Selasa, 21 Oktober 2008

ASRUL SANI: KONSEPTOR SURAT KEPERCAYAANG GELANGGANG

Maman S. Mahayana
Sumber, http://mahadewa-mahadewa.blogspot.com/

Ketika kita bicara soal Polemik Kebudayaan, serta-merta nama yang segera muncul dalam ingatan kita adalah Sutan Takdir Alisjahbana. Tokoh inilah yang menggelindingkan perdebatan kultural saat bangsa ini dilanda kegandrungan romantisisme. Harapan untuk mendirikan dan merumuskan kebudayaan Indonesia menjadi sebuah keniscayaan yang mengejawantah di dalam perjuangan politik pergerakan dan berbagai gagasan mengenai kebudayaan Indonesia. Nama Alisjahbana lalu menjadi semacam mitos dalam perjuangan kebudayaan.

Selepas merdeka, tepatnya pertengahan 1946, atas usaha Chairil Anwar bertemulah sejumlah seniman, antara lain, Asrul Sani, Baharuddin, Basuki Resobowo, Henk Ngantung, Rivai Apin, M. Akbar Djuhana, Mochtar Apin, dan M. Balfas. Mereka berkumpul untuk merealisasikan pendirian perkumpulan kebudayaan (kunstkring) Gelanggang Seniman Merdeka. Pada tanggal 19 November 1946, lahirlah preambul Gelanggang. Perkumpulan ini kemudian mengklaim diri sebagai Generasi Gelanggang.

Dalam preambul Anggaran Dasarnya itu, dinyatakan bahwa Generasi Gelanggang lahir dari pergolakan roh dan pikiran yang sedang mencipta manusia Indonesia yang hidup. Generasi yang harus mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnya penjadian bangsa ini. Oleh karena itu, ia harus melepaskan diri dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk. Ia juga harus berani menentang pandangan, sifat dan anasir lama itu untuk menyalakan semangat dan bara kekuatan baru. Secara padat, semangat, elan, dan sikap Generasi Gelanggang ini lalu dirumuskan dalam sebuah surat terbuka yang diberi nama Surat Kepercayaan Gelanggang, bertarikh 18 Februari 1950, hampir setahun setelah Chairil Anwar meninggal.

Siapakah sesungguhnya konseptor di balik perumusan Surat Kepercayaan Gelanggang itu? Apa pula signifikansinya sehingga Surat Kepercayaan Gelanggang akhirnya dipublikasikan, justru setelah Chairil Anwar meninggal dan hampir empat tahun setelah berdiri Gelanggang Seniman Merdeka?

Sebelum pemuatan Surat Kepercayaan Gelanggang dalam Siasat, 22 Oktober 1950, Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani menerbitkan sebuah antologi bersama yang berjudul Tiga Menguak Takdir (1949). Seperti pisau bermata dua, buku ini secara idealis, menolak konsepsi kesusastraan baru Pujangga Baru dan sekaligus menentang gagasan Alisjahbana tentang kemutlakan menatap Barat. Yang hendak ditekankan angkatan ini adalah harga diri untuk tidak menerima secara membuta-tuli semua yang datang dari Barat. Tetapi, di lain pihak ketiga penyair ini pun sesungguhnya melanjutkan gagasan Alisjahbana itu. Periksa saja mukadimah Anggaran Dasar Generasi Gelanggang serta semangat yang melandasi Surat Kepercayaan Gelanggang. Secara jelas kita masih merasakan adanya jejak pemikiran Alisjahbana. Dengan demikian, Generasi Gelanggang bukan tanpa sadar hendak melanjutkan perjuangan Alisjahbana.

Dalam berbagai pembicaraan Angkatan 45, Surat Kepercayaan Gelanggang dianggap mewakili pendirian, semangat, dan sikap estetik mereka. Jadi, dalam hal ini, meskipun dalam soal penerimaan pengaruh Barat kita masih dapat menelusuri jejak Alisjahbana, demikian juga pandangan mengenai tradisi masa lalu yang dikatakan “tidak ingat kepada melaplap hasil kebudayaan sampai berkilat... tetapi memikirkan kebudayaan baru yang sehat,” angkatan ini tampak lebih reflektif dan berhasrat menggali kemampuan sendiri.
***

Sementara itu, publikasi Surat Kepercayaan Gelanggang yang dimuat dalam Siasat, 22 Oktober 1950, terlambat hampir sembilan bulan lamanya jika melihat tarikh yang tercantum di sana. Penyiaran itu sangat mungkin dimaksudkan sebagai reaksi atas publikasi Mukadimah Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dicetuskan 17 Agustus 1950. Indikasinya tampak dari beberapa faktor berikut.

Pertama, Baharudin, Basuki Resobowo dan Henk Ngantung yang semula termasuk pendiri Generasi Gelanggang, justru masuk Lekra. Menyusul kemudian Rivai Apin, tercatat menjadi anggota pada sekretariat pusat Lekra. Dengan sendirinya, mereka tidak dapat lagi mewakili Generasi Gelanggang. Baharudin, misalnya, dalam sebuah artikelnya yang dimuat Spektra, II, 9, 29 September 1950, mengatakan: “Kewajiban seni adalah mendidik dan dalam hiburan mempunyai satu tujuan yang tegas yaitu kegembiraan kerja dan semangat perjuangan rakyat.” Di bagian lain, dengan tegas ia juga menolak gagasan humanisme universal yang pada awalnya justru merupakan sikapnya dalam ikut melahirkan Gelanggang Seniman Merdeka.

Kedua, secara ideologis, Lekra berseberangan dengan Generasi Gelanggang. Pertentangan ini sesungguhnya terjadi karena memang Lekra dan Generasi Gelanggang berpijak pada pandangan yang berbeda mengenai kesusastraan dan kesenian pada umumnya. Lekra berangkat dari gagasan realisme sosialis yang menuntut keberpihakan seniman pada rakyat dan menempatkan politik sebagai panglima. Generasi Gelanggang menganjurkan humanisme universal, kemanusiaan sejagat, tanpa memandang status sosialnya. Sedangkan urusan politik dan kesenian (kesusastraan) adalah persoalan yang tidak perlu saling mencampuri. Kebudayaan tidak perlu terlibat dalam urusan politik. Pembelaan budayawan hanyalah pada nilai-nilai kemanusiaan universal.

Ketiga, kemajuan Lekra yang begitu luas memasuki sejumlah kota besar di Indonesia setelah beberapa bulan pendiriannya, jauh lebih bergema dan berpengaruh dibandingkan kiprah Generasi Gelanggang. Setidak-tidaknya, pengaruh itu diukur berdasarkan gencarnya publikasi sastrawan Lekra dan bertumbuhannya cabang-cabang Lekra berikut berbagai organisasi keseniannya. Beberapa bulan setelah pendirian Lekra, misalnya, di Surabaya, Yogyakarta, Medan, dan Bandung telah berdiri cabang-cabang Lekra yang disemarakkan pula dengan berbagai kegiatan keseniannya. Setelah itu, kemudian berlanjut dengan munculnya cabang-cabang Lekra di sejumlah kota di pulau Jawa dan luar Jawa. Prestasi ini diikuti pula oleh usaha penerbitan. Zaman Baru, Republik (Surabaya), Harian Rakjat, Sunday Courier (Jakarta) dan Rakjat (Medan) adalah media massa yang berada di bawah penerbitan Lekra yang ketika itu banyak dimanfaatkan pula sebagai corong Partai Komunis Indonesia (PKI).

Keempat, Lekra yang secara tegas menyatakan bahwa “rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan” seolah-olah sengaja hendak menanfikan keberadaan Generasi Gelanggang yang terkesan elitis. Pertentangan antara dua paham yang berbeda itu, yaitu antara golongan pendukung gagasan humanisme universal dan sastrawan Lekra yang menganut paham realisme sosialis, makin melebar dengan fitnah dan teror yang banyak bermunculan di berbagai media massa. Dalam perkembangannya, pendukung humanisme universal didukung oleh sastrawan dan seniman lainnya yang lalu mencetuskan pernyataan sikapnya yang tertuang dalam Manifes Kebudayaan. Puncaknya terjadi ketika Presiden Soekarno, 8 Mei 1964, melarang Manifes Kebudayaan. Para penada tangan pernyataan itu diberangus dan tak diberi ruang gerak apa pun.
***

Terlepas dari persoalan yang melatarbelakangi publikasi Surat Kepercayaan Gelanggang, pengaruhnya sendiri yang semula kurang begitu bergema, terus bergulir dan menjadi besar justru lantaran serangan pihak Lekra. Nama Asrul Sani sebagai penulis naskah itu, seolah tetap surut di bawah hingar-bingar polemik dan bayang-bayang nama besar Chairil Anwar. Meskipun demikian, dalam pandangan sastrawan tahun 1950-an, pengaruh Asrul Sani, sama besarnya dengan Chairil Anwar, Idrus, atau Pramoedya Ananta Toer. Asrul Sani dan Chairil Anwar, tetap menempati kedudukan yang khas di mata sastrawan masa itu. Ketika desakan Lekra begitu kuat, Asrul Sani bersama Usmar Ismail kemudian mendirikan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang berinduk pada partai Nahdhatul Ulama (NU).
***

Pada tahun 1954, saat diundang Universitas Harvard untuk menghadiri seminar tentang kebudayaan, Asrul memanfaatkan kesempatan itu untuk memperdalam pengetahuannya tentang teater. Inilah awal ia terjerumus pada bidang teater. Sekembalinya dari Amerika tahun 1955, ia mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) bersama Usmar Ismail dan D. Djajakusuma. Dari sinilah ia meluaskan kiprahnya, memasuki teater dan film. Puluhan naskah drama dan film telah dihasilkannya.

Lalu bagaimana gagasan Asrul Sani tentang idealismenya membangun kebudayaan Indonesia yang dalam Surat Kepercayaan Gelanggang dinyatakan sebagai “... ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” Dalam artikelnya, “Surat Kepercayaan” (Gelanggang, I, 1, Desember 1966), Asrul tetap konsisten pada sikapnya semula: “Kita tidak menolak ‘isme’ apapun dalam kesenian... kita adalah penentang keras pendirian ‘politik adalah panglima’”. Satu hal yang penting dan tidak boleh diabaikan dalam pembangunan kebudayaan Indonesia, dinyatakan Asrul dengan kalimat: “Agama sebagai kesatuan yang merupakan pengikat dan memberi bentuk batin kesatuan kebudayaan.”

Sejalan dengan perjalanan waktu, sosok Asrul Sani terus menggelinding. Membongkar dan meneroka kebobrokan elite penguasa korup, sambil terus mengingatkan: bahwa masalah pembangunan di tanah air kita ini bukan hanya masalah uang, alat dan keamanan, tetapi terutama kualitas manusia. Dan bangsa ini hancur lantaran negeri ini dikelola oleh sebuah rezim yang berkualitas meminggirkan kebudayaan; para pemimpin yang tidak mau menempatkan pembangunan kebudayaan sebagai semangat mengangkat harga diri bangsa! Sesungguhnya Asrul telah mengingat masalah itu lewat pernyataannya dalam Surat Kepercayaan Gelanggang. Inilah kontekstualitas gagasan Surat Kepercayaan Gelanggang bagi kita.
***

Kini, salah satu tokoh penting Angkatan 45 itu, telah meninggalkan kita. Malam hari, 11 Januari 2004, Asrul Sani menghembuskan nafas terakhirnya. Meski demikian, Asrul Sani telah menaburkan banyak karya dengan konsistensinya mengusung kebudayaan sebagai salah satu bagian penting dalam pembangunan kualitas manusia. Semangatnya –seperti juga semangat Chairil Anwar—niscaya akan tetap hidup dalam jiwa manusia Indonesia yang mengusung kebudayaan sebagai teras dalam upaya mengangkat martabat bangsa. “Selamat jalan Sang Konseptor Surat Kepercayaan Gelanggang!”

(Maman S. Mahayana, Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia)

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae