Mardi Luhung
Jurnal Nasional 14 Sep 2008
Umi dan Abi pergi ke taman kampung. Umi berkebaya sedap. Abi berbaju koko. Kata keduanya: “Kami ingin naik sepur kelinci yang panjang!” terus tersenyum. Senyum yang lepas. Dan membuntut di belakang sepur kelinci yang panjang itu. Seperti buntut layang-layang yang tertempa oleh angin. Meriah dan menyala. Dengan warna yang terang. Warna yang ketika masuk ke dalam mimpiku, akan mewarnai relungnya. Sampai membuat mimpiku merajuk: “Tolong, jangan, jangan bangunkan aku dari ini semua!” Dan senyum yang mengingatkan aku pada yang bertumbuhan di kelebatan bulumu. Yang kerap kau warnai. Yang sesekali menggumpal. Dan sesekali bergerai. Meluncurkan perahuku yang aku anyam dari puisi.
Perahuku yang aku anyam dari puisi?
Ya, ya, perahuku memang aku anyam dari puisi. Puisi yang kata-katanya aku petik dari butir embun yang menetes. Jatuh ke sayap kepik. Memantul. Dan membuat rona yang kelap-kelip. Rona yang sering memasuki mata. Membangun sebuah kolam air yang lonjong. Kolam air yang jernih. Yang kata kabar, tempat tujuh bidadari turun dari surga dan keramas di situ. Lalu seorang pemburu datang. Menembakkan senapannya. Tujuh bidadari pun lenyap sambil menebar ancaman: “Seumur-umurnya, kau, pemburu, akan terlunta-lunta. Seperti terlunta-luntanya si penjual. Sebab telah menjual si orang suci dengan dua karung keping emas. Dua karung keping emas yang kelak akan menjelma besi yang menggembol di punggung!”
Dan si penjual yang kelak akan turun-naik bukit. Sebab dikejar sesal. Diburu awas: “Aku tak sengaja! Aku tak sengaja, menjual si orang suci itu!” terus hilang di balik hutan onak. Dan sekian abad ke depan, rimbun hutan onak itu akan menjadi teka-teki. Teka-teki tentang pengkhianatan sebuah kesetiaan. Juga pembalasan kekelabuan yang ada di tempat yang tak terjangkau. Kekelabuan yang sesekali muncul di dalam angan atau di sela genta. Genta yang digoyang-goyang oleh si pengkotbah. Yang sering berkotbah semacam ini: “Bangun, bangunlah hai orang yang lalai mendengar. Orang yang selalu berjalan di musim panas dan dingin. Di musim yang selalu membuat kau menjadi menghormati setiap yang layak untuk dihormati!”
Tapi selamu: “Apa perahumu yang meluncur itu punya kemudi?” Wah, aku tak menggubris. Sebab, aku tetap terpukau pada Umi dan Abi. Yang asyik di sepur kelinci yang panjang itu. Lihatlah, keduanya bahagia. Ada musim panen yang tak mau pamit. Dan ada kibaran benderang di musim itu. Yang di bawahnya, kebun palawija dan rempah pun saling hilir dan sihir. Kebun palawija dan rempah yang dijaga si orang-orangan yang terus menegak. Si orang-orangan yang punya tangan dari jerami. Sedang, topinya pun tampak kebesaran. Menutupi wajahnya yang terbikin dari labu kering. Labu yang cokelat dan keling. Seakan menyimpan hangat matahari. Matahari yang pernah diketapel oleh si anak nakal. Dan gumpilannya dipungut untuk diberikan kepada si adik. Yang berkilah: “Kakak, Kakak, ayo, ketapelkan matahari untukku!”
Dan waktu itu, si adik berbaju kuning. Berpita merah. Dan bersepatu putih. Tanpa kaos kaki dan topi. Dari lentik matanya, seperti ingin meringkus setiap yang dipandangnya. Untuk kemudian dilipat dan diremas-remas menjadi secangkup lempung basah. Lempung basah yang akan dengan mudah dijadikan rumah dengan segala isinya. Termasuk juga dua ekor kucing gemuk. Kucing yang selalu ditemui di genting. Ketika gerhana bulan tiba. Dan musim kawin membuka selubungnya.
…
Selanjutnya, menurut bisik-bisik, setelah si adik menerima gumpilan matahari, pun menelannya. Dan seketika itu pula, si adik pun menjelma cahaya. Cahaya yang melintas. Melintas dengan kecepatan yang tinggi. Seperti seekor naga yang bergegas. Naga yang menyala yang menggores angkasa di malam hari. Dan menurut bisik-bisik yang lain, jika siapa saja melihat goresan di angkasa itu, maka setiap permintaannya akan terpenuhi. Oleh karenanya, tak salah jika goresan di angkasa itu dirindukan bagi yang ingin merengkuh harap. Termasuk juga meringkus cemas. Dan doanya adalah: “Naga lewat, semua selamat. Naga pergi, jangan melambai. Segala amanat, tak terkhianat!”
Dan kelak, siapa saja tahu, jika naga itu akan berhenti di sebuah negeri. Kawin. Beranak. Dan mati dalam wujud seonggok batu. Batu bening yang tersepuh binar keemasan. Batu yang selalu diziarahi para pasangan kekasih. Agar mereka tetap setia. Sampai kakek-kakek dan nenek-nenek. Sampai di antara mereka ada yang mengembuskan napas terakhir. Dan berbisik: “Aku tunggu kau, aku tunggu kau. Tak ada yang bisa melenyapkan kenangan kita. Sebab, sekali telah tertulis di jantung ini, siapa yang mampu menghapusnya…”
Lalu, aku berangan: “Apa kelak kita bisa sebahagia mereka?” Ya, ya, di depan cerminmu aku pun mencoba menelisik tubuhku. Tubuh yang hijau. Hijau yang bening. Dan bening yang menampakkan setiap isi perutnya. Menampakkan dirimu yang ada di balik usus. Dan sergahku: “Mengapa kau bersembunyi di balik ususku? Apa kau tetap tak ingin pulang?” Kau menggeleng. Gelengan yang tak begitu tegas. Apa kau ragu? Apa juga kau punya pilihan yang tak terduga? Pilihan yang selalu muncul-hilang seperti bayangan si burung bul-bul. Si burung bulbul yang membuat segenap kampung ribut. Ingin memburu dan menangkapnya. Agar dapat dijadikan hidangan bagi sang raja. Sang raja yang sakit tapi tak mati-mati. Sang raja yang telah membunuh dan memakan 1.000 istrinya. Sampai istri yang ke-1001 datang dan menyadarkannya. Menyadarkan dengan hikayat yang sambung-bersambung. Hikayat yang kelak akan dibaca oleh siapa saja yang percaya pada cinta dan pengorbanan. Hikayat yang menempel di sebentuk potongan tangan.
“Tapi, aku juga mengenal potongan tangan yang lain?” sergahmu tiba-tiba.
“Potongan tangan yang lain! Potongan tangan apa?”
Ternyata dari sergahanmu itu, aku jadi tahu, jika potongan tangan yang lain, yang kau kenal itu telah gosong. Keling, liat dan cenderung ingin menangkapi angin. Dan antara membuka dan menutupnya seperti tak berbeda. Sama-sama normal tapi bebal. Potongan tangan yang pernah diceritakan saat dunia masih dihuni para penyihir. Yang menyihir tongkat jadi ular. Ular jadi belalang. Belalang jadi gunung. Gunung jadi rumput. Rumput jadi kambing. Kambing jadi kembang. Kembang jadi kayu. Kayu jadi angin. Angin jadi genting. Genting jadi kodok. Kodok jadi pipi. Pipi jadi ludah. Ludah jadi daging. Daging jadi jalan. Dan jalan jadi jarak panjang yang berkelok. Jarak panjang yang pergi tapi tak pernah pulang. Terus dan terus melangkah. Ke mana? Lagi-lagi tak jelas.
Dan akh, ketika aku ingin tahu itu potongan tangan milik siapa? Kau pun cuma menunjuk pada si bugil yang datang dari arah lain. Si bugil yang kerahasiaannya telah tersilang. Yang lehernya jenjang. Tapi, justru di leher itu selingkar ijuk terlingkar. Dan si bugil yang seluruh tubuhnya berwarna selang-seling. Ada hijau, kuning, cokelat, merah, jingga juga ungu. Yang menyalanya silih-ganti. Tergantung pada tempat yang ditempatinya. Jadi, barangkali si bugil mirip bunglon yang berwujud manusia. Bunglon yang pernah dibisikkan oleh si pengigau. Ketika dua kupingnya telah diiris sendiri. Dan ketika di ubun-ubunnya telah melingkar asap berat. Yang sesekali menjelma mulut buas. Sesekali lain, menjelma bibir yang merangsang.
Lalu potongan tangan gosong itu pun menarik ijuk yang melingkar di leher si bugil. Sampai si bugil mendekat. Menjilat. Dan menyergah: “Kekasihku, kerinduan kita untuk menjadi sepasang mambang, adalah kerinduan yang begitu melelahkan. Padahal, pantai demikian jauh. Kelenyapan demikian merayap.” Seperti rayapan seekor cecak di tembok licin. Pelan, pelan, pelan dan pelan. Sambil mendengarkan tangisan manja si wanita pada si lelakinya. Tangisan manja yang selalu bertanya seperti ini: “Sayang, cecak itu bicara apa? Adakah dusta? Adakah luka? Adakah yang tak terketahui padaku?” Ya, karena si lelakinya cuma tersenyum, maka saat itu juga, si wanita pun mengakhiri hidupnya persis di bawah patung si dewa kasmaraan.
Si dewa kasmaran yang pernah menikam ayahnya yang berwujud anjing. Lalu menendang sampan jadi gunung. Sebab tak tahu, jika dia mencintai soal yang salah. Padahal, menurutnya, cinta bukan merupakan sebuah kekeliruan. Melainkan, sebuah rasa yang tak diketahui: dari mana datangnya, siapa yang mendatangkannya, dan mengapa mesti datang? Dan mengapa pula, bagi setiap yang didatangi selalu mesti berpikir dulu. Dan mesti mencari jawab, pada orang-orang suci yang telah menusuk dua matanya. Agar menjadi buta dan tidak dibutakan oleh cinta. Grrrrrhhh, si dewa kasmaran benar-benar marah waktu itu.
Malamnya, taman kampung pun padam. Pengunjung pulang. Dan sepur kelinci yang panjang itu pun teronggok seperti bangkai. Bangkai yang melingkar. Bangkai yang tak lagi punya kekuatan dan daya. Kecuali pasrah dan menerima segala tiba. Apakah nanti menjadi padam, remang atau malah sesekali menggeliat. Seperti digeliatkan oleh sesuatu yang tak pernah putus. Sesuatu yang pernah menulis setiap nama (termasuk namaku dan namamu), di selembar daun. Sedangkan, dari kursi bekas yang dipakai Umi dan Abi, aku melihat tangan gosong dan si bugil itu sedang berpelukan. Berpelukan lama. Lama sekali. Dan dari balik remang, pelukan keduanya mengingatkan aku pada sebentuk lambang purba. Dari sebuah hutan yang selalu ditakaburi bandang.
“Mengapa kau masih bersembunyi di balik ususku?”
Perahuku yang aku anyam dari puisi pun terus meluncur.
…
Ya, ya, perahuku yang aku anyam dari puisi memang terus meluncur. Meluncurkan diriku. Juga meluncurkan dirimu yang bersembunyi di balik ususku. Dan perahuku ini melewati setiap ketinggian yang membentang. Ketinggian yang begitu luas. Dan begitu membuat dirinya kelak akan menjelma debu. Debu alit. Debu yang segera meragukan diri sendiri. Apakah benar dirinya terus bisa meluncur dan bahagia? Atau malah remuk dan lenyap disaput waktu.
Disaput waktu!
(Gresik, 2008)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 30 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar