Gus Martin
http://www.balipost.com/
AKU punya rasa sesal amat sangat yang kini kupendam jauh di dasar hatiku. Kadang menyakitkan. Rasa sesal itu, bukan lantaran aku terlahir berbekal cacat dan keanehan yang dalam sepanjang perjalanan hidupku memberi kesempatan pada banyak orang untuk menolok-olokku, menghinaku, dan mentertawaiku. Rasa sesal itu, justru lantaran bagian tubuhku yang tak wajar itu kini sudah diamputasi dan dikremasi.
Pun rasa sesal itu bukan hanya ada padaku, juga pada Mangku Boka, kakekku yang juga bapakku itu. Malah dia sepertinya sudah enggan melihatku. Di samping sarat sesal, sorot matanya acapkali berkaca-kaca ingin menusukku. Meski berkali-kali kuyakinkan perasaanku bahwa di balik itu hati kakekku penuh kasih, toh sorot mata dan kebisuannya tetap saja seperti tak bersahabat.
Malam itu sengaja aku datang ke padepokan kakekku. Melihat aku datang, ia hanya mendehem sembari menyalakan beberapa lampu templek berbahan bakar minyak tanah itu. Aku duduk dan menunduk. Sebagaimana kebiasaanku, terlebih dalam situasi dingin dan renggang seperti ini, aku memang tak berani menatapnya berlama-lama.
“Saya sangat menyesal, Kek,” kataku memberanikan diri.
Perlahan, kakekku berjalan agak mendekat ke arahku, lalu berdiri di depanku, membelakangiku. Matanya menerawang ke gelap malam dan terang rembulan. Jenggot putih panjangnya dan busana putih kusamnya yang berlipat-lipat mirip busana para bhagawan dalam cerita pewayangan Mahabharata itu sesekali bersemilir diterpa angin kecil.
“Kakek tidak apa-apa jika itu juga sudah menjadi keputusanmu. Demi masa depanmu juga, demi nama baikmu, agar kamu tidak menanggung aib sebagaimana dikatakan banyak orang di desa ini. Kelak kamu juga akan dewasa dan menikah,” katanya dengan suara berat yang membuat bulu kudukku berdiri.
Kuberanikan diri menatapnya. Dari kilatan sinar samar-samar lampu templek kulihat airmatanya menitik. Tiba-tiba muncul dorongan hatiku untuk menabrakkan tubuhku seraya memeluknya erat-erat. Kakekku menarik nafas panjang dan mengusap-usap kepalaku. Aku lantas tak bisa menahan ketika tangisku tumpah. Pelukanku terasa kian kuat. Ada gelombang hangat dari tubuh kakekku mengalir di tubuhku.
Barangkali gelombang hangat seperti itu juga yang kuterima hampir dua puluh lima tahun silam ketika tubuhku yang kecil merah telanjang menggeliat dalam lengking tangis. Bapakku mencerai ibuku dan ibuku frustrasi lalu bunuh diri. Di tengah galau ibuku yang tergeletak mati dengan urat nadi teriris pisau dan kemungkinan tubuhku yang masih berupa orok merah terkulai merana di puskesmas desa, kakekku yang di desaku dianggap pendekar sakti itu cepat menyelamatkanku.
Petugas puskesmas dan orang-orang seisi desa yang sebenarnya sedang dilanda konflik permanen itu ternganga dan tidak mampu berkata-kata. Jika toh mereka sempat berkata-kata, itupun hanya dalam bisik-bisik penuh kesinisan dan memaki-maki. Hampir seluruh tanah desaku bergetar, sebagian kecil orang-orang sibuk dalam tanya dan sebagian besar tak peduli. Ada di antara mereka yang tidak cukup ternganga pada kematian ibuku yang tragis atau bapakku yang lari entah ke mana, tetapi lantaran kelahiranku yang tak lazim. Aku lahir berekor!
Semula ekorku hanya tiga centimenter. Namun seiring pertambahan usiaku, ekorku pun bertambah panjang. Awalnya, ketika usiaku menginjak tiga tahun, tim ahli medis dari pemerintah serta sejumlah lembaga sosial meminta agar ekorku itu diamputasi atau dipotong saja dengan alasan kemanusiaan. Pemerintah pun sudah siap menanggung biaya operasinya. Namun, kakekku menolak mentah-mentah. “Biarkan cucuku ini tumbuh apa adanya. Ini tanggung jawabku sepenuhnya,” kata kakekku kala itu.
Akhirnya aku tumbuh apa adanya. Aku tidak pernah merasa menyesal atau keberatan dengan ekorku yang ternyata telah tumbuh menjadi sekitar empat puluh centimeter lebih itu. Ekor yang selalu kulingkarkan ke pinggang tersembunyi di dalam baju dan celanaku itu pun sudah kuanggap seperti bagian tubuh normalku yang lain. Meskipun aku sering jadi bahan cemoohan teman-temanku di sekolah maupun di desa, aku tak pernah merasa minder. Meskipun ada sejumlah tokoh di desaku berkehendak mengusirku dari desa karena aku dinilai membawa aib desa, aku tak gentar karena kakek membelaku dan tokoh-tokoh desa itu takut pada kakekku.
Banyak orang menilai tindakan Mangku Boka, kakekku itu, yang membiarkan ekorku tumbuh, sinting dan tak berperikemanusiaan. Aku malah tak mengerti soal itu. Yang kutahu dan kurasakan, kakekku sayang padaku. Aku diajarinya segala hal yang ia kuasai, dari mengukir patung sampai ilmu silat dan tenaga dalam. Usaha kakekku ternyata tak sia-sia, di usia belia aku sudah menjadi pematung terkenal di kampung serta punya sedikit kemampuan silat serta tenaga dalam. Karya-karya patungku yang populer adalah patung-patung kera dengan tatahan bulu-bulunya yang kubikin halus.
Sampai suatu ketika, ada Profesor Freitz, seorang wisatawan yang juga peneliti dan pengamat seni asal Prancis, satu di antara sejumlah wisatawan asing yang pernah mampir di studio patungku, menyelami kehidupanku lebih jauh. Mungkin lantaran sudah banyak mendengar dari orang-orang di kampungku, ia tertarik menanyakan perihal ekorku.
Di hari-hari kemudian, Freitz jadi kian akrab denganku. Sampai tiba saatnya ia mengemukakan keinginannya untuk mengajakku ke Prancis untuk dua tujuan, menyuruhku berpameran patung tunggal serta menjadikanku bahan penelitian atas keberadaan ekorku. Semua itu atas biaya Freitz sendiri. Hatiku bersorak, ini kesempatan yang tak boleh kusia-siakan.
Atas prakarsa Freitz, aku pun menggelar pameran patung tunggal di sebuah galeri ternama di Prancis. Sambutan peminat seni di sana sangat bagus, aku diwawancarai sejumlah media dan nyaris semua patungku laku diborong para kolektor. Freitz mengaku amat senang. Perihal tujuan keduanya, penelitian atas ekorku, dilaksanakan pada akhir pameranku. Penelitian dilaksanakan Freitz bersama rekan-rekannya yang juga para ahli di sebuah laboratorium. Entah karena apa, ketika sampai pada keinginan mereka untuk mengamputasi ekorku, demi kewajaran hidupku kelak, aku malah setuju.
Wajah kakekku pun pucat pasi ketika aku kembali pulang dengan ekorku yang sudah diamputasi dan kubungkus dengan kain putih. Uang yang kubawa banyak dari hasil penjualan patung di pameran itu sama sekali tak ada artinya bagi kakek. “Mengapa kamu ceroboh dan senekat itu tanpa pernah sekalipun minta pertimbangan kakek?!” hanya itu kalimat yang diucapkan kakekku dengan suara bergetar. Sepertinya sudah tidak ada gunanya aku minta maaf karena permintaan itu bagiku bagai sejumput garam di lautan kekesalan kakekku.
Kini aku bersimpuh kaku di belakang kakekku.
“Kamu lihat orang-orang di kampung kita. Mereka rata-rata sudah mabuk dalam kubangan nafsu hewani. Mereka larut dalam konflik sengketa berkepanjangan, tidak punya nurani, brutal, rakus, buas, liar, saling tikam, rebut warisan, bunuh saudara, berebut kuburan, merusak alam, tidak tahu sopan santun, memakan bukan hak milik, merusak rumah tangga orang lain, pembual dan penipu. Mereka itulah sesungguhnya binatang-binatang yang kehilangan ekornya, bukan manusia yang dianugerahi ekor seperti kamu. Sekarang ekormu telah kamu potong, kakek khawatir kamu kelak akan jadi seperti mereka,” papar kakekku.
Bulu tengkukku bergidik. Tangisku tumpah lagi sehingga membuat dadaku sesak. Perasaanku bercampur aduk antara penyesalan, cintaku yang dalam pada kakek, dan ketidak-mengertianku atas semua penjelasan kakekku itu.
“Sudahlah, tidak usah kamu sesali lagi dan kakek juga akan menerima semuanya. Kamu juga tidak akan pernah mengerti maksud kakek. Kelak, kamu akan berkeluarga dan hidup sewajarnya. Sebelum kakek pergi, perlu kamu tahu sesuatu yang selama ini belum pernah kamu tahu…,” ujar kakekku sembari secara perlahan menyingkap sebagian bokongnya. Di sela kainnya yang berlipat-lipat, menjulur ekor yang panjangnya kutaksir sekitar satu meter lebih. Nafasku seperti berhenti bertiup.
Dalam hitungan detik, tubuh kakekku lenyap tanpa bekas diiringi hembusan pusaran angin sebagaimana sering dilakukannya. Beberapa lembar daun kering di halaman depan terbang berputar-putar dan sinar lampu templek bergoyang ringan. Entah berapa lama aku bersimpuh dan tertegun di sana, aku sudah tak ingat lagi.
Denpasar, Februari 2009
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 05 Februari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar