Selasa, 07 Desember 2010

Titisan Senja

Pranita Dewi
http://www.balipost.co.id/

Warna malam begitu kelam. Sungguh sangat kusam. Seakan malam tahu suasana hatiku yang muram. Tak kudengar nyanyian cicak yang biasanya suka bersenandung di dinding-dinding kamarku, menunggu terbitnya fajar. Entah apa yang terjadi malam ini. Mungkin Tuhan tidak adil padaku? Betapa tidak? Sekejap pun mataku tak mampu terpejam. Pikiranku berputar-putar memasuki labirin kenangan demi kenangan. Tak satu pun kutemui jalan keluar yang mampu membebaskan aku dari kenangan.

BEGITU gundah hatiku kini. Sisa-sisa malam masih mengambang di jendela kamarku. Dedaun pohon waru di halaman gemerisik dimainkan angin dinihari. Bulan seperti perahu berayun-ayun di antara awan kelabu. Burung hantu yang suka merenungi kelam malam di dahan pohon waru itu, masih saja terangguk-angguk, memamerkan suaranya yang parau, namun menyeramkan. Matanya yang bulat dan penuh cahaya kegaiban itu seperti mampu menyorot isi perasaanku.

Memang hatiku sedang terkenang akan sesuatu. Tiba-tiba saja kenangan itu muncul lalu menyergapku tanpa ampun. Akibatnya aku tidak bisa tidur, meski jarum waktu telah menunjuk angka dua pada jam di dinding kusam kamarku. Ternyata, lelaki itu, kenangan itu telah membawaku terjaga sepanjang malam. Senyumnya yang dingin, yang menyimpan beribu gunung es di tengah samudera yang siap membekukan siapa saja, kembali membayang-bayangi hatiku. Parasnya yang senantiasa nampak muram dengan pandangan mata sekelam malam, timbul-tenggelam di dinding-dinding kamarku. Dan, rambutnya…! Rambut yang ikal itu seperti segulungan gelombang yang mampu melipat dan menelan siapa saja, terlebih yang merasa jatuh hati padanya.

Malam ini, aku merasa bahagia, namun juga pedih. Aku kembali bertemu dengan penyandang bulanku, meski hanya berupa kenangan usang. Ah, aku tak mau terlalu berharap! Siapa tahu ia bukan penyandang bulanku yang kembali berlayar, entah ke mana. Atau bisa jadi ia racun paling mematikan yang dikirim entah oleh siapa untuk membinasakan aku dalam keluguan cinta? Membayangkan ini, aku jadi ngeri sendiri!

***

SEMUA ini bermula ketika aku masih bekerja sebagai penjaja koran. Mengapa aku mau menjadi penjaja koran? Usiaku waktu itu 15 tahun, masih kelas 3 SMP. Orangtuaku cukup mampu membiayai sekolahku, meski tidak kaya untuk ukuran seorang guru. Meski aku tidak dididik layaknya anak tentara, namun aku mencoba untuk belajar hidup mandiri, berdiri di atas kemampuanku sendiri. Untuk itulah aku menjadi penjaja koran ketika libur panjang sekolah.

Dan, ayahku yang seorang guru sangat bangga melihat putrinya mencoba belajar hidup, belajar mengais rejeki di bawah terik dan sengatan matahari kota. Namun tidak demikian halnya dengan kawan-kawanku. Ada saja yang menyindirku dengan perkataan yang seringkali aku anggap angin lalu, namun sesekali juga menyakitkan hatiku. Mereka merasa malu mempunyai kawan seorang penjaja koran. Maklum kawan-kawanku itu rata-rata anak orang kaya, anak pengusaha, anak pejabat, anak penguasa kota, anak mami. Sedangkan aku hanya anak seorang guru sekolah dasar.

Maka aku pun menjadi penjaja koran, dengan segala kepercayaan diri yang kumiliki. Saat itu, matahari menumpahkan segala sinarnya, meluapkan segala cahayanya di jalan-jalan kotaku. Dengan bertemankan topi rimba yang selalu setia melindungi kepalaku dari kejamnya sengatan matahari siang, aku menyusuri jalanan yang sibuk dan pikuk oleh segala macam kendaraan. Tanpa sungkan aku menjajakan koran kepada para pengendara yang melepaskan ketegangan lalu lintas di depan lampu merah.

Setelah beberapa hari menjajakan koran, aku pun mulai akrab dengan penjaja koran yang lain, yang umumnya anak laki-laki yang sebaya denganku. Hanya aku seorang yang perempuan. Aku pun menyadari betapa susahnya mencari uang dengan tangan sendiri. Begitu banyak saingan, begitu banyak tantangan.

Terkadang aku pun tidak lepas dari gangguan penjaja koran lain, yang tidak rela wilayah kekuasaannya direbut oleh penjaja koran perempuan seperti aku ini. Namun selalu saja kawan akrabku, penjaja koran yang bersimpati kepadaku, membelaku dari gangguan anak-anak bandel itu. Kami pun semakin akrab. Aku merasa mendapat perlindungan. Sering kali kami bahu membahu dalam menjajakan koran. Kalau korannya telah habis terjual, ia seringkali membantu menjajakan koranku tanpa meminta imbalan sepeser pun dariku. Aku kagum dan bersyukur atas kebaikannya.

Suatu kali aku menjajakan koran kepada seorang bapak pengendara mobil Mercy. Saat itu lampu merah menyala. Aku menjadi leluasa menjajakan koran kepada para pengendara. Ketika kutawarkan koran kepadanya, bapak itu malam menatapku dengan aneh. Bapak itu memandangku begitu lekat seakan melihat malaikat yang mendadak turun dari langit. Aku jadi serba salah dan kikuk dibuatnya. Mungkin ia merasa aneh melihat seorang gadis menjadi penjaja koran. Bapak itu membeli koran yang kutawarkan. Ia membayar dengan uang dua puluh ribuan. Disuruhnya aku mengambil kembalian uang itu. Aku jadi heran. Apa tampangku sangat memelas sehingga bapak itu merasa kasihan denganku? Setelah dipaksa-paksa, dengan perasaan sungkan aku pun menerima kembalian itu, sembari mengucapkan terima kasih. Kejadian serupa itu beberapa kali kualami. Ternyata Tuhan masih menyayangiku.

Jarum jam di tangan menunjuk angka tiga. Sudah sore. Perut lapar tidak terasa. Aku duduk di trotoar jalan yang hampir meleleh ditimpa terik matahari siang tadi. Senja belum juga ber-tiwikrama. Senja belum menitis. Sejumlah koran belum terjual.

Dengan langkah gontai aku berjalan menyusuri sore. Langkahku terhenti di sebuah taman kota yang teduh. Di kota yang sumpek ini, hanya di taman kota ini aku menemukan sedikit kesegaran dan keteduhan. Di sebuah bangku kayunya aku duduk dan tenggelam dalam lamunan. Sampai akhirnya aku sadar, ada seseorang yang juga duduk di sampingku. Seorang lelaki. Lelaki itu termangu dengan pandangan kosong menatap ke arah senja.

Aku mengutuki diriku sendiri, ”Senja tidak akan menitis. Senja masih malu untuk ber-tiwikrama. Bagai rumputan kering yang menunggu pagi.”

”Senja yang indah akan segera menitis. Ia akan segera menjelma menjadi suara takdir yang paling akhir,” sahutnya tanpa kuminta, masih dengan tatapan hampa.

Aku berpikir. Sepertinya aku pernah melihat lelaki ini sebelumnya, tapi di mana? Oh ya, aku ingat sekarang. Ia adalah lelaki yang pernah menyapaku dengan aneh pada sebuah acara pembacaan puisi yang pernah kuhadiri. Seorang lelaki aneh yang membuat hatiku terjerat. Namun, kenapa aku harus bertemu di taman kota ini? Sungguh sebuah pertemuan yang tidak kuduga sama sekali. Apakah pertemuan ini telah direncanakan oleh Tuhan? Tiba-tiba saja kepercayaan diriku mendadak luntur. Entah seperti apa wajahku saat itu. Sungguh aku sangat malu.

Setelah susah payah mengumpulkan keberanian, aku pun mencoba menyapanya. Tanpa diduga ia menoleh ke arahku. Ia tersenyum. Namun aku bisa merasakan senyum yang sangat dingin. Sebeku gunung es. Aku pun jadi kikuk dan jelas salah tingkah. Mata itu, oh, mata itu sungguh begitu jemu memeram kegalauan hati. Kami pun berkenalan.

”Nita.”
”Asa.”
Begitu singkat. Begitu pendek. Sungguh sangat lugas. Ia pun kembali pada keasyikannya semula, menatap senja. Agaknya lelaki ini begitu mengagumi senja.
Adakah ia titisan senja?
Tanpa kuminta, Asa mulai berceloteh perihal dirinya. Agaknya bukan berceloteh, lebih tepat bergumam sendiri. Tentu dengan mata jemu yang tak mau menoleh ke arahku. Mata yang sesungguhnya lumayan indah dan teduh itu tetap saja menatap ke depan, ke arah senja yang mulai menampakkan kilau jingga.

Asa kuliah di Fakultas Kedokteran di sebuah kampus di kotaku. Sesungguhnya ia tidak berminat menjadi dokter, seperti yang dibanggakan banyak orang tua. Ia lebih suka melukis dan menulis puisi. Ayahnya yang telah memaksanya untuk kuliah di Fakultas Kedokteran, tentu dengan harapan kelak anaknya akan menjadi dokter dan bisa cepat kaya. Padahal si anak sama sekali tidak berminat, meski ia mempunyai kemampuan untuk itu. Asa hanya ingin membahagiakan orangtuanya.

Masih dengan tatapan yang sendu, Asa memandang jauh ke arah senja. Ia seakan ingin menembus dan larut di dalam warna jingga yang disemburkan oleh senja itu. Dasar lelaki aneh, pikirku. Namun, sikap anehnya ini keburu membuat hatiku jatuh ke dalam kubangan cinta. Diam-diam aku menyukainya. Namun, ia selalu menungu titisan senja. Dan ia sangat yakin senja akan segera menitis di hadapannya.

Aku jatuh cinta kepadanya. Tapi aku tidak ingin ia mengetahuinya. Biarlah aku simpan rahasia ini hanya untukku sendiri saja. Sebab aku tak berani menduga, apakah ia juga menyimpan perasaan yang sama denganku? Duh…. aku tak sanggup memikirkannya.

***

HARI berganti hari. Minggu berganti minggu. Bulan berganti bulan. Tanpa kuduga, taman kota telah memeram kisah antara aku dan lelaki aneh itu. Taman itu senantiasa membangkitkan kenanganku padanya, meski ia tidak di sampingku lagi. Hanya taman itu yang tahu bagaimana aku mencoba memberikan hatiku padanya. Setiap senja mulai tiba, aku duduk di bangku kayu di taman kota, menunggu kehadirannya. Kami pernah menikmati senja yang bermekaran indah di hadapan kami. Namun, senja pertemuan terakhir dengannya, aku tidak pernah tahu ke mana Asa pergi. Ia menghilang begitu saja, seperti ditelan senja yang selalu jingga. Saat perpisahan terakhir ia hanya berpesan, suatu saat ia akan hadir di hadapanku membawa titisan senja. Ia yakin suatu ketika senja akan menitis di hadapannya, dan membawakan senja jingga itu, hanya untukku seorang.

Sebelum ia menghilang tanpa jejak, pertemuanku dengannya setiap senja merupakan waktu-waktu terindah yang pernah kurengkuh. Kami selalu membicarakan senja yang akan segera menitis. Sesekali ia menceritakan masalah kuliahnya. Sebentar lagi ia akan menjadi dokter. Ia akan membahagiakan kedua orangtuanya. Namun apakah ia sendiri sudah merasa bahagia dengan apa yang telah diraihnya? Hatiku selalu berdoa untuknya, agar ia berhasil dengan apa yang telah dicita-citakannya.

Meski kami suka bersama menikmati senja, perasaan cintaku masih tersekap di dalam batin. Aku tak kuasa menyatakan perasaanku padanya. Aku tak ingin ia tahu. Aku cemas kalau ia tahu perasaanku yang sebenarnya. Aku tak ingin luka karenanya. Aku tidak ingin menangis karena cinta. Maka kupendam saja perasaanku dalam-dalam.

Terlalu sering aku mendengar cerita bagaimana seorang lelaki begitu gampangnya mempermainkan wanita. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan lelaki, maka ia akan mencampakkan wanita seperti seonggok sampah tak berguna. Maka hancurlah hati wanita itu berkeping-keping, remuk-redam menahan pedih. Kalau wanita itu tidak tahan menghadapi kenyataan cinta, maka ia akan terjebak untuk melakukan bunuh diri atau terjerat narkotika. Sungguh aku tak sanggup membayangkan, kalau seandainya aku yang mengalami hal itu.

Oh…cinta, sungguh sebuah permainan dalam kehidupan. Dan kita pun dipermainkan oleh hidup, oleh cinta yang kita jalin. Itulah sebabnya aku takut senja benar-benar menitis di hadapanku. Aku tidak ingin senja kembali menjelma sebuah cinta, karena itu suatu yang muskil.

Memang suatu kali Asa pernah menanyakan siapa kekasihku. Dengan tegas aku katakan bahwa kekasih tidak pernah singgah dalam hidupku lagi. Duh… mata yang teduh itu, menghujam mataku. Sungguh hatiku tak kuat menatap telaga teduh yang seringkali dingin itu. Sadarkah ia, bahwa ialah sesungguhnya yang kuharapkan menitis menjadi sebentuk cinta yang indah serupa senja yang jingga dalam jiwa remajaku?

Terkadang aku ragu pada diriku, pada perasaanku sendiri. Sungguh, aku belum siap kecewa karena cinta. Bagiku, menderita karena cinta begitu mengerikan dan penuh dengan kesia-siaan. Aku cemas bila ia mengetahui isi hatiku. Karena itu, meski aku rindu ia, aku jauhi ia. Bukankah Kahlil Gibran pernah mengatakan, cinta tidak mesti saling memiliki? Duh… mataku belum juga mampu terpejam. Entah di mana Asa kini. Aku berharap ia menemukan titisan senja yang dulu selalu ditunggunya di taman kota itu. Adakah titisan senja akan berwujud sebuah cinta yang indah? Gemerisik angin dan gerimis saling bersahutan di luar jendela.

Denpasar, Juni 2003

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae