Selasa, 21 Oktober 2008

Menulis Puisi Itu Sangat Mahal

Koran Tempo, 27 Januari 2008

Acep Zamzam Noor pantas berbahagia. Penyair kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, ini dinobatkan sebagai peraih Khatulistiwa Literary Award 2007 untuk kategori puisi pada 18 Januari lalu. Acep meraih penghargaan itu melalui buku kumpulan puisi Menjadi Penyair Lagi (2007).

Ini penghargaan kedua dalam karier kepenyairan lelaki yang bulan depan berusia 48 tahun ini. Pada 2005 penyair yang tumbuh di lingkungan pesantren di kota kelahirannya ini menerima South East Asian Write Award dari Kerajaan Thailand.

Kemenangan di Khatulistiwa Literary Award membuat kantongnya kian tebal. Ia berhak atas hadiah uang Rp 100 juta. “Lumayan, uang ini menjadi honor setelah 20 tahun menjadi penyair,” ucapnya di atas panggung ketika menerima penghargaan itu di Atrium Plaza Senayan, Jakarta.

Acep adalah salah satu penyair Indonesia yang bertahan cukup lama mencurahkan dedikasinya pada perpuisian Indonesia. Menulis puisi sejak sekolah menengah pertama, hingga saat ini ia telah menerbitkan delapan buku kumpulan puisi, antara lain Tamparlah Mukaku (1982), Aku Kini Doa (1986), dan Jalan Menuju Rumahmu (2004).

Banyak karyanya yang dijadikan kajian oleh kalangan akademisi sastra di Tanah Air. Lulusan Jurusan Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung ini pernah mendapat beasiswa untuk kuliah di Universitas Italiana, Italia, selama dua tahun.

Sepulang dari Italia, suami Euis Nurhayati dan ayah empat anak ini memilih tinggal di Tasikmalaya. “Dengan saya tinggal di daerah, saya bisa hidup apa adanya, sederhana, sehingga masih bisa bertahan menulis puisi hingga sekarang,” ujarnya. Selain menulis puisi, ia melukis. Acep aktif berpameran, antara lain di Bandung, Yogyakarta, Bali, Jakarta, Filipina, Singapura, Malaysia, dan Belanda.

Selasa lalu, Acep menerima wartawan Tempo, Erwin Dariyanto, dan fotografer Santirta untuk sebuah wawancara di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Berikut ini petikannya.

Apa arti penghargaan Khatulistiwa Literary Award ini bagi Anda?

Sebenarnya, penghargaan semacam ini bagi penyair bukanlah target. Bagi penyair, menulis puisi itu bukanlah penghargaan semacam ini yang terpikirkan. Tapi Khatulistiwa ini, menurut saya, juga penting bagi dunia kepenyairan di Indonesia. Bagi saya, ini hanya sebagai proses. Saya menulis puisi sudah 20 tahunan. Beberapa penghargaan yang saya terima menggambarkan bahwa saya bekerja dan orang memperhatikan.

Anda sudah puas dengan mendapat penghargaan ini?

Saya belum puas. Saya mungkin hanya bisa mengucapkan terima kasih. Kerja saya selama ini dihargai. Tapi kerja saya akan berjalan terus. Saya tetap berproses tanpa atau dengan penghargaan sekalipun.

Apa Anda merasa sudah pantas mendapat penghargaan ini?

Kalau soal itu, orang lain yang menilai.

Beberapa kalangan menilai proses seleksi dan penjurian Khatulistiwa Literary Award tidak fair, bagaimana menurut Anda?

Ini begini, saya juga kurang tahu prosesnya seperti apa. Saya memang mendengar bahwa penjurian di KLA ini lain dari penjurian-penjurian yang lain. Bahwa ini tidak ada diskusi, tapi tiap juri memberikan angka atau apa, tapi ini juga melibatkan banyak sekali juri. Saya tidak tahu ini fair atau tidak. Tapi katanya ini proses penjurian yang lain. Alasan mereka, kalau lewat diskusi, akan ada yang dominan, sementara ini kan tidak ada, semua sama. Cuma, menurut saya, ini adalah sebuah versi KLA ini, ya, seperti ini.

Dengan sistem penjurian seperti itu, apakah penjurian Khatulistiwa Literary Award sudah ideal?

Mungkin kalau ideal belum. Sistem seperti ini, menurut saya, masih bisa dilakukan, tapi dengan kualitas juri yang semuanya mengerti puisi. Sistem seperti ini, menurut saya, bisa menjadi alternatif, dengan catatan jurinya yang benar-benar paham tentang sastra.

Apakah para juri Khatulistiwa Literary Award saat ini belum memahami sastra?

Jadi ini kan ada tiga tahapan. Saya kurang tahu siapa saja jurinya pada tahap pertama dan kedua. Tapi kayaknya ini jurinya dari berbagai kalangan, tidak khusus yang berlatar belakang sastra, ada filosofnya, ada juga sosiolognya. Juri di tahap terakhir ini agak komplet, ada akademisi, ada penyair, ada ahli puisi, ada redaktur koran. Cuma, apakah reputasi mereka pas atau tidak, itu juga mungkin dikaji lagi.

Penjurian yang ideal itu seperti apa?

Saya rasa, cara seperti itu ideal kalau orang-orangnya benar-benar mantap dan paham benar soal puisi.

Buku puisi Menjadi Penyair Lagi memiliki tren romantis. Apa keistimewaan puisi-puisi Anda dalam buku itu?

Jadi memang buku ini adalah kumpulan puisi liris dengan tema romantis. Di sini sebenarnya saya lebih menekankan masalah-masalah bahasa, bahasa dengan ungkapan yang sederhana, tapi juga mungkin bersih dan bening. Itu yang ingin saya tampilkan dari buku ini. Ini berbeda dengan kumpulan-kumpulan puisi saya sebelumnya. Isinya lebih ke puisi-puisi yang temanya sederhana, isinya juga sederhana, tapi saya ingin menghadirkan puisi dalam kesederhanaan itu.

Yang menjadi unggulan dalam buku itu puisi apa?

Saya kurang tahu. Akhirnya juga selera pembaca yang berbicara. Selera pembaca kan berbeda-beda. Ada beberapa memang yang saya sukai secara pribadi, yang kemudian saya jadikan judul buku itu, “Menjadi Penyair Lagi”.

Kenapa memilih judul “Menjadi Penyair Lagi”?

Itu secara subyektif, karena saya menyukai sajak itu, dan itu saya kira mewakili keseluruhan dari puisi-puisi itu.

Bagaimana proses kreatif Anda membuat puisi?

Jadi itu (proses kreatif Menjadi Penyair Lagi) sebenarnya (berdasarkan) pengalaman teman-teman, hasil pengamatan sosial saya. Banyak sekali wanita muda yang ingin menjadi artis, penyanyi, dan semacam itu. Saya terilhami oleh mereka, anak-anak muda yang ingin menjadi artis.

Proses (kreatif) secara keseluruhan, pertama, saya menyukai jalan-jalan. Dalam satu bulan, setengah bulan lebih saya gunakan untuk jalan-jalan, entah ada acara entah tidak. Itu bagian dari proses kreatif saya. Saya sangat menikmati semua itu: bagaimana perjalanan saya di kereta, bus, saya melihat sekeliling saya. Juga ketika saya memasuki sebuah kota, apakah kota itu sudah lama saya kenal atau belum. Itu juga menjadi masukan-masukan bagi diri saya dan tersimpan dalam memori saya. Nah, hal-hal itu menjadi inspirasi bagi saya.

Tempat favorit yang menjadi sumber inspirasi Anda?

Nah, kalau kota, itu Yogya. Dan saya mencari pasar tradisional, terutama pasar di Bali. Saya pernah ke sebuah pasar di Bali, yaitu Pasar Kumbasari, dan membuat sebuah puisi berjudul “Kumbasari”. Dan puisi itu sering dijadikan puisi wajib dalam lomba-lomba baca puisi di sana. Ini juga salah satu yang saya kunjungi. Saya tidak secara sengaja mencari puisi dengan mengunjungi pasar-pasar itu. Tapi sekadar jalan-jalan menikmati suasana, mengalir begitu saja. Tapi itu menjadi bahan bagi saya.

Jadi semua tempat bisa menjadi sumber inspirasi?

Saya sering mengatakan kepada teman-teman di komunitas bahwa pekerjaan seorang penyair itu sangat berat. Waktunya 24 jam, tidak dibatasi jam kerja dan libur nasional, libur kejepit, atau libur apa pun. Jadi ritmenya harus tetap terjaga selama 24 jam. Lalu menulis puisi itu sangat mahal biayanya. Saya bisa katakan bagaimana mahalnya biaya perjalanan, bagaimana biaya duduk di kafe memesan cappuccino atau bir. Ini tidak sebanding dengan honor yang diberikan majalah. Tapi ketika orang menulis puisi, honor dan hal-hal lainnya bukan menjadi yang utama.

Kepuasan apa yang Anda dapat dari menulis puisi?

Nah, ini kepuasan yang sulit dijelaskan. Ada kenikmatan-kenikmatan tertentu yang mungkin juga hanya bisa dicapai oleh orang dengan hobi tertentu. Misalnya, orang bisa membeli bunga dengan harga ratusan juta sekadar untuk kenikmatan. Mungkin seperti itu juga saya mendapat kenikmatan dari menulis puisi. Ada kenikmatan batin ketika puisi selesai ditulis. Semacam orgasme begitu, agak sulit dijelaskan bagaimana kepuasan seorang penyair.

Puisi-puisi Anda sebelumnya mengusung tema religius, apakah ini karena Anda pernah tinggal di pesantren?

Ya, mungkin itu juga ada pengaruh. Tapi mungkin saja ketika orang memulai menulis puisi, dia akan mengalami perjalanan sendiri, perjalanan spiritual. Saya kira itu hal yang wajar. Sebuah fase dari setiap penyair akan mencapai tema-tema khusus, misalnya religius, dan itu saya lakukan sudah cukup lama, sekitar 1980. Saya menulis tema-tema religius dengan metafora persoalan-persoalan alam. Tapi di situ mulai masuk persoalan-persoalan sosial dan persoalan yang agak erotis juga masuk dalam buku saya.

Hanya sedikit penyair yang mempertahankan kepenyairannya. Apa yang membuat Anda bertahan sebagai penyair?

Ini hal yang sangat wajar saja. Orang, ketika mahasiswa, senang menulis puisi, kemudian setelah lulus, tidak lagi menulis puisi adalah hal yang sangat normal, dan itu akan terjadi pada setiap orang. Tapi yang bertahan itu yang luar biasa. Karena begini, mungkin mereka, menurut saya, salah niat. Ketika kepenyairan dianggap profesi, menurut saya, itu salah, paling bertahan selama lima tahun saja. Kalau kepenyairan dianggap sebagai profesi, berarti dia harus hidup dari puisi. Ini sesuatu yang tidak mungkin di Indonesia. Saya bisa bertahan karena tidak menganggap penyair ini sebagai profesi saya. Saya menganggap ini sebagai kesenangan saja, semacam hobi. Justru karena saya menganggapnya sebagai hobi, saya bisa bertahan lama. Dan hobi bukan hal yang main-main. Bisa juga serius tanpa perhitungan untung-rugi.

Apakah dengan menulis puisi ini, bisa memenuhi kebutuhan hidup?

Itu tidak mungkin. Saya pikir, tidak ada buku yang diterbitkan kemudian memberikan penghasilan bagi penyairnya. Itu tidak mungkin. Itu selalu rugi. Dari honor di koran, itu sangat kecil. Tidak mungkin bisa untuk hidup.

Dari menulis buku, berapa royalti yang Anda terima?

Nyaris tidak ada. Itu mungkin umumnya buku sastra yang bestseller.

Lalu bagaimana Anda bisa hidup?

Saya mungkin hidup dari keajaiban, ya. Selesai kuliah, saya nikah. Waktu itu saya sempat hidup dari menjual lukisan. Kemudian saya ke luar negeri selama dua tahun. Pulang dari sana tiba-tiba saya memutuskan tinggal di daerah. Ini juga mengagetkan teman-teman. Karena tinggal di daerah tidak menguntungkan bagi kelangsungan karier kepenyairan. Tapi, dengan tinggal di daerah, mungkin saya lebih tenang dalam menulis puisi. Pertama, mungkin kalau saya di kota, saya punya pekerjaan dan punya majikan, dan itu bagi saya adalah musuh dalam penulisan buku. Dengan mempunyai pekerjaan tetap, jadwal tetap itu akan mengganggu proses kreatif. Begitu juga dengan punya majikan.
Dengan saya tinggal di daerah, saya bisa hidup apa adanya, sederhana, sehingga masih bisa bertahan menulis puisi hingga sekarang.

Mengapa peminat puisi lebih sedikit ketimbang peminat prosa?

Ini tidak aneh. Jenis-jenis kesenian tertentu yang dianggap serius pasti mempunyai minat yang terbatas.

Apakah melalui puisi Anda bisa menyalurkan aspirasi politik Anda?

Ya, kebetulan karena saya di daerah, ternyata aspirasi politik saya sangat efektif disampaikan melalui puisi. Misalnya, protes-protes saya mengenai kebijakan pemerintahan daerah di DPRD. Kebetulan saya di daerah sering diundang ke berbagai forum entah untuk membaca puisi entah sekadar berbicara, sehingga saya mempunyai kesempatan luas untuk menyampaikan aspirasi saya.

Bagaimana pandangan Anda mengenai masyarakat puisi Indonesia?

Jadi saya tidak terlalu pesimistis, ya, masyarakat puisi Indonesia itu mempunyai masyarakat sendiri. Dibanding negara lain di dunia, di Indonesia ini lebih semarak. Lomba-lomba baca puisi yang diadakan di daerah selalu diikuti minimal 300 peserta. Itu juga salah satu yang menandakan bahwa puisi punya salah satu kesemarakan sendiri.

Bagaimana pendidikan puisi di sekolah?

Nah, itu salah satunya lewat lomba-lomba. Semakin sering saja mengadakan lomba-lomba. Dan ini yang menyelenggarakan adalah komunitas, bukan pemerintah.

Kenapa bukan pemerintah yang turun tangan? Apa masalahnya?

Nah, itu selalu begitu. Sebenarnya pemerintah punya program. Namun, selalu saja tidak sukses karena pemerintah tidak serius menggarapnya, tapi malas bekerja sama dengan komunitas.

Bagaimana peran pemerintah dalam memajukan puisi?

Sangat kecil perannya karena hanya memberi waktu dua jam untuk pelajaran bahasa Indonesia, bukan sastra, lo. Hanya ada beberapa menit untuk sastra ini. Ini sangat kurang. Idealnya, harus dipisahkan antara pelajaran bahasa Indonesia dan sastra Indonesia.

Bagaimana pelajaran sastra di negara lain?

Bisa jadi lebih bagus karena di Malaysia itu, tingkat SMA saja sudah bikin skripsi kecil yang membahas karya sastra, dan kebanyakan yang dibahas karya sastra Indonesia.

Apa yang harus dibenahi dalam pengajaran sastra di Indonesia?

Pertama, kurikulum. Ada memang beberapa sekolah yang guru-gurunya punya kesenangan pada sastra atau mempunyai hubungan dengan komunitas-komunitas, dia bikin kegiatan di luar kegiatan sekolah, ekstrakurikuler. Tapi kan tidak semua sekolah seperti itu.

Mengapa di Indonesia sangat sedikit kalangan bisnis yang menyukai puisi?

Nah, itulah, di Indonesia ini spesialisasi itu ketat sekali. Seorang dokter itu menjadi aneh ketika menyukai lukisan atau puisi. Padahal semestinya kesenian itu bisa memberikan pencerahan bagi semua kalangan.

Karya puisi yang paling berkesan bagi Anda?

Salah satunya yang judulnya “Cipasung”, karena banyak orang yang menyukai puisi itu, dan itu puisi saya yang paling berhasil, dan berbicara tentang saya waktu kecil.

Apakah keluarga juga mendukung kegiatan Anda?

Saya hidup di kalangan pesantren. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan sastra, kecuali ibu saya. Mereka tidak mendukung dan tidak melarang.

BIODATA
Nama: Acep Zamzam Noor
Lahir: Tasikmalaya, 28 Februari 1960
Istri: Euis Nurhayati
Anak: 1. Rebana Adawiyah 2. Imana Tahira 3. Diwan Masnawi 4. Abraham Kindi
Pendidikan:
# Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung
# Universitas Italiana, Italia (1991-1993)

Pekerjaan:
# Penyair, Pengelola Sanggar Sastra Tasik

Penghargaan:
# South East Asian Write Award dari Kerajaan Thailand (2005)
# Khatulistiwa Literary Award 2007

Buku Kumpulan Puisi:
# Tamparlah Mukaku (1982), Aku Kini Doa (1986), Kasidah Sunyi (1989), Di Luar Kata (1996), Dari Kota Hujan (1996), Di Atas Umbria (1999), Jalan Menuju Rumahmu (2004), dan Menjadi Penyair Lagi (2007).

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae