Hasan Gauk
Hari itu hujan mengguyur kampung Sekaroh, tak ada seorang pun yang duduk di beranda seperti hari-hari sebelumnya, barangkali mereka sudah bosan melihat hujan, atau setidaknya telah jenuh oleh hawa dingin yang menggerogoti daging tipisnya. Apa jua yang harus dilihat di malam gelap tanpa penerangan, hujan? Tentu masyarakat yang hidup di pinggiran hutan Sekaroh, tidak pernah menjadikan hujan itu wahana hiburan, atau sekadar menikmati rintik-rintiknya sebagai kejadian yang ditunggu-tunggu. Justru, tak sedikit masyarakat yang membenci fenomena langit tersebut.
Marsini salah satunya, ia dari sekian pemburu babi hutan yang masih bertahan di Sekaroh. Jika hujan turun, ia masuk hutan berhari-hari lamanya, mencari jejak-jejak babi yang sudah jarang ditemukan, tentu binatang hama itu jarang keluar, jika hujan terus mengguyur sepanjang hari. Marsini biasanya ditemani Ayep adik tirinya dan Bikan anaknya, tidak lupa ditemani Pelor, Mirah, dan Menjangan anjingnya yang telah dilatih sedari kecil sebagai pemburu handal. Setiap berburu, tiga anjingnya selalu menjadi teman setia. Dan hampir sembilan hari menyusuri hutan belantara, hari-hari tersial bagi ketiga pemburu itu, tidak seekor pun babi hutan mereka dapati.
Hutan Sekaroh adalah hutan adat. Tak ada satu pun orang boleh menebang pohon dengan dalih apapun. Jika dilanggar, maka hari itu juga si pelaku penebangan akan tewas seketika, entah oleh sebab apa, dari ujung kaki sampai sekujur tubuh biasanya membiru lebam, lalu terlihat seperti orang gila mengoceh sendiri tanpa diketahui penyebab penyakitnya, dan kematian menantinya. Yang jelas, masyarakat masih mempercayai dengan sebutan tuah; percaya tatanan kehidupan adat, jika pemangku mengatakan tidak boleh, maka tiada satu orang pun berani membantah bahkan menyanggah, karena itu satu petuah yang wajib ditaati. Jika ada diantara mereka tak percaya atau mencoba melanggarnya, maka segala bentuk keburukan akan menjemputnya.
Amaq Anom, pemangku desa yang sangat disegani dan dihormati di kalangan masyarakat setempat, bukan lantaran usianya sudah hampir seabad atau karena ilmu Ramal, Senteguh, Senjerit, Seranggas, dan Ilmu Jaye Sempurne yang ia miliki. Namun sebab kejujuran serta kerendahan hatinya, dan bebuah pemikirannya bisa diterima semua kalangan, juga petuah-petuahnya senantiasa mengajak masyarakat tetap menjaga hutan secara bijak bestari.
Ia selalu berpesan; “Jika satu pohon ditebang, berarti kita sudah menghilangkan sepuluh nyawa seseorang, tapi jika satu pohon kita tanam, seribu orang akan terselamatkan.” Begitulah petuah-petuah yang selalu saja dilontarkan Amaq Anom selaku pemangku Adat yang dicintai warganya.
Seiring berjalannya waktu, syarat-syarat alam dilangkahi, satu-persatu mulai menggerogoti pohon-pohon besar yang tumbuh subur di hutan Adat, ada yang merambah menjadi penebang liar, makelar tanah dan pemburu liar dengan sembarangan menembaki apa saja yang melintas di hadapan mereka, tidak perduli hewan atau binatang kramat yang sengaja dilindungi, baik oleh masyarakat Adat maupun pemerintah. Segala jenis satwa penghuni hutan Sekaroh dihabisi. Semua perihal buruk dilakukan, setelah wafatnya Amaq Anom selaku pemangku Adat hutan Sekaroh, tak ada lagi yang disegani oleh orang-orang yang memiliki kerakusan, ketamakan duniawi.
***
Tepat dihari kesepuluh, nasib baik sepertinya bakal menghampiri mereka. Pelor dan Menjangan gerasak-gerusuk memperlihatkan tingkah yang tak biasa, sepertinya ada babi yang mereka endus baunya. Ayep dan Bikan lalu mengikuti kedua anjingnya, yang berlari mendekati pohon Mahoni. Sementara Mirah berada di tempat lain bersama tuannya menyusuri pinggiran hutan. Dari jarak cukup dekat, Ayep dan Bikan melihat segerombolan penebang kayu di sana, ia dengan sangat berhati-hati melihat satu-persatu wajah di antara mereka. Jelas di sana tertangkap oleh kedua matanya di balik semak belukar, wajah yang sangat ia kenali, Pak Sumenep.
Pak Sum nama panggilan akrabnya, seorang Kepala Desa yang sangat disegani masyarakat di kampungnya, bukan lantaran kebijakan atau cara menjalankan amanat yang diembannya sebagai pemangku Desa, melainkan sebab kebengisan dan keangkuhannya. Ia tak segan-segan memukul ataupun memaki siapa saja yang mencoba menegur atas kebijakan-kebijakannya, atau yang sekedar menanyakan suatu hal kepemimpinannya. Jikalau merasa tersindir, maka si penanya akan mendapat cacian bahkan pukulan. Pak Sum, adalah sosok Kepala Desa yang anti terhadap kritik.
***
“Aku masuki hutan dengan harapan beberapa babi bisa dibawa pulang.” Tapi setelah mereka melihat kejadian hari itu, Marsini, Ayep, dan Bikan, seolah getir setiap kali akan memasuki hutan Sekaroh, mereka takut kalau-kalau hal serupa akan mereka lihat lagi.
Semenjak kejadian itu, Marsini, Ayep, dan Bikan anaknya, tidak melakukan perburuan babi dalam jangka waktu cukup lama. “Mereka masih dibayang-bayangi suara raungan anak-anak manusia yang memuncratkan darah dari kepala yang terpisah dari tubuhnya.”
***
Semenjak pembabatan hutan yang dimulai sejak tahun 2001, hanya merekalah yang sampai kini tetap bertahan menggantungkan nasib dengan berburu. Sedang warga lainnya lebih memilih menjadi perantau, baik ke kota maupun ke luar negeri.
Marsini dan Ayep juga berberapa kali diajak oleh sebagian warga yang sudah keluar-masuk Malaysia untuk bekerja di sana. Tapi lagi-lagi, usaha mereka tetap tak menuai hasil, tetaplah bertahan dengan pendiriannya, jawaban yang selalu dilontarkan masih sama, hingga membuat orang yang mengajakknya tidak bisa berkata-kata lagi.
“Kalau semua laki-laki di kampung ini meninggalkan rumah, lantas siapa lagi yang bakal menjaga tanaman dari serangan hama? Tentu sebagian warga di kampung ini juga membutuhkan pertolongan dari kekejaman babi hutan yang kerap kali merusak tanaman-tanaman warga, hasil panen juga kan tergantung dari seberapa banyak babi yang tidak merusak dan memakan tetumbuhan yang ada di ladang, bukan?”
Satu persatu masyarakat Sekaroh meninggalkan kampung halamannya, setelah mereka berhasil mengumpulkan sejumlah ringgit di perantauan. Bahkan, tak jarang ada yang memberikan secara percuma gubuk-gubuk hunian mereka pada warga lainnya. Mereka lebih memilih membeli tanah di luar kampung dan membangun rumah baru di sana, begitu seterusnya. Barangkali sudah bosan hidup di pinggiran hutan, yang air bersihnya sangat sulit didapatkan, jalan-jalannya berlumpur setiap kali hujan melanda, juga gelap gulita saat matahari mulai condong ke barat, dan tentu karena akses informasi sangat sulit diperoleh, apa lagi jarak tempuh anak-anak mereka yang bersekolah, dan bagi mereka yang sesekali ingin berangkat ke kota.
Jikalau tetap memilih bertahan di sana, maka segala akses informasi sulit didapat. Di tempat ini juga, dulu pernah ada sekolah yang didirikan hasil iuran warga setempat, tapi tak bertahan lama. Tidak sampai dua tahun sekolah berdiri, para guru sukarelawan yang mengajar tidak tahan menempuh perjalanan menuju kampung Sekaroh, karena jalur jalannya sangat memprihatinkan.
Pernah beberapa dari warga menuntut perbaikan jalan kepada Pak Sum selaku Kepala Desa, juga pada pihak Kecamatan, hingga Kabupaten, dan Provensi, tetapi sampai akhir priode keduanya, jalan itu masih seperti semula. Pak Sum tidak pernah benar-benar ingin memperbaikinya. Saat-saat mendekati Pilkada, para calon dari berbagai macam partai bergonta-ganti datang menabur janji, namun setelah mereka terpilih, dari beberapa di antara mereka yang sering bolak-balik ke kampung Sekaroh, menjadi Dewan Perwakilan Rakyat, Bupati hingga Gubenur, tak satupun diantara mereka yang datang memenuhi biji-biji yang kadung sudah tertanam, alih-alih mengirim bantuan, berkabar pun mereka enggan.
***
Tiga bulan berlalu, Marsini, Ayep, dan Bikan, sudah mempersiapkan pebekalan. Kali ini mereka harus mendapatkan banyak buruan. Jika tidak, hutang selama tidak melakukan perburuan kian menumpuk. Perasaan was-was mereka kini, sedikit demi sedikit berangsur hilang, toh kalau tidak berburu, hutang kepada Wanto tidak kan bisa tertutupi, belum lagi disertai bunga-bunganya.
“Kali ini, akan kutantang seribu babi dengan lengan terbuka. Pantang kita pulang sebelum mendapatkan banyak buruan,” ucap Bikan dengan penuh percaya diri.
Ayep yang mendengar semangat yang berapi-api lalu menepuk pundak keponakannya ikut memberi semangat. “Dulu, paman semasih seusiamu lebih bersemangat darimu, kalau tidak percaya, bisa kau tanyakan kepada Ayahmu. Tapi paman mengakui, dulu paman lebih tua saat itu, ketimbang usia kau sekarang ini.” Bikan yang mendengar ucapan pamannya, kini lebih memantapkan semangat. “Jadi, aku tidak akan keluar dari hutan, sebelum meringkus puluhan babi, paman.”
“Jangan berucap sembrono kau Nak, sebab dalam kepercayaan kita, bukan parang, tombak atau senjata tajam lain yang membuat kita terluka, ataupun merasa takut. Tetapi yang paling dihindari adalah ucapan yang terlalu jumawa. Apa kau ingat Amirun? Dia tewas bukan lantaran parang yang menyabet di lehernya. Ia terkenal memiliki ilmu kanuragan dan ilmu kebal, tapi asal kau tahu, ia tewas atas ucapannya sendiri, -yang tidak bisa tersentuh senjata tajam”, ujar sang Ayah menasehati.
“Aku ingat sekali waktu Irun tewas seketika, akibat ucapannya, Yah.” “Ya, di hutan Sekaroh; tidak ada yang terkuat Nak, dan yang akan bertahan hidup di sana adalah mereka yang selalu rendah hati, dan menjaga ucapannya dari kesombongan-kesombongannya, juga kebaikan hati yang turut merawat segala yang ada di hutan ini. Jadi anakku, hutan ini milik semua makhluk yang hidup di muka bumi ini. Jadi, jangan sekali-kali sembarang kau menggunakan parangmu untuk memotong ranting sekalipun, paham kau!” Sambung sang Ayah menekan tegurannya.
***
Pagi menyambut, warna tanah masih terlihat gelap, cuaca dingin menusuk tulang, embun masih bergelantungan menari-nari di dedaunan. Belakas, panah, tombak dan sejumlah tali ikat, -tak boleh ada yang tertinggal. Tak lupa botol-botol tuak, ikan teri kering dan emping nasi, serta ubi untuk bekal perjalanan. Seperti biasa, Bikan mengingat nasihat ibunya yang selalu sibuk mempersiapkan bekal sebelum berangkat menuju hutan. Ibunya juga sering berpesan “Ingat Nak, setelah terkena kulit atau darah babi, segeralah kau bersuci, karena di ajaran agama kita mengharamkan juga bersipat nakjis mukallazah. Apa kau masih ingat doa bersuci?” Bayangan tersebut segera ia lupakan, ia tak mau terlarut-larut di dalam kesedihan. Toh, ibunya kini sudah bahagia di surga.
Pagi menjelang siang sebelum memasuki hutan, Marsini melakukan ritual puji agar segala urusan diperlancar. Kemenyan ditaburi pada arang yang sudah kemerahan, juga dipersiapkan keminang, tempat daun sirih, kapur, gambir dan tak lupa buah pinangnya. Dipersiapkan juga benang putih sebagai bebet dalam ritual ini, setelah mantra-mantra selesai dibacakan, Ayep mulai menaburkan beras di jalan utama menuju hutan. Namun ia lupa satu persyaratan, “ayam.”
Ritual semacam itu, masih dipercayai di kalangan masyarakat Sekaroh. Tanpa ritual, mereka menyakini akan terkena bala sewaktu-waktu ketika akan memasuki hutan. Ia ingat persis pesan Amaq Anom “Sebelum kita memasuki hutan, kita wajib berucap salam, meminta kepada sang hyang Maha Kuasa dengan melakukan ritual-ritual puji, karena kita sebagai manusia tak hidup sendiri, banyak makhluk ciptaan Tuan yang tak terlihat secara kasat mata, maka lewat ritual itu, kita melakukan doa-doa agar mendapati kemudahan, pertolongan, dan terhindar dari malapetaka di hutan ini, juga segala niat kita diperlancar, dipermudah segala urusannya.” Baginya, Amaq Anom bukan sekedar pemangku Adat, tetapi jauh dari itu, ia guru sekaligus Ayah bagi warga masyarakat di Sekaroh.
***
Sudah setengah hari mereka menelusuri hutan. Pelor, Mirah, dan Menjangan mulai mengendus-endus, sepertinya ini hari keberuntungan bagi mereka. Tidak seperti beberapa bulan lalu, mereka pulang dengan tangan hampa, kesialan, dan hanya rasa lelah dibawanya pulang. Setelah ditelisik, ternyata Ayep tak melakukan ritual seperti yang sudah dimintakan kakaknya, setelah kepulangannya dari berburu waktu itu, Ayep mengakui kesalahan yang dilakukannya, walau saat itu, rasa lelah masih bergelantungan diraut wajah mereka.
“Maaf kak, kesialan ini semua diakibatkan atas kesalahanku.”
“Maksud kau, Yep?”
“Aku telah lalai dan abai terhadap ritual puji sebelum kita memasuki hutan kemarin, aku tidak melaksanakan ritual seperti yang kau perintahkan itu.”
“Apa! Bukannya aku sudah menyuruh kau melakukannya waktu itu?”
“Sekali lagi maafkan aku kak, aku yang salah.”
“Acong kau, ini sungguh keterlaluan, kau ini goblok atau bagaimana, hah. Itu hal wajib yang harus kita laksanakan sebelum memasuki hutan, lupa kau?!”
“Sekali lagi maafkan aku, kak, aku janji tidak akan melakukan kesalahan yang sama lagi.”
“Bajingan, pantas saja kita sampai berpuluh-puluh hari menyusuri hutan dan tak satupun buruan kita dapatkan, ternyata kau mengabaikan ritual peninggalan nenek moyang kita. Kelewatan kau ini, untung saja nyawa kau tidak ikut tertinggal di sana, mulai besok, biar aku saja yang akan melakuakan ritual puji!”
***
Bikan hanya sebagai pendengar kedua orang tua yang sedang beradu mulut, rasa lelah dan kekecewaannya masih lebih terasa dibanding harus mendengar Ayah dan Pamannya beradu. Ia lantas meninggalkan kedua orang tua yang masih berjibaku di ruangan tengah. Sepertinya, Ayah Bikan sangat marah ketika tahu, apa yang dilakukan adiknya bisa membahayakan nyawa mereka. Bikan lalu menuju ke kamarnya dan tertidur pulas berbantal kelelahan, yang terdengar dari suara dengkurnya.
***
Di balik pohon Mahoni, Pelor dan Menjangan terlihat mencium sesuatu, ia berlari sembari diikuti tuannya dari belakang. Ia melihat segerombolan babi di balik semak-semak. Marsini lantas memerintah anjing-anjingnya segera mengejar sambil berlari menyusul. Sementara Ayep dan Bikan berlarian menyilang, kelewang dan tombak sudah siap membidik tubuh-tubuh babi hutan tersebut. Plaaaaaaak, tak ayal tiga babi hutan tewas di ujung tombaknya. Ayep dan Bikan berlumuran darah, sepertinya mereka terlalu bergairah menusukkan tombaknya ke tubuh hewan buruan, sehingga wajah mereka tampak perciakan-percikan darah ikut menempel.
Mereka melanjutkan perburuan. “Kali ini kita akan pulang membawa hasil, paman,” Bikan menyakinkan pamannya. Mereka berjalan membuntuti anjing-anjingnya, tetapi lelangkah mereka terhenti di bawah pohon Lian. Pohon kramat yang sudah berumur sekian abad. Setelah didekati, dua kepala manusia berserakan di sana. Marsini, Ayep dan Bikan tak kepalang kaget. “Siapakah yang tega melakukan perbuatan iblis semacam ini?”
“Ini pasti Boro, kak,” ucap Ayep menyakinkan.
“Hus, jangan sembarang ngomong kau!”
Bikan juga tak ayal, ketakutannya sangat tampak, terlihat dari baju Ayahnya yang tak dilepaskannya sedari tadi.
“Sudah Nak, sudah! Ayo kita cari sebagian tubuh mayat-mayat itu bersama pamanmu, kau ini laki-laki, dan kita orang Sasak. Jadi jangan jadi pengecut, melihat hal semacam ini,” Ayahnya menasehati.
Marsini lalu memungut kepala-kepala yang berserakan itu. Ayep dan Bikan sibuk menyibak semak-semak lalu lalang mencari tubuh-tubuh kedua kepala itu ditemani anjingnya. Selang beberapa menit, tubuh dari kedua kepala tersebut terlihat tergeletak di bawah semak belukar, yang sepertinya sengaja ditutupi. Namun siapa yang mampu menandingi pencimuan Pelor, Mirah dan Menjangan?
Marsini adalah saksi kunci atas pembunuhan yang dilakukan Pak Sum waktu itu, dalam hati ia juga menyakini, bahwa; pembunuhan ini juga ada kaitannya dengan Kades tersebut, dikarena kedua mayat ini salah satu warga yang selalu mengkritisi kebijakan serta perbuatan Pak Sum yang selalu menjual tanah-tanah di Sekaroh. Marsini bahkan sangat mengenali kedua mayat itu, adalah Muksin dan Muksan yang kini kepalanya sedang ditenteng di tangannya.
***
Di balik pohon, sekitar pelemparan batu anak berusia dua tahun, Pak Sumenep beserta sejumlah warga memergoki ketiga laki-laki itu dengan dua kepala dan tubuh di masing-masing tangannya. Tak ayal, ketiga laki-laki itu langsung jadi bulan-bulanan warga, sebagian warga berpendapat “bagaimana jika ketiga laki-laki ini dibakar? Ini adalah perbutan seorang kafir,” teriak warga lainnya, “mereka pantas dibakar hidup-hidup,” sebagian warga juga berkata; “mereka inilah keluarga pemakan babi, jadi darah mereka sudah halal untuk kita tumpahkan.”
Emosi yang meluap-luap akhirnya menutupi sisi kemanusiaan mereka. Ketiga pemburu itu akhirnya terpanggang di bara api yang menyala-nyala. Sementara Pak Sumenep melukiskan senyuman terbaiknya di langit-langit sore itu.
7 Juni 2019 http://sastra-indonesia.com/2021/02/dihilangkannya-orang-orang-sekaroh/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar