Jumat, 04 Mei 2012

Membaca Tembang Tolak Bala (Beberapa Catatan Sekilas)

Raudal Tanjung Banua
http://sastra-indonesia.com/

Membaca novel Hans Gagas, Tembang Tolak Bala (LKiS Yogyakarta, Mei 2011) kita mendapatkan gambaran yang kaya tentang reog Ponorogo, tidak sekedar penampilannya yang atraktif dan indah, melainkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan di “belakang panggung”—dan ini jauh lebih menantang.

Warok, sebagai pelaku utama reog, digambarkan sosok dan laku hidupnya secara terbuka. Ia menjalani kehidupan yang tidak biasa terutama berhubungan dengan ritual-ritual khusus demi menjaga kesaktiannya. Susuk dan meditasi di sanggar pamujaan adalah dua di antaranya. Namun yang paling membedakannya dengan yang lain—karena berhubungan langsung dengan lingkungan sosial—ialah pantangannya untuk bercampur dengan perempuan. Konon, lelaku yang diturunkan dari Klonosewandono, pendiri Kerajaan Bentar Angin yang kelak dikenal sebagai Wengker, itu, pada mulanya dihasratkan untuk menjaga kesucian dirinya sebagai calon raja. Dalam prakteknya kemudian, pantangan itu memunculkan gemblak sebagai kata kunci berikutnya dalam khazanah seni reog Ponorogo, di mana warok akan memelihara seorang anak laki-laki (gemblak) sebagai “kawan intim”.

Demikianlah cerita tentang warok dan gemblak kemudian mengisi hampir separoh halaman novel ini. Lewat tokoh Aku (Hargo) kita bisa mengikuti dengan jelas dunia warok dan per-gemblak-an. Itu tak lain karena Hargo merupakan seorang bocah yang dijadikan gemblak oleh warok yang paling terkenal di wilayah bekas kerajaan Wengker: Eyang Tejowulan. Meskipun sang Eyang sebenarnya juga punya perempuan sendiri, Nyi Tejo atau Eyang Putri, dan Hargo punya orang tua juga yang bahkan masih kerabat Tejowulan. Ini menunjukkan bahwa dunia gemblak memiliki kultur sendiri yang “sah” karena semua berlangsung “sepengetahuan” ayah, ibu, istri dan anggota masyarakat semua. Bahkan tidak jarang prosesi lamaran seorang gemblak dilaksanakan secara besar-besaran, sebagaimana disaksikan sendiri oleh Hargo: Seorang dandan atau wakil dari pelamar (warok) beserta rombongannya menaiki dokar. Dokar itu taklah berlenggang tangan, di dalamnya terusung segala jenis bawaan: berslop-slop roko, gula tebu, berkarung-karung beras, abon-abon pisang raja dan sirih-kinang. Di tengah rombongan dituntun seekor sapi atau kerbau, sebagai mahar “perkawinan”. Semua bawaan itu diserahkan pada orang tua calon gemblak.” (hal. 56).

Sementara Hargo merasa “beruntung” karena tidak melalui prosesi itu,”…aku digemblak secara alami oleh “orang tuaku” sendiri.” Tentu saja “bayaran” yang diperoleh secara sosial bukan hanya benda-benda pinangan itu, namun juga kehormatan dan lebih jauh pengetahuan dan “kesaktian” warok yang biasanya diwarisi kepada si gemblak. Itulah sebabnya, sejarah dan mitologi, seni beladiri dan menabuh menjadi pelajaran setiap malam seperti didapatkan Hargo. Ia mendapatkan cerita tentang sejarah Wengker, Majapahit, Demak, SI, PKI atau Madiun. Ia pun mengenal tokoh-tokoh Ki Ageng Mirah, Ki Ageng Kutu, Raden Patah, bahkan Soekarno. Meski prosesi “pinangan” itu kadang berjalan tidak dalam keadaan “normal”: jika orang tua menolak lamaran warok akibatnya bisa fatal. Termasuk istri warok yang memiliki nestapanya sendiri: cemburu, iri dan ingin hidup normal sebagaimana keluarga lain.

Ancangan yang Meyakinkan

Namun sebelum masuk ke dunia yang sukar dinilai secara hitam-putih itu, penulis terlebih dahulu membuat ancangan yang meyakinkan, setidaknya pada rinci dan detail. Dan ia masuk lewat silsilah dan rumah. Silsilah dan rumah menjadi pembuka dalam novel ini yang membuat pembaca memiliki pijakan untuk masuk ke bagian yang lain, serta mendapat garansi bahwa cerita akan berjalan dengan cukup padat meskipun bahasanya sederhana. Maka pada halaman awal “Bab Satu: Adi Kembar” kita diperkenalkan satu persatu kepada anggota keluarga si anak, meskipun perkenalan itu tidak adil-merata, sebab ada yang diperkenalkan dengan cukup panjang ada juga yang sekedarnya. Kakak, ayah, ibu, nenek dan sahabat (Mei, Narko) diperkenalkan melalui satu atau dua paragraf. Ada yang panjang ada yang selintas, tapi itu tidak masalah sebab pada bab-bab berikutnya di antara mereka ini muncul kembali sebagai tokoh yang ikut mewarnai jalan cerita.

Tapi anehnya, perkenalannya paling sedikit dan kemunculannya pada bab berikut juga tak signifikan justru adalah orang-orang terdekat si anak. Ibu misalnya, memang meminta perkenalan satu paragraf cukup panjang, tapi kehadirannya kemudian tak terlalu “fungsional”. Begitu pula kakak-kakak si aku, bahkan nama dan jumlahnya pun tidak disebutkan, kecuali sedikit saja: …kakak-kakakku, uhh…mereka terlalu memikirkan diri sendiri. Kadang aku melihat bara persaingan di antara mereka. Ini bertolak belakang ketika ia memperkenalkan Mei Ling, sahabat masa kecil yang kemudian hidup di ingatannya. Paling penting lagi adalah perkenalan terhadap adi-kembarnya yang sudah meninggal sejak awal cerita, tapi selalu mewarnai cerita.

Di sini tampak, si aku cenderung menelisik dan menyimpan “sesuatu yang tak ada”, ketimbang merapat pada sosok yang wujudnya lebih dekat dan jelas. Ini tampaknya bukan tanpa rencana. Menurut saya, ini sebuah ancangan yang tak kalah penting untuk menciptakan dunia batin Hargo. Yakni, dunia batin yang berpaut pada dunia “tak kasat mata” sehingga ketika ia masuk ke kehidupan ganjil Eyang Tejo, ada alasan yang “masuk akal” untuk mengembara ke dalam cerita “antah-barantah” dan tak mungkin dijangkau oleh pikiran biasa.

Ancangan ini pula yang memungkinkan pengarangnya leluasa menerapkan konsep “realisme magis” dengan segala plus-minusnya. Konsep ini lebih terjelaskan lagi ketika di pengantar Hans mengatakan bahwa “ulang-alik peristiwa dan waktu di novel ini bergaya ala Tambo-nya Gus tf Sakai.” (hal. xi). Dan memang, dalam prakteknya, pola Tambo sangat terasa dalam Tembang Tolak Bala.

Ancangan berikutnya adalah soal rumah. Penulis, lewat Hargo, dengan detail dan menarik menggambarkan bagian-bagian arstitektur rumah Jawa bukan hanya dari sisi yang tampak (benda-benda dan properti) melainkan juga secara filosofis. Halaman, regol, ruang tengah, dapur, ruang belakang dan halaman belakang diuraikan sedemikian rupa. Tidak ketinggalan rumah-rumah lain yang berdiri terpisah seperti rumah pringgitan: (yang) berbentuk limasan tanpa dinding (….) berisi gamelan dan perlengkapan reog. Biasa dipakai untuk tetabuhan dan latihan reog.” Rumah belakang (…) masing-masing ada tiga kamar berderet ke belakang (…) sedangkan ruang tengah untuk sanggar pamujaan, tempat bersembahyang, semadi.”(hal. 9).

Ancangan yang Kurang Meyakinkan

Akan tetapi, ancangan yang dibangun dengan sabar dan penuh intensitas itu, kurang mendapat rujukan yang sepadan dengan “Tembang Tolak Bala” yang hendak diusung sebagai maindset cerita. Apa dan bagaimana tembang tolak bala itu kurang terjelaskan, kecuali sebuah cerita ringkas yang seolah tidak penting. Dimulai ketika Ki Ageng Kutu berseteru dengan sahabatnya Ki Ageng Mirah (soal tawaran memeluk Islam). Ki Ageng Kutu mula-mula menuju Gunung Wilis, semadi. Namun sesuara kemudian memerintahkannya berpindah ke Gunung Lawu agar menemui Sunan Lawu. Di puncak Gunung Lawu-lah ia mendengar nyanyian dari arah bayangan yang sempat membuat luruh hati Ki Ageng. “Nyanyian itu seperti syair tembang yang melenakan. Tembang yang jauh di hari depan dikenal dengan nama Tembang Tolak Bala.” (hal. 20).

Hanya itu, hanya sampai di situ. Selanjutnya apa korelasi tembang ini dengan cerita berikutnya dan bagaimana ia “bekerja”, tidak menyelusup ke bagian teks yang lain; tidak seperti bayangan adi-kembar atau Mei-Ling. Padahal, sebagai syair, sebagai suara-suara, kemungkinan teks ini untuk menyelusup secara “magis” justru lebih potensial, namun tidak dieksplorasi lebih lanjut. Bahkan ketika pecah huru-hara politik 65, tembang ini tidak “bekerja” sedikit pun, termasuk ketika Eyang Tejo dijemput musuh bebuyutannya, Wirolodaya, yang leluasa menudingnya sebagai “pengayom orang-orang PKI, maka harus dilenyapkan”. Tembang ini juga tak berfungsi ketika Mei Ling diusir dan rumahnya dibakar. Meskipun ada Bab Enam yang membahas khusus Tembang Tolak Bala, namun juga tak memberi fungsi berarti kecuali salinan baris-barisnya (hal. 102-103), tapi bagaimana ia beroperasi di dalam laku cerita tetap saja tak terjelaskan. Satu-satunya moment tembang itu berfungsi ialah ketika Hargo hendak diperkosa oleh gurunya sendiri, Martodirejo. Dalam keadaan kepepet, Hargo menembangkan syair itu dan aneh bin ajaib sang guru seketika lunglai dan berteriak,”Maafkan aku Ki Ageng, ampuni aku Ki Ageng…” (hal. 140).

Ternyata pula, Guru Martodirejo ini tak lain anak Wirolodaya, musuh bebuyutan Eyang Tejo. Leluhur mereka, Hanggodermo dan Wulunggeni, seorang antek Belanda, dulu juga bermusuhan. Kenyataan yang kebetulan ini tentu saja tanpa ancangan yang kurang meyakinkan. Hal ini sama dengan peristiwa meninggalnya ayah Hargo yang dianggap kena teluh atau guna-guna. Namun bagaimana teluh itu “bekerja” kurang terjelaskan, setidaknya berbeda saat Hargo dengan intens menceritakan hal-hal “magis” lainnya.

Puncak dari semua ini adalah ketika tanpa tedeng aling-aling, Tragedi 65 masuk ke dalam cerita. Memang, sebelumnya sudah diceritakan bahwa kelompok reog dan waroknya banyak yang berafiliasi atau sekedar bersimpati pada partai politik tertentu. Maka terkotak-kotaklah grup reog ke dalam Cakra NU, BRP PKI dan BREN PNI. Peristiwa Madiun 1948 juga dihadirkan ketika sejumlah “pemberontak” melarikan diri ke Ponorogo dan minta perlindungan Eyang Tejo (hal yang membuat Hargo berkenalan dengan Juni, anak seorang pelarian yang ditampung Eyang). Akan tetapi, kita tidak menduga bahwa “cerita tentang warok” dengan serta-merta diputus ketika Eyang Tejo dijemput massa. Tragedi 65 masuk ke dalam struktur cerita tanpa ancangan berarti. Hanya dimulai dengan cerita soal ritual bersih desa, yang seperti biasanya selalu menarik untuk diikuti sebab detail dan informatif.

“(….) ritual bersih desa diadakan setiap tahun, menjelang 1 Syuro. Pasangannya adalah sesajen yang nanti dipacak di pohon beringin tua di dekat jembatan. Sesajen berisi ayam ingkung, nasi tumpeng, jajan pasar, kembang tujuh rupa, dupa dan kopi pahit beserta rokok sebatang. Ritual ini bermaksud agar Eyang Mbaureksa melindungi penduduk dari malapetaka, baik disebabkan oleh manusia, wabah penyakit, maupun makhluk halus.

Tapi malapetaka adalah malapetaka. Musibah dan bencana tak bisa ditolak bahkan oleh kekuatan Eyang Mbaureksa. Apalagi malapetaka yang disebabkan oleh kekejaman manusia.” (hal. 88).

Demikianlah, seperti banyak informasi ritual lainnya, kita menduga ini juga hanya sekedar informasi memperkaya cerita, tetapi ternyata menjadi sesuatu yang menentukan. Kata malapetaka dijadikan kunci untuk menggambarkan malapetaka yang lebih besar yakni Tragedi 65, sampai “menghilangnya” tokoh sekaliber Eyang Tejo. Terasa sangat tiba-tiba. Hubungan kita seolah diputus dengan dunia warok, sama seperti “nestapa” Hargo sendiri yang diputus dengan dunia masa kecilnya, dengan Mei, dan adi-kembarnya!

Padahal, prosesi mencari “susuk kekebalan” bisa berpotensi menceritakan Tragedi 65 dengan cara tidak biasa, tidak seperti narasi sejarah resmi. Ini pula yang terjadi pada narasi diskriminasi etnis Cina. Banyak pernyataan yang klise dan agak berbau slogan, seperti banyak didapatkan pada Bab Tujuh “Episode Cinta Mei”. Narasi klise tentang hubungan homoseksual kemudian juga didapatkan dari surat-menyurat Hargo dengan Mei Ling, di mana rujukan Al-Kitab tentang Sodom dan Gomorah dicuplik secara utuh dalam sepucuk surat Mei Ling.

Waktu dan Kehadiran

Menghilangnya Eyang Tejo sekaligus menandai melindapnya dunia warok dalam Tembang Tolak Bala secara keseluruhan. Saya merasakan ada bangunan yang runtuh, bangunan yang sedari awal sudah dibangun susah-payah. Alih-alih penulis malah masuk ke cerita “remaja masa kini”, yakni ketika masa-masa bersekolah Hargo dan saat ia berkenalan dengan Juli, perempuan yang tanpa ancangan berarti juga hadir tiba-tiba.

Upaya perpindahan dari fokus utama ini (baca: warok dan dunianya) menurut saya didorong oleh hasrat Hans untuk merengkuh terlalu banyak peristiwa. Berbagai peristiwa dalam ranah sejarah maupun legenda, baik yang menjadi isu daerah maupun nasional, diakomodasi dengan lapang dada. Akibatnya, dunia cerita tidak lagi berkisar antara Wilis dan Lawu, namun melebar sampai ke semua tempat dan alamat. Untuk itu semua, novel ini tentu saja masih terlalu “mungil” sehingga muatannya berdesak-desakkan. Saya membayangkan, dengan mempertahankan intensitas bab-bab pembuka, niscaya “enclave” budaya di antara dua gunung ini akan memberi warna yang kaya pada lokalitas sastra Indonesia, suatu lokalitas yang selama ini berkisar pada budaya lokal yang mainstream.

Banyak pula informasi menarik yang belum sempat dikembangkan Hans, misalnya tentang warok perempuan, munculnya reog gajah-gajahan atau cerita tentang beberapa reog yang selamat karena para tentara “Pancasilais” takut kuwalat memusnahkannya. Ini sebenarnya bisa berbaur untuk mencairkan situasi umum secara lebih khas.

Hal lain yang perlu dikemukakan ialah soal waktu yang anakronis. Peng-gemblak-an Hargo dan peristiwa yang melingkupinya berkisar pada masa lawas, setidaknya sekitar tahun 60-an. Ini dibuktikan bahwa ketika Tragedi 65 terjadi, ketika Eyang Tejo dijemput massa, Hargo menyaksikan sendiri peristiwa itu (bukan dalam bayangan), bahkan ia sendiri menjadi korban. “Braaak!! Aku aget bukan kepalang! Pintuku didobrak musuh. Dalam tempo sekejap, tepat di hadapanku telah berdiri sejajar seorang berseragam menodongkan pistolnya ke kepalaku.” (hal. 95). Pembauran narasi antara nyata dan bayangan ini memang tidak asing dalam teks “realis-magis” Hans, namun dalam konteks ini Hargo benar-benar hadir secara harfiah, bukan halusinasi sehingga perpindahan dari era-Eyang Tejo ke pasca Eyang Tejo waktunya terasa kurang tepat.

Secara matematis, jika masa menjadi gemblak usia Harjo sekitar 6-10 tahun (pada tahun 60-an), maka mulai Bab Tujuh dan seterusnya, usia Harjo mestinya sudah di atas 30 tahun. Namun yang terjadi Hargo masih SMP. Tentu saja kita bisa beralasan bahwa waktu Hargo SMP bukan terjadi pada tahun 80 atau 90-an, melainkan pasca Tragedi 65 (tahun 60-an). Tapi, cobalah resapi narasi dan suasana yang terbangun sangatlah kekinian. Hargo dan kawan-kawannya biasa belajar bersama, bahkan membuat genk GAJJAH, surat-suratan dengan Mei yang sudah memasukkan unsur kemeriahan Imlek, dst. Narasi itu bahkan terasa seperti tahun 2000-an, misalnya dengan wacana tentang pemerintah yang tak mau merehabilitasi nama korban 65.

Jadi, meski tidak menyebut angka tahun secara telak, kita sebenarnya bisa merujuk waktu dengan suasana yang dibangun. Hal yang membuat kita kemudian mau tidak mau menghubungkannya dengan beberapa istilah yang penggunaannya perlu dipertanyakan. Misalnya, suara gaib yang bergema saat Raja Bantar Angin bertempur melawan Singo Ludro,”Klonoswandono, apakah janji itu serupa tinta yang diguyur airmata?” (hal. 54).

Sebagai penutup, sekali lagi saya tertarik melihat korelasi Tembang Tolak Bala dengan Tambo. Selain temanya yang sama-sama tentang asal-usul atau legenda sebuah daerah beserta puak dan punggawanya, mereka juga dihubungkan oleh teknik plot yang maju-mundur, membaurkan masa lalu dan kekinian. Bedanya, dalam Tambo pelaku-pelaku masa lalu tetaplah sosok yang hidup dalam legenda (yang kemudian hidup dalam kepala Sutan di hari ini) sehingga waktu kehadirannya logis. Dalam Tembang Tolak Bala, pada beberapa bagian, Hargo hadir bersama tokoh-tokoh lawas itu—kecuali dalam beberapa legenda yang lebih “antah-barantah”. Akibatnya, Gus tf Sakai bisa dengan lebih leluasa mengacak sejarah dan mitologi—tanpa terperangkap off side anakronisme—sementara Hans harus membuat peristiwa “hilang ingatan” pada Hargo, tokohnya. Peristiwa pertama, Hargo mati suri selama tujuh-hari tujuh malam (hal. 26) dan peristiwa kedua, ia koma selama sebulan (hal. 98). Keduanya, baik mati suri maupun koma, malah terasa mementahkan ancangan dunia adi-kembar yang magis; pulihnya Hargo, secara teknis, juga tanpa ancangan berarti; terjaga seperti biasa, didatangi ibu, lalu “normal” seketika.

Demikian beberapa catatan sekilas yang tentu saja beresiko memiliki cacatnya sendiri. Tapi semoga bisa diperbaiki melalui forum diskusi kali ini.

Lemahdadi, Desember 2011

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae