Minggu, 14 Agustus 2011

Peristiwa: Afair Manikebu, 1963-1964 (I – III)

Setelah menelisiki sumber terkait, dimungkinkan tulisan ini bertitel “Afair Manikebu, 1963-1964? karya Goenawan Mohamad (dan dengan segala maaf, pemosting membuat paragraf sendiri, karena sumbernya rapat).
http://tempointeraktif.com/

I

8 MEI 1964 pagi, sebuah berita terdengar dari radio: Presiden Soekarno melarang “Manifes Kebudayaan”.

Bagi saya, kejadian itu sangat menyentakkan hati. Dan mungkin bukan hanya saya yang gugup. Saya termasuk penanda tangan dokumen yang terlarang itu, dan meskipun saya aktif sejak mula, saya bukan orang terpenting.

Waktu itu umur saya belum lagi 23. Tapi saya merasa terlibat betul di dalamnya.
Apa yang terumuskan di sana – dengan segala keterbatasan dan kekonyolannya – bagaimanapun merupakan serangkaian pokok pikiran, suatu pendefinisian sikap dasar beberapa sastrawan dan intelektual Indonesia dalam menghadapi masalah yang akut waktu itu: hubungan kreativitas dan politik.

Sikap dasar itu sebenarnya tetap terungkap sampai sekarang walaupun ia bisa punya aneka yang lain. Tentu ini terutama karena mereka yang terlibat di dalamnya masih hidup. Tapi, tak kalah penting, juga karena soal-soal di Indonesia, dalam hal hubungan antara ekspresi kebudayaan, kekuasaan, dan masyarakat, secara esensial masih sering tampak sama.

Ditengok kembali ke 8 Mei 24 tahun yang lalu itu, Manifes Kebudayaan itu, justru karena dinyatakan dilarang, bisa menegaskan kembali, dengan dirinya sendiri, posisi yang dicita-citakannya bagi kesenian dan kesusastraan dalam menghadapi soal politik dan kekuasaan di negeri ini.

Dengan alasan itu, saya mencoba mengingat kembali peristiwa yang terjadi kurang-lebih seperempat abad yang lalu itu.
Sebenarnya masa silam seperti ini tak boleh teramat sering ditengok kembali: ada selalu kekenesan dalam memandangi sebuah album lama.

Bagaimanapun masa lalu selalu membentuk endapan yang diam-diam dalam beting dan tebing arus hidup kita, meskipun kita biasa melenggang saja dengan semacam amnesia sejarah.

Saya kira kita harus selalu bisa menghadapi masa lalu yang belum lama itu kembali. Tentu saja ada risiko bahwa luka yang mungkin belum lagi sembuh akan terulang sakitnya. Mungkin malah akan tergurat luka baru. Tapi pasti bukan untuk itu tujuan tulisan ini.

II

Pada bulan September 1963, majalah bulanan Sastra yang terbit di Jakarta keluar dengan sesuatu yang istimewa. Di halaman 27-29, tercantum semacam dokumen yang diberi nama “Manifes Kebudayaan”.

Bagian awalnya, satu pagina penuh: Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita, dan politik kebudayaan nasional kami.

Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.

Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa. Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.)

Halaman berikutnya diisi dengan sebuah “Penjelasan” yang panjang. Di bawah halaman pertama itu tercantum 20 nama: 16 penulis, 3 pelukis, dan 1 komponis 2)

Orang-orang itu umumnya masih berada dalam usia 20-an, dan, seperti halnya saya, baru punya sejumput tulisan – puisi, cerita pendek, esei pendek. Yang pelukis juga umumnya belum lagi pernah berpameran tunggal.

Mungkin dari kelompok inilah Manifes Kebudayaan telah, dan akan, memperoleh tenaga geraknya. Tapi jika ada pengaruhnya yang kemudian terasa keluar, pasti itu akibat tiga nama pertama yang meneken pernyataan di majalah Sastra itu.

H.B. Jassin, kita tahu, adalah kritikus utama dalam kesusastraan Indonesia sesudah Perang. Orang memperolok-olokkannya sebagai sang “Paus”, karena penilaiannya begitu didengar para peminat sastra dan juga para penulis sendiri.

Trisno Sumardjo sudah dikenal sebagai penerjemah Shakespeare, penulis kritik seni, dan penulis cerita pendek. Wiratmo Soekito – yang banyak menulis esei kefilsafatan dan berceramah – waktu itu cukup berpengaruh di kalangan intelektual Indonesia yang lebih muda.

Dengan segera terlihat bahwa Manifes itu – apa pun niat kami semula untuk menyusun dan mengumumkannya – tampil seperti sebuah surat tantangan, atau, juga, sebuah undangan untuk pengganyangan.

Sejak September 1963 sampai dengan 8 Mei 1964, serangkaian kampanye yang sengit, kadang terasa tidak adil, dan yang jelas sistematis, dilancarkan terutama oleh para mereka yang punya hubungan dengan PKI dan PNI.

Selama tujuh bulan Manifes Kebudayaan itu diserang lewat statemen, pidato, dan tulisan, sampai pada akhirnya ia dinyatakan dilarang. Para penulis yang terlibat di dalamnya dengan segera dinyatakan sebagai “kontrarevolusi” sebuah cap kejahatan di masa itu.

Mereka tak lagi bisa menulis di penerbitan mana pun. Beberapa penanda tangan yang punya posisi di universitas ataupun di kepegawaian negeri, seperti H.B. Jassin dan Wiratmo Soekito, digeser.

Rapat umum dan resolusi, terutama yang digerakkan PKI, terdengar, menuntut disingkirkannya “unsur-unsur Manikebu” (akronim ini diperkenalkan oleh koran resmi PKI Harian akjat – sebuah julukan jelek yang kemudian melekat, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh bahasa kaum komunis waktu itu) dari pelbagai lapangan kegiatan.

Kini memang harus diakui bahwa pengganyangan seperti itu belum sebanding dengan yang ditanggungkan para penulis dan cendekiawan prokomunis setelah hancurnya PKI secara keras dan berdarah beberapa waktu setelah 1965.
Namun, dalam suasana politik Indonesia pra-1965, ketika PKI tampak semakin dekat ke kemenangan, sementara lawan politiknya rontok satu demi satu, orang-orang “Manikebu” agaknya yang tak punya ilusi tentang apa yang bisa jadi nasib mereka bila PKI akhirnya mengambil alih kekuasaan di Indonesia.

Kami waktu itu memang belum pernah mendengar kata gulag – kamp-kamp tahanan yang kemudian disebutkan oleh Solzhenitsyn itu dari pengalaman Uni Soviet kami juga, dengan sendirinya, belum tahu apa yang dilakukan Pol Pot setelah dia menang terhadap cendekiawan Kamboja yang ia anggap “kontrarevolusioner”.
Tapi tabiat totalitarianisme – dan sikapnya terhadap lawan berpikir sudah bisa kami duga.

Apa yang kemudian kami ketahui telah terjadi di Kamboja, Vietnam, dan Cina (terutama di masa Revolusi Kebudayaan), hanya membenarkan dugaan itu. Karena itulah barangkali segera sesudah pelarangan “Manikebu”, sore harinya sejumlah penanda tangan Manifes mengetok kawat meminta maaf kepada Presiden Soekarno, sang Pemimpin Besar Revolusi.

Bagi sebagian kami, kawat itu (seingat saya dikirimkan dua kali) merupakan tindakan yang menistakan diri. Bagi sebagian yang lain, telegram itu hanya satu-satunya jalan yang mungkin buat melindungi beberapa teman dari pengganyangan lebih lanjut.

Ada suasana ketakutan, memang. Segera setelah pelarangan, majalah Sastra terbit dengan dua kolomnya dicat hitam. Di sana tercantum sejumlah nama yang dicoba disembunyikan – nama-nama mereka yang menyusul ikut menyatakan persetujuannya kepada Manifes Kebudayaan.

III

APA yang dikehendaki Manifes Kebudayaan, sebenamya?
Harus diakui bahwa naskah sepanjang tiga halaman itu tidak mudah diungkai. Barangkali di antara para penanda tangannya pun ada yang tak sepenuhnya memahami isinya mereka tampil berdasarkan semata-mata setiakawan atau naluri lain.

Sebagian besar, hampir 95%, isi “Manikebu” ditulis oleh Wiratmo Soekito. Ia sudah lama diketahui sebagai penulis yang nyaris tidak bisa dibaca karena sulitnya pengertian dan arus penalarannya – terutama bila ia berbicara tentang fenomenologi Husserl, tentang filsafat sejarah, tentang Marx dan Bergson.

Siapa yang tak terbiasa dengan gayanya akan sulit menembus kamus dan jalan deduksi Wiratmo meskipun orang sering bisa merasakan semangatnya. Tapi lebih penting dari faktor itu, hampir seluruh tubuh verbal Manifes Kebudayaan terbatasi oleh bahasa politik di masa itu.

Dengan jelas banyak dipakai kalimat, bahkan acuan, dari tulisan dan pidato Bung Karno – yang waktu itu kian lama kian merupakan sumber ajaran satu-satunya yang harus dijadikan landasan, sesuai dengan ketentuan “demokrasi terpimpin”.3)

Walau demikian, motif dasar Manifes Kebudayaan sebenarnya agak jelas: pernyataan itu suatu ikhtiar untuk memperoleh ruang yang lebih longgar bagi ekspresi kesenian yang mandiri – yang independen dari desakan politik dan pelbagai tata cara “revolusioner” tahun 1 960-an awal.

Naskah itu berbicara, setelah mampir ke sana-kemari, tentang “rakyat di mana-mana di bawah kolong langit ini”, yang “tidak mau ditindas oleh bangsa-bangsa lain, tidak mau dieksploitir oleh golongan-golongan mana pun, meskipun golongan itu adalah bangsanya sendiri”.

Rakyat itu, menurut Manifes, pada gilirannya “menuntut kebebasan dari kemiskinan dan rasa takut”, termasuk, tentu saja, “kebebasan untuk mengeluarkan pendapat”.

Dalam formulasi yang lebih langsung, tujuan Manifes juga tertera dalam sebuah artikel yang tanpa nama penulis yang mendampingi naskah pokok “Manikebu”.

Tulisan itu berjudul “Sejarah Lahirnya Manifes Kebudayaan”, dan sebenarnya sayalah yang menulisnya: semacam usaha meringkaskan sejarah pemikiran para penggagasnya yang saya rumuskan dalam kalimat-kalimat yang melambung tapi juga terselubung, dalam usaha yang ruwet untuk menyesuaikan diri dengan bahasa masa itu. Tapi di situ salah satu konsep yang penting adalah kebebasan kreatif. Kreativitas, begitulah di sana tertulis, “dalam sejarahnya menolak belenggu”.

Para karyawan kebudayaan memang memilih sosialisme, karena sosialisme “menjanjikan kebebasan”. Meskipun demikian, kata artikel itu, dalam perjuangan ke arah kebebasan itu mereka “tidak hendak membuang kebebasan yang sekarang didapatkan buat memperoleh kebebasan yang lebih besar”. Sebab, “dengan kebebasan itu mereka berjuang”. Sebab, setiap situasi, “memaksakan kita untuk bebas.” 3) “Kebebasan” adalah kata yang besar – dan sebab itu cukup kabur – di tahun 1960-an.

Pada umumnya memang hanus diakui bahwa masa “demokrasi terpimpin” bukanlah jenis totalitarianisme yang persis seperti yang dilukiskan Orwell dalam novel 1984 yang termasyhur itu. Namun, sistem politik ini mempunyai apa yang oleh Orwell disebut newspeak, “basabaru”, dengan akronim-akronimnya yang membekukan daya analitis kita terhadap makna kata – suatu jenis kontrol terhadap jiwa dan pikiran yang secara tanpa disadari umumnya efektif.

Besarnya wewenang negara di masa itu juga menampilkan wajah kekuasaan yang sering menakutkan, suatu kecenderungan yang tak juga pungkas sampai hari ini.
Salah satu ciri “demokrasi terpimpin” adalah kerasnya imbauan, atau desakan, agar orang senantiasa sadar akan doktrin negara yang waktu itu disebut “Manipol”, singkatan dari “Manifesto Politik” Bung Karno. Nama itu dirumuskan dari pidatonya di tahun 1958. 4)

Di antara kita yang hidup di masa itu banyak yang akan ingat seruan yang tak putus-putusnya untuk menjalani “indoktrinasi”. Kursus-kursus ideologi ini berlangsung di hampir tiap organisasi, dengan beberapa bahan pokok yang sudah ditentukan – dan sudah semestinya “ajaran Bung Karno” merupakan komponen yang utama. Juga Marxisme.

Pada akhirnya, tak banyak orang yang berpidato atau menulis tanpa mengutip bahan indoktrinasi itu.
Kata “Revolusi” menjadi mantra yang bisa menenung: di depannya, kita dengan segera bisa menjadi pasrah atau menjadi garang. Akibat yang langsung, khususnya bagi seorang penulis, adalah terasa menjadi kakunya rentangan ekspresi bahasa Indonesia.

Bung Karno memang telah menyumbang banyak kata yang menambah warna perbendaharaan bahasa kita, tapi karakter bahasa yang dipakai saat itu umumnya bercorak agresif: kata “mengganyang” dan “mengeremus” dominan dalam idiom politik “demokrasi terpimpin”.

Ruang pun kian terbatas untuk bentukan konseptual yang menggunakan cara lain. Apalagi bila orang, untuk menunjukkan lencana “revolusioner”-nya, cenderung mengulang-ulang desain kata yang sudah jadi patokan itu.

Dengan cepatnya bahasa yang dipakai secara publik menjadi sebuah “bahasa otomatis”, yang didominasi oleh slogan-slogan politik yang dengan gampang diulang-ulang, seperti tanpa berpikir lagi.
Makin banyak kata benda bergerak menjadi abstrak: “Buruh”, “Tani”, “Rakyat”, “Tanah Air”, “Kemerdekaan” – kata-kata itu tidak lagi menunjuk ke suatu benda atau orang tertentu, melainkan ke arah maknanya yang generik, yang hanya mencakup ide.

Bagi seorang penyair yang hidup dengan rangkaian imaji yang kongkret – kata-kata yang dipetik dari benda-benda yang datang dan hilang di wilayah pancaindria – masa itu bukanlah masa yang mudah untuk menulis. Kian sedikit sastrawan yang mampu memperlakukan bahasa sebagai sumber avontur dan orisinalitas.

Pada suatu hari, duduk di bawah bayang-bayang pohon di Balai Budaya, Jakarta, saya lihat burung-burung gereja terbang-hinggap, bergerak antara keteduhan dan cahaya, dan tiba-tiba saya menyadari bahwa saya juga telah begitu jauh dari apresiasi terhadap obyek-obyek kecil yang tampaknya tak berarti di sekitar saya juga cendenung lebih mendengarkan dan menulis tentang ide-ide besar yang dikerudungi kata-kata besar.

Tidak mengherankan bila Rendra, penyair yang sangat dekat dengan alam yang mentah dan rimbun itu, kemudian – di akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an, ketika “demokrasi terpimpin” runtuh tampil dengan lakon-lakon pendek yang bisa saya namakan “minikata”: dengan menggunakan seminimal mungkin kata, Rendra kembali ke bahasa yang lebih awal, yakni gerak dan komposisi tubuh.

Saya rasa itulah caranya untuk mengekspresikan diri secara sejati: dengan menjauhi bahasa Indonesia, yang hampir seluruh daya imaji dan kapasitas komunikasinya yang puitis telah dikuras oleh slogan-slogan.

Tapi tahun 1960-an awal itu barangkali memang bukan tahun untuk puisi. Setidaknya itulah masa ketika penyair akhirnya terdorong, karena satu dan lain hal, mengeksternalisasikan ruangnya yang inti, dunia batinnya.
Agaknya, seperti yang juga saya rasakan, ada sejenis perasaan tidak enak untuk terpisah dari rangsang dan riam “revolusioner” masa itu.

Awal tahun 1960-an adalah masa mobilisasi. Mula-mula adalah pengerahan tenaga dan opini untuk pembebasan Irian Barat (kini: Irian Jaya).
Segera sesudah itu di Jakarta diselenggarakan Asian Games – yang kemudian terbukti dapat membangkitkan perasaan nasionalistis, terutama ketika kemenangan yang luar biasa atlet-atlet Indonesia diganggu oleh pernyataan seorang pejabat pertandingan internasional itu, seorang India, bahwa Asian Games tidak sah, karena tak mengikut sertakan Israel.

Segera sesudah itu, menjelang akhir 1963, pernyataan awal terdengar ke arah “konfrontasi” dengan Malaysia yang baru dibentuk. Suatu pergolakan politik terjadi di Brunei, dan dengan dimulai oleh partai-partai kiri, Indonesia mendukung “gerakan pembebasan nasional Kalimantan Utara”.

Di tengah gemuruh seperti itulah (Orwell akan menyebutnya sebagai “a continuous frenz’), ada kesediaan yang tulus, meskipun barangkali naif, dari banyak penulis – dengan pelbagai kecenderungan aliran politik mereka – untuk membuat karya-karya yang berpaut dengan “tanah air” atau “massa rakyat”. Sajak-sajak liris, yang “subyektif”, dengan sendirinya seperti kehilangan peran, atau susut ke latar belakang.

Salah satu sajak yang saya tulis dari masa itu, misalnya, adalah “Lagu Pekerja Malam”. Cerita pendek terkemuka waktu itu ditulis oleh Bur Rasuanto, dengan latar belakang para pekerja di perusahaan minyak, yang kemudian dikumpulkan dalam Mereka Akan Bangkit. Hartojo Andangdjaja, seorang penyair dan penerjemah puisi yang menurut saya lebih kuat ketimbang Trisno Sumardjo, menerbitkan ode yang cukup panjang dengan judul “Rakyat”.5)

Bagi sebagian penulis lain, agaknya, kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan corak sastra seperti yang tampak dalam masa yang militan seperti itu lebih merupakan desakan dari luar. Seruan untuk senantiasa setia mengikuti “garis Manipol” bagaimanapun memang terasa doktriner.

Dalam suasana politik yang terbentuk dalam semangat pengganyangan seperti itu – beberapa harian sudah dibredel dan sejumlah pemimpin oposisi, juga Wartawan dan Novelis Mochtar Lubis, dipenjarakan – seruan “garis Manipol” itu juga mengandung nada ancaman, jelas ataupun sayup.

21 Mei 1988
Sumber: http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/1988/05/21/REF/mbm.19880521.REF27251.id.html
Sumber terkait: http://goenawanmohamad.com/puisi/lagu-pekerja-malam.html

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae