Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Kelahiran sastra Indonesia modern pada hakikatnya dilatarbelakangi oleh tiga hal:
Pertama, sastra Indonesia modern lahir sebagai hasil pertemuan dengan budaya Barat yang lalu wujud dalam bentuk sastra tulis. Perhubungan dengan agama Islam yang melahirkan tulisan Jawi merupakan awal tradisi lisan (oral tradition), mulai tersisih oleh berbagai ragam sastra tulis dalam bentuk cetakan dengan menggunakan huruf Latin. Oleh karena itu, ketika masyarakat kita mengenal alat cetak, yang menurut Abdullah Munsyi membawa empat manfaat: 1) betul perkataannya dengan tiada bersalah, 2) lekas pekerjaannya, 3) terang hurufnya lagi senang membacanya, 4) murah harganya— ragam sastra tulis dalam bentuk cetakan dipandang sebagai salah satu ciri sastra modern.
Kedua, sastra Indonesia dilahirkan dari rahim sastrawan yang tidak dapat melepaskan dirinya dari kultur etnik yang membesarkan dan membentuknya. Mengingat sastrawan Indonesia berasal dari pluralitas dan keanekaragaman etnik, maka sastra Indonesia mencerminkan juga kenekaragaman itu. Bahkan, boleh dikatakan, pluralitas etnik itu merupakan ruh yang mendiami sastra Indonesia.
Ketiga, sastra Indonesia pada awalnya ditulis dalam bahasa Melayu yang kemudian –lewat Sumpah Pemuda—diangkat menjadi bahasa Indonesia; sebuah bahasa etnis yang penyebarannya di wilayah Nusantara telah punya sejarah yang panjang. Ia juga sudah sejak lama menjadi lingua franca; bahasa perhubungan antarsuku-suku bangsa yang berbeda dan antara pribumi dan orang asing, baik dalam hubungan pemerintahan, maupun perdagangan. Oleh karena itulah, awal kelahiran sastra Indonesia modern pada hakikatnya adalah sastra etnik yang ditulis dalam bahasa Indonesia.
Dengan latar belakang itu, awal dan pertumbuhan kesusastraan Indonesia modern, cenderung didominasi oleh sastrawan yang menguasai bahasa Melayu. Maka tampilnya intelektual (:sastrawan) Sumatera menjadi sesuatu yang wajar mengingat bahasa Melayu bagi mereka bukanlah bahasa yang terlalu asing dibandingkan bahasa Sunda atau Jawa. Padahal, dilihat dari jumlah naskah yang masuk ke Balai Pustaka di awal berdirinya lembaga itu, naskah berbahasa Jawa dan Sunda jauh lebih banyak dibandingkan dengan naskah berbahasa Melayu. Antara tahun 1911—1916, misalnya, Balai Pustaka menerima naskah berbahasa Jawa sebanyak 598 naskah, berbahasa Sunda sebanyak 204 naskah, dan berbahasa Melayu 98 naskah. Bahwa karya-karya sastrawan Sumatera kemudian mendominasi penerbitan buku-buku Balai Pustaka, hal itu berkaitan dengan pilihan Balai Pustaka sendiri untuk lebih banyak menerbitkan buku-buku berbahasa Melayu. Di samping itu, ada sejumlah faktor lain yang ikut mendukung dominasi sastrawan Sumatera di awal kelahiran dan pertumbuhan sastra Indonesia.
Pertama, Sumatera tak hanya diberkahi oleh kekayaan alam dan keanekaragaman kultur etnik yang berlimpah, tetapi juga oleh tradisi sastra yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya. Kondisi itu didukung oleh keakraban pada tradisi baca-tulis. Dengan demikian, ketika masyarakat Sumatera berhadapan dengan kebudayaan Barat, mereka menerimanya sejauh memberi nilai-nilai positif. Berdirinya sejumlah sekolah di Padang dan beberapa daerah lain di Sumatera, merupakan contoh bentuk penerimaan itu. Jika kemudian mereka hijrah ke Jakarta dan berkiprah di sana, hal itu mesti dimaknai sebagai bentuk kesadaran mereka untuk mengejar karier pribadi dan mengangkat martabat puaknya.
Kedua, perkenalan dengan huruf Latin, juga tidak dipandang sebagai usaha Barat (:Belanda) hendak menyisihkan huruf Jawi, melainkan sebagai huruf baru yang penting dipelajari untuk berkomunikasi dengan bangsa Barat. Dengan begitu, keberadaan huruf Latin tidak ditempatkan sebagai pengganti huruf yang sudah ada. Kedua huruf itu (Jawi dan Latin) tetap digunakan, baik untuk kepentingan komunikasi, maupun untuk sarana mengungkapkan gagasan dan ekspresi estetiknya.
Ketiga, dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa resmi di semua peringkat sekolah dan kemudian –melalui Kongres Pemuda Kedua, 28 Oktober 1928—diangkat menjadi bahasa Indonesia, makin memberi peluang yang lebih luas bagi sastrawan Sumatera untuk menyalurkan ekspresi gagasannya. Bagaimanapun juga, bahasa Melayu bagi masyarakat Sumatera –apalagi bagi masyarakat di kawasan Semenanjung—merupakan bahasa ibu. Dengan begitu, dibandingkan etnis lain –Jawa atau Sunda—misalnya, mereka sudah menguasai bahasa Melayu jauh sebelum bahasa itu diangkat menjadi bahasa Indonesia.
Keempat, berdirinya Balai Pustaka yang secara ketat memberlakukan pemakaian bahasa Melayu versi ejaan van Ophuijsen, tentu makin memantapkan posisi sastrawan Sumatera dalam kedudukannya sebagai agen bahasa dan sastra Balai Pustaka. Maka, tak berlebihan jika kemudian sastrawan Sumatera mendominasi peta kesusastraan Indonesia sebelum perang, karena memang mereka lebih menguasai bahasa Melayu dibandingkan sastrawan dari etnis lain.
Kelima, munculnya berbagai majalah atau suratkabar berbahasa Melayu, tidak hanya ikut mendukung penyebaran bahasa Melayu ragam buku (bahasa Melayu tinggi), tetapi juga ikut melahirkan wartawan—sastrawan Sumatera berikutnya. Pandji Poestaka (1922) dan Poedjangga Baroe (1933) –terbit di Jakarta dan Pedoman Masjarakat (1934) –terbit di Medan adalah contoh majalah yang menggunakan bahasa Melayu ragam tinggi. Dan majalah-majalah itu dikelola oleh para penulis Sumatera. Lewat majalah-majalah itu pula, para penulis asal Sumatera banyak yang memulai karier kesastrawannya.
Demikianlah dominasi sastrawan asal Sumatera dalam peta kesusastraan Indonesia terus berlangsung selama periode sebelum perang. Memang, situasi sosial—politik waktu itu sangat mendukung sastrawan asal Sumatera memainkan peranannya.
***
Selepas perang, terjadi pergeseran yang cukup signifikan dalam peta perjalanan kesusastraan Indonesia. Perkembangan itu ternyata sangat dipengaruhi oleh perubahan sosial-politik yang terjadi pada zamannya. Beberapa faktor yang membawa perubahan itu, antara lain adalah berikut ini:
Pertama, Balai Pustaka sebagai lembaga penerbitan yang sangat berpengaruh dalam perjalanan kesusastraan Indonesia, tidak lagi di bawah pengawasan pihak Belanda atau Jepang. Dengan begitu, selepas perang lembaga ini tidak lagi memberlakukan sensor yang ketat bagi naskah-naskah yang akan diterbitkannya. Konsekuensinya, karya-karya sastra terbitan Balai Pustaka selepas perang memperlihatkan tema yang lebih beragam.
Kedua, sejak berdirinya Balai Pustaka, sidang editor secara ketat menerapkan dan memberlakukan pemakaian bahasa Indonesia (Melayu) yang sesuai dengan ejaan van Ophuijsen. Akibatnya, karya-karya sastra terbitan Balai Pustaka nyaris selalu bersih dari unsur-unsur bahasa daerah non-Melayu. Selepas merdeka, kebijaksanaan itu tak berlaku lagi. Itulah sebabnya novel Keluarga Gerilya karya Pramoedya Ananta Toer yang banyak memasukkan unsur bahasa Jawa dan Atheis karya Achdiat Karta Mihardja yang sarat dengan unsur bahasa Sunda, dapat diterbitkan Balai Pustaka.
Ketiga, munculnya para pengarang dari luar Sumatera, di satu pihak, memudarkan dominasi sastrawan asal Sumatera, dan di lain pihak, memperlihatkan keberagaman tema, gaya pengucapan, dan warna lokal yang berasal dari berbagai daerah yang lain.
Keempat, terbitnya sejumlah suratkabar dan majalah, memungkinkan pengarang-pengarang dari berbagai daerah memperoleh saluran-saluran lain di luar penerbit Balai Pustaka. Dengan demikian, kehadiran media massa itu sekaligus ikut mendorong lahirnya para pengarang dari pelosok tanah air.
Kelima, munculnya penerbit-penerbit lain, baik di Jakarta, maupun di luar Jakarta, yang juga menerbitkan sejumlah karya sastra, makin menegaskan peta kesusastraan Indonesia yang pluralis dan heterogen.
Keenam, masuknya pengaruh asing secara lebih leluasa, membuka ruang yang lebih lebar bagi pemerkayaan tema, gaya atau apapun yang berkaitan dengan usaha sastrawannya meningkatkan kualitas kesastrawanannya.
Keenam faktor itulah yang memudarkan dominasi sastrawan asal Sumatera, dan sekaligus tidak lagi menempatkan penerbit Balai Pustaka sebagai satu-satunya lembaga yang berwibawa dan berpengaruh.
***
Meski terjadi perubahan dalam konstelasi kesusastraan Indonesia selepas perang dan sastrawan asal Sumatera tidak lagi mendominasi peta perkembangannya, tidaklah berarti sastrawan asal Sumatera kemudian tenggelam. Nama-nama seperti Merari Siregar, Muhammad Yamin, Abdul Muis, Rustam Efendi, Adinegoro (Jamaluddin), Suman Hs., Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Armijn Pane, Hamka, dan sederet panjang nama sastrawan asal Sumatera lainnya, selepas merdeka memang tidak lagi menonjol peranannya. Tetapi kemudian muncul generasi berikutnya yang malah lebih dahsyat lagi. Sebut saja angkatan berikutnya: Idrus, Chairil Anwar, Asrul Sani, Mochtar Lubis, Sitor Situmorang, Iwan Simatupang, Nasyah Djamin, A.A. Navis, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Taufik Ikram Jamil, Gus tf Sakai, Yusrizal KW, sampai ke sastrawan angkatan terkini.
Berkaitan dengan hal tersebut, Sumatera seperti sumber mata air yang tidak pernah kering. Dari sana sastrawan Indonesia terus bermunculan seperti tak pernah ada habisnya. Peranan mereka dalam kesusastraan Indonesia, juga tidak sekadar melengkapi deretan nama, tetapi justru menorehkan tonggak-tonggak penting pada zamannya. Dengan begitu, membaca kesusastraan Indonesia dan mencoba memetakannya, akan terjerumus pada lembah yang menyesatkan ketika sastrawan Sumatera diabaikan.
***
Secara kultural, Sumatera memang sumber mata air yang tak pernah habis. Ia niscaya juga bakal tiada henti mewarnai lanskap kesusastraan Indonesia. Di sana, ada Aceh, Jambi, Melayu, Batak, Minang, Palembang, Lampung, dan puak etnis lainnya. Pluralitas dan keberagaman itu adalah kekayaan kultural yang menjadi sumber tradisi yang dalam proses kreatif memberi peluang yang lebih leluasa bagi sastrawan Sumatera melakukan eksplorasi kultural. Dalam konteks keindonesiaan, mereka dapat seenaknya menggali tradisi, bermain dengan kondisi sosialnya, membolak-balik halaman sejarah, memotret fakta masa kini, mengusung semangat zaman, atau menempatkannya sebagai latar depan. Dengan begitu, kesusastraan Indonesia –melalui Sumatera dan tentu juga etnis lain di Nusantara ini—akan merepresentasikan pluralisme etnis dan budaya yang melatarbelakangi, melingkari, dan yang melekat dalam diri pengarangnya.
Lalu, bagaimana pula dengan kondisi sekarang ketika hiruk-pikuk politik begitu buruk? Bagaimana pula sastrawan Sumatera –dan sastrawan lain yang berada di pusat-pusat budaya di luar Jakarta— harus bersikap? Pemberlakuan otonomi daerah merupakan peluang emas bagi sastrawan daerah untuk tidak lagi terpukau pada dominasi Jakarta.
Kini, arus deras globalisasi dan hilangnya sekat-sekat geografi dalam dunia telekomunikasi, makin meramaikan keberagaman dan kesemarakan budaya. Dalam hal ini, Sumatera masih mempunyai kekayaan kultur-etnik sebagai lahan garapannya. Ini tentu saja penting tidak hanya untuk menghindari terjadinya konflik etnik, tetapi juga menarik persoalannya dalam kerangka integrasi dan kebangsaan.
Kondisi saat ini sesungguhnya membuka kemungkinan yang sangat besar bagi laju perkembangan sastra Indonesia di kancah sastra dunia. Dan sastrawan Sumatera dapat memainkan peranan itu. Ada sejumlah faktor pendukung yang niscaya membawa kesusastraan Indonesia dengan mudah memasuki wilayah sastra dunia dan memperoleh pengakuan internasional. Beberapa faktor pendukung itu dapatlah disebutkan di sini sebagai berikut:
Pertama, pluralitas kultural yang dimiliki suku-suku bangsa di wilayah Nusantara ini merupakan lahan yang tak bakal habis digali dan dimanfaatkan bagi pemerkayaan khazanah kesusastraan Indonesia. Dalam sejarahnya, sastrawan Sumatera telah berhasil menunjukkan kekayaan itu. Periksa saja karya-karya yang memperlihatkan kegelisahan kultural atas budaya etniknya. Dari Minangkabau, kita dapat menyebutkan nama-nama Navis, Robohnya Surau Kami, Darman Munir lewat novelnya, Bako (1983) dan Dendang (1990), Wisran Hadi, Orang-Orang Blanti (2000), dan Gus tf Sakai, Tambo: Sebuah Pertemuan (Grasindo, 2000) dan Yusrizal KW, Interior Kelahiran (1997). Di sana masih ada, Iyut Fitra atau nama lain sastrawan terkini.
Dari kultur Melayu dapat disebutkan karya Ediruslan Pe Amanriza, Dikalahkan Sang Sapurba (2000), Taufik Ikram Jamil, Hempasan Gelombang (1999) dan Gelombang Sunyi (2001), Syaukani Al-Karim, Hikayat Perjalanan Lumpur (1999), Hoesnizar Hood, Tarian Orang Lagoi (1999), Junewal Muchtar, Batu Api (1999), Eddy Ahmad RM, Reformasi Pelacur 2001). Tentu saja masih banyak nama dan karya lain yang tidak disebutkan di atas yang memperlihatkan kuatnya kegelisahan kultural yang dihadapi pengarangnya. Idrus Tintin dan BM Syamsudin, misalnya, adalah dua nama penting yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Niscaya karya-karya mereka juga sangat pantas menjadi bahan kajian kita.
Dari Lampung, kita dapat menyebut Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, Naim Prahana, Hasanuddin Z. Arifin. Dari Jambi, Panji Utama dan Ari Setya Ardhi. Nama-nama lain dari sentra kultur etnik seperti Aceh dan Batak, misalnya, niscaya masih dapat kita deretan lebih panjang lagi.
Kedua, hadirnya begitu banyak penerbit di luar Jakarta, seperti Padang, Lampung, Riau, Medan, Yogyakarta, Surabaya, Magelang, Bandung, Makasar dan beberapa daerah lain, memungkinkan khazanah kesusastraan Indonesia makin semarak. Dalam hal ini, karya-karya yang diterbitkan di berbagai kota itu memperlihatkan kuatnya kultur etnik.
Ketiga, munculnya sastrawan-sastrawan wanita dengan latar belakang budaya yang berbeda, ikut pula meramaikan peta kesusastraan Indonesia. Khusus di Sumatera, misalnya ada Ar. Kemalawati, Tien Marni, Murparsaulian, Herlela Ningsih, DM Ningsih, Merie Ibni Zairi, Kunni Masrohanti, Zainurmawaty, Cecen Cendrahati (Riau), Rosni Idham, D. Kemalawati, Wina SW I (Aceh), Upita Agustine, Ratna Komala Sari, Munasti, Hartin Rahmaldy (Padang), Gita Romadhona, Iriani R. Tandy (Jambi), Laswiyati Pisca, Neny Rosaria (Medan). Niscaya, di antara nama-nama itu, masih banyak yang tercecer.
Keempat, diberlakukannya otonomi daerah makin meluaskan peluang sastrawan daerah untuk melakukan eksplorasi kekayaan budaya suku bangsanya sendiri. Dengan demikian, bakal meramaikan konstelasi kesusastraan Indonesia melalui eksplorasi dan penggalian berbagai budaya etnik. Pada gilirannya, kondisi ini akan mempertegas adanya keanekaragaman budaya dan pluralitas yang melekat dalam diri sastrawan Indonesia. Dalam konteks itulah, sastra Indonesia yang merupakan salah satu bentuk representasi kultural sastrawannya, dapat menjadi alat yang efektif untuk saling mempelajari kultur lain. Bukankah karya sastra pada hakikatnya merupakan jiwa komunitas budaya yang melahirkannya atau ruh kultural sastrawannya.
***
Dalam kaitannya dengan peta perjalanan sastrawan Sumatera, masih pentingkah masalah kultur etnik diangkat ke permukaan? Bukankah sastrawan bebas melakukan pilihan atas tema, gaya pengucapan, atau apapun yang menjadi lahan garapannya? Masih relevankah mengusung kekayaan kultur etnik, sementara dalam wilayah keindonesiaan, benih disintegrasi muncul di beberapa daerah? Di sinilah justru duduk persoalannya bagi sastrawan Sumatera atau sastrawan mana pun yang hidup di lingkungan kultur etnik yang melahirkan dan membesarkannya.
***
Pertemuan penyair se-Sumatera (Aceh, Babel, Bengkulu, Jambi, Kepri, Lampung, Riau, Sumbar, Sumsel, Sumut) di Bengkalis, 17—19 Januari 2003, memperlihatkan, betapa sesungguhnya Sumatera masih menyimpan potensi yang kaya dan berlimpah. Kepenyairan Sumatera yang pernah mendominasi perjalanan sastra Indonesia sebelum dan awal merdeka –seperti yang pernah dibangun sastrawan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, hingga ke nama-nama Taufiq Ismail, Leon Agusta, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar, dan sederet panjang nama lain—sangat mungkin kini akan bangkit kembali.
Empat skenario mungkin dapat dijalankan penyair Sumatera. Pertama, melakukan perlawanan dan mencoba menyeruak di antara kemapanan sastrawan di luar Sumatera. Kedua, bergerak menghimpun kekuatan guna membangun mazhab sendiri. Ketiga, seolah-olah “menafikan” Jakarta dan berorientasi ke Singapura atau Kuala Lumpur. Keempat, menjalankan semua skenario itu dengan mengusung kultur etnik dan sejarah masa lalunya.
Dengan keempat skenario itu, penyair Sumatera kini lebih leluasa bergerak. Dan itu membuka peluang bagi kebangkitan kembali peranan mereka dalam konstelasi peta sastra Indonesia modern. Persoalannya tinggal bergantung pada kesiapan mereka menjalankan skenario itu? Tanpa kerja keras dan usaha yang serius, skenario itu tetap akan menjadi sebuah mimpi. Peran mereka akan jatuh pada sebutan sekadar pelengkap dan kontribusinya dalam peta kesusastraan Indonesia tidak cukup signifikan.
Antologi Purnama Kata: Sajak-Sajak se-Sumatera (Bengkalis: Dewan Kesenian Bengkalis, 2003; 112 halaman) barangkali boleh dipandang sebagai representasi gerakan penyair Sumatera. Antologi ini menghimpun karya-karya penyair Aceh, Medan, Padang, Riau, Tanjung Pinang, Jambi, Palembang, dan Lampung. Adakah mereka punya potensi untuk menjalankan skenario itu atau sekadar kekenesan belaka? Sekadar contoh kasus, berikut ini akan disinggung beberapa puisi karya sastrawan Sumatera yang bolehlah dipandang merepresentasikan wilayah kultur etnik di Sumatera.
***
Diawali enam buah puisi A.A. Manggeng (Aceh) yang melantunkan kegetiran atas tragedi berdarah yang menimpa tanah rencong. Gaya persajakannya yang seperti monolog antara narasi dan refleksi, mewartakan duka panjang yang dijawab dengan pertanyaan retoris: “berapa harga kemerdekaan dibandingkan nyawa?” Keenam buah puisinya menyampaikan tema yang sama: tragedi Aceh. Manggeng memang tidak mengangkat kultur etnik. Ia terpaku pada musibah puaknya yang dilakukan justru oleh saudaranya yang entah siapa dan dari mana asalnya. Rupanya, musibah itu begitu menggetarkan batinnya.
Sebagai puisi yang coba mengangkat luka-duka-darah, Manggeng menyajikannya dengan puitis. Ia seperti sedang menggambar pesona gadis cantik yang seketika diterjang kereta. Kita ikut nelangsa, tetapi pandangan mata masih terpaku pada pesona gadis itu, dan bukan pada tubuh hancur, koyak-moyak dan berdarah-darah. Dalam hal ini, Manggeng melantunkan rintih kematian tanpa menyentuh tubuh hancur, koyak-moyak dan berdarah. Di sinilah pemahaman ruh kultural menjadi penting. Ia mesti menyatu dalam pewartaan puitik ketika penyair dilanda kegelisahan atas tragedi yang menimpa puaknya. Cukupkah ia digambarkan dengan: Siapa yang pecahkan vas bunga/di pekarangan rumah kita/Padahal angin tidak menggerakkan daun-daunnya// Di manakah denting kilat rencong dan hingar-bingar semangat jihad? Di mana pula ledakan amarah yang tiba-tiba jadi kobaran api?
Thompson Hs (Medan) agaknya mengalami problem yang sama ketika ia dikaitkan dengan persoalan kultur. Ia cenderung mengangkat refleksi dirinya sendiri dalam hubungannya dengan orang per orang. Boleh jadi kesengajaan menyelimuti pesan merupakan representasi dari khawatirannya terjebak pada eksplisitas. Kecenderungan seperti itu memang banyak terjadi pada diri penyair kita. Akibatnya, sebagai pembaca sering kali kita merasakan sesuatu yang entah, tetapi entah apa pula yang kita tangkap. Dalam puisi “Mendengar Ruang yang bisa Berbisik” misalnya, kuda dapatlah kita tafsirkan sebagai simbolisasi nafsu. Boleh juga kita menafsirkan sebuah kisah persenggamaan. Tetapi, ia tidak coba memanfaatkan citraan. Sebaliknya, dengan pernyataan yang abstrak, kisah persenggamaan itu menjadi seperti narasi untuk dirinya sendiri. Demikian juga, ketika berbicara tentang Palestina—Israel, ia terjebak pada pewartaan, dan bukan kegelisahan kultural, meski ia mencoba mengangkat kisah-kisah lama dari al-Kitab.
Yusrizal KW (Padang) dengan enam puisinya –kecuali “Perasaan Berkerikil” dan “Sajak untuk Maya” lainnya pernah dimuat dalam Interior Kelahiran— tampak melompat ke sana ke mari. Ia bisa mengangkat apa saja yang dilihat atau direnungkannya. Dengan begitu, ia dapat leluasa mewartakan peristiwa atau benda apapun, tanpa harus mengalami kegelisahan yang dahsyat. Dalam hal itulah, puisi-puisi Yusrizal seperti sebuah narasi tanpa pretensi. Pilihannya untuk mengangkat apa pun, tentu saja tak menjadi soal. Dan ia bebas menentukannya sendiri. Meskipun demikian, ketika kita menghubungkaitkan puisi (sastra) sebagai ruh kultural, kita kehilangan cantelannya. Lalu, muncul pertanyaan: Di manakah Minangkabau? Maka, yang dapat kita tangkap adalah serangkaian peristiwa biasa, suasana keseharian yang juga biasa atau sesuatu yang diperlakukan seperti adanya. Ketika semua itu diejawantahkan dalam puisi, kita sangat mungkin akan hanyut dalam suasana yang seperti itu. Sebuah refleksi yang justeru tidak kita jumpai dalam cerpen-cerpennya.
Berbeda dengan Yusrizal, Taufik Ikram Jamil seperti penjelajah yang tak kunjung sampai pada tujuan. Ia tiada henti dibakar kegelisahan atas sejarah puaknya, meski boleh jadi ia sadar, sesuatu itu tak bakal dijumpainya kini. Puisinya, “Datang lagi ke Bengkalis” dan “Aku sudah Menjawab” merupakan bentuk kegelisahan kultur etnis masa lalunya. Kesetiaannya pada puak, romantisismenya, dan rasa duka pada kondisi sosial kini, berjalin kelindan dalam idiom Melayu. Maka, alam di sekeliling yang menjadi bagian hidupnya, muncul begitu saja seperti anak panah yang melesat, namun gagal membawa kurban.
Kegelisahan kulturalnya tak pernah berhenti menggelegak. Jamil berusaha konsisten pada obsesi yang dibangunnya sendiri. Lalu, ketika ia menghadapi kenyataan kini, masa silam dan catatan sejarah seperti datang begitu saja. Dikatakannya: kubentangkan tubuhmu telanjang/antara sulalatus salatin dan tuhfat al-nafis/alasmu adalah wustan wal-qubra/ buku sejarah yang belum selesai ditulis. Di sana ada luka sejarah yang tak pernah sembuh: bukankah kita terbanting dalam traktat london.
Bagi Jamil, romantisisme masa lalu, catatan sejarah, dan persahabatannya dengan alam telah memberinya banyak hal. Segalanya itu telah menjadi alat permainan yang lalu menjelma menjadi larik-larik puisi. Jika ia tampak begitu lincah memanfaatkan semuanya itu, sesungguhnya itu hasil dari sebuah proses panjang cintanya pada Melayu.
Dengan gaya persajakan yang berbeda, Syaukani Alkarim (Riau) juga mengusung kegelisahan kultural. Ia juga jatuh pada masa lalu puaknya. Pengucapannya sangat kuat sebagai refleksi penghayatan masa lalu dalam konteks problem yang dihadapi puaknya kini. Perhatikan sebaik puisinya, “Membaca Diri”. Kita yang sekarang bukan lagi sejarah yang kau baca, hanya tinggal hari-hari yang gagap/ sekeping luka, dan beribu janji yang meminta jawaban. Kemenangan yang pernah/ menuliskan risalah, kini menjelma sekapal rindu,/dan engkau harus bertarung dengan/ gelombang, atau tenggelam di laut waktu.//
Di luar luka sejarah puaknya yang tergambar dalam “Air Mata 1824”, Syaukani menukik menjelajah masuk wilayah yang agak filosofis. Dalam Hikayat Perjalanan Lumpur (1999), sejarah dan simbol sufistik mengemuka sangat padat, sekaligus menunjukkan, betapa penyair ini tidak sekadar bermain dengan larik-larik yang disusun lewat diksi yang matang dan cerdas, menyajikan kesungguhannya memanfaatkan wawasan, tetapi juga menegaskan bahwa ia masih menyimpan kekuatan napas yang panjang.
Di antara para penyair itu, menyeruak penyair wanita, Murparsaulian. Dalam deretan penyair wanita Riau, ia tergolong generasi di belakang Ar. Kemalawati, Tien Marni dan Herlela Ningsih. Agak berbeda dengan kebanyakan penyair wanita yang terpaku pada dunia romantik, Murparsaulian menjelajah pada persoalan sosio-kultural etniknya. Ada hasrat melakukan kritik sosial atas dampak modernisasi dan pembangunan. Ada kecemasan atas derasnya budaya populer. Dan penyair coba mengangkat problem itu berkaitan dengan romantisisme masa lalu puaknya. “Syair buat Marina” misalnya, mewartakan perubahan alam dan arus dunia modern. Dikatakannya, pelabuhan itu sebagai seorang tua yang merayau di tengah kelam di satu pihak, dan dunia modern yang menerjangnya di pihak lain. Sebuah gambaran dua dunia: kehidupan tradisional yang tergusur oleh modernisme.
Kegelisahan Murparsaulian agaknya tidak hanya jatuh pada lingkungan sekitar. Ia juga protes atas carut-marut negeri ini, seperti dalam “Mengeja Sejarah” dan “Kulabuh Kasih pada Negeri yang Perih”. Ada usaha mengangkat masalah itu lewat persajakan dan diksi atau citraan alam. Kadangkala ia tak sabar menahan gejolak kemarahannya sendiri. Meski begitu, keberanian melakukan pilihan tema itu, memang membawa persoalan yang tak sederhana. Dan itu perlu perenungan yang lebih intens, sebagaimana yang diungkapkan dalam “Di mana Selat Kita?” Usaha Murparsaulian menemukan jati diri kepenyairan, telah dijumpai di sana. Sebuah pola yang memperlihatkan perkembangan kepenyairan yang lebih matang dan berpribadi, meski ia tak dapat menyembunyikan pengaruh penyair lain.
Permainan bunyi dalam larik dengan memanfaatkan pesona persajakan, hadir dalam karya Hoesnizar Hoed (Kepri). Ia memang tak berusaha mengangkat sejarah. Persahabatan dengan alam dan dukanya pada problem sosial, merepresentasikan kegelisahan yang tak dapat diajak berdamai. Beberapa puisi yang lain, seperti “Shelma”, “Membaca Jakarta” atau “Aku Diam dalam Kaca” terasa lebih cair dibandingkan puisi-puisinya dalam Tarian Orang Lagoi (1999). Meski begitu, kita masih melihat kekuatannya dalam permainan kata dan usahanya memanfaatkan bunyi persajakan. “Surat dari Simpang Lagoi” sesungguhnya merupakan pola yang pas memperlihatkan kepenyairannya yang lebih berpribadi. Ada pesona yang kuat dalam larik dan repetisi persajakan dalam puisi itu.
Kembali, perenungan yang intens menjadi penting saat penyair mengejawantahkan ekspresi puitiknya. Dan Lagoi telah mencengkram Hoed begitu kuat. Ia hanyut di sana dan berteriak mewartakan kepedihan orang-orang Lagoi. Ia berhasil menukik dan menyembul kembali lewat ekspresi puitiknya. Di sinilah kebersatuan ruh penyair dengan dunia yang hendak diangkatnya sering kali melahirkan potret yang mempesona.
Ari Setya Ardhi (Jambi) condong bermain dengan abstraksi. Di sana ia mencoba memanfaatkan alam untuk membangun citraan. Dalam puisinya, “Mempersiapkan Waktu” Ardhi hanyut dalam subjektivitas ekspresinya sendiri. Akibatnya, sinyal-sinyal yang dapat membantu pembaca memahami teks, terganggu oleh kecenderungannya memadukan realitas dengan dunia abstrak. Meskipun begitu, dalam puisinya yang berjudul “Merebut Sejarah”, penyair berhasil mengangkat potret perubahan secara meyakinkan.
Bahwa Ardhi melakukan pilihan itu, tentu dengan kesadaran kepenyairannya. Dalam puisinya “Menjaga Musim Purba” kita menemukan rangkaian kata yang enak dibaca. Tetapi agak menyulitkan pemahaman kita mengingat kecenderungannya membangun abstraksi. Atau barangkali, Ardhi memang sengaja memanfaatkan itu untuk membangun semacam close reading yang mensyaratkan pembacaan yang berulang-ulang. Justru di situ estetika puitiknya menggoda untuk menjelajahi dunia yang ditawarkannya.
Kecenderungan yang sama terjadi pada diri Anwar Putra Bayu (Sumsel). Bahkan, lebih dari itu, ia lebih banyak mengobral pernyataan daripada citraan. Dalam hal ini, Bayu seperti memberi jarak antara dunia yang ditawarkan dengan teks yang membawakannya. Akibatnya, kegelisahan tentang masalah disintegrasi yang terjadi di negeri ini, sebagaimana tampak dalam “Abad Burung Bangkai” menjadi semacam pewartaan tekstual. Hal itu pula yang tampak kentara dalam “Nyonya Anwar dan Sepotong Tulang”. Kembali, perenungan menjadi sesuatu yang penting. Ia mesti menjadi bagian dari proses kreatif yang lahir dari kegelisahan atau ketakjuban pada sesuatu. Puisi “Kepada Alexandre Pusjkin” misalnya, memperlihatkan, betapa penyair punya jarak yang jauh dengan sastrawan Rusia itu.
Isbedy Stiawan ZS dalam “Telah Kulepas Pakaian Sunyiku” sungguh telah menunjukkan sebuah perkembangan kepenyairan yang meyakinkan. Dibandingkan antologi Daun-Daun Tadarus (1997), puisi-puisinya kali ini tampak lebih matang dan kokoh. Ia tak lagi menjadikan subjek yang melihat benda-benda sebagai objek, melainkan objek yang menyatu lebih dalam sebagai diri subjek, atau sebaliknya.
Ia seperti bertutur begitu saja, mengalir, dan tiba-tiba berhenti pada pertanyaan yang menggoda: siapakah aku lirik? Dalam hal ini, napas religiusitas dan kerinduannya pada sesuatu yang entah, menyatu dalam kerinduan itu sendiri. Isbedy hadir dengan pribadi yang kuat dan matang. Pencarian si aku liris telah sampai pada hakikat. Sebuah gaya kepenyairan yang banyak dianut para penyair ketika ia mengalami kegelisahan sufistik.
Dalam “Aku Masih Rasakan” hubungan aku liris dengan alam dan dunia sekitar, terasa sangat padu, menyatu dalam narasi aku lirik. Dalam hal ini, subjek tidak lagi melihat alam sebagai objek, melainkan sebagai subjek itu sendiri. Bahkan, kadangkala, aku liris sengaja diperlakukan sebagai objek untuk member ruang yang lebih leluasa bagi alam mencengkeram dan menjadi bagian dari alam itu sendiri, sebagaimana dikatakannya: bahwa kita seperti butiran air itu/bahwa kita juga ada di atas daun itu/ diamdiam menunggu tergelincir// Dalam “Dermaga Lama” Isbedy memanfaatkan kisah masa lalu yang menjadi bagian dari kekayaan kulturnya. Dengan itu, ia tak bakal kehabisan bahan. Bahkan, niscaya pula ia makin memperlihatkan kekayaan bentuk ekspresinya.
***
Catatan kecil ini tentu masih perlu pendalaman. Di sana tercecer nama Gus tf Sakai, Iyut Fitra, Upita Agustine, Ratna Komala Sari (Minang), Junewal Muchtar (Kepri), Eddy Ahmad, DM Ningsih, Merie I. Zairi, Zainurmawaty, Cecen Cendrahati, Kunni Masrohanti (Riau), Syaiful Tanpaka, Naim Prahana, Panji Utama (Lampung), Wina SW I, Kemalawati, Rosni Idham (Aceh), Gita Romadhona, Iriani R. Tandy (Jambi), Laswiyati Pisca, Neny Rosaria (Medan) dan nama-nama lain yang sering kita jumpai dalam berbagai antologi.
Dalam kaitannya dengan peta konstelasi penyair Sumatera, catatan ini sekadar hendak menegaskan, bahwa mereka mustahil kehabisan ekspresi puitik jika ada usaha melakukan eksplorasi pada kultur yang telah melahirkan dan membesarkannya. Dengan cara itu, mereka akan mengangkat kekayaan kultur lokalnya, sekaligus menempatkannya dalam problem kemanusiaan sejagat. Bagaimanapun juga, sastra yang baik selalu akan menghadirkan unikum, dan sekaligus universalitasnya. Masalahnya tinggal, bagaimana sastrawan Sumatera memanfaatkan kekayaannya sendiri.
· Makalah Semarak Baca Sajak Sumatera, Dewan Kesenian Bengkalis, Bengkalis, 17—19 Januari 2003.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar