Rabu, 05 Januari 2011

SASTRA JENDRA

Puji Santosa
http://pujagita.blogspot.com/

Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Sastra Jendra. Secara lengkap disebut Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwatingdiyu. Sastra Jendra adalah ilmu mengenai raja agung binatara (raja yang besar kekuasaannya layaknya dewata). Hayuningrat artinya kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan dunia. Pangruwating adalah pembebasan atau pelepasan, artinya memuliakan atau mengubah watak dari buruk atau menjadi baik atau elok. Diyu artinya raksasa atau keburukan. Raja disini maknanya bukan harfiah raja, melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia sehingga mampu menguasai hawa nafsu dan pancaindranya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau mengubah keburukan menjadi kebaikan atau kebajikan. Oleh karenanya Sastra Jendra dimaknai sebagai ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk mengubah watak keburukan, kejahatan, atau angkara murka mencapai kemuliaan dunia hingga akhirat. Ilmu Sastra Jendra adalah ilmu sepadan dengan ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat, nusa, bangsa, negara, dan agama.

Gambaran dari ilmu Sastra Jendra ini adalah mampu mengubah raksasa menjadi manusia ksatria. Dalam dunia pewayangan, raksasa digambarkan sebagai makhluk yang tidak sesempurna manusia ksatria. Misalnya, kisah Prabu Salya raja dari negeri Mandraka yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa, Begawan Bagaspati. Demikian halnya dengan Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda dari negeri Mahespati memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Ingat pula kisah Dewi Arimbi, istri Werkudara atau Bimasena, harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunthi agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Kisah lainnya, Betari Uma disumpah-serapahi menjadi raksesi (raksasa perempuan) oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru itu dikemudian hari lahir sebagai raksasa sakti mandra guna, suka pemakan manusia dengan nama “Betara Kala“ (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut “Kahyangan Setra Ganda Mayit“ (tempat yang berbau mayat). Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.

Melalui ilmu Sastra Jendra maka simbol sifat-sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan diubahnya menjadi sifat-sifat manusia yang berbudi pekerti luhur dan mulia. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian makhluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Bahkan, ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran dzat-Nya, sebagai citra budi Tuhan. Filosof Timur Tengah, Al Ghazali, menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari dzat hara (udara, api, air, dan tanah) berbeda dengan jin atau malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya. Namun manusia memiliki sifat sifat yang mampu menjadi “khalifatullah“ (wakil Tuhan di dunia).

Akan tetapi, ilmu sastra jendra ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Begawan Wisrawa, seorang ksatria berwatak wiku atau pendeta yang tergolong kaum cerdik pandai, cendekiawan, arif, dan sakti mandraguna tidak ada yang mampu menadinginya untuk mendapat anugerah rahasia Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Berdasakan atas ketekunan, ketulusan, dan kesabaran Begawan Wisrawa bertpa brata di padepokan Dederpenyu itu menarik perhatian dewata sehingga memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran ilmu sastra jendra tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu tersebut membuahkan anugerah dewata datang kepadanya. Sebelum beliau “madeg pandita“ (menjadi mahawiku), Wisrawa telah lengser keprabon negeri Lokapala dan kemudian menyerahkan tahta kerajaaan kepada sang putra, Prabu Danaraja. Sejak saat itu sang wiku gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya. Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama, tapi juga para dewata.

Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra, para dewata bertanya kepada sang Batara Guru. “Duh, sang Batara Agung, siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya.“ Batara Guru menjawab: “Pilihanku adalah anak kita Wisrawa“. Serentak para dewata bertanya: “Apakah Paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bilamana diserahkan kepada manusia yang tidak mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang dapat menjadi pelajaran bagi kita semua” Kemudian sebagian dewata berkata: “Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia derajatnya dibandingkan daripada manusia“.

Seolah menegur para dewata sang Batara Guru menjawab: “Hee para dewata, akupun mengetahui hal itu, ini sudah menjadi takdir Tuhan Yang Mahakuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan kepada manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci bahwa malaikat mempertanyakan kepada Tuhan mengapa manusia yang dijadikan khalifah di dunia, padahal mereka ini suka menumpahkan darah“. Serentak para dewata menunduk malu: “Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui”. Kemudian, Batara Guru turun ke mayapada didampingi Batara Narada memberikan rahasia ilmu Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.

“Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan memberi amanah rahasia ilmu Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia”. Begitu mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan Wisrama dihadapan dua dewa itu: “Ampun, sang Batara Agung, bagaimana mungkin saya yang hina-dina, masih sukerta, dan lemah ini mampu menerima anugerah ini”. Batara Narada mengatakan: “Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu itu ada tiga. Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus ikhlas, tanpa pamrih apa pun, lila legawa. Bilamana ilmu tanpa diamalkan, ibarat pohon tanpa buah. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Dengan memanfaatkan ilmu itulah derajat manusia akan lebih mulia dan bermartabat. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik tampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik.” Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.

Setelah menerima anugerah Sastra Jendra dari dewata itu menjadikan Begawan Wisrawa bertmbah masyhur, sakti, dan berwibawa. Sejak saat itu mulailah berbondong-bondong seluruh ksatria, pendeta, dan para cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa di Dederpenyu melamar menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, ksatria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang-orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya.

Nun jauh, di negeri Alengka yang separuh rakyatnya terdiri manusia dan separuh lainnya berwujud raksasa. Negeri ini dipimpin oleh seorang raja yang masih sahabat baik Begawan Wisrawa, bernama Prabu Sumali yang berwujud raksasa. Prabu Sumali dibantu adiknya seorang raksasa yang bernama Arya Jambumangli. Sang Prabu yang beranjak sepuh, bermuram durja karena belum mendapatkan calon pendamping bagi anaknya, Dewi Sukesi. Sang Dewi hanya mau menikah dengan orang yang mampu menguraikan teka-teki kehidupan yang diajukan kepada siapa saja yang mau melamarnya. Sebelumnya harus mampu mengalahkan pamannya, yaitu Arya Jambumangli. Beribu-ribu raja, wiku, dan ksatria menuju Alengka untuk mengadu nasib melamar sang jelita. Namun, mereka pulang dengan hampa tanpa hasil mampu mengalahkan kesaktian Arya Jambumangli. Apalagi mampu menjawab teka-teki Sang Dewi yang sulit jawabannya. Tidak satu pun orang yang datang ke Alengka mampu menjawab pertanyaan sang dewi. Berita ini pun kemudian sampailah ke negeri Lokapala, sang Prabu Danaraja sedang masgul hatinya karena hingga kini belum menemukan pendamping hati. Akhirnya, Begawan Wisrawa berkenan menjadi jago untuk memenuhi tantangan Arya Jambumangli dan menjawab teka-teki puteri Alengka.

Berangkatlah Begawan Wisrawa ke negeri Alengka, hingga kemudian bertemu dengan Dewi Suksesi. Senapati Arya Jambumangli bukan lawan sebanding Begawan Wisrawa, dalam beberapa waktu raksasa yang menjadi jago Alengka itu dapat dikalahkan dengan mudahnya. Akan tetapi, hal ini tidak berarti kemenanmgan berada di tangan Begawan Wisrawa. Kemudian tibalah Sang Begawan harus menjawab pertanyaan Sang Dewi. Dengan mudah pula Begawan Wisrawa menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan oleh Sang Dewi. Akhirnya, sampailah sang dewi menanyakan rahasia ilmu Sastra Jendra. Sang Begawan pada mulanya tidak bersedia karena ilmu ini harus dengan laku tanpa “perbuatan“ sia-sialah pemahaman yang ada. Namun, Sang Dewi tetap bersikeras untuk mempelajari ilmu tersebut, agar nanti pada saatnya akan menjadi menantunya.

Luluh hati Sang Begawan, beliau mensyaratkan bahwa ilmu ini harus dijiwai dengan niat luhur dan mulia. Keduanya kemudian menjadi guru dan murid, yakni berkedudukan sebagai antara yang mengajar dan yang diajar. Hari demi hari berlalu keduanya saling berinteraksi memahamkan hakikat ilmu sastra jendra. Sementara di kayangan, para dewata melihat peristiwa di mayapada itu begitu menggetarkan. “Hee, para dewata, bukankah Wisrawa sudah pernah diberi tahu untuk tidak mengajarkan ilmu tersebut kepada bukan sembarang orang“.

Para dewata melaporkan hal tersebut kepada sang Batara Guru. “Apabila apa yang dilakukan Wisrawa, bisa-bisa nanti kahyangan akan terbalik, manusia akan menguasai kita, karena telah sempurna ilmunya, sedangkan kita belum sempat dan mampu mempelajarinya“.

Sang Batara Guru merenungkan kebenaran peringatan para dewata tersebut. “Tidak cukup untuk mempelajari ilmu tanpa laku, Sastra Jendra dipagari oleh sifat-sifat kemanusiaan, kalau mampu mengatasi sifat sifat kemanusiaan baru dapat mencapai derajat para dewa.” Tidak lama kemudian sang Batara Guru menitahkan untuk memanggil Dewi Uma. Mereka akan turun ke mayapada bersama-sama menguji ketangguhan sang Begawan Wisrawa dan muridnya, Dewi Sukesi. Hingga sesuatu ketika, sang Dewi merasakan bahwa pria yang dihadapannya adalah calon pendamping yang ditunggu-tunggu. Biarpun mereka berbeda usia, cinta telah merasuk dalam jiwa sang Dewi hingga kemudian terjadi peristiwa yang biasa terjadi layaknya pertemuan pria dengan wanita. Keduanya bersatu dalam lautan asmara, dimabukkan rasa sejiwa melupakan hakikat ilmu, guru, murid, dan adab susila. Tidak berapa lama kemudian hamillah sang Dewi dari hasil perbuatan asmara dengan sang Begawan. Mengetahui Dewi Sukesi hamil, murkalah sang Prabu Sumali. Namun, tiada daya karena kesaktian dan kemampuan lainnya lebih unggul sang begawan. Takdir telah terjadi, tidak dapat diubah oleh manusia, maka jadilah sang Prabu menerima menantu sahabatnya yang tidak jauh berbeda usia dengannya.

Dari peristiwa ini kemudian terjadilah berbagai musibah atau bencana kehidupan. Musibah pertama, terjadi ketika sang senapati Arya Jambumangli yang malu akan kejadian tersebut mengamuk menantang sang Begawan. Raksasa Jambumangli tidak rela tahta Alengka harus diteruskan oleh keturunan sang Begawan dengan cara yang nista atau hina seperti itu. Bukannya raksasa dimuliakan atau diruwat menjadi manusia, malahan bencana, musibah, malapetaka, dan keangkara murkaan akan tetap bertambah merajalela. Namun, Senapati Arya Jambumangli bukanlah tandingan Begawan Wisrawa. Akhirnya, Arya Jambumangli tewas ditangan Wisrawa dengan tubuh termutilasi oleh senjata sakti Sang Begawan. Sebelum meninggal, sang senapati sempat berujar bahwa besok anaknya akan ada yang mengalami nasib sepertinya ditewaskan seorang ksatria, termutilasi juga. Dalam perang besar Alengka, anak Wisrawa, Kumbakarna, akhirnya juga mati termutilasi oleh anak pan ah Laksmana dan Rama.

Musibah kedua, Prabu Danaraja menggelar pasukan ke Alengka untuk menghukum perbuatan nista ayahnya. Perang pun besar terjadi antara anak dan orang tua selama empat puluh hari empat puluh malam. Sebelum keduanya berhadapan, keduanya berurai air mata, harus bertarung menegakkan harga diri masing-masing. Kemudian Batara Narada turun ke mayapada untuk melerai dan menasihati Sang Danaraja. Kelak Danaraja yang tidak dapat menahan diri, harus menerima akibatnya ketika Rahwana, saudara tirinya menyerang negeri Lokapala.

Musibah ketiga, sang Dewi Sukesi melahirkan darah segunung keluar dari rahimnya kemudian dinamakan Rahwana (rah = darah, wana = hutan atau gunung). Menyertai kelahiran pertama maka keluarlah wujud kuku yang menjadi raksasi, yang kemudian dikenal dengan nama Sarpakenaka. Sarpakenaka adalah lambang wanita yang tidak puas dan berjiwa angkara, mampu berubah wujud menjadi wanita rupawan tapi sebenarnya raksesi yang bertaring. Kedua pasangan ini terus bermuram durja menghadapi musibah yang tiada henti, sehingga setiap hari keduanya melakukan tapa brata dengan menebus kesalahan. Kemudian sang Dewi hamil kembali melahirkan raksasa kembali. Sekalipun masih berwujud raksasa namun berbudi luhur mulia, yaitu diberi nama Kumbakarna, karena lahir berwujud telinga sebesar tempayan (Kumba = tempayan, karna = telinga).

Musibah demi musibah terus berlalu, keduanya tidak putus-putus memanjatkan puja dan puji ke hadlirat Tuhan yang Mahakuasa. Kesabaran, ketabahan, dan ketulusan telah menjiwa dalam hati kedua insan ini (Wisrawa dan Sukesi). Sastra jendra sedikit demi sedikit mulai terkuak dalam hati yang telah disinari kebenaran Ilahi. Pada akhirnya, Sang Dewi melahirkan bayi berwujud manusia yang tampan, elok rupawan, kemudian diberi nama Gunawan Wibisana. Ksatria inilah yang akhirnya mampu menegakkan kebenaran dan keadilan di bumi Alengka, yang kemudian berganti nama menjadi Singgelapura, menggantikan sang kakak Rahwana seusai perng besar melawan wadya bala kera. Sekalipun Wibisana harus disingkirkan oleh saudaranya sendiri, dicela sebagai pengkhianat negera, sesungguhnya Gunawan Wibisanalah yang menyelamatkan negeri Alengka dari kehancuran yang lebih parah dengan menerapkan ilmu Hastha Brata. Gunawan Wibisana menjadi simbol kebenaran mutiara atau permata yang tersimpan dalam lumpur dan sampah, namun tetap bersinar kemuliaannya. Tanda kebenaran yang tidak larut dalam lautan keangkaramurkaan serta mampu mengalahkan keragu-raguan seperti terjadi pada Kumbakarna. Dalam cerita pewayangan, Kumbakarna dianggap tidak bisa langsung masuk suargaloka karena dianggap ragu-ragu membela kebenaran, bahkan lebih suka tidur dan makan.

Melalui Gunawan Wibisana, bumi Alengka tersinari cahaya Ilahi yang dibawa Ramawijaya dengan balatentara jelatanya, yaitu pasukan wanara (kera). Peperangan dalam Ramayana bukan perebutan wanita, tahta, dan harta yang berwujud cinta Sinta, melainkan pertempuran demi pertempuran menegakkan kesetiaan dan keadilan pada kebenaran yang sejati. Pada hakikatnya peperangan besar di Alengka sebagai peperangan melawan hawa nafsu, yakni memerangi nafsu angkara, candala, iri, dengki, malas, tamak, loba, futnah, dan aniaya. Kemudian menggantinya dengan watak rahayu mulia, seperti kasih sayang, jujur, sabar, bersyukur, tawakal, tenang, damai, tentram, iklhas, tekun, religius, sosial, dan suprasosial.

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae