Selasa, 21 Oktober 2008

Romo Mangun dalam Kacamata Saya yang Tebal

Bernando J. Sujibto

SASTRA humanistik yang berakar kepada konteks kehidupan akar rumput, sebuah upaya berkesenian yang kembali kepada fitrahnya (baca: littérature engagée), meminjam istilah Jean-Paul Sartre (Paris, 21 Juni 1905 – id. 15 April 1980), sastrawan eksistensialis Prancis, akan dengan mudah ditemukan dalam diri sosok sastrawan-novelis Y.B. Mangunwijaya. Posisi kesastrawanannya—dengan bergerak di ranah novel—menjadi media dalam melakukan refleksi tajam dan implementasi ruh kemanusiaan ke dalam kehidupan bersama rakyat kecil (wong cilik: Jawa) sehari-hari. Jadi tidak aneh jika hampir seluruh hidupnya selalu ditemukan di antara para gelandangan dan anak jalanan di sekitar Yogyakarta dan Jawa Tengah, tempat paling banyak dihabiskannya untuk bekerja dalam panggilan kemanusiaan.

Sosok Y.B. Mangunwijaya (1929-1999) telah menjadi saksi sejarah bukan hanya untuk masyarakat Yogyakarta (baca: Jawa) tetapi bagi segenap bangsa Indonesia. Beliau telah melaksanakan misi kemanusiaan dengan gigih. Hari meninggalnya Romo Mangun, sapaan akrab sosok bersehaja yang pernah dimiliki bangsa ini, pada 10 Februari 2008 menjadi penting dihadirkan kembali di tengah kondisi bangsa dan negara yang kian rapuh dan tragis dengan persoalan-persoalan laten.

Di samping itu, Romo Mangun juga menjadi sosok ‘kebangkitan’ bangsa di tengah seabad Kebangkitan Nasional (1908-2008), sebuah momen yang dicita-citakannya menjadi semangat baru bagi kaum muda bangkit dan berjuang untuk bangsa ini.

Pejuang kemanusiaan bernama lengkap Yusuf Bilyarta Mangunwijaya ini lahir di Ambaraawa, Semarang 6 Mei 1929 dan meninggal dunia di Jakarta, Rabu (10/02/1999) pukul 14.15 WIB. Predikat lain yang mendukung tersohornya Romo Mangun adalah sebagai budayawan, arsitek, penulis, dan rohaniwan. Anak sulung dari 12 bersaudara pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah ini juga dikenal sebagai ikon penulis novel berlatar sejarah dalam konteks Jawa dengan wahana kebudayannya. Hal itu dibuktikan dengan dua novel magnum opus-nya yaitu Burung-burung Manyar (1982) (mendapatkan penghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996) dan novel triloginya Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri (1983-1987).

Semangat pro-rakyat Romo Mangun terbangun sejak ia menjadi anggota Tentara Pelajar (TP) yang berjuang melawan penjajah. Di samping titisan darah sang Ayah yang menjadi DPRD Magelang pada masa revolusi fisik, spirit humanisme Romo Mangun tidak bisa dilepaskan dari realitas kehidupan rakyat kecil yang malang melintang dalam kehidupan kesehariannya.

Kedekatan Romo Mangun dengan rakyat kecil (wong cilik/grass roots) ditunjukkan dalam aktivitas kesehariannya seperti ketika dia membela nasib rakyat yang menjadi korban pembangunan waduk Kedungombo, Jawa Tengah, serta memperjuangkan nasib penduduk miskin di pinggiran kali Code, Yogyakarta.

Berkat perjuangannya bersama wong cilik di kali Code—dengan merancang pemukiman sepanjang tepi sungai itu—anak sulung dari 12 bersudara ini mendapatkan anugerah Aga Khan Award, penghargaan tertinggi karya arsitektural di dunia berkembang, yang meneguhkannya sebagai Bapak arsitektur modern Indonesia.

Secara prinsipil ruh perjuangan sang Romo dapat ditemukan dalam Roro Mendut, novel tetralogi yang semkain meneguhkan konteks perjuangannya setelah novel Burung-burung Manyar. Representasi Roro Mendut, cerita rakyat Jawa berlatar abad 17-an, merupakan ranah gender yang menjadi persoalan rentan kemanusiaan di masa-masa penjajahan itu, di mana perempuan selalu menjadi korban kehidupan kemanusiaan waktu itu.

Keberanian Roro Mendut (perempuan molek yang tak ayal menjadi pusat mata para tentara Belanda dan petinggi kaum Pribumi) dalam menentukan masa depan dan pilihan hidupnya mempunyai nuansa pencerahan setidaknya dalam konteks itu. Mendut rela menderita mempertahankan cinta pilihannya sendiri dari pada menerima Wiroguno, lelaki kuat dan penguasa masa itu.

Kebebasan memilih hidup itulah yang menjadi warna dominan dalam novel yang mengajarakan tentang landasan nilai bagi kebebasan manusia (L’homme est condamné à être libre) untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.

Kebangkitan
Namun, dalam seperempat akhir hayatnya Romo Mangun dihadapkan dan tersadarkan dengan kondisi kebangsaan yang terus merapuh. Semua itu ia suarakan dalam esai-esainya. Konteks kebangsaan yang menjadi perhatian dalam masa akhir-akhir karirnya sebenarnya sudah menjadi darah kehidupan sang Romo semenjak dia menjadi pembela tanah air dengan menjadi salah satu anggota TP di Jawa Tengah. Panggilan hidupnya yang semakin luhur itu menjadi renungan penting dalam konteks kehidupan kali ini.

Melalui tulisan esai-esainya yang tajam terutama masalah kebangkitan generasi muda dengan wawasan kebangsaannya yang berpijak kepada demokrasi yang konsisten, seperti diungkapkan oleh Catherine Mills, salah satu penulis tesis dengan mengangkat sipak terjang Romo Mangun di Curtin University, Perth, Australia, Romo Mangun selalu mengajak generasi bangsa Indonesia kembali merilis ulang spirit perjuangan yang telah dibuktikan oleh kaum muda pada masa penjajahan demi memperuangkan tanah airnya.

Dalam salah satu refleksi kritisnya tentang masa depan bangsa Romo Mangun menuliskan ihwal tahun-tahun simbolis yang musti diperhatikan generasi muda Indonesia dewasa ini, yaitu 2008, 2028, dan 2045 (Y.B. Mangunwijaya, 1999: 7). Ia merepresentasikan simbol tahun-tahun di atas bukan sebuah omong kosong. Karena bagi yang sadar sejarah, simbol angka di atas, khususnya 2028 dan 2045, adalah titik pijakan—atau embrio gerakan kebangkitan nasional—bagi bangsa Indonesia sehingga bisa terbebas dari “ketakutan-ketakutan” akibat penjajahan. Setidaknya, dua tahun itu (1928 dan 1945) telah melahirkan spirit Indonesia baru yang gemilang.

Hasil renungan tajam dan mendalam Romo Mangun tersebut adalah kado spesial buat generasi muda demi menyongsong tahun 2045, di mana Indonesia memasuki seabad HUT kemerdekaan yang diimpikan Romo Mangun kita (semua bangsa Indonesia) dapat memiliki negara dan masyarakat hukum yang bersih dan dapat dibanggakan, bebas dari ketakutan-ketakutan.

Kesadaran demikian tumbuh dan berkembang dari kultur dan tradisi Jawa yang kuat dalam kehidupan Romo Mangun. Ia seolah meneruskan spirit pemuda Boedi Oetomo (BO). Pendekatan kultur-budaya hingga lahir kesadaran ‘menjadi satu bangsa’ dilakukan oleh pendiri BO Dr. Radjiman dalam menggalang rasa kebangsaan yang berlandaskan kepada pola budaya tradisional. Sebagaimana disinyalir Robert Van Niel dalam tulisannya berjudul The Course of Indonesian History, pada awalnya tujuan mendirikan BO adalah mengembangkan kebudayaan Jawa (to promote Javanese cultural ideals). Tetapi pada gilirannya langkah BO telah menggugah spirit nasionalisme kepada semua rakyat Indonesia yang terkapar di bawah penjajah waktu itu. Latar belakang kearifan budaya lokal (Jawa) menjadi sarana Romo Mangun dalam menafsir wawasan nasionalisme dan demokrasi sejati bagi bangsa dan negara.

Berhubungan dengan isu Kebangkitan Nasional di atas menarik membaca ulang analisis yang ditandaskan oleh Sri Sultan HB X tentang seabad Kebangkitan Nasional, ihwal simbol tahun 2008 yang genap 100 tahun menjadi momen Kebangkitan Nasional, sekaligus 80 tahun Soempah Pemoeda dan bertepatan dengan 10 tahun reformasi yang secara resultantif, tahun 2008 seharusnya menjadi momen penting bagi pemuda untuk memprakarsai sebuah kebangkitan baru. Jika momen 1908 menyemaikan kemerdekaan, 1928 mempertegas bingkai cita-cita itu, 1945 memancang tonggak perwujudan cita-cita itu, maka pertanyaanya, momen 2008 akan menyemai apa, dan mewujudkan apa? Pertanyaan Sri Sultan HB X ini tentu harus menjadi perenungan panjang yang menuntut kesolidan sosok generasi muda bangsa yang cakap dan mumpuni dalam semua lini kehidupan yang sedang dibutuhkan dalam membangun masa depan bangsa dan negara.

Cita-cita Romo Mangun buat pemuda dan juga ‘kado’ dari sang Sultan di atas akan menjadi ironi yang menggodam ketika dihadapkan dengan realitas kehidupan generasi penerus bangsa yang cenderung rejuvenasi dan mengalami degradasi secara total—mencerminkan generasi sakit dan lumpuh seperti fenomena akhir-akhir ini!

(06-02-08)

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae