Apa yang kau harapkan ketika mengurai kenangan
Senyum tertahan, kata tersimpan di tenggorokan
tangan kiri membaca mantra, tangan kanan berdoa ke langit juga
Kutaruh di balik saku jaketmu
sesuatu yang tak kau pahami, tentang mula
ikan renang, lompat katak, lari kijang, terbang burung,
juga tanganku yang murung. Letakkan kemudian dalam lemari, kuncilah
jangan pernah tergoda untuk membukanya hingga terpahami rayap-rayap
di ribuan malam pengantinmu. Berdoalah jangan ada kelak
teryakini di punggung tanganmu,
menggenggam murung itu.
2008
Surat untuk Bunda
Bunda, ketika matahari telah sempurna digantikan neon
mungkin aku hanyalah sebuah kabar dari rantau, berbekal sebuah harapan
bahwa kelak aku kembali bersama mimpi hari ini yang telah kujadikan
kenyataan
Bunda, sejujurnya aku telah berpurapura tak peduli dengan ratusan mimpi
buruk dan juga ribuan tangis yang tumpah di ranjang pengantinmu,
hingga nyeri tertanam pula di dadaku
Bunda, aku tak pernah menyalahkanmu atas bibir yang tak pernah mampu
memanggil bapak
karena wajahnya tak kau ajarkan hadir di benakku
Bunda, kemarin bapak hadir di selembar wajah yang terselip di balik bantal
hingga tersusun niat
sengalir darah, akan kucari ia dan membawanya untukmu
Bunda, suara subuh mengajarkan sebuah harapan, walau terbata bersama
tangis tertahan doa pun
mulai berani kunyalakan, sesuci air susu yang ngalir di ragaku, tak boleh lagi
nyeri terasa di
dadamu, kecuali senyum terindah yang kembali hadir di wajahmu
Bunda, sertakan doa untukku di tiap malammu, agar aku tak lagi hanya kabar
dari rantau
: anak malang yang ditawan tahun
2008
Memoar
Memar
Masih saja kau mengukir biru
pada tubuhtubuh terkasih
perangkap apa yang hendak kau buat hadir
sebagai nyeri
Kamar
Barangkali, tubuh yang tengah disekap jadi dinding
kelak mampu kubuat jadi pasir
di landai pantai
; semakin kudengar ombak
hantam kamar kerang
Debar
telah hilang warna laut malam ini
mulailah nyalakan damar pengantar debur
pada laut
;biru dadamu
Camar
Batas langit mana mampu membuat sayapmu
menunduk, bukan mengalah
sekedar menghirup udara pucukpucuk daun
hutan dekat tubuh pasir
untuk parumu
Mei, 2008
Salam untuk Bapak
Dari balik jendela kulihat wajah malam tengah muram
bulan dicuri hujan, keriangan kota masuk dalam selimut
suasana yang sama ketika ibu berteriak, bapak membanting pintu
dan aku kehilangan air mata
Besoknya, ibu pergi dijemput matahari,
katanya lusa pasti kembali bawa laut
aku mengangguk, berlari ke pelukan nenek
Tapi ketika lusa datang bersama ibu, laut tumpah di rumahku
orangorang memberi karangan bunga buat ibu
Malam ini, air mata basah dekat jendela
kukenali lagi rindu pada ibu
kupeluk wajah itu, lukanya jatuh ke hatiku
Tiba suara langkah mendekati pintu,
diikuti salam, dan suara ketukan
Wajah bapak muncul dari tubuh lelaki tua itu
Kuucapkan salam,
maaf, sepertinya anda salah alamat
Kututup pintu, luka ibu tersenyum di hatiku.
2008
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
http://sastra-indonesia.com/2010/01/puisi-puisi-seli-desmiarti/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar