Sabtu, 05 Februari 2011

Taufiq Ismail: Sistem Pendidikan Sastra Kita Keliru

Pewawancara: Oka Rusmini, Gus Martin
http://www.balipost.co.id/2003/3/23

Di tengah hiruk-pikuk perkembangannya, ternyata sastra Indonesia sesungguhnya masih terasa asing dan sendiri. Kesunyian inilah yang membuat Taufiq Ismail merasa harus turun ke daerah-daerah, sekolah-sekolah, universitas, untuk memperkenalkan kembali karya sastra Indonesia di mata pelajar, bertahun-tahun tanpa lelah. Akhirnya, perjuangan sastrawan ini mendapat perhatian dari Universitas Negeri Yogyakarta. Dia dianggap berjasa besar dalam konstelasi pendidikan sastra. Pada 8 Februari 2003 Taufiq pun dianugerahkan Doktor Honoris Causa. Berikut petikan wawancara Bali Post dengan Taufiq Ismail.

APA arti anugerah Doktor Honoris Causa bagi Anda?
Kehormatan besar. Saya terharu dan gembira. Terharu karena apa yang saya dan kawan-kawan sastrawan selama sekitar enam tahun belakangan ini kerjakan, diperhatikan. Gembira karena bukan hanya diperhatikan, tetapi dihargai oleh dunia akademik. Dalam kurun masa enam tahun ini — 1996-2002, kami meluncurkan enam gerakan sastra, dengan sasaran dunia pendidikan, bertujuan meningkatkan budaya baca buku, kemampuan menulis dan menumbuhkan apresiasi atau kecintaan dan penghargaan pada sastra di kalangan anak didik kita di SMU.

Bisa dicontohkan apa upaya real penerapan enam gerakan sastra tersebut?
Enam gerakan sastra tersebut adalah pertama, menerbitkan sisipan “Kakilangit” di majalah Horison, sebuah ruang sastra diperuntukkan bagi siswa SMU yang dapat langsung dipakai di kelas sejak 1996. Kedua, kami melatih guru-guru bahasa dan sastra dalam “Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra” (MMAS) sejak 1999 di 11 kota, sebanyak sekitar 30 kali, diikuti kira-kira 1.500 guru. Untuk guru-guru di Bali, Lombok dan sekitarnya kami laksanakan di Mataram tahun yang lalu. Ketiga, kami membawa sastrawan ke SMU, agar siswa bertemu langsung dengan sastrawan, mendengarkan karyanya dibacakan sendiri dan berdialog. Nama kegiatan ini “Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya” (SBSB). Di Bali, kami pergi ke 14 sekolah di sembilan kota, didukung oleh 11 sastrawan Bali dan enam sastrawan dari luar Bali.

Keempat, “Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca” (SBMM), yaitu sastrawan berdialog dengan mahasiswa sastra dan mahasiswa calon-calon guru bahasa/sastra di sembilan universitas. Kelima, lomba mengulas karya sastra dan menulis cerita pendek untuk guru SMU, LMKS dan LMCP. Keenam, “Sanggar Sastra untuk Siswa” di 12 kota. Ini untuk menampung kegiatan sastra siswa di luar jam pelajaran sekolah.

Tapi Anda kan tidak bekerja sendiri atau boleh dikata itu ide kolektif?
Benar. Berbeda dengan gelar S-3 yang diperoleh melalui kerja keras membaca buku sumber, memilih masalah, melakukan wawancara, sampling, penelitian, menuliskannya dan mempertahankannya, yang kesemuanya adalah kerja satu orang dan hasilnya dinikmati satu orang itu juga. Maka dalam hal saya, itu berbeda. Saya tidak bekerja sendiri. Bahkan idenya juga ide bersama, yang dibicarakan secara kolektif. Keenam gerakan ini melibatkan begitu banyak orang, antara 100-150 orang. Jadi mestinya gelar Doktor HC yang satu ini dipakai beramai-ramai.

Bagaimana Anda memandang kondisi sastra Indonesia di Indonesia sendiri?
Kalau bagus, sehat, penuh energi dan perkasa, saya dan kawan-kawan tidak perlu melakukan enam gerakan sastra ini. Kalau publik membaca buku sastra seperti makan kacang goreng, kalau majalah sastra 50 buah terbit berserakan di seluruh propinsi, kalau jumlah sastrawan 5.000 orang tersebar se-Nusantara sehingga kritikus repot mengenali mereka, kalau proporsi jumlah judul buku terbit setiap tahunnya mendekati proporsi jumlah judul buku di negara-negara ketiga di dunia, maka enam gerakan sastra ini tidak relevan lagi.

Apa kelemahan karya sastra Indonesia sehingga bisa tidak diminati bangsa Indonesia sendiri? Apa kesalahan terletak di pengarang atau ada sistem tersendiri yang merusak minat dan gairah anak bangsa ini untuk membaca sastra?
Kesalahan tidak terletak pada pengarang. Yang keliru adalah sistem pendidikan sastra kita. Saya menduga kuat sebab utamanya adalah karena kewajiban membaca karya sastra, bimbingan mengarang dan apresiasi sastra di sekolah luar biasa terlantar di sekolah-sekolah kita. Melalui pengamatan saya pada 13 tamatan SMU 13 negara (1997), diperoleh perbandingan bahwa bila di negara-negara lain dalam 3-4 tahun para siswa SMU negara-negara itu wajib membaca antara 6-32 judul buku sastra, maka dalam jangka waktu belajar yang sama, siswa SMU kita membaca nol judul buku. Dan ini sudah berlangsung 60 tahun lamanya. Ini luar biasa menyedihkan. Tamatan SMU selama 60 tahun itu, merupakan lapisan masyarakat terpelajar kita sekarang. Bila dulu mereka di SMU tidak jatuh cinta pada bacaan sastra, ketika mereka jadi anggota masyarakat, kecil kemungkinan akan cinta pada sastra. Apalagi karena di negeri kita ini jurusan IPA, jurusan ilmu eksakta, sangat diunggul-unggulkan, berlebihan disanjung-sanjung, sehingga sastra tersisih ke pinggir jalan raya.

Solusi apa yang harus kita ambil untuk menggairahkan minat baca anak negeri ini pada sastra?
Pertama, perbaiki pendidikan dan pengajaran sastra di sekolah kita, sejak dari SD sampai SMU. Inilah yang ingin dicapai enam gerakan sastra ini. Kedua, untuk keluarga-keluarga yang kepala keluarganya (suami-istri) cinta sastra, agar mendidikkan bacaan sastra kepada anak-anak di rumah. Tidak harus buku sastra, pada awalnya, tapi asal bacaan yang baik untuk mereka. Literasi buku kita tanamkan di lingkungan yang paling dekat dari kita, yaitu keluarga kita. Ketiga, kita lakukan berbagai kegiatan masyarakat yang menggairahkan budaya baca dan kemampuan menulis. Pelajaran menulis sangat telantar di sekolah kita. Anjurkan anak-anak, termasuk diri kita, agar secara teratur menulis dan berkirim surat. Ke mana saja, asal menulis surat. Ini latihan mengarang yang bagus sekali, tak makan waktu. Penjualan perangko di kantor pos kita, ini cerita sedih dan memalukan lagi, terendah di dunia. Menulis surat pun, kecuali selamat hari raya dan tahun baru, kita malas.

Secara pribadi apa sesungguhnya makna membaca sastra bagi kehidupan seorang individu?
Menumbuhkan kearifan pada manusia dan kehidupan, mengasah sensitivitas estetiknya atau kepekaan terhadap keindahan, memupuk empati pada duka derita orang-orang yang malang, menyerap nilai-nilai luhur kemanusiaan, seperti antara lain keimanan, kejujuran, ketertiban, tanggung jawab, optimisme, kerja keras, keberanian mengubah nasib, penghargaan pada nyawa manusia.

Ketika mengadakan SBSB, harapan apa yang Anda ingin tanamkan?
Ketika 60 orang sastrawan yang pergi ke 82 kota, masuk ke 123 SMU di 17 propinsi dan berdialog dengan 58.000 siswa dan guru tiga tahun berturut-turut sejak 2000, kesan kami bersama adalah bahwa mereka antusias mendengarkan karya sastra dibacakan, bersemangat dalam dialog, tak canggung mengemukakan pendapat bahkan berani menyampaikan kecaman. Jadi bibit cinta mereka pada sastra, ada. Tinggal lagi, atau selanjutnya, bibit ini mesti disemai dengan baik oleh guru. Guru atau sekolah itu harus dibantu dengan penyediaan buku sastra di perpustakaan sekolah. Dan ini sudah mulai disediakan oleh Dikdasmen, atau Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah. Kami juga membantu dengan menyusun antologi karya sastra “Dari Fansuri ke Handayani” dan 4 jilid bunga rampai “Horison Sastra Indonesia”, total 25.000 eksemplar, yang telah dibagikan ke perpustakaan 4.500 SMU di Indonesia.

Apakah efektif program yang sedang Anda jalankan sekarang bagi perkembangan minat baca siswa pada sastra?
Karena program kami tidak hanya satu, dengan sasaran tiga, maka menurut hemat saya sebagai perangsang pertama, efektif. Penggarapan ditujukan kepada siswa, mahasiswa dan guru. Bentuknya stimulasi, pelatihan, pembinaan sampai penyediaan buku. Dilihat dari segi pendanaan, maka “Kakilangit” kami danai sendiri. Pelatihan guru MMAS dan lomba mengarang LMKS-LMCP didanai Depdiknas, sedangkan SBSB, SBMM dan SSSI disponsori Ford Foundation. Ketiga kegiatan yang didanai Ford Foundation sejak 2000 ini, akan selesai 2004. Mengingat efektifnya ketiga butir kegiatan ini, sayang kalau nanti tidak diteruskan sesudah 2004. Alhamdulillah Depdiknas setuju untuk melanjutkan kelak. Kami gembira sekali atas respons positif Depdiknas ini.

Harapan jangka panjang Anda?
Dalam jangka panjang, saya bermimpi kita bisa mengejar ketertinggalan kuantitatif siswa kita dalam hal membaca dan menulis. Siswa SMU Amerika Serikat, ketika mereka tamat, mereka telah membaca 4.824 halaman karya sastra. Siswa Malaysia (Kolej Melayu Kuala Kangsar, sebuah SMU unggulan), ketika tamat, telah menulis sebanyak 2.016 halaman ketik kuarto. Bukan main. Luar biasa. Saya bermimpi semoga dalam waktu 20 tahun kita bisa mengejar separo dari angka-angka di atas. Mudah-mudahan bisa lebih dari separo.

Bagaimana Anda memandang perkembangan kondisi karya sastra Indonesia saat ini?
Di atas lahan 60 tahun merosotnya budaya baca buku dan bimbingan menulis kita, dengan kegersangan top soil bumi penulisan Indonesia ini, maka perkembangan kondisi karya sastra Indonesia hari ini, bagi saya menakjubkan. Bahwa masih ada yang gigih menulis sastra dalam keadaan seperti ini, dan tetap saja ada yang berusia muda menulis tidak peduli — barangkali malah tidak tahu — dengan ketidaksuburan lahan sekitar ini, saya bersyukur sekali.

Kenapa karya sastra Indonesia tidak bisa berkembang seperti karya-karya sastra pengarang Jepang? Di mana sesungguhnya letak kelemahannya?
Sekali lagi saya merujuk kepada pendidikan dan pengajaran sastra di sekolah. Responden Jepang saya, bersekolah di SMU Urawa, 1969-1972, wajib membaca 15 judul buku sastra, belum dihitung karya sastra asing terjemahan. Latihan menulisnya mirip dengan latihan menulis siswa Eropa dan Amerika. Bentuk puisi haiku — puisi alit Jepang yang sangat indah itu, dilatihkan kepada seluruh siswa SMU Jepang, sehingga estetikanya tertanam dalam di lubuk hati dan otak mereka. Di sisi itu, walau orang Jepang penguasaan bahasa asingnya terutama dari segi lafal lemah, tapi terjemahan karya sastra asing kontemporernya sangat up to date, sehingga mereka kenal karya-karya besar sastra dunia hari ini. Karya besar terbit 1-2 bulan yang lalu di Amerika dan Eropa, bulan depan sudah beredar terjemahan Jepangnya. Jadi interaksi mereka cepat dan menyeluruh. Semua faktor tersebut, ditambah lagi dengan daya beli publik yang tinggi, menyebabkan sastrawan Jepang berkembang dengan pesatnya.

Apa sesungguhnya yang harus dimiliki oleh pengarang agar bisa menulis karya yang benar-benar bagus?
Membaca, membaca dan membaca, lalu menulis, menulis dan menulis.

Ada indikasi, popularitas seorang pengarang sangat menentukan laku karya-karyanya. Sejauh mana peran media massa koran, televisi, radio, terhadap perkembangan sastra Indonesia, terutama dari segi gencarnya publikasi?
Peran media massa besar sekali. Public relations sudah menjadi sains terapan yang ampuh benar dalam menyampaikan pesan-pesan. Contoh bertebaran di sekitar kita. Pesan-pesan itu bisa berbentuk pesan dagang, politik, ide, sastra, bahkan hasutan. Kerja sama dengan media massa, untuk meneruskan pesan, penting sekali.

Apa kontribusi sastra daerah terhadap perkembangan sastra modern Indonesia?
Kontribusi sastra daerah penting. Sastra daerah memperkaya sastra Indonesia. Bahasa daerah memperkaya kosa kata bahasa Indonesia, dengan nuansa rasa dan ungkapan yang belum tentu dimiliki bahasa Indonesia. Sastra Indonesia menghirup mata air sastra daerah, secara tak disadarinya. Itulah sebabnya dalam buku “Dari Fansuri ke Handayani” dan “Horison Sastra Indonesia”, kami mencantumkan contoh beberapa karya sastra daerah, dalam hal ini puisi, agar siswa dan guru tak lupa, agar mereka mengapresiasi akar sastra kita. Beruntunglah siswa-siswa yang menguasai bahasa daerah dan sastra daerahnya. Di ibu kota, kebanyakan siswa cuma menguasai bahasa Indonesia, tapi tidak menguasai bahasa daerahnya dengan baik. Mereka rugi.

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae