Selasa, 01 Desember 2015

MIMPI INDONESIA UNTUK 200 PENYAIR

Awal mula bertemu, berjabat tangan dan ikut tersenyum dengan kalian, penyair-penyair hebat. 10 tahun waktu telah gugur dan berlalu! (Juni 2004-Juni 2014)

Judul buku : Liku Luka Kau Kaku
(200 sajak untuk 200 Penyair)
Penulis : Aguk Irawan MN.
Penerbit : Pustaka Sastra Yogyakarta (Ombak), 2004
Jumlah halaman: xxix + 280 : 13 x 20 cm
Peresensi A. Purwantara *

Adalah Aguk Irawan Mn., penyair yang lahir dari bumi Lamongan (1 April 1979), tanah yang sekarang dikenal setelah bom Bali mengejutkan dunia. Beberapa tahun yang lalu dia meninggalkan tanah kelahirannya menuju negeri Fir'aun untuk studi di Universitas Al-Azhar Kairo, dari tahun 2002, hingga sekarang sedang menyelesaikan kuliah tingkat akhir di jurusan Ushuludin Departemen Aqidah Filsafat. Sebelumnya dia nyantri di ponpes Darul Ulum, Langitan, Tuban sambil sekolah di MAN Babat, Lamongan (1997).

Mulai belajar sastra kepada gurunya, Bp. Harmaji, penyair lamongan dan guru Bahasa Indonesia. Kepenyairannya semakin kuat ketika di Kairo mendirikan sanggar seni Kinanah bersama teman-teman Indonesianya. Setelah itu dia seperti memproduksi kata-kata dengan tiada henti. Dan sebagain besar karyanya itu bisa dinikmati dipelbagai koran dan majalah baik daerah maupun Ibu Kota. Setelah beberapa buku dia lahirkan, kali ini dia menelorkan lagi sebuah kejutan dari kata-kata yang terus diproduksinya.

Liku Luka Kau kaku, sebuah kumpulan puisi. Kalau menyuplik komentar Sigit Susanto di sampul belakang buku itu; Puisi-puisi Aguk tak jauh dari tema pertemanan, kerohanian, kehidupan dan alam. Metafor-metafor yang dihasilkan banyak berangkat dari perenungan alam yang dalam. Kemudian dia coba menikung pada kehidupan manusia lewat ironi-ironi kekinian.

Mungkin tema-tema di atas sungguh sangat biasa diangkat oleh penyair yang pernah ada. Sebuah tema yang tidak terlalu aneh. Karena karya seni itu tiruan dari alam, begitu kira-kira kata seorang filsuf. Tidak aneh! Lalu apa yang bisa dilihat dari sebuah buku puisi yang tak aneh?

Tungu dulu, Liku Luka Kau kaku, mungkin beda. Buku ini mungkin agak unik jika dibandingkan dengan buku-buku dengan tema yang tidak aneh itu tadi. Menurut A. Mustofa bisri; Antologi puisi penyair muda Aguk Irawan ini benar-benar merupakan sebuah karya yang unik. Mungkin inilah pertama kali dan satu-satunya antologi puisi yang seluruh sajaknya dipersembahkan dan "merespon" kepada hampir semua penyair Indonesia yang dikenalnya. Maka antologi inipun menjadi semacam leksikon puitis atau kumpulan "puisi leksikon".

Ya, buku ini berisi 200 sajak untuk 200 penyair. Kenapa 200 penyair, menurut Aguk; Sebab sejarah sastra adalah sejarah yang purba dengan rentang waktu yang sangat panjang dan pelik, maka hanya 200 saja, rasanya memang betul tak cukup!

Bagaimana Aguk mengumpulkan 200 nama penyair Indonesia itu? Katanya, 200 nama penyair Indonesia ini dihimpun dengan kategori periode (mudah-mudahan tidak salah) di mulai dari zaman Balai Pustaka, hingga sekarang (2004). Dia juga menyandarkan pada hasil penelitian di Paris yang diberi nama The Paris Review Interview dan di bawah judul "Some Work of Indonesian Poets (2002) yang menghimpun 197 nama-nama penyair Indonesia tetapi; bukan berarti yang ada dalam penelitian itu pasti ,begitu kanyanya.

...yang jelas 200 para penyair yang saya jadikan teman dialog dalam kata-kata latah di buku ini, mereka adalah guru dan tauladan saya, sejak pertama saya berkawan dengan mereka, atau sejak pertama kali membaca tulisannya, sejak itu pula saya putuskan niat yang tulus untuk berguru....

Begitulah, sebagai mantan santri Aguk memang tak bisa melepas tradisinya untuk bersilaturahmi. Untuk itulah dia menciptakan jembatan yang menghubungkan jarak keberadaannya dengan para penyair itu yang berupa puisi tegur sapa. Puisi yang mengajak berdialog, bercakap-cakap. Dengan bahasa yang kadang-kadang bergelora, lelah, putus asa juga cinta dan kehangatan.

Apa hanya itu alasan dia menulis 200 sajak untuk 200 penyair yang dia kenal, baik langsung maupun hanya kenal karyanya itu? Dia mengungkapkan, "Saya tak bisa membayangkan tanpa mereka bagaimana bisa Indonesia menjalani liku sejarah sebagai bangsa yang penuh kedukaan ini berlangsung?"

Pada saat peluncuran buku di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada Jumat 21 Oktober 2004, seorang penyair Akhmad Sekhu bertanya kepadanya, "Kenapa kau berani menulis 200 puisi untuk 200 penyair, apa kau kenal mereka? Apa yang mengilhami kau menulis itu?"

Jawabnya, "Saya bukan penyair. Bahkan saya benci penyair. Karena penyair di mata saya adalah orang yang suka sesenaknya, tidak peduli. Tapi kenapa saya tiba-tiba ingin menyapa mereka? Ketika saya melihat Indonesia sedang berduka, terluka berdarah-darah, merekalah yang setia mencatat, merekam dan menyodorkan obat dan member hiburan yang sedang duka. Sejak itu saya mencintai mereka. Dan ingin berdialog dengan mereka." Begitu kurang lebih dialog yang terjadi antara Aguk dengan Akhmad Sekhu, seorang penyair yang sempat pula disapa dalam antologi puisi Liku Luka Kau kaku ini, dengan judul Kosong untuk Akhmad Sekhu di halaman 30.

Dari dialog itu terungkap bahwa Aguk Irawan, anak kelahiran Lamongan yang sekarang di Mesir, menyimpan semangat yang pedih melihat bangsanya dicerca duka dan luka yang tak pernah henti. Lihat saja kata-kata Liku Luka Kau Kaku, empat kata yang dengan tepat menggambarkan perjalanan sejarah yang penuh liku dan luka-luka. Sedemikian itu liku dan luka yang bahkan hampir-hampir membuat semangat kebangkitan kaku beku.

Kita lihat puisi di halaman pertama buku Liku Luka Kau Kaku; ....../dari cuaca yang paling teduh/Indonesia memang hanya mimpi/ya, mimpi yang entah milik siapa?/dengan segala muslihat/yang tajam dan yang tumpul//dan jika Indonesia adalah/rembulan maka hampir/sudah tiada malam lagi/dan cahaya, lalu mimpi untuk siapa (Mimpi untuk Abdul Hadi W.M, Kairo 2004, hal 1-2)

Aguk seakan melihat Indonesia dengan sejarah yang suram itu bagaikan mimpi. Bahkan dia hampir tidak melihat perbedaan mimpi buruk ataukah kenyataan yang sedang dialami bangsanya. Seakan ketenangan, keamanan dan kesejahteraan adalah mimpi indah rakyat Indonesia yang dihantam krisis, bom, separatisme dan macam-macam teror. Tenang? Itu hanya mimpi indah yang entah milik siapa.

Ekspresi kebangsaan Aguk dapat dilihat dalam beberapa sajaknya, seperti Kehormatan yang diperuntukkan A. Ajib Hamzah dari Jogjakarta. Aguk memandang; bumi kita yang hangus. Terasa harapan yang pupus. Dan untuk Ajip Rosidi dia menulis; tanah kita/tempat menaruh segala/harapan dan cinta/bunga-bunga mekar/lanmgit yang bening/tanpa ketakutan. Sebuah harapan yang mendambakan negerinya bebas dari ketakutan, tempat cinta dan bunga-bunga mekar dengan indah, itulah Indonesia dalam mimpi Aguk.

Kemudian serunya kepada semua orang; ......bangunlah wahai pemimpi/lihat huruf-huruf sudah/tak bisa dieja lagi apalagi terbaca/anak-anak negeri (Bangunlah untuk Budiman S. Hartoyo, Kairo 2004, hal 70-71).

Aguk menjadi orang yang gelisah ketika harus berbicara tentang keadaan bangsanya, Indonesia. Seperti menyimpan cemas dan gamang. Sehingga dia lebih senang memandang keindahan itu sebagai mimpi. Kepada penyair yang telah berumur dia berkeluh kesah; ...... pada harihari ini memang kita saksikan/kekalahan seribu wajah kita untuk/mengundang pagi yang cerah dengan/firdausfirdaus baru yang mengantarkan pelaut/malam pada matahari (Tangis untuk D. Zawawi Imron, Kairo 2004, hal 79-80. Dia mencoba mengajak Zawawi Imron sang Celurit Emas untuk berdialog. Dia mengungkapkan; mari kita hitung berapa harihari yang/tersisa tanpa tangis sebelum usaiusai hari/luruh dalam gelap.

Itulah penyair dari Lamongan yang berkeluh kesah tentang bangsanya yang sedang terluka dan menderita. Diraciknya keluh kesah dan mimpinya dalam sajak-sajak yang dipersambahkan kepada penyair-penyair tanah airnya yang setia mencatat dan merekam peristiwa pedih yang mengiringi perjalanan bangsa.

Kepekaan penyair dalam menyikapi keadaan bangsanya, menurut Aguk tidak bisa muncul begitu saja. Dia harus banyak belajar dari para pendahulunya yang mempunyai tradisi mencermati keadaan. Aguk merasa telah berguru kepada semua penyair yang sempat dikenalnya maupun yang hanya dibancanya. Seperti penuturannya dalam salah satu puisi untuk penyair Gunawan Mohamad; ....Diamdiam aku meracik mimpi/dari denyut jantungmu/seperti daun, diamdiam memang aku/menyaring desah anginmu (Guru untuk Gunawan Mohamad, Kairo 2004, hal 119-120).

Dia juga mengungkapkan kekagumannya kepada WS. Rendra yang selalu berteriak lantang pada ketidakberesan yang terjadi di negeri ini. Juga kepada Agus R. Sardjono; di negeri Fir'aun kita bercakap di bundaran/deretan kursi, kau baca pikiranku yang/berkelebat ke sana ke mari dan kau rangkum/setiap kata dengan kalimat yang singkat:/salah! (Kenangan untuk Agus R. Sardjono, Kairo 2004, hal 20-21). Dia memang berguru pada semua penyair. Dengan begitu dia tetap mampu melihat terang meski semua orang merasa gelap sebagaimana ketika membaca Afrizal Malna; malam telah memberiku gelap memang,/gelap di seluruh penjuru, tetapi tidak pada kau,/dalam gelap kau selalu benderang dan tidak/sembunyi, bahkan dalam gelap kau selalu/menghadirkan siang, dalam percakapan/dari percikan sinar, dalam malam kau/terbangkan angin yang jauh dalam/sajaksajakmu (Gelap untuk Afrizal Malna, Kairo 2004, hal 18-19).

Dan untuk penyair-penyair sahabatnya sedaerah (Lamongan) dia menulis ; apa yang terlintas dalam kenangmu saat kita/baca/katakata berasama//yang kau katakan saat perjalananku sampai/"segeralah mampir ke rumah tengok derai gerimis sore/hari yang/menetes dari atap rumahku, dan kita/menghirup udara/yang dingin membeku dari langitlangit kamar, sambil/mengintip halilintar di luar"//saat aku ingin berjalan dan sampai/kepadamu, rasanya/aku tak perlu lagi katakata, karena bukankah/kita/sudah begitu mengerti tentang beranda/rumah kita yang/sama. Dan di sana telah kita tanam bersama/kesegaran/hidup kanakkanak dari titik hujan di luar/dan tangis/hujan (Halaman untuk Viddy Alymahfoedh Daery).

Membaca buku Liku Luka Kau kaku seperti menyelami pedalaman seorang anak negeri yang lahir dari tanah pergerakan Lamongan, yang menebar pasir kerinduan Mesir dan merangkul negeri yang luka Indonesia. Seperti bersilaturahmi dengan hati kepada setiap orang yang merasa Indonesia dari bahasa.

Itulah kerja keras Aguk yang telah melahirkan sekian kata-kata yang dirangkainya dalam 200 judul sajak yang dipersembahkan untuk 200 penyair senegerinya. Dalam satu tahun dia menghasilkan 200 sajak, wah, sebuah kerja yang tidak main-main. Mungkin karena itu, Aguk sering menggunakan idiom yang seakan berulang-ulang muncul. Atau mungkin saja dia punya maksud mengulang-ulangnya, seperti mimpi. Ya, mimpi Aguk yang selalu terulang jika ingat negerinya. Sementara dia nun jauh di seberang, di tengah hamparan pasir yang gersang. Namun dia tetap ingat. Dan ketika kita membacanya, kita pun ingat, negeri ini punya mimpi.

*) Peresensi adalah budayawan, dan anggota DKS (Dewan Kesenian Surabaya).
https://www.facebook.com/notes/aguk-irawan-mn/mimpi-indonesia-untuk-200-penyair/10152494904084658

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae