Teguh Winarsho AS
http://www.suarakarya-online.com/
AKU dan Annisa memutuskan menikah di usia muda. Aku, duapuluh tahun; sedang Annisa, sembilanbelas tahun. Awalnya keputusan ini ditentang ayah. Ayah menghendaki agar kami selesai kuliah, baru menikah. Tapi setelah mendengar penjelasanku, akhirnya ayah maklum dan mau menerima. Begitulah, aku dan Annisa sudah saling menyinta. Kami tak ingin terjebak pada perbuatan yang dilarang agama. Dan, menikah adalah jalan keluar yang terbaik.
Tapi sembilan tahun lebih menjalani hidup berumah tangga, hingga dikaruniai seorang gadis kecil cantik dan seorang laki-laki ganteng, aku masih belum mampu membawa ekonomi keluarga ke arah yang lebih baik. Kami hidup sederhana bahkan cenderung pas-pasan. Hingga kadang bantuan dari orang tua masih mengalir. Tapi ini bukan berarti aku dan istriku tidak berusaha untuk maju. Kami sudah berusaha semampu kami. Tapi, ah, mungkin hanya nasib baik saja yang masih belum mau berpihak pada kami.
Istriku dengan bekal ijazah yang ia miliki sudah berulang kali mendaftar masuk pegawai negeri. Tapi ternyata tidak pernah berhasil. Ia tetap menjadi tenaga pengajar honorer di beberapa SMP yang gajinya sangat sedikit, setelah dipotong ongkos naik angkutan dari sekolah yang satu ke sekolah lainnya. Benar-benar sebuah perjuangan.
Dan, seperti pesan ayah yang selalu didengung-dengungkan sejak aku lulus kuliah, aku juga tak pernah melewatkan setiap kali ada pendaftaran calon pegawai negeri. Ayah sangat berharap agar aku bisa menjadi pegawai negeri. Tapi rupanya tidak mudah memenuhi harapan ayah. Hingga kini aku masih kerja sebagai seorang penulis cerita dengan penghasilan tidak tetap.
Aku tahu ayah kecewa melihat nasibku. Masih kuingat pertemuan dengan ayah, beberapa waktu lalu. Tidak seperti biasanya ayah menyambut kedatanganku dengan sikap dingin, datar. Aku jadi serba salah. Malamnya aku baru tahu apa penyebabnya. Lagi-lagi, soal nasib. Soal kerja. Dengan menyebut-nyebut nama Anwar, anak tetangga sebelah yang belum lama diterima menjadi pegawai negeri, ayah berusaha membanding-bandingkan aku dengannya. Ayah bilang bahwa Anwar orangnya tekun dan rajin, ketika kuliah tidak pernah ikut kegiatan aneh-aneh, karenanya wajar begitu lulus kuliah langsung mendapat pekerjaan.
Aku tahu, ayah sedang menyindirku. Dulu ketika kuliah aku memang sempat ikut banyak kegiatan. Puncaknya ketika aku bergabung dengan sebuah organisasi mahasiswa yang kemudian mengantarkan aku menjadi penghuni tahanan polda selama beberapa hari bersama beberapa teman aktivis lain usai unjuk rasa di depan halaman kampus.
Berkali-kali ayah menyebut nama Anwar. Mengatakan bahwa Anwar adalah anak yang baik, mau mengerti bagaimana keinginan orang tua. Tahu bagaimana cara membalas budi pada orang tua, dan lain-lain. Padahal aku tahu siapa Anwar sebenarnya. Bagaimana sepak terjang dan reputasinya ketika kuliah. Dan, rasa-rasanya ayah juga tahu, Anwar bisa diterima menjadi pegawai negeri karena telah menyuap petugas dengan jumlah uang yang tidak sedikit.
Ya, orang sekampung rasanya juga tahu, ayah Anwar telah menjual dua ekor kerbau dan beberapa petak sawah agar Anwar bisa diterima menjadi pegawai negeri. Aku heran, kenapa ayah seolah menutup mata di balik keberhasilan Anwar diterima menjadi pegawai negeri. Padahal dulu ayah tidak suka dengan praktik-praktik seperti itu. Aku masih ingat, ayah pernah bilang di pengajian masjid bahwa suap menyuap hukumnya haram. Baik orang yang menyuap atau yang menerima suap sama-sama berdosa. Tapi kenapa sekarang justru berbalik? Ada apa dengan ayah? Apakah ayah sudah lupa dengan apa yang pernah dia katakan dulu?
"Kamu sudah tahu tahun ini ada pendaftaran calon pegawai negeri?" tanya ayah acuh tak acuh.
Aku mengangguk. Beberapa teman sudah mengabarkan berita itu. Dan, berita seperti itu tentu cepat sekali menyebar. Mungkin puluhan ribu orang di pelosok negeri ini pun sudah tahu.
"Kamu sudah mendaftar?"
"Sudah."
"Istrimu?"
"Sudah."
Sejenak ayah terbatuk. Matanya menerawang.
"Sekarang ini susah untuk mendapat pekerjaan. Tidak seperti lima belas atau dua puluh tahun lalu...." suara ayah pelan, bergetar. Wajahnya tegang, seperti ada sesuatu yang berat untuk diucapkan. "Begitu pula dengan cara-caranya. Sudah berbeda sekali...."
"Maksud ayah?" tanyaku merasa kurang paham.
Ayah tak segera menjawab. Meraih sesuatu dari laci meja. Lalu, "Kali ini jangan kamu tolak!" kata ayah kemudian, sambil meletakkan setumpuk uang masih terikat rapi.
Aku hampir melonjak kaget. Aku belum pernah melihat uang sebanyak itu. Dari mana ayah mendapatkan uang sebanyak itu?
"Ini uang hasil penjualan sawah. Kamu seorang sarjana. Sudah bukan masanya lagi kamu bertani dan mencangkul. Sawahmu adalah pegawai negeri. Gunakan uang ini untuk kamu dan istrimu. Kalau masih kurang ayah rela menjual satu sawah lagi. Yang penting, kamu dan istrimu bisa diterima menjadi pegawai negeri...." kata ayah samar-samar, seolah aku harus mengerti apa maksudnya.
Ya, aku memang mengerti. Uang itu maksudnya bisa digunakan untuk menyuap. Tapi kenapa ayah tidak langsung bilang saja? Ataukah sebenarnya ayah masih berat mengucapkan kata-kata itu?
"Ini bukan penyuapan. Tapi memang beginilah prosedur yang ada sekarang..." kata ayah seperti memahami pikiranku.
Aku terdiam dan seperti masih tak percaya dengan apa yang kulihat di depan mataku. Perubahan sikap ayah? Setumpuk uang di atas meja? Memang, satu tahun yang lalu, ayah pernah menawarkan hal serupa, tapi tidak langsung menunjukkan uang di depan mata. Dulu aku menolaknya.
"Aku tidak mau tahu. Sekarang juga kamu harus bawa uang ini. Aku tidak ingin melihat kamu gagal dan gagal lagi. Pikirkan baik-baik!" kata ayah langsung bergegas masuk kamar.
Sesaat lamanya aku bingung tidak tahu apa yang harus kulakukan. Dan, entah oleh dorongan apa, tanganku telah meraih tumpukan uang di atas meja. Tapi begitu sampai di rumah, uang pemberian ayah kusimpan di tempat yang aman. Di samping jumlahnya sangat banyak, aku juga tak mau bertengkar dengan istriku gara-gara uang itu. Aku tahu, istriku pasti akan marah besar jika tahu aku membawa uang untuk digunakan menyuap.
* * *
Dua bulan kemudian aku kembali ke rumah ayah. Hasil seleksi calon pegawai negeri sudah diumumkan. Seperti tahun-tahun lalu, aku kembali gagal, tidak diterima. Tapi, alhamdulillah, Annisa, istriku, bisa diterima. Paling tidak, cukuplah di antara kami ada yang menjadi pegawai negeri, seperti keinginan ayah.
"Duduk!" kata ayah dingin, saat aku masuk ruang tamu. Aku menurut. Tapi aku sengaja mengambil duduk sedikit jauh, menjaga jarak untuk menghindari puncak kemarahan ayah. Ya, tentu ayah akan marah besar melihat kegagalanku yang entah untuk ke berapa kalinya ini. Tapi sungguh, sedikit pun aku tidak menyesal atau kecewa. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin lewat prosedur yang benar. Bahwa aku gagal, itu memang sudah nasib.
Mungkin sepanjang hidup aku akan dihantui persaan berdosa jika akhirnya aku diterima menjadi pegawai negeri karena telah menyuap petugas seperti keinginan ayah. Aku tidak bisa menari-nari di atas penderitaan orang lain. Bagaimana tidak, orang-orang yang sebenarnya punya potensi justru tersingkir karena tidak punya uang untuk menyuap. Sebaliknya orang-orang yang tidak memiliki potensi justru berhasil karena berani menyuap. Lebih dari itu, aku tak ingin memberi makan keluargaku dengan cara-cara yang tidak halal.
"Maaf, aku tidak bisa memenuhi keinginan ayah," kataku sambil meletakkan uang pemberian ayah di atas meja. Uang itu masih utuh. Jangankan mengambil, menyentuh pun aku merasa takut.
Ayah menatapku tajam. Urat-urat di sekitar matanya bergetar. "Dasar keras kepala!" kata ayah pelan, tapi penuh kemarahan. Aku menunduk tak berani menatap ayah.
"Aku sudah bilang berkali-kali tak ingin melihat kamu gagal. Nyatanya? Kamu gagal lagi! Gagal lagi! Lihat, itu Anwar!" kata ayah, suaranya lebih keras.
"Aku tidak gagal...." jawabku parau.
"Tidak gagal?" potong ayah sinis.
"Ya, tidak gagal. Paling tidak aku tidak gagal mempertahankan nuraniku," kataku lebih tegas.
"Di zaman seperti ini kamu masih menyebut-nyebut nurani? Ingat, zaman sudah berubah. Kamu harus mau mengikuti arus perubahan jika kamu tak ingin digilas!"
"Tapi bagaimana pun menyuap adalah...."
"Cukup!" Ayah memotong. Wajahnya berubah merah. "Contoh Annisa, istrimu. Dia mau mengikuti apa kata ayah. Dan, seperti yang kamu lihat, Annisa berhasil!" lanjut ayah.
"Apa? Annisa menyuap agar bisa diterima menjadi pegawai negeri?" tanyaku terkejut luar biasa. Sedikit pun aku tak menduga Annisa akan menempuh jalan pintas seperti itu.
Ayah tersenyum. "Ya, sebulan lalu istrimu datang kemari. Katanya uang pemberian ayah tidak kamu berikan padanya. Ketika itu ayah pikir uang itu akan kamu gunakan sendiri. Karenanya ayah menjual satu sawah lagi untuk istrimu." Suara ayah terdengar nyaring penuh kemenangan.
Aku tak tahan lagi di rumah ayah. Aku buru-buru pulang. Sampai rumah, kulihat Annisa sedang duduk di teras rumah. Sikapnya biasa-biasa saja. Sedikit pun tak menunjukkan perasaan bersalah.
"Aku senang kamu bisa diterima menjadi pegawai negeri. Tapi jika untuk semua itu ternyata kamu harus menyuap petugas, aku sangat marah!"
Sesaat Annisa terkejut, tapi kemudian tersenyum. "Ayah yang terus mendesak agar aku menyuap. Setiap kali aku datang ke rumah ayah, beliau selalu membujukku. Lama-lama aku merasa tidak enak...."
"Dan, kamu merasa bangga dengan semua itu?!"
"Tunggu dulu...."
"Kamu benar-benar sudah berubah, Annisa. Kamu mengkhianati kebenaran. Kamu tega merampas hak orang lain."
"Tenang, tunggu dulu. Beri kesempatan aku bicara..
"Apa lagi yang ingin kamu bicarakan? Semuanya sudah jelas. Kamu menyuap petugas. Demi Allah aku tidak ikhlas!" Aku tak bisa menguasai amarahku.
Sejenak Annisa menatapku. Lembut. "Sudah selesai? Sekarang giliran aku yang bicara," Annisa mencoba mengatur napas, berusaha tenang. "Ayah memang memberiku uang. Tapi uang itu tidak kugunakan untuk menyuap. Uang pemberian ayah kusimpan di bank. Aku bisa diterima menjadi pegawai negeri adalah murni usahaku sendiri."
"Benarkah?" Aku tergagap merasa tak percaya. Kutatap bola mata Annisa yang tetap lembut dan dalam.
"Ya. Mungkin ini berkah Allah atas keteguhan hati kita dalam memegang kebenaran. Tahun ini aku berhasil, mudah-mudahan tahun depan, kamu...."
Aku menunduk tak bisa berkata-kata. Berbagai macam perasaan campur aduk di hatiku. Tapi satu hal yang pasti, aku semakin merasa bangga memiliki istri cantik, tabah dan amanah, seperti Annisa. ***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 25 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar