Maman S. Mahayana
Sumber, http://mahadewa-mahadewa.blogspot.com/
Ketika kita bicara soal Polemik Kebudayaan, serta-merta nama yang segera muncul dalam ingatan kita adalah Sutan Takdir Alisjahbana. Tokoh inilah yang menggelindingkan perdebatan kultural saat bangsa ini dilanda kegandrungan romantisisme. Harapan untuk mendirikan dan merumuskan kebudayaan Indonesia menjadi sebuah keniscayaan yang mengejawantah di dalam perjuangan politik pergerakan dan berbagai gagasan mengenai kebudayaan Indonesia. Nama Alisjahbana lalu menjadi semacam mitos dalam perjuangan kebudayaan.
Selepas merdeka, tepatnya pertengahan 1946, atas usaha Chairil Anwar bertemulah sejumlah seniman, antara lain, Asrul Sani, Baharuddin, Basuki Resobowo, Henk Ngantung, Rivai Apin, M. Akbar Djuhana, Mochtar Apin, dan M. Balfas. Mereka berkumpul untuk merealisasikan pendirian perkumpulan kebudayaan (kunstkring) Gelanggang Seniman Merdeka. Pada tanggal 19 November 1946, lahirlah preambul Gelanggang. Perkumpulan ini kemudian mengklaim diri sebagai Generasi Gelanggang.
Dalam preambul Anggaran Dasarnya itu, dinyatakan bahwa Generasi Gelanggang lahir dari pergolakan roh dan pikiran yang sedang mencipta manusia Indonesia yang hidup. Generasi yang harus mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnya penjadian bangsa ini. Oleh karena itu, ia harus melepaskan diri dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk. Ia juga harus berani menentang pandangan, sifat dan anasir lama itu untuk menyalakan semangat dan bara kekuatan baru. Secara padat, semangat, elan, dan sikap Generasi Gelanggang ini lalu dirumuskan dalam sebuah surat terbuka yang diberi nama Surat Kepercayaan Gelanggang, bertarikh 18 Februari 1950, hampir setahun setelah Chairil Anwar meninggal.
Siapakah sesungguhnya konseptor di balik perumusan Surat Kepercayaan Gelanggang itu? Apa pula signifikansinya sehingga Surat Kepercayaan Gelanggang akhirnya dipublikasikan, justru setelah Chairil Anwar meninggal dan hampir empat tahun setelah berdiri Gelanggang Seniman Merdeka?
Sebelum pemuatan Surat Kepercayaan Gelanggang dalam Siasat, 22 Oktober 1950, Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani menerbitkan sebuah antologi bersama yang berjudul Tiga Menguak Takdir (1949). Seperti pisau bermata dua, buku ini secara idealis, menolak konsepsi kesusastraan baru Pujangga Baru dan sekaligus menentang gagasan Alisjahbana tentang kemutlakan menatap Barat. Yang hendak ditekankan angkatan ini adalah harga diri untuk tidak menerima secara membuta-tuli semua yang datang dari Barat. Tetapi, di lain pihak ketiga penyair ini pun sesungguhnya melanjutkan gagasan Alisjahbana itu. Periksa saja mukadimah Anggaran Dasar Generasi Gelanggang serta semangat yang melandasi Surat Kepercayaan Gelanggang. Secara jelas kita masih merasakan adanya jejak pemikiran Alisjahbana. Dengan demikian, Generasi Gelanggang bukan tanpa sadar hendak melanjutkan perjuangan Alisjahbana.
Dalam berbagai pembicaraan Angkatan 45, Surat Kepercayaan Gelanggang dianggap mewakili pendirian, semangat, dan sikap estetik mereka. Jadi, dalam hal ini, meskipun dalam soal penerimaan pengaruh Barat kita masih dapat menelusuri jejak Alisjahbana, demikian juga pandangan mengenai tradisi masa lalu yang dikatakan “tidak ingat kepada melaplap hasil kebudayaan sampai berkilat... tetapi memikirkan kebudayaan baru yang sehat,” angkatan ini tampak lebih reflektif dan berhasrat menggali kemampuan sendiri.
***
Sementara itu, publikasi Surat Kepercayaan Gelanggang yang dimuat dalam Siasat, 22 Oktober 1950, terlambat hampir sembilan bulan lamanya jika melihat tarikh yang tercantum di sana. Penyiaran itu sangat mungkin dimaksudkan sebagai reaksi atas publikasi Mukadimah Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dicetuskan 17 Agustus 1950. Indikasinya tampak dari beberapa faktor berikut.
Pertama, Baharudin, Basuki Resobowo dan Henk Ngantung yang semula termasuk pendiri Generasi Gelanggang, justru masuk Lekra. Menyusul kemudian Rivai Apin, tercatat menjadi anggota pada sekretariat pusat Lekra. Dengan sendirinya, mereka tidak dapat lagi mewakili Generasi Gelanggang. Baharudin, misalnya, dalam sebuah artikelnya yang dimuat Spektra, II, 9, 29 September 1950, mengatakan: “Kewajiban seni adalah mendidik dan dalam hiburan mempunyai satu tujuan yang tegas yaitu kegembiraan kerja dan semangat perjuangan rakyat.” Di bagian lain, dengan tegas ia juga menolak gagasan humanisme universal yang pada awalnya justru merupakan sikapnya dalam ikut melahirkan Gelanggang Seniman Merdeka.
Kedua, secara ideologis, Lekra berseberangan dengan Generasi Gelanggang. Pertentangan ini sesungguhnya terjadi karena memang Lekra dan Generasi Gelanggang berpijak pada pandangan yang berbeda mengenai kesusastraan dan kesenian pada umumnya. Lekra berangkat dari gagasan realisme sosialis yang menuntut keberpihakan seniman pada rakyat dan menempatkan politik sebagai panglima. Generasi Gelanggang menganjurkan humanisme universal, kemanusiaan sejagat, tanpa memandang status sosialnya. Sedangkan urusan politik dan kesenian (kesusastraan) adalah persoalan yang tidak perlu saling mencampuri. Kebudayaan tidak perlu terlibat dalam urusan politik. Pembelaan budayawan hanyalah pada nilai-nilai kemanusiaan universal.
Ketiga, kemajuan Lekra yang begitu luas memasuki sejumlah kota besar di Indonesia setelah beberapa bulan pendiriannya, jauh lebih bergema dan berpengaruh dibandingkan kiprah Generasi Gelanggang. Setidak-tidaknya, pengaruh itu diukur berdasarkan gencarnya publikasi sastrawan Lekra dan bertumbuhannya cabang-cabang Lekra berikut berbagai organisasi keseniannya. Beberapa bulan setelah pendirian Lekra, misalnya, di Surabaya, Yogyakarta, Medan, dan Bandung telah berdiri cabang-cabang Lekra yang disemarakkan pula dengan berbagai kegiatan keseniannya. Setelah itu, kemudian berlanjut dengan munculnya cabang-cabang Lekra di sejumlah kota di pulau Jawa dan luar Jawa. Prestasi ini diikuti pula oleh usaha penerbitan. Zaman Baru, Republik (Surabaya), Harian Rakjat, Sunday Courier (Jakarta) dan Rakjat (Medan) adalah media massa yang berada di bawah penerbitan Lekra yang ketika itu banyak dimanfaatkan pula sebagai corong Partai Komunis Indonesia (PKI).
Keempat, Lekra yang secara tegas menyatakan bahwa “rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan” seolah-olah sengaja hendak menanfikan keberadaan Generasi Gelanggang yang terkesan elitis. Pertentangan antara dua paham yang berbeda itu, yaitu antara golongan pendukung gagasan humanisme universal dan sastrawan Lekra yang menganut paham realisme sosialis, makin melebar dengan fitnah dan teror yang banyak bermunculan di berbagai media massa. Dalam perkembangannya, pendukung humanisme universal didukung oleh sastrawan dan seniman lainnya yang lalu mencetuskan pernyataan sikapnya yang tertuang dalam Manifes Kebudayaan. Puncaknya terjadi ketika Presiden Soekarno, 8 Mei 1964, melarang Manifes Kebudayaan. Para penada tangan pernyataan itu diberangus dan tak diberi ruang gerak apa pun.
***
Terlepas dari persoalan yang melatarbelakangi publikasi Surat Kepercayaan Gelanggang, pengaruhnya sendiri yang semula kurang begitu bergema, terus bergulir dan menjadi besar justru lantaran serangan pihak Lekra. Nama Asrul Sani sebagai penulis naskah itu, seolah tetap surut di bawah hingar-bingar polemik dan bayang-bayang nama besar Chairil Anwar. Meskipun demikian, dalam pandangan sastrawan tahun 1950-an, pengaruh Asrul Sani, sama besarnya dengan Chairil Anwar, Idrus, atau Pramoedya Ananta Toer. Asrul Sani dan Chairil Anwar, tetap menempati kedudukan yang khas di mata sastrawan masa itu. Ketika desakan Lekra begitu kuat, Asrul Sani bersama Usmar Ismail kemudian mendirikan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang berinduk pada partai Nahdhatul Ulama (NU).
***
Pada tahun 1954, saat diundang Universitas Harvard untuk menghadiri seminar tentang kebudayaan, Asrul memanfaatkan kesempatan itu untuk memperdalam pengetahuannya tentang teater. Inilah awal ia terjerumus pada bidang teater. Sekembalinya dari Amerika tahun 1955, ia mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) bersama Usmar Ismail dan D. Djajakusuma. Dari sinilah ia meluaskan kiprahnya, memasuki teater dan film. Puluhan naskah drama dan film telah dihasilkannya.
Lalu bagaimana gagasan Asrul Sani tentang idealismenya membangun kebudayaan Indonesia yang dalam Surat Kepercayaan Gelanggang dinyatakan sebagai “... ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” Dalam artikelnya, “Surat Kepercayaan” (Gelanggang, I, 1, Desember 1966), Asrul tetap konsisten pada sikapnya semula: “Kita tidak menolak ‘isme’ apapun dalam kesenian... kita adalah penentang keras pendirian ‘politik adalah panglima’”. Satu hal yang penting dan tidak boleh diabaikan dalam pembangunan kebudayaan Indonesia, dinyatakan Asrul dengan kalimat: “Agama sebagai kesatuan yang merupakan pengikat dan memberi bentuk batin kesatuan kebudayaan.”
Sejalan dengan perjalanan waktu, sosok Asrul Sani terus menggelinding. Membongkar dan meneroka kebobrokan elite penguasa korup, sambil terus mengingatkan: bahwa masalah pembangunan di tanah air kita ini bukan hanya masalah uang, alat dan keamanan, tetapi terutama kualitas manusia. Dan bangsa ini hancur lantaran negeri ini dikelola oleh sebuah rezim yang berkualitas meminggirkan kebudayaan; para pemimpin yang tidak mau menempatkan pembangunan kebudayaan sebagai semangat mengangkat harga diri bangsa! Sesungguhnya Asrul telah mengingat masalah itu lewat pernyataannya dalam Surat Kepercayaan Gelanggang. Inilah kontekstualitas gagasan Surat Kepercayaan Gelanggang bagi kita.
***
Kini, salah satu tokoh penting Angkatan 45 itu, telah meninggalkan kita. Malam hari, 11 Januari 2004, Asrul Sani menghembuskan nafas terakhirnya. Meski demikian, Asrul Sani telah menaburkan banyak karya dengan konsistensinya mengusung kebudayaan sebagai salah satu bagian penting dalam pembangunan kualitas manusia. Semangatnya –seperti juga semangat Chairil Anwar—niscaya akan tetap hidup dalam jiwa manusia Indonesia yang mengusung kebudayaan sebagai teras dalam upaya mengangkat martabat bangsa. “Selamat jalan Sang Konseptor Surat Kepercayaan Gelanggang!”
(Maman S. Mahayana, Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar