AS Sumbawi
http://www.sastra-indonesia.com/
Bagaimana jika anda mengetahui rahasia orang lain? Apa yang akan anda lakukan? Barangkali kita akan sepandangan bilamana untuk sementara mendiamkannya sembari menunggu apa yang akan terjadi. Nasehatku, kita tak boleh sembarangan mengungkapkannya. Akan menjadi sesuatu sia-sia bila kita begitu saja mengobralnya. Tidak memperdulikan waktu yang tepat. Karena bagaimanapun juga rahasia tersebut bisa menjadi sesuatu sangat berharga. Bisa menjadi sebuah senjata untuk merobohkan lawan, jika kebetulan rahasia tersebut mengungkapkan keburukan. Namun, jika kebaikan yang termuat di dalamnya, akan menjadi bumerang bagi diri kita sendiri tentunya bila diungkapkan dengan ceroboh. Suatu hal yang selalu kucamkan dalam benakku bahwa hanya orang-orang yang pandai memanfaatkan kesempatan, beruntung di dunia ini.
Ngomong-ngomong soal rahasia, sekarang ini aku mengetahui rahasia seseorang. Dia bernama HeniSaraswati. Dia tinggal di rumah nomor 46 di jalan P. Diponegoro. Setiap minggu sekali aku mengantar surat kepadanya. Dari tulisan yang tertera di bagian belakang amplop, aku tahu bahwa selama ini dia saling berkirim surat dengan seorang perempuan bernama Dewi Hartati yang tinggal diluar kota. Entah, siapa dia? Namun, dilihat dari intensitas kiriman surat tersebut, sepertinya mereka berdua sangat akrab. Bersahabat.
Pada awalnya, perjumpaanku dengan Nyonya Heni berlangsung sebentar, seperti layaknya sebagai tukang pos dengan si penerima surat. Aku segera berlalu setelah menyerahkan surat yang kemudian dibalas dengan ucapan terima kasih yang meluncur dari bibirnya memerah. Namun setelah beberapa kali berjumpa, ada sesuatu yang muncul dalam diriku tanpa kusadari menyuruh memperhati kan dirinya lebih dari biasanya. Dari apa-apa yang kutangkap, aku pun menyimpulkan bahwa Nyonya Heni berumur ant-ara 35 sampai 40 tahun. Masih terlihat cantik dan sehat. Sikap dan dandanannya menunjukkan bahwa dia perempuan yang matang. Sungguh menawan.
Setiap kali mengantar surat kepadanya, aku tak pernah melihat seorang laki-laki di rumahnya, kecuali seorang pembantu perempuan yang sudah tua. Dari situ aku pun menduga-duga status dirinya. Perawan tua? Janda? Istri? Atau perempuan yang disebut ‘mandiri’?
Suatu hari Nyonya Heni memanggil ketika aku hendak memasuki halaman rumahnya.
“Adakah surat buat saya?” katanya tersenyum.
“Memang ada, Nyonya,” balasku sembari mengambil surat dari tas.
Aku kemudian melangkah menuju beranda di mana Nyonya Heni sudah berdiri di sana. Kualihkan pandang mata-ku dari sorot matanya.
“Ini sudah saya tunggu,” katanya setelah menerima surat dari tanganku. Kami saling tersenyum. Sekali lagi kualihkan pandang mataku dari sorot matanya yang menawan itu.
“Silahkan duduk. Barangkali segelas minuman dingin akan membantu menghapus dahaga anda,” katanya.
Di beranda kami pun duduk di kursi berhadapan. Kulihat di meja sebuah majalah terbuka menunjukkan halaman cerpen berjudul ‘Impian Sasa’ dengan gambar seorang perempuan berjalan menuju kemegahan kota. Sebentar kemudian dia membuka amplop. Gerak-geriknya membikin aku terus mengawasinya. Dari halaman rumahnya yang rindang kurasakan udara berhembus segar.
“Sebentar,” katanya kemudian melangkah ke dalam.
Kuperhatikan dia sampai melewati pintu. Kemudian kualihkan perhatianku pada bangunan rumahnya yang berukuran sedang namun tertata indah. Pilihan warna keramik pada dinding rumah yang serasi dengan aneka bunga dalam pot yang segar terawat. Juga keramik pada lantainya. Sungguh orang lain akan kerasan dengan keadaan rumahnya.
Seorang pembantu perempuan datang dengan segelas minuman dingin berwarna merah dan setoples makanan ringan. “Silahkan,” katanya kemudian berlalu kembali. Segera kuteguk minuman itu.
Sudah lima belas menit aku menunggu, namun Nyonya Heni tak keluar-keluar juga. Dalam gelisah aku sesekali berdiri melihat ke arah dalam rumahnya. Sementara di dalam tas masih ada puluhan surat harus kusampaikan pada alamatnya masing-masing.
Tiba-tiba aku melihat pembantu itu berjalan dari samping rumah. Tangannya membawa tas dari plastik.
“Mbok…,” panggilku.
“Mbok mau ke mana?”
“Mau pergi ke pasar. Ada apa, Tuan?”
“Nyonya kok tidak keluar-keluar, Mbok. Ke mana, ya?”
“Nggak tahu, Tuan. Barangkali ada di kamarnya.”
Sejenak dengan gelisah kuarahkan mataku ke bagian dalam rumah.
“Kalau begitu saya pamit dulu, Mbok. Bilang pada Nyonya bahwa saya harus segera mengantar surat.”
“Baiklah, Tuan,” katanya. Aku bergegas pergi. **
Hari besoknya aku mengantar surat yang beralamat di jalan P. Diponegoro No. 50. Ketika lewat di depan rumah Nyonya Heni kuarahkan pandang mataku mencarinya. Tetapi, dia tak nampak duduk membaca di beranda. Pintu rumahnya pun tertutup. Maka aku pun terus saja. Sebenarnya kalau dia ada, aku ingin mampir dan mengucapkan terima kasih atas segelas minuman dingin yang diberikannya.**
Sudah tiga minggu ini tak ada surat yang harus kuantar untuk Nyonya Heni. Padahal biasanya setiap minggu pasti ada sebuah surat untuknya dari Dewi Hartati. Meskipun begitu, setiap hari aku selalu lewat di depan rumahnya. Aku ingin bertemu dengannya. Pertemuan terakhir dengannya membuat diriku merasa tak enak. Di samping itu, aku merasa kangen juga tak melihat dirinya. Namun seperti hari-hari sebelumnya, hari itu pun pintu rumahnya dalam keadaan tertutup. Dan tentu saja aku kecewa.
Hampir tiap malam aku selalu terbayang akan dirinya. Membuatku gelisah. Pernah suatu kali aku mencoba mengetuk pintu rumahnya, namun yng kudapatkan hanya desau angin yang berhembus dari halaman rumahnya. Apa yang tengah terjadi dengan dirinya? Apakah dia sedang pergi jauh? pikirku sendiri. **
Siang itu aku lewat di jalan P. Diponegoro. Di tas, ada sebuah surat yang harus kuantarkan ke alamat jalan ini. Bukan untuk Nyonya Heni, melainkan untuk seseorang yang tinggal di rumah dengan nomor 99. Ketika mendekati ru-mah Nyonya Heni, kuarahkan mataku ke rumah itu. Tentu saja aku tersontak gembira saat menemukan Nyonya Heni duduk di beranda sembari membaca. Tanpa kusadari dada-ku berdebar-debar. Mendadak aku menjadi ragu untuk bertamu. Kemudian saat lewat di gerbang halaman rumahnya, aku memutuskan terus berlalu dengan purapura tidak tahu. Tiba-tiba kudengar panggilan.
“Pak Abdul.” Aku menoleh. Kulihat Nyonya Heni tersenyum menatapku.Segera kubelokkan sepeda motor dinasku menghampirinya.
“Pak Abdul, adakah surat buat saya?” katanya sembari tersenyum. Meskipun aku tahu takada surat untuknya di dalam tasku, aku tetap pura-pura mencarinya.
“Sudah lama sahabat saya tidak mengirim surat buat saya?” katanya dengan tersenyum. Kurasakan gerak-gerikku kikuk sekali. Dadaku pun berdebar kencang. Nyonya Heni begitu menawan.
“Maaf Nyonya. Tidak ada,” kataku. Kulihat di wajahnya melintas kecewa.
“Baiklah kalau begitu. Tapi, barangkali istirahat sebentar sembari menikmati segelas minuman dingin akan membantu menghapus rasa haus dan lelah di siang yang gerah ini,” katanya.
“Ehm, terima kasih. O, ya, saya minta maaf, kemarin lalu pulang tanpa pamit kepada Nyonya.”
“Ah, tidak. Sebenarnya saya yang harus minta maaf. Membuat anda terlalu lama menunggu,” katanya tersenyum. Sejenak kami terdiam.
“O, silahkan duduk,” katanya. Sebentar kemudian kami sudah duduk berhadapan.
“Bagaimana kabar hari ini, Pak Abdul,” katanya.
“Baik-baik saja. Nyonya?”
“Beginilah.”
Sejenak kami terdiam. Ketika mata kami saling berpandangan, aku segera menundukkannya. Aku tak sanggup menatapnya. Matanya kurasakan seakan menerobos dadaku. Hatiku berdebar-debar.
“Anak dan istri?” katanya.
“Tak ada, Nyonya. Istri saya meninggal tanpa memberikan seorang anak kepada saya.”
“O, maaf.”
“Tak apa, Nyonya.” Kami terdiam.
“Nyonya sendiri?”
“Ehm, kurang lebih sama seperti anda. Kami bercerai,” katanya. Kami kembali terdiam. Sebentar kemudian, Si Mbok keluar dengan membawa suguhan.
Sembari menikmati suguhan, kami mengadakan percakapan ringan. Tidak kusangka Nyonya Heni hampir meng-etahui semua yang menjadi bahan percakapan. Mulai masalah pilkada sampai masalah laga final Liga Champion antara AC Milan & Liverpool yang akan digelar seminggu lagi.
Setelah kurasakan waktu telah cukup dan segelas minumanku telah habis, aku pamit melanjutkan perjalanan. **
Keesokan harinya, aku sengaja lewat di jalan P. Diponegoro, meskipun tak ada surat yang harus kuantarkan ke sana. Kulihat Nyonya Heni duduk di beranda seperti kemarin. Ketika lewat di depan rumahnya, aku pura-pura tak melihatnya. Dan tentu saja aku gembira ketika dia memanggilku kembali. Aku segera menghampiri nya.
Seperti kemarin, ia kembali menanyakan apakah ada surat untuk dirinya. Namun karena memang tak ada, aku pun menjawab apa adanya. Kemudian ia menawariku untuk duduk-duduk sebentar. Aku menolaknya.
“Terima kasih, Nyonya. Mungkin lain kali. Hari ini banyak sekali surat yang harus diantarkan,” kataku beralasan.
“Baiklah kalau begitu.”
“Mari,” kataku kemudian melangkah pergi.
“Pak Abdul,” panggilnya tiba-tiba. “Saya bisa titip sesu-atu?”—“Apa itu, Nyonya?” —-“Surat. Untuk di-pos-kan,”
katanya. Aku pun mengiyakannya. **
Sore hari tiba di rumah, aku segera membaca surat Nyonya Heni yang akan dikirimkan kepada Dewi Hartati itu. Memang ini bukan pertama kali aku membaca surat orang. Beberapa minggu yang lalu, aku membaca surat Dewi Hartati sebelum kuantarkan kepada Nyonya Heni yang isinya mengungkapkan bahwa Dewi Hartati menyarankan Nyonya Heni untuk menikah lagi. Kalau kesulitan mendapat calon, aku punya kenalan yang kukira pantas untukmu, begitu tulis Dewi Hartati.
Sebenarnya aku sependapat dengan Dewi Hartati mengenai Nyonya Heni. Di samping itu, menurutku umur perempuan seumuran Nyonya Heni adalah masanya bagi perempuan terlihat sangat cantik-cantiknya. Kecantikan yang matang. Berbeda pesonanya dengan seumuran gadis-gadis yang baru mekar. Dan Nyonya Heni adalah salah satu buktinya. Aku kerap membayangkn bagaimana jika bersanding dengannya dipelaminan. Dan seterusnya. Selain itu, apakah kita akan terus sendirian sampai ajal menjemput? Tanpa se-orang istri atau suami? Jujur aku tak menginginkan itu terjadi. Seperti yang kini sedang kualami. Andaikata Nyonya Heni mau menikah denganku, saling menemani hingga maut memisahkan kami, kemungkinan besar aku bahagia. **
Aku tersentak ketika membaca alinea ketiga isi surat Nyonya Heni itu. Seakan bermimpi kuulang-ulang memba-canya. Baris itu adalah:
Ti, beberapa minggu ini aku merasa telah menemukan seseorang yang akan menjadi teman hidupku. Dia adalah orang yang selalu mengantarkan surat-suratmu. Kuharap kau jangan tertawa jika kukatakan bahwa dia adalah seorang tukang pos. Tapi, bukankah tukang pos merupakan pekerjaan yang mulia? Aku teringat pada film ‘The Post-man’ yang dibintangi Kevin Costner. Kita pernah menontonnya bersama, bukan? Film itu menceritakan bagaimana seorang tukang pos sangat dicintai oleh semua orang. Ya, memang itu hanya sebuah film. Dan lucunya, sehabis non-ton film itu, kau mengatakan padaku bahwa kau ingin menikah dengan seorang tukang pos. Dan tukang pos itu tak lain adalah Kevin Costner sendiri. Bagaimana mungkin? Bukankah dia adalah seorang bintang film. Tapi, itulah yng membuat kita tertawa sepanjang malam. **
Sudah seminggu aku tak pergi ke rumah Nyonya Heni. Selama itu pula surat Nyonya Heni yang dititipkan kepadaku berada di tanganku. Aku sengaja tak mem-pos-kannya. Aku mempunyai sebuah rencana untuk menulis surat kepadanya dengan nama Dewi Hartati. Tentu saja demi kepentinganku juga. Aku sangat yakin tukang pos yang dimak-sud Nyonya Heni ialah aku sendiri. Kubayangkan tak lama lagi kami bersanding di pelaminan. O,sungguh senangnya.
Untunglah, aku ingat bahwa tulisan tangan Dewi Hartati dan Nyonya Heni hampir mirip sehingga aku bisa mencontohnya dari surat Nyonya Heni yang ada padaku itu. Kini, surat balasan itu telah selesai dan siap dikirimkan. Le-ngkap dengan perangko yang telah dicap tentunya. **
Setelah memberikan surat balasan itu kepadanya, kami duduk berhadap-hadapan. Saat kami saling berpandangan, aku sudah tak menghindar seperti dulu. Malah dia sendiri yang terlihat serba salah. Barangkali karena mataku yang sengaja kupasang jalang. Ya, isi suratnya itulah yang menyuruhku seperti ini. Andaikata aku tak membacanya, barangkali aku tak akan pernah tahu bahwa diam-diam kami Saling mencintai.
“Sebentar, ya,” katanya melangkah ke dalam. Aku tersenyum menganggap diriku sendiri layaknya Arjuna. Sebentar dia telah kembali dengan setumpuk surat yang kemudian diletakkannya di atas meja. Dia diam sejenak. Dan yang membuatku bingung adalah dia kemudian menangis.
Setelah menenangkan dirinya, dia berkata: “Kami sangat akrab. Bahkan lebih dari itu.”
“Dan dia…, Dewi Hartati, sebenarnya sudah meninggal tiga tahun yang lalu,” lanjutnya.
“Hah…,” ucapku refleks. Sejenak kami saling berpand-angan. —–“Jadi?”
“Ya, selama ini aku sendiri yang menulis surat-surat itu,” katanya menatap ke meja. Dalam hati aku merasa ditelanjangi. Aku tak sanggup lagi menatap matanya.
Dalam diam, tiba-tiba aku teringat perkataannya sebentar lalu. Kami sangat akrab. Bahkan lebih dari itu. Apakah mereka saling mencintai? Pernah menjadi sepasang kekasih? Lesbi? Pikirku. Kucoba menatap dirinya kembali. Dalam sorot matanya, ingin kudapatkan jawabnya. **
2005
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar