendiri, ”Senja tidak akan menitis. Senja masih malu untuk ber-tiwikrama. Bagai rumputan kering yang menunggu pagi.”
”Senja yang indah akan segera menitis. Ia akan segera menjelma menjadi suara takdir yang paling akhir,” sahutnya tanpa kuminta, masih dengan tatapan hampa.
Aku berpikir. Sepertinya aku pernah melihat lelaki ini sebelumnya, tapi di mana? Oh ya, aku ingat sekarang. Ia adalah lelaki yang pernah menyapaku dengan aneh pada sebuah acara pembacaan puisi yang pernah kuhadiri. Seorang lelaki aneh yang membuat hatiku terjerat. Namun, kenapa aku harus bertemu di taman kota ini? Sungguh sebuah pertemuan yang tidak kuduga sama sekali. Apakah pertemuan ini telah direncanakan oleh Tuhan? Tiba-tiba saja kepercayaan diriku mendadak luntur. Entah seperti apa wajahku saat itu. Sungguh aku sangat malu.
Setelah susah payah mengumpulkan keberanian, aku pun mencoba menyapanya. Tanpa diduga ia menoleh ke arahku. Ia tersenyum. Namun aku bisa merasakan senyum yang sangat dingin. Sebeku gunung es. Aku pun jadi kikuk dan jelas salah tingkah. Mata itu, oh, mata itu sungguh begitu jemu memeram kegalauan hati. Kami pun berkenalan.
”Nita.”
”Asa.”
Begitu singkat. Begitu pendek. Sungguh sangat lugas. Ia pun kembali pada keasyikannya semula, menatap senja. Agaknya lelaki ini begitu mengagumi senja.
Adakah ia titisan senja?
Tanpa kuminta, Asa mulai berceloteh perihal dirinya. Agaknya bukan berceloteh, lebih tepat bergumam sendiri. Tentu dengan mata jemu yang tak mau menoleh ke arahku. Mata yang sesungguhnya lumayan indah dan teduh itu tetap saja menatap ke depan, ke arah senja yang mulai menampakkan kilau jingga.
Asa kuliah di Fakultas Kedokteran di sebuah kampus di kotaku. Sesungguhnya ia tidak berminat menjadi dokter, seperti yang dibanggakan banyak orang tua. Ia lebih suka melukis dan menulis puisi. Ayahnya yang telah memaksanya untuk kuliah di Fakultas Kedokteran, tentu dengan harapan kelak anaknya akan menjadi dokter dan bisa cepat kaya. Padahal si anak sama sekali tidak berminat, meski ia mempunyai kemampuan untuk itu. Asa hanya ingin membahagiakan orangtuanya.
Masih dengan tatapan yang sendu, Asa memandang jauh ke arah senja. Ia seakan ingin menembus dan larut di dalam warna jingga yang disemburkan oleh senja itu. Dasar lelaki aneh, pikirku. Namun, sikap anehnya ini keburu membuat hatiku jatuh ke dalam kubangan cinta. Diam-diam aku menyukainya. Namun, ia selalu menungu titisan senja. Dan ia sangat yakin senja akan segera menitis di hadapannya.
Aku jatuh cinta kepadanya. Tapi aku tidak ingin ia mengetahuinya. Biarlah aku simpan rahasia ini hanya untukku sendiri saja. Sebab aku tak berani menduga, apakah ia juga menyimpan perasaan yang sama denganku? Duh…. aku tak sanggup memikirkannya.
***
HARI berganti hari. Minggu berganti minggu. Bulan berganti bulan. Tanpa kuduga, taman kota telah memeram kisah antara aku dan lelaki aneh itu. Taman itu senantiasa membangkitkan kenanganku padanya, meski ia tidak di sampingku lagi. Hanya taman itu yang tahu bagaimana aku mencoba memberikan hatiku padanya. Setiap senja mulai tiba, aku duduk di bangku kayu di taman kota, menunggu kehadirannya. Kami pernah menikmati senja yang bermekaran indah di hadapan kami. Namun, senja pertemuan terakhir dengannya, aku tidak pernah tahu ke mana Asa pergi. Ia menghilang begitu saja, seperti ditelan senja yang selalu jingga. Saat perpisahan terakhir ia hanya berpesan, suatu saat ia akan hadir di hadapanku membawa titisan senja. Ia yakin suatu ketika senja akan menitis di hadapannya, dan membawakan senja jingga itu, hanya untukku seorang.
Sebelum ia menghilang tanpa jejak, pertemuanku dengannya setiap senja merupakan waktu-waktu terindah yang pernah kurengkuh. Kami selalu membicarakan senja yang akan segera menitis. Sesekali ia menceritakan masalah kuliahnya. Sebentar lagi ia akan menjadi dokter. Ia akan membahagiakan kedua orangtuanya. Namun apakah ia sendiri sudah merasa bahagia dengan apa yang telah diraihnya? Hatiku selalu berdoa untuknya, agar ia berhasil dengan apa yang telah dicita-citakannya.
Meski kami suka bersama menikmati senja, perasaan cintaku masih tersekap di dalam batin. Aku tak kuasa menyatakan perasaanku padanya. Aku tak ingin ia tahu. Aku cemas kalau ia tahu perasaanku yang sebenarnya. Aku tak ingin luka karenanya. Aku tidak ingin menangis karena cinta. Maka kupendam saja perasaanku dalam-dalam.
Terlalu sering aku mendengar cerita bagaimana seorang lelaki begitu gampangnya mempermainkan wanita. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan lelaki, maka ia akan mencampakkan wanita seperti seonggok sampah tak berguna. Maka hancurlah hati wanita itu berkeping-keping, remuk-redam menahan pedih. Kalau wanita itu tidak tahan menghadapi kenyataan cinta, maka ia akan terjebak untuk melakukan bunuh diri atau terjerat narkotika. Sungguh aku tak sanggup membayangkan, kalau seandainya aku yang mengalami hal itu.
Oh…cinta, sungguh sebuah permainan dalam kehidupan. Dan kita pun dipermainkan oleh hidup, oleh cinta yang kita jalin. Itulah sebabnya aku takut senja benar-benar menitis di hadapanku. Aku tidak ingin senja kembali menjelma sebuah cinta, karena itu suatu yang muskil.
Memang suatu kali Asa pernah menanyakan siapa kekasihku. Dengan tegas aku katakan bahwa kekasih tidak pernah singgah dalam hidupku lagi. Duh… mata yang teduh itu, menghujam mataku. Sungguh hatiku tak kuat menatap telaga teduh yang seringkali dingin itu. Sadarkah ia, bahwa ialah sesungguhnya yang kuharapkan menitis menjadi sebentuk cinta yang indah serupa senja yang jingga dalam jiwa remajaku?
Terkadang aku ragu pada diriku, pada perasaanku sendiri. Sungguh, aku belum siap kecewa karena cinta. Bagiku, menderita karena cinta begitu mengerikan dan penuh dengan kesia-siaan. Aku cemas bila ia mengetahui isi hatiku. Karena itu, meski aku rindu ia, aku jauhi ia. Bukankah Kahlil Gibran pernah mengatakan, cinta tidak mesti saling memiliki? Duh… mataku belum juga mampu terpejam. Entah di mana Asa kini. Aku berharap ia menemukan titisan senja yang dulu selalu ditunggunya di taman kota itu. Adakah titisan senja akan berwujud sebuah cinta yang indah? Gemerisik angin dan gerimis saling bersahutan di luar jendela.
Denpasar, Juni 2003
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 07 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar