Minggu, 14 Agustus 2011

Peristiwa: Afair Manikebu, 1963-1964 (IV – V)

Setelah menelisiki sumber terkait, dimungkinkan tulisan ini bertitel “Afair Manikebu, 1963-1964? karya Goenawan Mohamad (dan dengan segala maaf, pemosting membuat paragraf sendiri, karena sumbernya rapat).
http://tempointeraktif.com/

IV

SEJAK akhir 1961, majalah Sastra – yang umumya belum lagi persis setahun – sudah diserang oleh para penulis yang tergabung dalam Lekra, sebuah organisasi kebudayaan yang punya hubungan kuat dengan PKI. Sasaran pertama adalah dua cerita pendek oleh B. Sularto, “Tanah” dan “Rapat Perdamaian”.

Sularto waktu itu berusia 26 tahun (lahir di Purworejo, 1936), seorang sastrawan dari Semarang yang bekerja di Kantor Dinas Kebudayaan setempat. Cerita pertamanya adalah tentang sejumlah gelandangan yang ditahan polisi (tapi segera dilepaskan kembali, setelah dinasihati) karena mereka menduduki sepetak tanah milik kota praja.

Cerita keduanya tentang sebuah rapat di kampung yang membahas ide perdamaian dunia. Dalam membela keputusannya memuat cerita Sularto, H.B. Jassin, yang memimpin Sastra, menulis sebuah esei awal tahun yang isinya seperti laporan dan pertanggungjawaban pengasuh kepada pembaca.

Di nomor Januari 1962 itu Jassin menolak “penyempitan daerah pengalaman” seorang sastrawan, “seperti ternyata dari hasil-hasil kesusastraan yang didasarkan pada slogan-slogan politik dan ideologi semata-mata”. Menurut Jassin, hasil penyempitan seperti itu mau tak mau akan “kering dan kerdil seperti yang kita lihat di masa Jepang” 6)

Dengan menyebut “masa pendudukan Jepang”, Jassin agaknya hendak menegaskan apa yang dimaksudkannya. Di masa Jepang itu (Jassin sendiri sudah membicarakannya dengan pelbagai contoh dalam sebuah buku khusus tentang masa ini, Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang), di awal 1940-an, para penulis dan seniman Indonesia diletakkan di bawah regimentasi penguasa, untuk memproduksikan karya-karya yang sesuai dengan tujuan dan kebijaksanaan Negara.

Tampaknya, asumsi Jassin adalah bahwa para penulis Lekra dan para pengikut mereka ingin mendesakkan ide mereka tentang sastra sebagai bagian dari pekerjaan propaganda. Ini menimbulkan reaksi lebih lanjut dari kalangan penulis Lekra.

Mulai 16 Maret, 1962, Pramudya Ananta Toer, novelis Indonesia sesudah Perang yang paling terkemuka, membentuk sebuah lembaran kebudayaan di harian Bintang Timur, dengan nama “Lentera”. Sudah dalam nomor pertama lembaran itu pula disebutkan – dalam sebuah kolom ringkas agak di tengah halaman, berjudul “Teori & Realitet” – bahwa cerita Sularto yang dimuat Sastra itu bersifat “reaksioner” (suatu tuduhan yang keras waktu itu, karena berarti “musuh Revolusi”), dan bahwa penjelasan Jassin merupakan “garis politik”nya.

Meskipun demikian, segera sesudah tulisan di kolom kecil itu, tak ada kritik “Lentera” yang lain terhadap Sastra. Namun, lembaran koran Bintang Timur itu sendiri sudah jelas pokok pendiriannya.

Di awal Mei 1962, misalnya, “Lentera” memuat kutipan dari keputusan Sidang Pleno IV CCPKI, di bidang “intelektual dan budaya”. Isinya antara lain memperingatkan semboyan “seni untuk seni” dan “ilmu untuk ilmu”, dan memperingatkan pula, seraya mengutip Bung Karno, “jangan sampai subversif asing masuk ke dalam universitas-universitas”.

Agaknya, senada dengan itu, pada terbitan 23 Juni 1962 Bintang Timur memuat sebuah tulisan yang mengkritik film Badai Selatan, yang dipilih ikut Festival Film di Berlin. Film produksi Ibukota Film itu yang antara lain dibintangi W.D. Mochtar, Sukamo M. Noor, dan Sofia Waldy itu dianggap kurang memenuhi kriteria, yakni adanya “kepribadian nasional yang patriotik dan persahabatan antarbangsa”.

Film Indonesia, kata tulisan itu, harus punya “konsep yang gamblang”. Konsep itu “tidak perlu dicari-cari”, karena sudah ada, yaitu “Manipol”. Nada tulisan itu, yang rendah, persuasif, tidak, kemudian terasa lagi beberapa bulan kemudian. Sebuah tulisan parang terbit di “Lentera” awal Agustus 1962, dengan judul “Gejala Sebuah Skisma dalam Cerpen Indonesia Dewasa Ini”. Siapa pengarangnya tak disebut. Mungkin Pramudya sendiri.

Isinya adalah sebuah pembahasan yang agak terinci tentang beberapa cerita pendek yang dimuat majalah Sastra. Tilikannya cukup tajam, dan nada kemarahan di dalamnya terasa murni, ketika mengupas tulisan Titie Said, Bur Rasuanto, Rendra, Iwan Simatupang, dan lain-lain. Namun, pada akhirnya tulisan itu hanyalah penegasan kepada garis politik negara yang bernama “Manipol” itu:

“Tidak ada satu kekuatan sekarang ini yang bisa salahkan Manipol, yang merupakan rumusan yang tepat dari gerak hidup masyarakat dan nasion Indonesia dewasa ini.” Dalam pada itu, menurut tulisan ini pula, “nilai moral” yang ada dalam Sastra “meragukan”, karena “dia tidak berpihak pada the prespiring and toiling masses”.7)

Di pekan berikutnya, Pramudya pun memulai seri tulisannya yang berjudul “Yang Harus Dibabat dan Harus Dibangun”. Fokus kritiknya kini adalah sastrawan seperti S. Takdir Alisjahbana. Takdir dianggap sebagai seorang anggota PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang sudah dilarang pemerintah di tahun 1960. Takdir juga merupakan satu tokoh yang jadi simbol pemikiran “pro-Barat” – satu anggapan yang melekat sampai kini.

Selama tahun 1960-an itu, Takdir hidup di luar negeri. Ini menyebabkan ia tampak seperti seorang renegade yang pas, dan siapa pun yang dihubungkan dengan namanya waktu itu akan merasa tak nyaman secara potik. Tampaknya, bagi Pramudya, sebagian penulis Indonesia seperti yang berkitar di majalah Sastra – trutama Iwan Simatupang, penulis cerita dan lakon yang aneh dan terasaasing itu – dengan jelas termasuk sekategori dengan Takdir.

Argumen Pramudya di sini kurang meyakinkan. Takdir bagaimanapun adalah penganjur adanya komitmen sosial dalam kesusastraan Indonesia satu hal yang juga dianjurkan Lekra, khususnya oleh Pramudya sendiri. Bahkan Takdir adalah orang pertama yang menggunakan alasan Maxim Gorki, penulis Uni Soviet yang ikut memelopori “realisme sosialis” itu, ketika ia mengedepankan posisinya yang menentang “seni untuk seni” dan menolak “indiviualisme”.8)

Toh di tahun 1962, agaknya banyak orang yang sudah lupa akan fakta itu. Nada Pramudya yang keras agaknya sesuai pula dengan tingkat militansi waktu itu, walaupun di dalamnya ia juga menggunakan serangan secara pribadi. Takdir disebutnya “telah berhasil mengeruk keuntungan berlimpah sampai dapat meningkatkan jumlah milyuner nasional dengan dirinya sendiri”, dan Iwan Simatupang disebutnya telah “gondol beberapa puluh ribu uang modal Pekan Teater”.9)

Bagi Pramudya, agaknya relevan kepada pokok soal jika ia menyebut soalsoal seperti itu, atau bahwa dalam serangan semacam itu, kesopanan lama harus dianggap adab “borjuis”. Tapi jika dilihat perkembangannya nanti, nada tulisan seperti itulah – disertai kata “dibabat” yang tak kenal ampun itu – yang menyebabkan banyak orang takut, sedikitnya marah, dan menyebabkan suatu diskusi yang berharga bagi pertumbuhan pemikiran gagal sebelum jalan.

Namun, tujuan pokok Pramudya adalah untuk menunjukkan kelirunya para sastrawan yang tak mengikuti semboyan Lekra yang terkenal itu, yakni “Politik Sebagai Panglima”. Pramudya menyamakan orang macam Takdir (juga penulis Pujangga Baru yang lain, J.E. Tatengkeng, yang ikut dalam pemberontakan Permesta di akhir tahun 1950-an) dengan seorang tokoh dalam roman pengarang Soviet yang terkenal, Sholokov, yang berjudul “Dan Sungai Don pun Mengalir Tenang”: seorang tokoh yang “hebat dalam Revolusi Bolsyewik”, tapi “karena tidak punya ketegasan dalam lapangan politik akhirnya mondar-mandir tidak keruan ke berbagai pihak, dan akhirnya lenyap sebagai sampah”.

Akhirnya, bagi Pramudya, “ketidaktegasan politik, yang menyebabkan timbulnya seni dan pemikiran gelandangan, harus disapu, harus dibabat”. Dengan keras dinyatakannya bahwa bagi mereka ini “tidak perlu diberikan luang sekecil-kecilnya pun”. Sedikit pun tak boleh dibiarkan “berkembang dan berlarut unsur-unsur penyakit ini, yang ternyate masih dapat mengembangkan sayapnya sampai dewasa ini”.

Dan ia menunjuk ke cerita-cerita yang dimuat dalam Sastra yang sebelum itu pernah ditunjuk “Lentera” sebagai “gejala sebuah skisrna” dalam kesusastraan Indonesia. 10) Kata-kata itu, tak ayal lagi, adalah sebuah rekomendasi untuk prosekusi, sebuah seruan untuk “pembabatan”. Maka, mulailah serangkaian debat yang kadang-kadang tak langsung, tapi bisa juga keras dan kasar, yang semakin lama semakin meletakkan para penulis Sastra dalam keadaan defensif. Sejak mula memang posisi mereka sebenamya rapuh.

V

MAJALAH itu dicetak dalam wujud yang bagi ukuran sekarang sederhana, seperti semua penerbitan masa itu. Orang di belakang keuangannya bukanlah seorang penerbit yang sudah terkenal seingat saya ia seorang pemilik usaha pembuatan sepatu kecil-kecilan, yang tertarik pada bisnis penerbitan mungkin karena ia pemah bekerja di majalah Kisah, bulanan kesusastraan yang di tahun 1950-an amat berpengaruh tapi yang di tahun 1960-an itu sudah tak terbit lagi.

Dilihat dari orang-orangnya, seperti H.B. Jassin dan D.S. Moeljanto, Sastra memang sebuah lanjutan Kisah. Oplahnya yang tertinggi pernah mencapai 15.000, sebuah angka bagus untuk waktu itu, dan untuk sebuah berkala kesusastraan. Tapi jelas, dibandingkan dengan harian, Sastra bukanlah sebuah tambang rezeki. Kantomya di Jalan Raden Saleh di Jakarta, sebuah ruangan tunggal sekitar 5 X 4 m2, di belakang sebuah perpustakaan tua yang tak terurus.

Para penulis yang mengirimkan karya mereka ke sini umumnya penulis yang tidak – atau belum tergabung dalam organisasi politik apa pun. Bahkan, di antara para penulis Sastra itu, tampak ada tendensi keengganan memasuki partai yang ada waktu itu. Dalam nomor pertama tahun kedua, Jassin menulis pengantar, “Kami tidak masuk partai kiri atau kanan, itu bukan berarti bahwa kami tidak punya pendirian, tetapi karena baik partai kiri atau kanan ada kekurangan-kekurangannya yang harus tetap kami hadapi dengan kritis.”

Menurut Jassin, dengan kalimat yang mirip proklamasi bersama, “Landasan kami adalah peri kemanusiaan, kemudi kami akal budi.” 11) Tapi di awal dasawarsa itu, mengutarakan pendapat yang semacam itu tampaknya bisa dianggap kurang bijaksana.

Tulisan Pramudya Ananta Toer yang mengecam sikap itu sebagai sikap politik “gelandangan” adalah salah satu reaksi jengkel yang tidak luar biasa. Bagaimanapun, Jassin seperti umumnya para sastrawan – bukanlah pengamat politik yang piawai. Sejak 1958, setelah serangkaian pemberontakan daerah, Indonesia dinyatakan berada di dalam keadaan perang. Angkatan bersenjata mengontrol banyak bidang kehidupan, tetapi pada saat yang sama partai-partai politik kiri sedang naik daun dengan semangat tinggi, dan dalam posisi ofensif terus – sampai hari yang menentukan di akhir Septembertahun 1965 itu.

Setiap tindakan terhadap mereka dihadapi dengan terbuka atau tak terbuka. Ketika Harian Rakjat dibreidel pada 3 Mei 1962, misalnya, CC (Komite Sentral) PKI mengirim delegasi agar pemberangusan itu dicabut. Mereka berhasil, meskipun yang terbungkam tetap ada: buku Pramudya Ananta Toer, Hoakiau di Indonesia, dan kumpulan sajak Lekra, Matinja Seorang Petani, tetap tak boleh terbit. 12)

Di masa itu, protes PKI dan kaum prokomunis terhadap pemberangusan tampaknya tak ada hubungannya dengan kehendak untuk kemerdekaan berbicara dalam arti yang luas. Protes itu lebih merupakan percikan dari ketegangan antara pihak angkatan bersenjata dan PKI di dunia penerbitan.

Demikianlah, sementara seorang pemimpin PWI yang dekat dengan partai kiri menuntut “kemerdekaan pers” (atau dibebaskannya kekangan kepada penerbitan sayap kiri), pada saat yang sama ia juga mengatakan bahwa “kemerdekaan pers itu tidak boleh diberikan kepada pers yang anti Marlipol” 13.

Sikap yang mengancam siapa saja yang dituduh”anti-Manipol” itu mungkin yang ikut mendorong banyak penulis dan seniman merasa lebih aman terlindung dalam kekuatan politik yang ada. Terutama partai politik yang tergabung dalam “poros Nasakom” – front persatuan antara golongan “Nasionalis, Agama, Komunis” – yakni PNI (Partai Nasional Indonesia) dan NU (Nahdatul Ulama).

Dalam lindungan partai-partai itu, seorang dengan mudah dapat pembela, dan juga, sering, mendapat posisi. Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), misalnya, yang merupakan “onderbouw” PNI, mempunyai tokoh seperti Sitor Situmorang: penyair terkemuka, yang di tahun 1950-an menulis sajak-sajak liris yang memukau tentang cinta dan dosa, tapi di tahun 1960-an menerbitkan kumpulan puisi yang memuji-muji komune di RRC, setelah kunjungan resminya ke negeri itu.

Sitor pada saat itu boleh dibilang orang “resmi”, duduk dalam Dewan Nasional yang prestisius, dan dekat dengan para pemimpin Negara, termasuk Presiden, Pemimpin Besar Revolusi sendiri. Yang jauh dari “orang resmi” adalah para penulis di majalah Sastra. Kebanyakan mereka adalah orang muda yang berasal, atau tinggal, di daerah: di Medan, Bogor, Bandung, Yogya, Solo, Surabaya, Ujungpandang.

Kaum “gelandangan” ini, seperti telah disinggung di atas, cenderung mengikuti semangat Jassin dalam hal tidak menunjukkan bendera partai. Sebagian mungkin menyimpan simpati mereka pada PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Partai Islam Masyumi, dua partai yang sudah dilarang itu.

Sebagian lain, yang punya kesukaan filsafat, membaca atau mengikuti ceramah Wiratmo tentang bahaya “pengkhianatan intelektual”: bahaya ketika para cendekiawan ikut membakar, dan ikut terbakar, “nafsu politik” – apalagi untuk kedudukan.

Selebihnya, sebagian besar, saya kira, menganggap keanggotaan serta kesetiaan kepada partai tak punya banyak arti bagi hidup dan kesenian mereka. Memang, dengan hidup tanpa payung politik seperti itu, mereka tak dapat memperoleh kesempatan yang relatif mudah, misalnya untuk kunjungan ke luar negeri – dan juga untuk memperoleh terjemahan karya mereka ke dalam bahasa asing.

Hal-hal itu umumnya waktu itu diatur oleh negara-negara sosialis. Konperensi penting seperti Konperensi Asia-Afrika tak ada mengundang mereka kebanyakan yang hadir adalah sastrawan Lekra. Tapi toh para penulis di sekitar Sastra, umumnya dalam usia mereka yang masih 20-an, menyukai posisi “gelandangan” itu.

Ada kemungkinan mereka menikmati citra romantik seorang penyair sebagai “binatang jalang” atau semacam itu, yang dibawakan Chairil Anwar. Apa pun dasarnya, mungkin tidak salah bila saya katakan bahwa konsep Rendra tentang “orang urakan”, yang ia kemukakan di pertengahan 1970-an, punya akar yang sama dengan yang terdapat di kalangan para sastrawan di tahun awal 1960-an itu: penyair dan intelektual sebagai orang yang tak tunduk kepada garis yang sudah umum, karena mereka adalah suara yang kreatif, yang ingin memperbarui selalu.

Namun, dalam cuaca politik yang berat oleh larangan-larangan di awal 1960-an, ketika “demokrasi terpimpin” sedang mencoba memimpin segalanya dan keadaan darurat perang mencoba mewaspadai semuanya, sikap seperti yang dibawakan para sastrawan itu bukanlah sikap yang gampang diterima.

Bagi PKI, khususnya, yang waktu itu paling dominan dalam front “Nasakom”, gagasan “emoh berpartai” adalah suatu rintangan. Argumen teoretisnya bahkan pernah dikemukakan oleh Lenin, ketika ia berbicara tentang “nonpartaisme revolusioner” (saya pemah membaca tulisan itu dalam salah satu jilid kumpulan karyanya yang sekarang tak dapat saya temukan lagi).

Bagi kaum Leninis, perjuangan lewat partai adalah penubuhan perjuangan kelas yang sedang berlangsung. Gagasan untuk bersikap “nonpartai”, menurut mereka, adalah suatu gejala yang umum terdapat dalam tahap pertama revolusi, yaitu tahap “nasional demokratis”, ketika pertentangan kelas belum menajam. Tapi pada saat ia menjadi suatu sikap yang disadari, menjadi suatu “isme”, ia akan mengaburkan garis antara kubu politik yang berbeda.

Serangkaian dengan itu di tahun 1905 Lenin, dengan sikap tanpa tolerasi yang tampaknya jadi cirinya, berseru, ketika berbicara tentang kesusastraan: “Rontoklah para literateur yang nonpartai!”. 14) Pada tingkat praktis, PKI melihat bahaya “nonpartaisme” dalam wujud gerakan politik dari pihak Angkatan Bersenjata. Ironis, memang, bahwa justru PKI-lah yang mengundang anggota “nonpartai” ke dalam daftar calon parlementernya dalam Pemilihan Umum 1955 – misalnya Pelukis Affandi.

Tapi rupanya perkaranya jadi lain di awal tahun 1960-an itu. Tanggal 18 September 1962, Ketua PKI D.N. Aidit menyatakan – dalam sebuah pidato di depan para perwira polisi dalam Kursus Persamaan Kom! saris Polisi di Sukabumi, bahwa “partaifobi” itu suatu “kejahatan”. 15) Apa pun yang dikatakan Aidit, pelbagai jenis “partaifobi” memang merupakan tendensi yang kuat di banyak kalangan Indonesia masa itu.

Banyak yang kecewa dengan pertikaian politik yang tak reda-redanya, terutama di sekitar pemilihan umum 1955, setelah Indonesia merdeka. Partai politik telah jadi lambang kepentingan segolongan, kemauan yang sektarian. Bahkan Presiden Soekarno sendiri, Oktober 1957, bermimpi untuk menguburkan semua partai yang ada, untuk persatuan. 16)

Pihak Angkatan Bersenjata, yang cenderung tak percaya kepada partai politik semenjak perang gerilya di tahun 1940-an, dengan sendirinya mencoba memperoleh kesempatan untuk melaksanakan niat Presiden waktu itu – atau setidaknya mengurangi kekuasaan politisi sipil. Dan Angkatan Bersenjatalah yang waktu itu merupakan pelaksana pemerintahan dalam keadaan perang.

Mungkin ke arah sinilah Aidit mengarahkan telunjuknya tentang “partaifobi”. Di kalangan “Manikebu”, satu varian “partaifobi” itu juga tampak, terutama dalam penggunaan kata “karyawan” di pelbagai tulisan mereka. Misalnya, dalam “sejarah” lahirnya Manifes Kebudayaan yang saya tulis, saya sebutkan, antara lain, bahwa berakhirnya “liberalisme” politik yang meruyak pra-1959, telah memberi ruang yang lebih besar bagi para “karyawan kebudayaan”.

Indonesia, demikian menurut tulisan itu, tak lagi mempunyai free fight competition di antara partai-partai politik, maka orang dapat ambil bagian untuk mencapai cita-cita nasional secara bersama, “di mana para karyawan tidak merupakan subordinasi kaum politik dan sebaliknya”.

Jika direnungkan kembali sekarang, pernyataan seperti itu terdengar simplistis, tapi itulah pemikiran yang terbit dari suasana waktu itu. Juga dari kegaduhan politik awal tahun 1960-an itulah Manifes Kebudayaan disusun.

Sumber: http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/1988/05/21/REF/mbm.19880521.REF27251.id.html
Sumber terkait: http://goenawanmohamad.com/puisi/lagu-pekerja-malam.html

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae