http://mahayana-mahadewa.com/
Maman S Mahayana
“Cermin Merah seperti saluran air yang mampat. Ia menyimpan kepedihan psikis anak manusia yang gelisah: mempertanyakan sang ayah yang hilang diterkam politik tahun 1965, kakak yang tewas dalam pendakian gunung, menggelandang di ibukota atau menikmati percintaan yang tak lazim. Novel yang sangat filmis ini seperti sengaja berakhir tak selesai. Sejumlah pertanyaan menggantung tak berjawab.” Itulah kesimpulan yang dapat saya tangkap selepas membaca (naskah) novel ini. Sebuah kesimpulan yang sangat umum dan tentu saja belum menjelaskan apa-apa.
Sesungguhnya banyak aspek yang dapat kita angkat dari novel ini. Secara struktural, setidaknya ada tiga anasir yang menonjol, yaitu (1) penokohan yang dalam proses karakterisasinya –memakai ungkapan Nano—membrodol sejumlah pertanyaan tak berjawab, (2) tema penyimpangan yang menciptakan semacam labirin yang terus berputar entah sampai kapan. Semua seperti dihadirkan begitu saja sebagai pengejawantahan kemarahan yang tak terucapkan; kepedihan yang tak perlu ditangisi, tetapi tokh kerap mencuat dan mengganjal; atau harapan-harapan yang kandas, tetapi coba dibangun kembali lewat bayang-bayang, dan (3) alur cerita yang tampaknya sengaja disusun bolak-balik, bertumpuk-tumpuk antara masa lalu dan masa kini. Sementara, bagian awal yang semula digunakan sebagai sintesis tentang kehidupan tokoh utama, kini menjadi bingkai yang mengawali dan menutup rangkaian semua peristiwa dalam novel ini.
Kisahnya sendiri disajikan secara konvensional, meski pengarang mengolah kembali bangunan ceritanya dengan memanfaatkan serangkaian peristiwa kilas-balik.
Arsena –tokoh aku—berasal dari lingkungan keluarga sederhana. Semasa SMA, ia masuk dalam pesona teman sebangkunya, Anto –yang wandu. Itulah pengalamanan pertamanya “bercinta”. Dalam keluarga dan lingkungan sosial, sang Kakak, Herman, menjadi pusat orientasi. Ketika masa pembentukan pribadi sedang dalam proses, sang Kakak tewas dalam pendakian gunung. Anto, bersama ibunya, juga tewas dalam sebuah kecelakaan. Belum lepas dari kedua tragedi itu, Ayah yang diyakininya tak pernah bermasalah, tiba-tiba diculik dan dinyatakan terlibat G 30 S PKI. Sebuah vonis yang berimplikasi sangat dahsyat dan sisi negatifnya menepel terus jauh ke depan.
Lulus SMA, Arsena merasakan, vonis itu menjelma kuburan. Ia lalu hijrah ke Jakarta. Berkat bantuan Hilman, kawan kakaknya, ia mulai menata hidupnya. Mulai lahir kegairahan. Berkenalan dengan Nancy yang kemudian menjadi kekasih abadi. Juga berkenalan dengan Edu –yang dalam bayangan Arsena sebagai “reinkarnasi” dua sosok manusia: Herman –kakaknya dan Anto “cinta pertamanya”. Ternyata magnet Edu terlalu kuat. Arsena tak dapat melepaskan diri dari gerayang si gay itu. Ia lupa segalanya, lupa pula pada Nancy yang belakangan tewas lantaran abortus.
Segalanya seperti berantakan. Ia ingin lepas dari Edu, sekaligus juga tak hendak keluar dari ketiaknya. Sikap ambivalensi itu seperti terus-menerus lengket menempel mengganggu batin-pikirannya. Dan pada saat tertentu, tumpah semua dalam wujud bayangan Ayah, Nancy, Anto, Herman, hingga ia memutuskan masuk ke dalam “Lubang Putih Bercahaya”. Pertanyaannya: bagaimana nasib Arsena, si tokoh aku itu? Matikah atau masih sempat natal bersama Ibu dan adiknya?
***
Ringkasan tadi niscaya tidak mewakili keseluruhan isi teks Cermin Merah. Meski begitu, setidak-tidaknya, ia dapat digunakan sebagai alat untuk membentangkan benang merah kisah Arsena –Aku—yang menjadi tokoh utama novel ini.
Dalam konteks mengusung inovasi, Cermin Merah tak menawarkan gebrakan estetik. Meski demikian, gaya berceritanya yang filmis, lincah dan jernih, menunjukkan bahwa pengarangnya masih menyimpan potensi besar yang belum sepenuhnya ditumpahkan dalam novel ini. Periksa saja, misalnya, deskripsi tentang malam perdana pentas sandiwara yang mengawali karier kesenimanan tokoh Aku. Selama 30 menit menunggu layar dibuka, pengarang berhasil mengungkapkan banyak hal (hlm. 114—129) yang mengingatkan kita pada gaya Pramoedya Ananta Toer dalam Keluarga Gerilya, Alexandre Solzhinitsin dalam Sehari dalam Hidup Ivan Denisovitch, atau Gustave Flaubert dalam Madame Bovary ketika tokoh Emma menghadapi proses kematian ia setelah menenggak racun. Jadi, dalam soal penyajian cerita, Nano Riantiarno tampak sangat matang dan peduli pada detail.
Sebagaimana disinggung tadi, setidaknya ada tiga anasir yang menonjol dalam novel ini, yaitu penokohan, tema, dan penyajian alur cerita. Mari kita periksa:
(1) Dilihat dari aspek penokohan, pengarang tampaknya masih banyak menyimpan kegelisahan subjektifnya dalam memandang dan menempatkan tragedi G 30 S PKI. Tokoh Aku –Arsena— dan Ibunya, jelas merupakan korban tak bersalah dari ratusan ribu korban lain yang sangat mungkin mengalami peristiwa yang lebih dahsyat lagi –seperti yang dialami tokoh tukang beca. Tetapi, korban utamanya, Ayah, seperti sengaja dibiarkan sebagai misteri: apakah benar terlibat atau sekadar fitnah. Jika di bagian awal, tokoh Aku gigih membela Ibu dan tetap berkeyakinan bahwa Ayah tak bersalah, lalu mengapa ia dipersalahkan hanya lantaran Ayah tak (sempat) memberi penjelasan. Apakah ini bentuk pemaafan –atau kompromi— utnuk melupakan masa lalu yang kelam dan menatap masa depan yang lebih rekonsiliatif?
Ke mana pula “lenyapnya” tokoh Johari –teman sekelas tokoh Aku—dan terutama Ayah Johari yang menjadi salah sebuah sekrup dari mesin raksasa yang bernama Aparat Keamanan (: Penguasa)? Keengganan pengarang untuk menghadirkan kembali kedua tokoh itu sangat mungkin pula sebagai bentuk pemaafan itu.
Peranan tokoh-tokoh itu memang berbeda dengan Herman—Sang Kakak, Anto, Hilman –sutradara, Edu, dan Nancy yang secara psikologis menjadi bagian penting bagi pembentukan karakter tokoh Aku. Dari sudut itu, novel ini jelas menyajikan sebuah problem psikologis yang kompleks. Penyimpangan yang dilakoni tokoh Aku dengan nyaman dan kadang kala dirasakannya menjijikkan itu, terbangun dari kenangan indah masa lalu (nostalgia) dan sekaligus juga sebagai pelarian dari sebuah trauma kehilangan (Kakak dan Anto yang tiba-tiba tewas). Demikian juga kenikmatan bersebadan dengan Nancy, di satu pihak menghadirkan rasa bersalah, dan di pihak lain menyedot tokoh Aku lebih jauh dalam ketiak Edu.
Problem psikologis yang disajikan sedemikian rupa lewat kegelisahan, letupan-letupan hasrat terpendam, dan kemenduaan cinta Arsena –Edu yang gay dan Nancy— di satu pihak seperti hendak membiaskan kisah tragedi G 30 S PKI, dan di pihak lain, justru hendak memperkuat, betapa tragedi itu berimplikasi jauh lebih dahsyat dari sekadar kehilangan ayah atau sanak keluarga. Trauma psikologis yang tak gampang disembuhkan dan menempel terus selama hidup. Kasus yang dialami Arsena adalah salah satu contoh. Contoh lain, sangat mungkin lebih dahsyat lagi.
Cara “mematikan” tokoh-tokohnya (Herman, Anto, Nancy) yang terkesan begitu gampang itu, di satu pihak, pengarang terkesan terlalu memokuskan diri pada tema cerita, dan di pihak lain, justru sengaja untuk memperkuat problem psikologis tokoh aku. Dengan kematian, rasa kagum, cinta, benci, dan bersalah, jauh lebih kuat dibandingkan jika tokoh-tokohnya masih hidup.
Tokoh-tokoh lain sesungguhnya masih mengundang problem tersendiri. Tokoh Hilman, Sang Sutradara, misalnya, seperti dilenyapkan begitu saja, padahal ia juga salah satu tokoh yang memungkinkan tokoh Arsena makin terpuruk oleh rasa bersalah.
(2) Tema penyimpangan yang menciptakan semacam labirin yang terus berputar itu seperti sebuah selimut yang menutupi subjektivitas pengarangnya dalam mencemooh penguasa. Sumber segala penyimpangan itu, tidak lain, adalah penculikan Sang Ayah. Tak jelas kesalahannya, tak jelas keberadaannya, tak jelas pula keterangan yang diberikan pihak aparat keamanan adalah penyimpangan yang dilegitimasi atas nama negara. Penyimpangan ini menularkan pula penyimpangan lain. Satu di antaranya menyangkut hubungan janjan dan jantina. Ekses-ekses lain tentu saja dengan gampang dapat kita tunjuk berbagai penyimpangan lain yang terjadi di sekitar kita. Artinya, tindakan apapun yang menyimpang yang dilakukan penguasa, dampaknya akan sangat besar, tidak hanya bagi orang per orang, tetapi juga bagi bangsa yang bersangkutan.
Dalam kasus ini, tampak benar kehati-hatian pengarang berpengaruh pada struktur formal karyanya. Kasus penculikan Ayah seperti dibiarkan begitu saja menggantung dan menjadi misteri. Ia menjadi pertanyaan yang tak berjawab; saluran air yang mampat dan mengocor (: menyimpang) ke arah yang lain. Dan itu diselusupkan pada diri tokoh Aku yang tak banyak menggugat dan mempertanyakan keberadaan sang ayah. Ia berkutat pada persoalan dirinya sendiri, meski kemudian ia juga tidak bisa keluar dari lingkaran persoalan yang diciptakannya sendiri.
Secara tematik, percintaan menyimpang model ini boleh dikatakan sebagai hal yang baru –apalagi jika benar novel ini sudah diselesaikan tahun 1973. Jadi, jika belakangan ini bermunculan novel yang mengangkat persoalan homoseksual atau lesbianisme, Cermin Merah sudah mendahului zamannya.
(3) Alur cerita yang tampaknya sengaja disusun bolak-balik, bertumpuk-tumpuk antara masa lalu dan masa kini.
Jika disusun secara kronologis, novel ini sebenarnya dimulai dari kisah “Anto si Kenes Berbakat” (hlm. 61) dan terus berlanjut sampai “Apel Merah Gairah Terpendam” (hlm. 82—96). Bagian awal yang bertajuk “Lubang Putih Bercahaya” sesungguhnya merupakan sintesis dari keseluruhan kisah novel Cermin Merah yang kemudian dimunculkan lagi di bagian akhir. Sedangkan bagian yang bertajuk “Secangkir Kopi dan Bogenvil” (hlm. 97—104) merupakan kelanjutan dari kisah bagian yang bertajuk “Dalam Benteng Kemustahilan” (hlm. 55—60). Demikian, pengarang seperti bersengaja bolak-balik mempermainkan ingatan si tokoh aku. Dengan bentuk kilas balik seperti itu, maka pengarang sesungguhnya hendak menarik-ulur tegangan dan sekaligus juga “menguji” tingkat apresiasi pembaca.
Teknik model itu tentu saja bukan hal yang baru dalam perjalanan novel Indonesia modern. Tetapi, setidaknya pengarang tidak terjebak pada bentuk penceritaan yang teguh berpegang pada bentuk konvensional.
***
Secara keseluruhan, unsur-unsur yang membangun struktur novel Cermin Merah, harus diakui memperlihatkan kekompakan dan koherensi yang kokoh sebagai sebuah kesatuan integral. Artinya, tema penyimpangan dengan karakterisasi tokohnya yang berlatar belakang problem psikologis yang kompleks, dan didukung oleh pola penceritaan yang memanfaatkan bentuk kilas-balik, keseluruhannya menjadi sangat fungsional. Unsur yang satu tidak dapat dipisahkan begitu saja dari unsur lainnya. Jadi, segenap unsurnya itu hadir sebagai satu kesatuan.
Meskipun demikian, kecenderungan pengarang untuk memasukkan komentarnya, kadang-kadang seperti mencolot begitu saja. Justru dalam hal itulah, hubungan intim pembaca dan teks, acap kali terganggu. Komentar itu seperti menyadarkan pembaca, bahwa ada jarak yang tegas antara pembaca dan teks. Padahal, proses pembacaan bagi pembaca adalah sebuah penyatuan hubungan yang memungkinkan pembaca sampai pada apa yang disebut sentuh estetik. Sebuah kenikmatan estetik yang menyelusup –tanpa sadar—masuk ke dalam segenap rasa dan imajinasi pembaca. Perhatikan kutipan berikut:
Akan kuceritakan segera, runtut, sabarlah (hlm. 187)
Dia, yang kuceritakan sejak awal lakon ini (hlm. 220)
Dia datang. Dia, yang kukisahkan sejak awal tulisan ini. (hlm. 238) dst.
Pertanyaannya: Jika kutipan-kutipan itu dihilangkan, apakah makna keseluruhan cerita dalam novel itu akan terganggu? Jika tidak, itulah yang disebut hingar –gangguan komunikasi antara pembaca dan teks.
***
Terlepas dari apa yang diuraikan dalam catatan kecil ini, Cermin Merah jika dianalisis lebih jauh dan mendalam sesungguhnya menyimpan banyak hal yang menarik. Saya sendiri melihat, potensi pengarang belum sepenuhnya tumpah dan mengejawantah dalam novel ini. Dalam hubungan itulah, saya amat yakin, tak lama lagi novel monumental akan segera lahir dari tangan seorang Nano Riantiano. Kita tunggu saja.
(Maman S. Mahayana, Pensyarah).
----------------------------------
Lihat komentar dalam backcover. Komentar itu didasarkan pada pembacaan saya atas naskah novel Cermin Merah yang menjadi salah satu naskah sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta. Ketika saya membaca buku ini, ada sejumlah perubahan penting yang tidak hanya mengubah struktur cerita, tetapi juga makna yang tersimpan di dalamnya. Menyesal sekali naskah aslinya saya serahkan ke penerbit Grasindo, sehingga perbandingan secara detail, tidak dapat saya lakukan. Dalam ilmu sastra, perbandingan antara teks asli dan teks yang sudah berujud cetakan (buku) termasuk ke dalam wilayah kajian teks dan pra-teks. Kajian ini akan mengungkapkan berbagai faktor eksternal di luar teks, seperti keterlibatan penerbit, editor, dan hasrat pengarang untuk menafsir ulang dan memberi makna baru pada karyanya. Bagaimanapun, bagi kritikus, setiap tanda dalam teks, mesti dicurigai menyodorkan makna tertentu. Oleh karena itu, terjadinya perubahan dari teks asli ke teks cetak menjadi sangat penting untuk membongkar berbagai faktor eksternal itu.
Seingat saya, struktur cerita dalam naskah pertama Cermin Merah yang menjadi salah satu naskah peserta Sayembara Penulisan Novel DKJ 2003, disusun secara kronologis. Dalam proses penerbitan naskah itu, pengarang agaknya melakukan banyak perubahan yang menyangkut urutan peristiwa yang mengeksploitasi bentuk kilas balik dan penambahan beberapa bagian yang menjadi penutup cerita novel ini. Bagian awal “Lubang Putih Bercahaya” misalnya, dalam buku ini seperti sengaja digunakan sebagai bingkai; peristiwa awal muncul kembali di bagian akhir –yang mengingatkan saya pada pola drama absurd. Periksa misalnya, drama Dag-Dig-Dug Putu Wijaya. Hal yang juga dilakukan Agus R. Sarjono dalam naskah drama pertamanya, Atas Nama Cinta (Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2004).
Bandingkan problem psikologis tokoh Arsena ini dengan tokoh Hasan (Atheis) atau Guru Isa (Jalan Tak Ada Ujung). Cermin Merah memperlihatkan kematangan pengarangnya dalam bidang psikologi. Bandingkan dengan novel-novel yang terbit belakangan ini yang cenderung mengabaikan persoalan itu, Cermin Merah seperti menjulang sendiri dalam konteks novel sejenis sastra Indonesia kontemporer.
Bandingkan kritik Nano Riantiarno terhadap penguasa dalam sejumlah dramanya dengan kritik yang disampaikannya dalam novel Cermin Merah.
Dalam naskah pertama yang saya baca, bagian akhir yang berjudul “Lubang Putih Bercahaya” sebenarnya tak ada. Jadi, tanpa ada penambahan bagian akhir itu, makna keseluruhan cerita dalam novel ini, tetap tidak terganggu. Penambahan itu boleh jadi sebagai penegasan kembali nasib yang dialami tokoh aku.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar