Jumat, 25 November 2011

Lelaki Penghias Kubur

Aguk Irawan MN*
Minggu Pagi, Juli 2011

TAK bisa dipungkiri, bagi banyak orang sejauh mata memandang, harta dan kehormatan itulah kebahagiaan. Orang mengejar mati-matian agar menjadi pejabat, tidak lebih tujuannya adalah demi itu. Menjadi pejabat, atau orang terhormat tanpa materi adalah semacam aib besar. Tetapi tidak pada seorang lelaki tua. Di keheningan pagi yang buta, ia seperti berkelakuan aneh, padahal orang seantero negeri ini tahu, kalau ia adalah lelaki terhormat dan kaya. Ia terliihat sedang membongkokan tubuhnya, membersihkan sebuah kuburan di halaman rumahnya, dan kuburan itu masih tanpa nisan, tanpa nama, tapi selalu saja terlihat seperti ada bekas siraman bunga mawar. Dan bau harumnya semerbak sampai ke jalan-jalan.

Ada yang aneh di kuburan itu, kalau dilihat dari seberang jalan ia nampak lapuk dan berlumut hitam, namun bila diperhatikan lebih lama kubur tersebut nampak eksotik dan bersih. Tanpa menghiraukan sesiapa yang sesekali mencuri pandang pada dirinya, lelaki tua itu terus saja membengkokkan tubuhnya, ia terlihat sangat sibuk, tangannya yang hampir jompo itu terus mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar kubur tersebut. Apa yang dikehendakinya? Siapa dia sebenarnya? Kenapa tiap pagi ia selalu saja terlihat mematut-matut diri di kuburan tunggal itu? Tepatnya di depan luas halaman rumahnya yang mewah, dengan sebuah taman indah, penuh tumbuh bunga-bunga lebat berkilaun, dan tak jauh dari kuburan itu ada air bergemericik, seperti perak yang berjatuhan di sebuah kolam.

Tak dipungkuri sudah sepekan lebih ia jadi bahan gunjingan masyarakat setempat. Tiap pagi semua mata orang kampung yang kebetulan sedang lewat persis di depan rumah mewah itu, setiap itu pula mereka tak luput, dan selalu menyunggingkan pandangannya. Dan setiap kali mereka menolehkan mukanya ke sebuah taman yang mewah dan ketika mata mencercap pemandangan sebuah kuburan itu, mereka selalu menyisakan tanda tanya. Kuburan siapa gerangan? Lalu tanda tanya itu menyeruak dan beranak-pinak menjadi desas-desus, dugaan telah terjadi pembunuhan gelap di rumah mewah itu. Sebab tak pernah ada kabar penghuni rumah mewah itu ada yang meninggal, tapi kenapa tahu-tahu ada kuburan di situ? Bahkan sempat seorang warga telah memfitnahnya bahwa dalam keluarga tersebut telah terjadi pertikaian dahsyat, sehingga mengakibatkan kematian.

“Tanya saja pada Pak Kades!” Kata Bulek Ndari, seorang perempuan setengah baya, usia kira-kira tiga puluh lima tahun, pemilik warung kelontong, saat temanku menanyakan perihal kuburan itu.

Teman yang bertanya itu memang sedari awal sudah mencurigai kuburan yang terdapat di halaman rumah mewah itu, tapi ia tak ada nyali untuk mengorek lebih jauh perihal ganjil itu, ia sering bertanya soal kuburan itu kepada teman-teman kami, tapi kemudian ia lupa lagi, dan kembali ia berpikir untuk kehidupannya sendiri, untuk perutnya, dan untuk perut keluarganya yang terus harus diisi. Tapi, tiap kali ia kebetulan sedang lewat di depan rumah mewah itu, melihat kuburan dan mencium aroma bunga mawar, ia kemudian ingat lagi, dan bertanya-tanya, soal kuburan itu.

Pernah pada suatu ketika, ia mengajakku untuk nekat bertamu, dan berkenalan lalu ingin bercakap-cakap dengan lelaki tua itu, tapi kita sama-sama mengurungkan niat. Sebab buat orang seperti kami, betapa merindingnya bulu kuduk ini, jika masuk ke halaman rumah mewah.

Belum beberapa langkah kami berjalan, seseorang berseru dari dalam warung, yang kebetulan tetangga paling dekat rumah mewah itu.

”He, aku sudah tahu tentang lelaki tua itu!”, selorohnya tiba-tiba.

”Oh, ya?!” Jawab kami serentak.

”Dia itu ayah kandungnya Pakde Surip?”

Saat pemilik warung menyebut nama Surip, tak ada yang asing di kepala kami, sebab memang hanya Suriplah satu-satunya orang kampung kami yang berhasil menjadi militer dan terpandang, hingga ia berpangkat Letnan Kolonel. Banyak orang kampung yang memuji-muji namanya, karena keberhasilannya, bahkan saat anak-anak masih kecil sering dikenalkan oleh ibunya dengan nama Surip, agar kelak nanti anaknya bisa seperti dia.

Rumah Surip yang mewah itu, di hari-hari biasa memang terlihat sepi dan sunyi, sebab ia sering ke luar karena Dinas. Sementara lelaki tua itu tinggal belum berapa lama di rumah itu. Dan sejak kehadiran lelaki tua itu, sejak saat itu pula tahu-tahu terlihat begitu saja gundukan tanah di halaman rumah mewah itu.

“Tahu dari mana kalau itu ayahnya Pak Surip?”, kata temanku.

“Pak Kades yang memberi tahuku, saat membeli rokok kemarin.”

”Nah, begitu dong. Itu baru namanya tetangga!” Celetuk temanku. Lalu segera saja temanku itu menanyakan perihal kuburan itu, tapi tiba-tiba percakapan menjadi sunyi, dan mata, hanya bertemu mata, saling memandang saja. Tak ada percakapan lebih lanjut mengenai kuburan itu.

***

Matahari berputar untuk menuntun manusia bertemu dengan hari berikutnya. Saat itu matahari baru saja merangkak setengah penggalan. Namun, karena sudah banyak desas-desus di desa kami, dengan sangat terpaksa, kami akhirnya sepakat membawa lelaki tua dan asing itu untuk bertemu dengan Pak Kades. Ya, semacam untuk klarifikasi prihal kuburan aneh itu, karena kegenjilan kami sudah cukup bukti, bahwa sejak lelaki itu tinggal dalam rumah mewah itu, sejak itulah kuburan ada.

Dengan cara ramai-ramai, tentu bisa dibilang kurang sopan, kamipun membawa lelaki tua itu menghadap Pak Kades. Tak lama, lalu ia memperkenalkan dirinya, dan mengaku bahwa ia dahulu lahir dan tinggal di desa ini. Ia telah meninggalkan desa ini saat usianya masih dua puluh sembilan tahun dan baru tiga bulan terakhir ini, ia pulang kampung. Ia mengatakan bahwa Surip adalah satu-satunya anaknya yang selamat. Sebab istrinya, juga kedua anaknya yang lain meninggal dalam genggaman penjajah Belanda, saat gerilya, kemudian ia menyebutkan deretan nama-nama kerabatnya yang lain, ladang dan rumah orangtuanya, dan nama tetangga yang pernah tinggal di dekat rumahnya. Lama ia bertutur tentang kampung dan peristiwa masa kecil serta remajanya yang pernah dialaminya di desa kami, sekadar meyakinkan warga dan kepala desa bahwa dia memang orang sini. Meski logat bahasanya terlihat aneh bagi penduduk desa ini.

Nyaris tak ada warga yang percaya dengan perkataan lelaki tua itu. Bahkan kebanyakan dari kami menganggap bahwa itu cerita bualan saja. Namun, meski begitu, warga dan Pak Kades menghormati dengan cara membiarkan ia bercerita. Suasana hening sesaat, tak ada yang memberi komentar atas pengakuan lelaki tua itu, namun seorang nenek rentah dengan kapur sirih di bibirnya, tiba-tiba muncul di balik pintu rumah Pak Kades. Rupanya dari kamar sebelah ia menguping cerita lelaki tua itu. Kemudian nenek yang tak lain ibu kandung Pak Kades itu berkata-kata.

“Pak Karta?” Kata nenek berambut putih itu. ”Aku mengingatmu, ya aku mengingatmu. Masa lalu. O, kaulah pemimpin gerilya yang menyerang pertahanan Belanda saat itu, saat penjajah memaksa mengambil hasil panen penduduk desa ini. Dan sejak saat itu kamu menghilang. Kukira engkau sudah meninggal, bersama dengan mereka. Betulkah namamu Karta?”.

”Betul namaku Karta.”

Suasana riuh tiba-tiba menjadi nyinyir dan sunyi . Warga dan Pak Kades mengamati ibunya, begitu saja mereka berpelukan dengan lelaki tua yang bernama Karta itu. Semua mata warga memandang, juga menyaksikan masa lalu sedang berputar kembali di depan matanya. Masa gerilya yang tak seorangpun diantara mereka pernah merasakan pahit getirnya perjuangan untuk melawan penjajah.

“Kau sekarang pulang ke kampung ini, dan anakmu telah menjadi Letnan, tentu kau berbahagia sekali Karta?” Suara nenek itu terbata-bata.

“Bahagia? Aku sendiri bertahun-tahun lamanya sedang bertanya soal itu?”, jawabnya.

“Ya pasti kau bahagia, anakmu menjadi orang terpandang, meski istrimu telah lama tiada?”

Karta diam, tak bisa menjawab apa-apa lagi.

“Sudah hampir lima puluh tahun ya, engkau tak pernah nengok ke kampung ini. Dimana saja engkau Karta?”

Karta benar-benar telah kehilangan kata-kata. Saat nenek itu mengingatkan lagi masa lalunya. Dan dalam hatinya pun terbesit oleh sesuatu, “kau tentu telah bahagia Karta?”, ia benar tak bisa memahami selama hidupnya, apa arti kebahagiaan itu? Pangkat, kehormatan, dan harta benda yang ia miliki, nyatanya telah membuat hidupnya semakin terasing. Karena kebahagiaan menurutnya hanya ada dalam angan-angan, atau kebahagian itu lebih tepatnya hanya ada pada diri orang lain saja. Begitulah tiap ia melihat kebahagiaan, tiap itu pula ia membayangkan pada kehidupan orang lain, dan tak ada pada dirinya. Padahal ia mempunyai segalanya apa yang orang sebut dengan bahagia. Satu-satunya yang ia tahu makna kebahagiaan, hanyalah pada saat hari-hari gerilya, perang melawan penjajah. Masa-masa perjuangan itulah hari-hari yang menyenangkan, haru biru melawan musuh-musuh. Sapaan merdeka, di tiap tikungan jalan, saat itulah kebahagian memukau dirinya.

“Kau ingat Kar?”, kata nenek itu sambil jalan tertatih membawa tongkatnya, “lima puluh tujuh tahun yang lalu, sebelum kau beristrikan Yu Sri, ketika pagi-pagi sekali kau sedang buang hajat, tiba-tiba seorang tentara Belanda memberondongmu, dan dua peluru menyasar pinggangmu, lalu kau lari terbirit-birit, ke persembunyian kita di semak-semak lorekali (utara sungai)”

“Ya aku ingat! Tapi itu sudah lama berlalu.”

“Saat kau selamat dan bisa berkumpul dengan kami, bau buang hajatmu yang tak selesai itu bikin hiburan teman-teman yang sedang makan beramai-ramai!”

Diingatkan itu Karta hanya senyum sedikit saja. Dan ia diam lagi, kini pikirannya diam-diam menyusup ke wilayah yang jauh lima puluh tujuh tahun lamanya, masa-masa perjuangan.

“Sebenarnya aku sudah lupa, tapi sekarang kau ingatkan lagi. Ya, waktu itu seperti sekarang ini, masih pagi. Orang-orang kampung kita sudah meruncingkan bambu, siap-siap melawan Belanda. Kami berperang dengan cara gerilya, sebagian ada yang mengumpat di semak, sebagian memanjat pohon, dan sebagian yang lain ada dalam lobangan tanah. Dan saat itu kukira tak ada Belanda, makanya aku buang hajat seenaknya, tak tahunya, e Belanda dari jauh menembakku?”

“Dan akulah perempuan yang pertama kali merawatmu itu?”

“Ya.”

“Masa itu aku masih gadis?”

“Ya, aku masih ingat, aku tersipu, saat kau merawatku penuh dengan perhatian. Dan saat itu, aku tahu kau mau bicara, akupun menunggunya, tapi tak ada apa-apa, lalu kita sibuk bersembunyi, karena Belanda menyerang.”

“Kala itu sebenarnya aku ingin mengucapkan sesuatu yang indah buatmu, agar bisa memberimu semangat untuk bertahan dari siksaan peluru. Tapi bagaimana itu bisa kuucapkan. Sementara Front Timur banyak yang terluka. Bukankah saat itu sebagai perempuan, merawat lelaki yang terkapar dari perang adalah segalanya?”

“Ya, aku mengerti!”

“Begitulah kalau ada warga yang kena peluru, kami langsung merawatnya, dan di waktu malam-malam yang sunyi, kami menghibur mereka, kami bernyanyi, kadang juga menembang. Dan mereka dapat melupakan lukanya dan segala hal yang menekan. Kerana perjuangan masih harus diteruskan sampai titik darah penghabisan!”

“Dan aku sekarang tak bisa bahagia seperti dulu. Sekarang malah aku sering menangis. Menangisi segala sesuatu yang sudah hilang?”

“Untuk apa menangisi masa lalu?”

“Aku tahu itu tak ada gunanya. Tapi aku selalu mengingatnya. Dulu kita bisa berbuat banyak hal yang berarti untuk negeri ini. Dan alangkah bahagianya hidup dalam kebersamaan mempertahankan negeri. Kita bisa berjuang sesuai apa yang kita impikan. Berjuang untuk merdeka, ya merdeka!”

“Tentu hidup seperti itu tidak akan selamanya berlangsung. Karena suatu masa akan berhenti pada waktunya. Dan perang telah selesai, bahkan seperti yang kita harapkan dulu, yaitu kita mendapatkan kemerdekaan!”

Hati Karta menjadi remuk dan berteriak, meneriakkan banyak kenangan yang datang mengharu biru, saat-saat masa gerilya, ia mencoba membuang segala kerisauannya, tapi ia tak mampu, bahkan ia semakin tenggelam dengan masa silam yang terus berputar-putar dalam kepalanya.

“Anakmu jadi Letnan, rumahmu mewah, banyak harta, dan pernah kudengar, kau juga pernah mendapat penghormatan dari Presiden, karena kegigihanmu membela tanah air, apa yang kurang dari hidupmu?”, kata nenek itu penuh semangat.

“Di tengah-tengah kemewahan itulah aku terasing, dan tercampakkan dari hidup sebenarnya!”

Tapi nenek itu tak paham apa yang telah dikatakan Karta. Dan warga yang mengerumuni lelaki tua itu tak ada yang berbicara sepatah pun, suasana dibiarkan hanya milik mereka berdua. Karta dan Nenek rentah itu. Kurang lebih setengah jam mereka berbincang-bincang di halaman rumah, dalam kerumunan warga yang ingin mendengar ceritanya.

Dan tiba-tiba, temanku yang dari awal mencurigai perihal kuburan itu, akhirnya memberanikan diri untuk bertanya padaKarta. Karena kesempatan seperti inilah yang sedang ditunggu-tunggu, sejak ia melihat kuburan di pelataran rumah mewah itu.

“Lalu kuburan di depan rumah itu, kuburan siapa?” Tanya temanku dengan penuh penasaran.

“Itu adalah kuburan untukku suatu saat nanti!”, jawab Karta pendek.

Dan betapa terkejutnya warga, mendengar penjelasan lelaki tua yang baru tahu kalau ia bernama Karta. Mata mereka terperangah, setelah mendengarkan penjelasannya.

“Jadi kuburan itu masih kosong?”, tanya warga yang lain.

“Ya. Sebab masih menungguku?”

“Kau masih hidup, kenapa sudah tergesa saja membuat kuburan?”

“Karena itulah rumah yang sebenarnya rumah, yang tak ada satupun bisa mencegahnya untuk masuk di dalamnya. Rumah yang pasti. Karena itu aku telah mempersiapkannya.”

Kerumanan warga itu tampak keheranan. Denyut jantungnya berdetak kencang, saat mendengarkan penjelasan pak Karta lebih lanjut.

“Buatmu yang masih bugar ini?” Tanya warga yang lain sambil terheran-heran.

“Tentu”, berhenti sejenak, kemudian ia melanjutkan perkataannya.” Kalau kau berpikir seperti aku, pasti kau berbuat seperti apa yang kulakukan”

“Apa yang kau pikirkan?”, tanya warga tiba-tiba.

Karta jadi gugup, dan tersentak dari keterbebanan perasaannya yang sedang naik turun. Akhirnya kata-kata pun berhasil disusunnya.

“Kalau kau pernah mengalami seperti aku, hidup di zaman revolusi, gerilya, dan perang melawan penjajah. Pasti kau merasa sudah mati hidup di zaman merdeka seperti sekarang ini”, katanya latah dan terbata.

Kemudian lelaki tua itu meneruskan perkataanya: “Ya, hidup setelah merdeka memang seperti hidup dalam kematian. Betapa tidak? Kemerdekaan yang kami pertaruhkan dengan nyawa, darah dan segala upaya, dengan harapan kita bisa hidup di bumi percikan surga ini dengan bebas, makmur dan sejahtera, tanpa ada rintangan. Ternyata keadaannya, ya keadaannya sungguh jauh dari harapan. Di zaman merdeka ini, betapa kita sering mendengar rakyat terkena korban penggusuran, terlantar, busung lapar, dan lagi-lagi berita korupsi, kolusi dan nepotisme. Ternyata anak-anak sejarah mengisi kemerdekaannya hanya dengan cara kenyang mengisi perutnya sendiri. Inilah yang membuat aku seperti mati. Lalu aku membuat liang kubur untukku itu!”

Setelah berbicara panjang. Hati Karta bergetar. Ia ambil nafas panjang, dan matanya seperti melampaui segala apa yang dilihatnya. Mata tua yang sayu itu mengucurkan deras air hangat yang meleleh di pipinya.

“Apa kalian setuju dengan apa yang kupikir. Tiap diri dari kita harus membuat kubur dan menghiasnya!”, suara serak itu disertai dengan isak tangisnya.

“Untuk apa? Itu usaha yang sia-sia.” Celetuk salah seorang warga.

“Agar kita bisa menghitung tiap perbuatan. Sebab kuburan adalah semacam kaca tempat kita bercermin.”, sambil mengusap air matanya, Karta tetap meyakinkan warga.

“Itu namanya putus asa!”, jawab warga dengan ringan.

“Untuk mengerti, kalian memang harus pernah berjuang terlebih dahulu, seperti kami dulu, agar kalian bisa memaknai hidup, memaknai kemerdekaan ini, dan selanjutnya membuat kuburan sepertiku!”, suaranya semakin lemah.

Karta merasa tak berhasil meyakinkan warga, bahwa apa yang telah diperbuatnya adalah benar. Meski ia telah memberi penjelasan yang lebih, yang dia sendiri pada dasarnya sudah tak percaya akan semangatnya lagi. Kemudian ia pulang, pergi dari kerumunan warga yang menyesakkan itu.

Esok harinya, di pagi sekali, orang-orang kampung dikejutkan dengan berita di Layar Televisi. Panglima Jenderal Purnawirawan Sukarta, Ayahanda tercinta Letnan Surip, dini hari pukul 09.15 WIB menghembuskan napas terakhir dalam usia delapan puluh lima tahun, di kampung halamannya desa Kalipang, Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan. Ia adalah pemimpin gerilya yang telah mempersembahkan seluruh jiwa raganya untuk nusa dan bangsa. Almarhum Sukarta memilih tempat tinggal terakhir di desa kelahirannya. Sekitar tiga bulan yang lalu, ia pindah ke kampung, setelah bertahun-tahun lamanya menetap di Ibu Kota Jakarta, sejak tahun 1963, tepatnya di bulan September. Purnawairawan Jenderal Sukarta memang ingin mati di tempat perjuangannya dahulu, di sisi ayah bundanya dan kerabat dekatnya, serta teman-temannya yang gugur mendahului di masa gerilya dahulu.

*Aguk Irawan MN, tiga buku kumpulan cerpennya sudah terbit, Hadiah Seribu Menara (Kinanah 2000), Sungai yang Memerah (Lanarka, 2004), Adik Berbaring di Gerobak Ayah (Arti Bumi Intaran, 2007), selain cerpen, ia juga menulis novel, puisi, esai dan menerjemahkan beberapa karya sastra bahasa arab ke bahasa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae