Oka Rusmini**
http://www.jawapos.com/
LUH SIPLEG nama perempuan tua itu. Perempuan kurus dengan beragam kerut-kerut tajam yang membuat takut orang yang menatapnya. Menurutku, Sipleg perempuan aneh, yang selalu memandang orang dengan mata penuh curiga. Penuh selidik, penuh tanda tanya. Kadang, dia juga seperti perempuan kebanyakan. Serbaingin tahu. Sering juga kulihat dia diam seperti batu kali. Aku menyukai gayanya yang naif itu. Bagiku, Sipleg perempuan dengan buku terbuka. Tak sembarang orang bisa membacanya. Akulah salah satu perempuan yang dibiarkan memasuki masa lalunya dengan santai. Tanpa dia pernah tahu aku telah mendapatkan cerita tentang hidupnya tanpa dipaksa. Aku juga tidak pernah merengek.
Aku menyukai perempuan-perempuan kuat seperti Sipleg. Dia perempuan kuno, yang tidak bisa membaca dan menulis. Bahasa Indonesianya pun putus-putus. Kadang aku tak paham apa yang dia katakan dalam bahasa Indonesia. Dia terlihat cerdas dan luar biasa bila bercerita tentang pengalaman hidupnya menggunakan bahasa Bali, lebih ekspresif, dan aku dibuat terpukau. Sorot matanya tajam, gerak tubuhnya seperti aktor tunggal dalam sebuah pementasan di panggung. Berapa umur perempuan kurus ini? Tubuhnya yang tua masih terlihat seksi dan menggairahkan? Hidupkah yang memberinya tambahan hidup? Penderitaankah yang membuatnya lebih berkuasa dari hidupnya sendiri?
Perempuan itu tinggal di sebuah desa terpencil. Umur 16 tahun kedua orang tuanya mengawinkan perempuan tipis itu dengan seorang lelaki desanya, Wayan Payuk. Orang tuanya yang tidak jelas penghasilannya berharap perkawinan yang dilakukan Sipleg dengan pemilik tanah mampu mendongkrak kehidupan mereka. Menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Di punggung Sipleglah impian dan harapan itu dibenamkan secara paksa. Hasilnya, rangkaian kemarahan terus beranak-pinak di otak dan aliran darahnya. Dia juga tidak percaya pada kata-kata. Makanya dia menjelma jadi perempuan bisu. Yang berbicara hanya matanya yang cekung dan tidak ramah. Cenderung menganggap semua hal yang dibicarakan orang-orang tidak ada artinya, tidak berguna bagi hidupnya. Sipleg tidak membutuhkan saran, yang dibutuhkannya adalah bagaimana mencari jalan keluar agar hidupnya lebih baik.
Diam baginya adalah pilihan yang tepat untuk berhadapan dengan mulut-mulut manusia yang tidak pernah berhenti memberi saran ini-itu. Tidak pernah bisa menguliti beratus penderitaan yang ditoreh di lilitan napasnya, usianya, dan jantungnya. Menjelmalah Sipleg perempuan yang jarang bicara, matanya adalah suaranya. Orang desa sering menganggap dia perempuan aneh. Mereka juga beranggapan perempuan tipis dan tinggi itu bisu, dan mengalami sedikit gangguan mental!
”Aku tidak percaya pada semua manusia yang selalu ingin tahu kehidupan orang lain. Payuk, lelaki baik. Tetapi aku tidak menyukai lelaki yang kerjanya hanya pasrah. Menyerahkan hidup pada alam, Tuhan, dan takdir. Tolol namanya manusia seperti itu! Tidak bisakah kita menentang alam, Tuhan, dan takdir? Aku ingin melawan mereka dan jadi pemenang! Melawan apa yang selama ini tabu bagi kehidupan manusia. Aku ingin memiliki jalan sendiri, jalan hidup yang kubangun dan kupercayai sendiri.”
”Hidup itu sudah ada bagian-bagiannya, Sipleg. Yang penting kita terus bekerja. Dengan bekerja hidup kita jadi lebih baik.”
”Aku tidak percaya bahwa hidup sudah dijatah. Kita memang orang miskin, orang-orang yang dianggap terkutuk! Menyusahkan. Tapi kau lihat, bagaimana berbinarnya orang-orang kaya melihat kita? Karena kita bisa diupah semaunya, kita mau bekerja apa saja untuk bisa makan. Aku tidak mau kau suruh mempercayai pikiranmu! Mulai besok, aku ikut ke sawah. Aku ikut mencangkul, menanam padi, dan memberi makan ikan!”
”Kau sedang hamil!”
”Aku tidak bisa seperti ini terus-menerus. Duduk diam. Menunggumu dan mendengarkan meme-mu mengeluh di kupingku. Mengatakan aku perempuan miskin yang tidak menguntungkan! Perempuan penuh kutukan yang bisa menulari seluruh hidup keluarga suaminya!”
Menikah dengan Payuk tidak membuat Sipleg memiliki hidup yang lain. Kemarahannya pada takdir miskin yang dicangkokkan sang Hidup di tubuhnya membuat perempuan bertubuh tipis itu selalu memeram kemarahan yang dalam. Matanya sering dipenuhi debur ombak yang ganas. Kadang, kalau dia sedang diam dan tepekur di pinggir dapur sehabis memasak, orang bisa mendengarkan gemerutuk giginya yang diadu. Matanya bisa setajam taji. Siap dilempar untuk melukai orang-orang yang berada di dekatnya. Perempuan itu merasa tidak lagi mengenali dirinya sendiri. Jam tiga pagi dia sudah bangun. Mengangkat air dari sungai. Memasak untuk perempuan tua nyinyir yang menganggap dirinya adalah kutukan! Menularkan kesialan dan kemiskinan bagi anak satu-satunya, Wayan Payuk. Lalu siapa yang menyuruh lelaki bertubuh hitam, berurat keras, itu meminang dirinya?
”Kata Payuk kau tidak bisu. Kenapa kau tak pernah bicara?” Suatu hari perempuan tua nyinyir itu mendekat. Bagi Sipleg perempuan tua yang mulai berbau tanah kuburan itu berusaha mencuri perhatiannya. Mungkin dia mulai sadar, tak ada manusia lain yang bisa diajak berbicara selain dia dan Payuk. Mungkin Payuk pernah berkata padanya, istrinya tidak bisu. Sejak kawin, Sipleg memang tidak pernah bicara. Usia perkawinan mereka sudah delapan tahun. Bahkan waktu mertua lelakinya mati, tak seorang pelayat pun diajak bicara.
”Kau marah padaku?” tanya perempuan tua itu.
Sipleg semakin jijik. Mendengar suara perempuan itu sering membuat kemarahan pada hidupnya memuncak. Teringat perempuan tua itulah yang membeli dirinya untuk Payuk. Perempuan tua itu sengaja meminjamkan uang pada ibunya. Karena perempuan tua itu tahu, ibunya tidak mungkin memiliki uang untuk membayar utang. Adik-adik Sipleg banyak. Lelaki satu-satunya di rumah hanya bapak, yang hanya bisa menaburkan benih di perut ibu. Enam adik, semua perempuan. Ibunya mirip pabrik bayi dibanding manusia. Kerjanya hanya mengandung, sampai tidak sempat merawat diri. Tubuhnya kurus. Bayi yang dilahirkan selalu prematur. Semua itu karena perempuan tolol itu sangat percaya pada lelaki yang mengawininya.
Kata bapak, perempuan yang tidak bisa melahirkan bayi lelaki, perempuan sial! Hidup tanpa keturunan lelaki, kiamat! Hidup itu sudah mati tanpa lelaki! Dan, si tolol itu percaya. Sipleg tidak bisa menghitung berapa puluh bayi yang dilahirkan mati! Hanya untuk mendapatkan bayi lelaki, perempuan itu membiarkan tubuhnya dititipi daging terus-menerus. Daging yang memakan isi tubuhnya.
Sering Sipleg berpikir, mungkinkah daging-daging yang tumbuh di perut ibunya memakan isi otaknya? Perempuan tolol itu lebih mirip benda mati dibanding benda hidup. Sipleg tak pernah mendengar suara perempuan itu memanggilnya penuh kasih. Padahal Sipleglah anak tertua. Anak yang selalu menyaksikan perempuan itu berteriak ketika mengeluarkan isi perutnya. Perempuan yang dipanggil meme itu seperti makhluk asing yang tidak dikenalnya. Tanpa suara, tanpa mimpi, tanpa keinginan, tanpa kasih sayang, tanpa tujuan. Hidup apa yang sedang dijalani perempuan itu?
Hari-harinya diisi dengan mempersiapkan segala keperluan lelakinya. Lelaki yang selalu pulang larut malam dan mendengkur sampai siang hari, kadang sampai sore. Sipleg memanggil lelaki itu bape, bapak. Dia juga makhluk asing, yang tidak pernah memangkunya, memanggilnya dengan kasih. Kalau lelaki itu bicara selalu berteriak, kasar, dan menjijikkan. Dia tidak pernah tahu betapa perempuan-perempuan di rumah ini sudah seperti gundik-gundik yang tidak boleh memiliki keinginan. Ibunya pernah disiram kopi panas, karena dia lupa memberi gula.
Ada keanehan yang sering membuat Sipleg bertanya pada dirinya sendiri: ibunya tidak pernah menangis? Padahal perempuan itu sering dipukul, dimaki, dan diperlakukan sangat tidak manusiawi oleh bape. Dia hanya diam.
Suatu pagi, ketika Sipleg akan berangkat ke ladang, dia mendapati ibunya sedang menggunting rambut di atas ubun-ubunnya. Wajah perempuan itu dilumuri darah yang terus mengalir dari batok kepalanya.
”Meme, Meme kenapa?” Sipleg menggigil. Perempuan itu terdiam. Lalu bergegas berlari ke ladang. Mencabuti serumpun tanaman kunyit. Menggerus kunyit itu dan menempelkannya di ubun-ubun. Tak ada suara. Tak ada tangis, tak ada rintihan. Dua menit kemudian, darah tidak mengalir lagi dari batok kepalanya. Sepulang dari ladang memetik sedikit cabe dan sayuran.
Sipleg membersihkan kamar bape. Sebuah linggis tergeletak di depan pintu. Penuh darah. Bahkan seprei dan baju lelaki itu penuh percikan darah. Lelaki sial itu masih mendengkur. Benar-benar binatang, lelaki yang satu ini. Pelan-pelan Sipleg menyentuh tubuh linggis itu. Terasa dingin dan membuatnya menggigil. Tubuh kecilnya tiba-tiba saja berkeringat. Dielusnya tubuh benda tumpul itu. Begitu kasar dan terasa menggairahkan.
Hyang jagat berapa usia perempuan kecil itu sekarang? Tiga belas? Empat belas? Atau dua belas tahun? Sipleg merasakan ada hawa yang lain mengalir dalam tubuhnya. Sebuah kenikmatan yang aneh. Terlebih ketika linggis itu didekapnya ke dada. Terasa dingin dan nikmat. Seolah linggis itu memiliki jari-jari kokoh dan liat, menyentuh dua bukit kecil yang mulai mengeras di dadanya. Bukit itu jadi terasa lunak dan Sipleg merasakan kenikmatan yang belum pernah dirasakannya. Sebuah pelukan yang dia impikan. Benda penuh darah itu membuat perempuan kecil itu menemukan kenikmatan yang selama ini hanya bisa dibayangkan. Luar biasa rasanya.
Sipleg pun meraba keruncingan tubuh linggis itu. Dia menciumnya. Merapatkannya ke bibirnya yang kecil. Tekanan yang kuat pada linggis itu membuat bibir Sipleg tergores. Sipleg membuka mata dan menjilati darah yang menetes dari bibir atasnya. Sipleg mengangkat tubuh linggis itu pelan-pelan. Matanya yang tajam melucuti tubuh lelaki yang tergeletak dengan damai di atas kasur. Hawa panas menaburi tubuhnya. Tiba-tiba saja Sipleg mengangkat tubuh linggis itu, tangannya yang kecil gemetar. Betapa inginnya dia menancapkan tubuh linggis di dalam dekapannya ke dada lelaki besar itu. Lelaki yang telah melumat tubuhnya. Dia bergerak mendekat…
”Sipleg…” Sebuah suara mematahkan langkahnya.
”Sedang apa kau di sini!” Perempuan itu berkata dingin.
”Bukankah Meme yang menyuruhku membersihkan kamar bape?”
Perempuan kurus itu menatap mata anak perempuannya tajam. Sipleg menunduk. Ada sesuatu yang tidak bisa ditentang dalam tubuh Ni Nyoman Songi, matanya yang selalu ingin mengupas tubuh perempuan lain. Sipleg tidak habis pikir, kenapa dia yang selalu dimusuhi perempuan ini. Kenapa bukan I Wayan Sager, lelaki yang mendengkur tanpa dosa di depan mereka. Sipleg menurunkan linggis dari dadanya, menancapkan tubuh linggis itu di lantai. Penuh kemarahan sampai lantai semen di kamar itu retak. Lelaki setan itu tetap mendengkur. Sipleg merasa telah menancapkan di lubang otak lelaki itu. Songi tetap menancapkan matanya di tubuh anak perempuannya. Sampai perempuan kecil itu keluar dari kamar dengan tetap mendekap linggis di dadanya. Seperti mendekap boneka-boneka mahal yang dijual di toko-toko mainan. Tiba-tiba saja tubuh perempuan ini ambruk, lalu melangkah keluar dari kamar Sager dengan hiasan darah di selangkang kakinya. Dia menyeret tubuhnya mendekati balai-balai di depan kamar Sager.
”Sipleg…,” jeritnya terbata-bata. Sipleg terdiam. Dia sudah hapal harus melakukan apa.
***
SEORANG dukun dipanggil dari seberang desa. Perempuan tua dengan bau tubuh aneh. Mulutnya selalu disumbat tembakau. Rambutnya gimbal. Giginya hitam. Kukunya juga hitam. Bau kain yang menyelimuti tubuh perempuan itu anyir dan membuat Sipleg selalu bersin. Bau darah yang mengering. Orang-orang di lingkungan desanya sering berbisik pada Sipleg, ”Bawalah meme-mu ke puskesmas. Seorang bidan akan menolongnya.”
”Apa kau tidak takut melihat mata perempuan tua itu?”
”Dari baunya yang aneh sudah membuat bulu kudukku berdiri.”
”Aku tidak percaya padanya. Dulu, ketika meme-ku melahirkan adikku semua mati ditolong perempuan itu. Kata orang-orang meme-ku melahirkan sebelas anak. Tak ada yang hidup kecuali aku.”
”Perempuan itu sakti. Memakan bayi-bayi untuk menambah kesaktiannya. Umurnya ratusan tahun. Dia tidak mungkin mati. Bayi-bayi yang ditolongnya dipakai untuk menebus usianya.”
”Aku merasa perempuan itu menukar bayi Songi dengan bayi mati. Kau pernah melihat bayi-bayi yang dilahirkan Songi? Tubuh bayi itu biru. Bau busuk menguap dari kulitnya. Seperti bau mayat busuk puluhan hari.”
”Aku juga pernah memandikan mayat bayi Songi. Lehernya seperti habis dicekik.”
”Ada juga yang kepalanya membesar. Tanpa jari-jari tangan. Pernah kulihat dia melahirkan bayi yang sudah ada giginya. Mulutnya menyatu dengan saluran hidung.”
”Bukankah perempuan tua itu hampir buta. Siapa nama perempuan itu?”
”Ni Ketut Grubug.”
”Namanya membuat aku merinding. Terdengar aneh.”
”Sepertinya kedatangannya akan membawa bencana.”
”Nama yang mengancam hidup orang lain.”
”Bukankah artinya bencana?”
”Ya, bencana yang mengerikan.”
”Apakah benar dia membunuh bayi-bayi yang dikeluarkan dari tubuh perempuan-perempuan desa ini?”
Semua perempuan kampung itu terus bicara. Sipleg hanya terdiam. Berpikir, apakah perempuan-perempuan hanya bisa bergosip? Ingin tahu semua urusan orang? Dan, bersorak girang atas bencana yang dialami oleh perempuan lain. Termasuk dirinya. Apakah perempuan-perempuan itu juga punya perhatian serius pada hidupnya? Hidup seorang perempuan kecil. Sipleg menggigit bibir. Aku juga seorang perempuan! Sama dengan mereka!
***
BOCAH kecil itu terus berlari menembus gelap, menebas udara dingin. Kaki kecilnya tanpa sandal, sudah hapal membaca arah. Sudah terbiasa ditumbuhi duri dan beling. Sudah terbiasa terluka. Nikmat rasanya bila darah keluar dari kakinya. Sipleg sering membiarkan rasa nyeri menggerogoti kakinya, seolah ikut melemaskan tulang-tulang, juga pikirannya. Rasa nyeri yang aneh. Bila dia berjalan pincang, seluruh tubuhnya seperti berolahraga. Sipleg sangat menikmati. Tetapi perempuan yang tubuhnya sering ditumbuhi daging selalu mendelik. Lalu dengan kasarnya dia akan menyeret tubuh kecil Sipleg ke dapur. Matanya mendelik. Tangannya mencengkeram tubuh Sipleg dengan keras. Biasanya Sipleg pasrah. Kadang ada aliran aneh bila tubuh perempuan itu menyentuh tubuhnya. Sipleg merasa punya teman. Dia pun tidak bergerak ketika tubuh ibunya mendudukkan tubuh kecilnya di dapur. Dia begitu cekatan memarut kunyit, dan menggosokkannya ke kaki kecilnya. Dengan penuh amarah. Sipleg tidak meringis, sekalipun kaki itu sudah membengkak.
Rasanya senang membuat perempuan itu bisa sedikit berpaling dari urusan daging di perutnya. Sipleg senang kalau tubuhnya terluka. Songi akan terus mengawasi kondisinya dengan sorot mata yang sangat tidak ramah. Tubuhnya akan berkeringat bila mengobati bagian-bagian tubuh Sipleg yang berdarah. Tangannya begitu terampil. Napasnya turun naik. Dan, sebutir keringat akan jatuh dari keningnya mengenai kulit Sipleg. Udara yang panas akan menjelma sejuk. Sipleg pun akan terus menatap mata Songi yang selalu tidak ramah. Rasanya ingin sekali membuat persoalan besar yang bisa membuat perempuan yang pernah mengandung tubuhnya itu menjerit. Marah. Atau menangis, atau berteriak-teriak karena Sipleg nakal dan memuakkan. Atau tangannya akan mencubit tubuh kecilnya yang liat. Atau menepuk pantatnya yang tipis. Atau…. Apa ya? Semua itu tidak pernah dilakukan Songi. Sipleg masih berlari, sambil terus menerawang membayangkan hidupnya, tubuhnya, mimpinya, keinginannya….
Pikirannya segera tergulung, perempuan tua yang berdiri di hadapannya sudah berdiri kaku di pintu rumahnya. Tanpa bicara perempuan itu menyuruh Sipleg pergi. Sipleg pun akan berlari kencang. Anehnya dia selalu kalah. Perempuan tua itu pasti sudah ada di ambin ibunya ketika dia masuk ke halaman. Bau ketuaan. Bau darah. Bau usia, bau daum-daun aneh yang diusapkan di perut ibunya. Mata dukun beranak itu dingin. Tak pernah ada senyum. Mulutnya tak pernah mengeluarkan suara. Perempuan inikah yang mengeluarkan dirinya secara paksa dari perut ibunya? Sipleg menggigil. Setiap perempuan itu datang Sipleg ingin membakarnya hidup-hidup. Perempuan itu selalu menyuruhnya menunggui ibunya yang menjerit-jerit kesakitan. Bahkan Sipleg pernah melihat sepasang bambu dijepitkan di kepala adiknya yang baru lahir. Suatu kali, batang bambu itu menggores kepala adiknya yang tipis. Darah muncrat, matilah adiknya.
Bagaimana perempuan tanpa perasaan seperti itu menolong sepotong kehidupan? Bapak tak pernah menunggui ibu. Kadang dia mabuk dan memaki-maki. Marah dengan teriakan ibu yang melolong keras. Banyak daging yang tumbuh dalam perut ibu mati. Perempuan itu memang tak punya jiwa. Dia masih terus membiarkan tubuhnya ditumbuhi daging. Tak pernah peduli pada anak-anaknya yang lain. Usia adik-adik Sipleg tidak sampai lima tahun, mereka mati satu demi satu. Ibu tetap tidak peduli. Perempuan apa yang telah melahirkan aku? Satu-satunya manusia yang bisa bertahan hidup adalah dirinya. Seorang perempuan! Hanya lelaki yang bisa melanjutkan keturunan. Memuja leluhur. Meneruskan garis keluarga. Makanya, perempuan kumuh dan kurus itu tega menjual Sipleg ke Payuk. Tanpa hati, karena perempuan dekil itu memang tidak punya hati. Tidak punya rasa. Membiarkan adik-adiknya kelaparan, makanya banyak adik Sipleg yang mati. Perempuan itu juga tidak punya air mata. Dia terus mengandung, tanpa pernah merasakan apa-apa. ***
Denpasar-Bali
*) Nukilan dari novel Tempurung (Garsindo Jakarta, 2010)
—
**) Penyair dan novelis yang tinggal di Denpasar
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 05 Februari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar