Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Dalam banyak buku yang membicarakan perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, nama Sitor Situmorang sering kali dikaitkan dengan prestasi kepenyairannya. Oleh karena itu, pembahasan terhadap antologi puisinya, jauh lebih banyak dibandingkan dengan pembahasan terhadap cerpen, drama atau esai-esainya. Sekadar menyebut beberapa di antaranya, periksa misalnya buku A. Teeuw, Tergantung pada Kata (1980: 32—40), Subagio Sastrowardojo, Sosok Pribadi dalam Sajak 1980: 56—141), Korrie Layun Rampan, Pembicaraan Puisi Indonesia (1980), disertasi Wing Kardjo (1981), dan sejumlah skripsi yang membahas buku antologi puisi Sitor Situmorang. Dalam buku yang lain, A. Teeuw (Sastra Baru Indonesia 1, 1978: 242—254 dan Sastra Indonesia Modern II, 1989: 112—114) menempatkan Sitor Situmorang dalam konteks perkembangan kesusastraan Indonesia. Jadi, pembicaraannya lebih komprehensif, meskipun tak terhindarkan ulasan mengenai puisi tetap lebih dominan.
Pembahasan mengenai cerpen-cerpen Sitor Situmorang –meskipun tidak terlalu mendalam—telah dilakukan J.U. Nasution (Sitor Situmorang sebagai Penjair dan Pengarang Tjerita Pendek, 1963) dan Ajip Rosidi yang berupa sebuah resensi ringkas (Tjerita Pendek Indonesia, 1968: 112—116). Padahal, sebagai cerpenis, Sitor punya kemampuan bercerita yang tak kalah indahnya. Bahkan, antologi cerpennya Pertempuran dan Salju di Paris (1956) berhasil memperoleh penghargaan Hadiah Sastra BMKN untuk buku terbitan 1955—1956. Atas pertimbangan itulah, ulasan terhadap salah satu cerpen karya Sitor Situmorang yang berjudul “Ibu Pergi ke Surga” ini diharapkan dapat memberi perspektif lain atas kepengarangannya.
***
Cerpen “Ibu Pergi ke Surga” adalah salah satu cerpen dari enam cerpen yang terhimpun dalam antologi Pertempuran dan Salju di Paris (1956). Cerpen “Ibu Pergi ke Surga” ini kemudian diterbitkan kembali dalam antologi Salju di Paris (Grasindo, 1994; 102 halaman) yang berisi 12 cerpen. Ke-12 cerpen itu berasal dari lima cerpen yang diambil dari antologi Pertempuran dan Salju di Paris, lima cerpen dari antologi Pangeran (1963) dan dua cerpen dari antologi Danau Toba (1981).
Bahwa dari 12 cerpen itu pilihannya jatuh pada cerpen “Ibu Pergi ke Surga” tidaklah berarti kualitas cerpen lainnya lebih rendah. Atau, tidak juga berarti cerpen “Ibu Pergi ke Surga” yang terbaik dalam antologi itu. Pilihan terhadap cerpen ini semata-mata didasarkan lantaran temanya yang pas untuk bahan pelajaran di sekolah. Di samping itu, ada dua pertimbangan yang berkaitan dengan isi ceritanya. Pertama, bahwa cerpen itu mengungkapkan sisi lain dari gambaran sebuah keluarga Batak. Kedua, berkaitan dengan sikap keimanan dan keberagamaan keluarga Batak penganut Kristen.
***
Cerpen “Ibu Pergi ke Surga” mengisahkan seorang anak yang terpaksa pulang kampung karena mendapat telegram bahwa ibunya sakit keras. Ternyata benar, ibunya sakit. Ia pun terpaksa pula tinggal beberapa hari. Saat di rumahnya akan diselenggarakan perayaan Natal, ibunya meninggal.
Cerpen ini secara tematis sesungguhnya tidaklah terlalu istimewa. Kejadian semacam itu juga sudah sangat lumrah. Seorang anak menengok ibunya yang sedang sakit, niscaya bukan pula peristiwa dahsyat. Tetapi justru di situlah sastra memainkan perannya. Bagaimana peristiwa yang bagi setiap orang merupakan hal yang sudah sangat biasa itu, justru menjadi peristiwa luar biasa ketika sastrawan mengolah dan memasukkan imajinasi dan kecendekiaannya. Bagaimana pula persoalan yang sesungguhnya merupakan masalah pribadi, orang per orang atau sangat individual sifatnya, menjadi masalah manusia dan kemanusiaan, menjadi masalah yang universal sifatnya. Kerinduan ibu kepada anak atau kecintaan anak kepada ibu, dalam cerpen itu, menggambarkan kerinduan dan kecintaan sebuah keluarga Batak yang diungkapkan secara sangat khas. Jadi, sangat mungkin perasaan cinta-rindu yang universal sifatnya itu, diungkapkan dengan cara yang berbeda dalam keluarga lain dengan kultur yang juga lain.
Struktur penceritaannya sendiri disajikan dalam bentuk kilas balik. “Ibu akhirnya meninggal setelah mengidap penyakit dada satu tahun saja.” Inilah kalimat pembuka cerpen itu yang kemudian dilanjutkan dengan deskripsi mengenai keadaan orang tua si aku yang miskin, tinggal di kampung, tak ada obat, tak ada perawatan. Kondisi itu bagi si Ibu yang sakit dada, niscaya merupakan penderitaan yang melelahkan. Maka, ketika si ibu meninggal, tokoh aku pun berujar: Syukurlah! dalam hati. Terlalu penderitaan si tua ini. Pernyataan itu –bagi suku bangsa lain—tentu saja tidak etis, tak tahu berterima kasih. Bagaimana kematian ibu, justru disyukuri. Ada dua hal yang dapat kita tafsirkan dari sana: Pertama, si anak tidak mau ibunya terus-menerus menderita. Kedua, si anak cenderung bersikap realistik-rasional.
Dalam keluarga Batak, sosok ibu adalah segala-galanya. Paling tidak, ia sosok yang harus dihormati—disegani—bahkan ditakuti. Oleh karena itu, dalam kebanyakan keluarga Batak, anak akan sangat patuh pada orang tua –dan terutama ibu. Seorang Batak yang dikenal sebagai “Raja Tega” yang tidak mengenal takut kepada siapa pun, ia tetap akan patuh-menurut hanya kepada ibu, dan kemudian ayah. Jadi, agak aneh jika si tokoh aku malah mensyukuri kematian ibunya.
Di situlah justru kepiawaian Sitor Situmorang dalam menyelimuti karakter tokoh aku. Pernyataan syukur, justru menunjukkan kecintaan si anak kepada ibunya. Si anak tak mau ibunya menderita berkepanjangan. Oleh sebab itu, hanya kematian yang dapat membebaskan si ibu dari penderitaan yang melelahkan. Terlalu penderitaan si tua ini mengungkapkan beratnya beban derita yang harus ditanggung si ibu. Dan ia sendiri merasa tak sanggup membebaskan penderitaan ibunya. Mengingat kondisi dirinya serta keadaan ibunya itu, tidak dapat lain, ia mesti berpikir realistik-rasional. Suatu sikap yang terkesan lugas dan terus terang.
Kecintaan si anak kepada ibunya, tampak pula ketika ia mengetahui ibunya sudah meninggal. Perhatikanlah kutipan berikut:
“Ia tertidur” pikirku, lalu aku mendekatinya. Kuperhatikan wajahnya dengan mata
dan pipinya yang cekung-cekung. Lalu dadanya.
Seperti dada ayam, pikirku. Tiba-tiba kusadar dadanya tak bergerak. Kuraba keningnya, lalu kubuka kelopak matanya. Ibu telah mati! Perasaan syukur yang ganjil tak memberi kesempatan pada haru yang menyumbat kerongkonganku.
Pernyataan “Perasaan syukur yang ganjil tak memberi kesempatan pada haru yang menyumbat kerongkonganku” mengungkapkan, betapa sesungguhnya si tokoh aku diterjang perasaan yang kontradiksi. Di satu pihak, ia bersyukur karena ibunya terbebas dari penderitaan, dan di pihak lain, ia berduka karena harus berpisah untuk selamanya dengan orang yang dicintainya itu. Dan Sitor cukup menyatakannya dengan: “perasaan syukur yang ganjil … dan haru yang menyumbat….” Sebuah cara pengungkapan yang sederhana, namun bermakna sangat mendalam. Sebuah pernyataan yang cerdas, sangat puitis dan memancarkan kekayaan citraan atas perasaan haru-pedih, dan entah apa lagi.
Dengan bentuk kilas balik, pengarang juga mempunyai kesempatan untuk mengungkapkan betapa sesungguhnya si anak sangat peduli dan begitu memperhatikan orang tuanya. Dengan begitu, kilas balik itu berfungsi untuk memperkuat, bagaimana sebenarnya hubungan anak—ibu—ayah dalam keluarga Batak.
Ketika si tokoh aku mendapat telegram pertama, ia datang menjenguk. Ibunya sembuh yang diperkatakan oleh tetangganya: “Lihat. Kau akan sehat kembali. Kau hanya rindu melihat anakmu!” Jadi, sangat mungkin pula sakitnya si ibu lantaran tak kuasa menanggung rindu kepada anak. Bagi si anak, kerinduan itu seperti kekenesan. Dengan meninggalkan pekerjaan dan ongkos yang besar, agaknya terlalu mahal jika sekadar untuk melepaskan rindu. Oleh karena itu, menjadi sangat wajar ketika datang telegram kedua, si anak cukup dengan mengirimkan baju panas untuk ibunya dan jas untuk ayahnya. Tetapi ketika datang lagi telegram ketiga, si anak merasa mempunyai kewajiban untuk datang –meskipun tidak bersama anak-istrinya.
Bahwa kedatangan si anak bagi ibunya, tentu saja memberi kebahagiaan tersendiri. Tetapi bagi ayahnya, kebahagiaan itu tidak lengkap lantaran si anak tak membawa anak sulung laki-lakinya. Kembali, ada peristiwa kultural dalam pertanyaan ayahnya itu: “Hanya kau sendiri?” Ayahnya tak bertanya tentang keberadaan anak keduanya –adik si tokoh aku. Bagi keluarga Batak, anak sulung laki-laki tidak hanya dianggap sebagai penerus marga, tetapi juga kebanggaan. Jadi, pertanyaan “Hanya kau sendiri?” bermakna: “Ke mana cucu sulungku?” Si ayah tak perlu pula bertanya mengapa istrinya tidak ikut atau bagaimana pula kabarnya tentang anak keduanya. Dengan pertanyaan “Hanya kau sendiri?” sesungguhnya tersimpan persoalan kultural di sana.
***
Hal yang juga menarik yang digambarkan dalam cerpen itu berkaitan dengan masalah keimanan dan keberagamaan. Tokoh aku yang tak lagi begitu dekat dengan kepercayaannya, harus berhadapan dengan para penganut agama yang taat. Ketika jemaat akan merayakan hari Natal di rumahnya, si aku sesungguhnya keberatan –tak setuju. Tetapi ia juga harus menjaga perasaan jemaat, pendeta, dan terutama ibunya. Satu sikap toleran yang semata-mata didasarkan oleh keinginan untuk menjaga hubungan baik. Bahkan, ketika ia tahu ibunya sudah meninggal, ia tidak punya keberanian untuk menyampaikannya, sebab tentu saja akan berakibat gagalnya perayaan itu.
Demikian juga ketika pendeta memintanya untuk membaca Injil. “Tuan hendaknya membaca Injil di malam hari Natal nanti! Ibu tentu gembira sekali kalau Tuan melakukan hal ini” Meskipun awalnya ia menolak, ia juga mempertimbangkan sesuatu atas nama ibunya. “Aku tak suka tapi aku diam. Pendeta rupanya menganggapnya tanda setuju.” Di sini pun, tampak si tokoh aku punya tenggang rasa, toleransi. Ia tak hendak mengecewakan pendeta, dan terlebih lagi ada keinginan untuk menyenangkan ibunya.
Toleransi yang sama juga diperlihatkan ayahnya. Sang Bapak yang tak dapat meninggalkan kepercayaan tahayul, masih menikmati tempatnya yang istimewa di gereja, duduk dekat pendeta, meskipun ia mengikuti khotbah dalam keadaan terkantuk-kantuk.
Di pihak lain, pendeta juga tampak begitu toleran ketika ia mengetahui si tokoh aku tak ke gereja. Ia tak menyuruh si tokoh aku ke gereja, tetapi cukup dengan menyampaikannya lewat pertanyaan: “Mengapa Tuan tak ke gereja ketika kemari beberapa bulan yang lalu? Tuan lebih seminggu di sini ketika itu, bukan?” Demikian pula ketika pendeta itu datang sehari menjelang keberangkatannya. “Ya, saya tahu Tuan juga percaya, walaupun orang terpelajar tidak lagi suka datang ke gereja. Saya selalu yakin, Tuan berpegang pada Kristus,” kata pendeta seperti pada dirinya sendiri. Terkesan, nasihat pendeta itu lebih sekadar mengingatkan. Satu sikap yang juga memperlihatkan bentuk toleransi.
Jika ditarik sebuah garis tegas, maka ada tiga pihak yang mewakili sikap keimanan dan keberagamaan. Sang ibu dan pendeta berada dalam wilayah penganut agama yang taat, si Bapak mewakili penganut agama yang tidak dapat meninggalkan kepercayaan tahayulnya, dan si tokoh aku yang mulai meninggalkan bentuk ritual meskipun ia masih percaya pada Tuhan dan agama yang dianutnya. Ketiga tokoh yang mewakili sikap keimanan dan keberagamaan itu, ternyata dapat hidup damai, jika masing-masing menjaga dan memelihara toleransi ketika ia hidup dalam sebuah komunitas sosial. Permintaan si Bapak kepada si tokoh aku agar kelak ia dikubur di pojok pekarangan rumahnya dan agar kuburan ibunya juga dipindahkan ke situ, mempertegas kembali kepercayaan leluhur si Bapak yang tidak dapat dibuang begitu saja.
Bahwa di akhir cerita si tokoh aku digambarkan membakar pohon natal yang sudah kering, peristiwa itu sebagai simbol penegasan kembali sikap tokoh aku yang mulai meninggalkan bentuk luar asesori agama.
***
Demikianlah, cerpen “Ibu Pergi ke Surga” yang tampak seperti menceritakan peristiwa yang sederhana itu, sebenarnya mengungkapkan banyak hal tentang kultur dan agama. Dan Sitor Situmorang begitu cerdas memotretnya. Jadi, meskipun cerpen itu bercerita tentang sebuah keluarga Batak penganut agama Kristen, masalah yang ditampilkannya sesungguhnya merupakan masalah universal. Ia dapat pula berlaku di mana pun dan dalam kultur dan agama apa pun. Dan perbedaan sikap keimanan dan keberagamaan itu, tak bakal menjadi masalah besar –apalagi sampai menimbulkan konflik berdarah—jika masing-masing pihak menjaga dan memelihara toleransi: mengusung tenggang rasa dan saling menghormat. Hanya dengan cara itu, para penganut agama akan hidup damai. Dan Sitor telah membuat potret yang menawan mengenai masalah itu lewat cerpen “Ibu Pergi ke Surga”. Nah, barangkali saja begitu!
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar