Tosa Poetra
http://sastra-indonesia.com/
Seperti biasa, saya selalu kebingungan ketika hendak memulai menulis. Kadang saya mulai dengan bercerita tentang pekerjaan, sekolah, kadang juga keluarga. Dan kali ini pun, saya memulai menulis dengan mengatakan tentang kebingungan saya. Dan sebuah kebingungan adalah hal wajar bagi penulis pemula seperti saya. Karena kali ini yang akan saya bicarakan ialah hal yang berkait dengan bapak Dimas Arika Miharja alias DAM dan berkaitan dengan Bengkel Puisi Swadaya Mandiri yang disingkat BPSM, di tengah kebingungan saya memulai cerita, saya pikir tidak akan ada yang menyalahkan jika saya memulai dengan sedikit menceriterakan tentang pak DAM dan BPSM.
Saya mengenal pak DAM sejak bulan Agustus 2010, sebelum bulan itu sebenarnya di dunia maya, tepatnya di sebuah situs jejaring sosial yang dinamakan Facebook, saya juga telah berkawan dengan beliau. Tetapi sebelum bulan Agustus, saya jarang bersapa dengan beliau, maklum saya sangat minder, siapa saya dan siapa beliau, dapat dikonfirmasi permintaan pertemanan saya saja sudah sangat bersyukur. Pada bulan Agustus, saya diajak kawan saya Nurani Soyomukti untuk mengadakan kegiatan sastra di kota saya, Trenggalek. Kegiatan itu rutin kami lakukan setiap bulan, karena pendanaan di kegiatan tersebut kita gali dari arisan anggota, maka kita menamakannya Arisan Sastra Trenggalek. Acara perdana akan di gelar tanggal 2 September 2010, telah diputuskan saya pemothel pertama. Sebagai pemothel atau yang mutus, saya diwajibkan membagikan karya. Di bulan Agustus akhirnya terpaksa mengumpulkan dan memilih karya-karya amatir saya di tahun 2009 sampai dengan 2010 untuk saya jadikan dalam bentuk buku. Ketika itulah saya memberanikan diri menghubungi pak DAM untuk minta endorsmen, dan Alhamdulilah, saya tidak menyangka beliau sangat ramah dan bersahaja, permintaan endorsmen saya juga sangat cepat dipenuhi oleh beliau, padahal sebelumnya saya membayangkan alangkah sibuknya penyair yang juga akademisi seperti beliau.
Melihat keramahan beliau, saya yakin beliau pasti ramah pada siapa saja, dan semua orang tentu baik pada beliau, sehingga tentunya jika saya menggunakan cara yang pada umumnya untuk dekat dengan beliau saya pikir cukup sulit untuk beliau lekas menghafal nama saya. Maka saya punya cara sendiri untuk dekat dengan beliau, termasuk cara saya sendiri mengeruk bertumpuk pengetahuan dan ilmu yang beliau miliki. Cara saya itu munngkin aneh, sehingga orang mungkin menilai saya telah lancang atau berani pada beliau, seperti teman saya Misbahus Surur memarahi saya, karena telah berbuat demikian pak DAM yang sangat baik. Tapi sungguh di dasar hati, tak ada niat atau hal yang kurang baik, seperti apa yang mungkin disangkakan orang. Bagaimana pun pak DAM adalah bapak sekaligus guru saya, dan kemarin sempat seorang menyampaikan pada saya bahwa beliau sempat bilang saya adalah anak dan muridnya yang paling bandel. Puji sykur Alhamdulilah saya yang bukan apa dan siapa ini diakui sebagai murid beliau, sebab meski diakui maupun tidak diakui saya tetap anak murid beliau, karena saya memang banyak belajar dan mendapat pengetahuan dari beliau. Dan di sini saya sampaikan terimaksih dan hormat pada beliau terkait hal tersebut, juga mewakili rekan-rekan di Kamboja Grup mengucapkan terimakasih atas endorsmen yang diberikan pada buku “Tembang Cinta Kamboja” yang InsaAllah besok naik cetak, mohon doa restu. Satu hal lagi, kemarin saya dengar kabar bahwa beliau berulang tahun perak atas pernikahannya, meskipun agak terlambat saya juga ingin mengucapkan Selamat, semoga semakin mawadah wa rahmah.
Sebaiknya saya cukupkan dulu cerita tentang saya dengan pak DAM, kini saya sedikit bercerita tentang BPSM. BPSM telah dirintis dan diperjuangkan oleh pak DAM sejak lama, namun seingat saya BPSM dibuka online oleh pak DAM dengan beliau membuka grup di Facebook berkisar antara bulan Juni-Juli 2011, jadi tidak lama lagi BPSM online akan berulang tahun utuk yang pertama (semoga saya tidak salah mengingat). Puluhan bahkan ratusan penyair dan puisinya ada di BPSM, beragam sangat karya yang ada, termasuk pula terdapat diskusi yang menarik dan sering kali pak DAM menumpahkan ilmunya terkait kesusastraan. Meski tidak setiap saat, namun dapat saya pastikan dalam sehari saya menengok BPSM, mengintip-intip karya, juga artikel serta diskusi yang ada, tatapi saya memilih tidak hanyut dalam diskusi, karena minimnya pengetahuan saya. Tentu akan sangat memalukan jika saya salah berkomentar, sehingga sangat jarang saya berkomentar, bahkan memberi jempol pun jarang. Sehingga mungkin sahabat di BPSM jarang yang tahu atau mengenal saya dengan akrab.
Saya mengawali tulisan sederhana ini dengan bercerita tentang pak DAM dan BPSM, karena memang pada dasarnya yang akan saya ceritakan sangat erat dengan pak DAM dan BPSM, dengan agenda terbaru BPSM (kalau saya tidak ketinggalan berita). Kemarin malam, saya mengunjungi BPSM, di beranda saya melihat judul “Indonesian Poetry Idol: Puisi dan Religiusitas”. Sebagai pengantar wacana pak DAM menyampaikan terkait mulanya seni dan sastra serta fungsinya. Di bawah saya melihat tiga judul karya yang telah dipilih oleh direktur BPSM. Ketiga puisi tersebut antaranya: “Menghikmati Urap, Menelusuri Urat, Syafaat Jumat” karya Yessika Susastra (Jambi), “Moksa Mengasing” karya Nabila Dewi Gayatri (Surabaya), dan “ Narasi Negeri Beton” karya Luluk Andrayani (Hongkong). Semacam acara Indonesian Idol yang digelar di salah satu stasiun televisi swata di Indonesia, ketiga judul karya tersebut disediakaan untuk diapresiasi dan dipilih. Proses pemilihan dan apresiasi mungkin melalui komentar pada postinng tersebut, saya kurang jelas dengan cara mengapresiasi dan memilihnya. Dan saya pikir apa yang saya tulis ini pun adalah cara saya mengapresiasi dan memilih karya tersebut.
Memang sebuah hal yang sukar untuk memilih salah satu dari tiga yang sudah menjadi/ dipilihkan oleh direktur BPSM, cara mengapresiasi pun beragam. Namun, layaknya Indonesian Idol, bahwa kita perlu mengidolakan salah satu karya, maka saya tentu juga kan mengidolakan salah satu dengan tidak berangkat untuk memilah yang baik atau yang terbaik, yang indah maupun yang terindah, sebab indah ialah relatif, meski keindahan juga dapat diukur dengan skala prioritas atau kebanyakan. Secara emosional saya memiliki kedekatan khusus dengan salah satu penulis ketiga karya tersebut, ibaratnya orang Bali akan lebih memillih mengidolakan yang dari Bali, orang Surabaya akan lebih memilih mengidolakan yang dari Surabaya, orang Hongkong akan lebih memilih untuk mengidolakan yaang dari Hongkong. Sedang saya bukan dari Jambi, Surabaya maupun Hoongkong, namun saya dari Jawa Timur yang beribukota propinsi di Surabaya, jadi mungkin saya akan memilih mengidolakan yang dari Surabaya, namun saya belum pernah mengenal maupun bertutur sapa dengan yang dari Surabaya, sedangkan seoraang penulis di Hongkong, saya tahu pasti karyanya ditulis di MOS atau kalau tidak salah merupakan singkatan dari Ma On Sand. Dan saya harus jujur mengakui bahwa saya ada kedekatan hkusus dengan penulis yang di Hongkong tersebut, namun kedekatan khusus tersebut bukanlah kedekatan khusus dalam artian benar-benar berhubungan secara khusus. Tapi saya tahu pasti penulis yang menulis di MOS- Hongkong tersebut juga berasal dari Jawa Timur, dari kota berteman hati, Trenggalek, Kota saya tercinta.
Setelah menentukan karya yang di-idolakan, selain dengan alasan kedekatan emosional kedaerahan dengan penulisnya tentu saya harus menyampaikan yang dapat diterima secara logika keumuman tentang alasan mengolakan karya tersebut dengan memberikan apresiasi secara sederhana. Pada karya berjudul “Narasi Negeri Beton” , Luluk, begitu saya dan teman lain akrab menyapa penulis karya tersebut, dalam karya tersebut Luluk menyampaikan tentang “Narasi Negeri Beton” dengan membaginya menjadi lima frasa, atau mungkin saya boleh menyebutnya pupuh yang ditandai dengan abjad “a” sampai “e”, yang akan saya coba narasikan ulang/ saya parafrasekan dengan bahasa dan cara saya untuk memahami karya tersebut sebagaimana teori dalam mengapresiasi karya sastra salah satunya yaitu dengan cara pendekatan parafrasis.
Pada pupuh pertama, Luluk melukiskan suasana ketika hujan di senja hari, si aku lirik/ Luluk hatinya berkabung karena merindukan belaian mentari. Dalam hal ini saya mengartikan matahari sebagai kebahagiaan, yang akan menjadi kenangan abadi, yang tak terlupakan sampai mati/ di undak-undak sayap malaikat. Berikutnya saat titis menggantung di ujung hari/ ketika airmata ada di masa tua, si aku lirik mengaduk tanpa arah dan jeda/ kebingungan sampai meninggal dunia/ nyata jerit di bawah payung hitam. Payung hitam lazim digunakan ketika orang sedang mengantar jenazah ke pemakaman, dan ketika yang terdengar adalah wasiat, pada umumnya yang berwasiat adalah orang mati. Jadi jika disimpulkan dari pupuh satu ini bahwa si aku lirik berharap nanti di masa tuanya akan mendapat kebahagiaan, tidak berada dalam kesedihan dan akan di kenang dia dan kata-katanya ketika sudah mati.
Pada pupuh ke dua disampaikan bahwa dunia hanya ada dua hal yaitu mungkin dan tidak mungkin yang semua berpasangan saling melengkapi yang kesemuanya merupakan garis ketetapan Tuhan seperti adanya bumi dan planet lainnya. Sementara si aku lirik tidak berada pada mungkin atau tidak mungkin tetapi menempati air mata, darah, sepi dan kepedihan lainnya, sedangkan ada dan tidak ada adalah ketetapan dan keabadian.
Pada pupuh ke-tiga, si aku lirik berada pada kesepian, dan tidak tahu berapa lagi perjalanan panjang yang masih akan dilaluinya agar dapat menggapai kebahagiaan/ cakrawala. Sementara kebahagiaanya hanyalah kembang malam/ mimpi yang tak ada artinya meski pun terus berusaha/ menafsirkan. Dan seolah si aku lirik berkata pada orang lain, namun tentu di sana sebenarnya berkata pada dirinya sendiri utuk menyudahi hayalan agar tidak menjadikan buruknya kehidupan/ amis perjalanan.
Pada pupuh empat disampaikan ketika jendela melambai, memanggil, merayu tubuhnya untuk masuk, meskipun mungkin dia masih ragu namun dia tidak takut pada apapun resikonya, pada penderitaan atau pun kematian/ koak gagak dan gugu tuhu di flamboyan. Gagak biasanya disimbolkan sebagai binatang yang membawa firasat buruk/ pertanda kematian, sedang tuhu adalah burung hantu yang biasanya suaranya menyeramkan. Dia memilih memasuki saja jendela itu, mungkin di dalamnya ada taman sejati/ kebahagiaan hakiki yang didambakan dan dicari selama ini.
Pada pupuh terakir diceritakan ketika dia sampai di stasiun dan laut, ketika sampai pada pemberhentian terakhir yang berdinding laut, dia ingin meraih segala harapannya/ mimpinya dengan tekat yang bulat/ keyakinan penuh, meskipun mungkin harapannya cuma akan jadi mimpi dan di stasiun terakir itu dia terbuang menunggu hari tua, menunggu kematian/ sampai pada-Nya.
Stasiun berdinding laut adalah simbol negeri Hongkong. Negeri beton biasa digunakan untuk mengistilahkan Hongkong, karena bangunan-bangunan di Hongkong banyak terbuat dari beton. Sebagaimana yang disampaikan Sigit Susanto dalam bukunya Menelusuri Lorong-lorong Dunia 3, bahwa Hongkong adalah sebuah pulau yang dikelilingi laut, Victoria tempat berlibur para BMI di sana, yang sekilas kelihatan seperti lapangan luas berumput hijau, ternyata hanya beberapa saja tempat yang terdapat rumput dan yang selebihnya adalah beton. Dan Hongkong adalah tempat Luluk bekerja. Jadi jika dicoba simpulkan dari lima pupuh tersebut merupakan kesatuan utuh yang menceritakan tentang keberadaan penulis/ si aku lirik hingga sampai ke negerti beton, yaitu alasannya sampai ke sana, karena kesedihan dan dengan penuh harapan di Hongkong akan mendapatkan kebahagiaan untuk hari tuanya, sebelum mati, dan agar dapat meningalkan kenangan/ kebaaikan untuk yang ditinggalkannya nanti jika mati.
Sebagaimana yang diungkapkan A Teuw bahwa: “Sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta ; akar kata sas- dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi. akhiran –tra biasanya menunjukkan alat, sarana” (Teeuw, 1984: 23), maka Sastra atau karya sastra adalah karya ciptaan manusia (pengarang) yang digunakan untuk menyampaikan ilmu, ide-ide atau pemikiran kepada manusia lain dengan maksud dan tujuan tertentu yang di sampaikan dengan menggunakan cara estetis atau indah sehingga di dalamnya terdapat nilai atau cita rasa seni yang hal tersebut digunakan agar dapat diterima dengan baik dan senang hati oleh manusia lain (pembaca). Demikian pula Luluk Andrayani melalui karyanya menyampaikan ilmu, ide-ide atau pemikirannya kepada manusia lain dengan maksud dan tujuan tertentu dengan menggunakan cara estetis atau indah.
Dalam kajian semiotika sastra, karya sastra dianggap sebagai simbol, simbol realitas kehidupan nyata. “Bagi semiotika teks sastra sebagai realitas yang dihadirkan dihadapan pembaca, di dalamnya pasti ada potensi komunikatif”.(Aminudin, 2010: 124). “dan menurut Ricoeour, simbol adalah ungkapan yang mengandung makna ganda”(Rafiek, 2010: 12). Maka apa yang disampaikan Luluk Andrayani dalam karyanya tersebut merupakan simbol dari kehidupan. Si aku lirik merupakan simbol dari para pekerja di Hongkong, Hongkong pun juga merupakan sebagai simbol luar negeri. Yaitu banyak para penduduk Indonesia yang bekerja di luar negeri dengan alasan atau pun tujuan yang salah satunya sebagaimana yang disampaikan dalam karya Luluk tersebut.
Terlebih, luar negeri juga dapat dianggap sebagai simbol tujuan hidup, bahwa dalam mencari tujuan hidupnya hendaknya dengan tekat bulat, penuh yakin, tanpa ragu daan takut pada apa pun sebab kehidupan merupakan kemungkinan dan kemungkinan, yang dalam sesuatu yang kita tidak / belum ketahui kejelasnnya bisa saja terdapat hal yang kita cari / dambakan, sebagaimana disampaikan Luluk dalam karyanya tersebut.
Puisi adalah bahasa yang bersayap, dapat melahirkan makna yang beragam pada masing-masing kepala pembacanya. Dan karya yang berbobot adalah karya yang apabila meskipun dikaji berulang-ulang akan ditemukan hal yang berbeda baik dari segi makna maupun manfaat. Sebagaimana yang dikatakan Ralph Waldo Emerson: Puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin.(Situmorang. 1983; 9). Jadi dalam karya Luluk Andrayani tersebut tentu mengajarkan banyak hal dan beragam makna. Saya sendiri pun membaca karya tersebut juga menemukan makna lain yang ada selain yang saya uraikan di atas, dan saya percaya pembaca lain juga menemukan makna yang berbeda.
Beberapa hal yang perlu dan penting untuk dicatat dari kalimat yang ada dalam karya tersebut yang merupakan petuah atau kata mutiara, di antaranya : pada pupuh dua “ dunia adalah dua kemungkinan, mungkin dan tidak mungkin, semua berpasang-pasangan, baik dan buruk yang semuanya sudah tergaris, ada dan tidak ada bukanlah keajaiban, tetapi sudah menjadi ketetapan Tuhan”. Demikian jika saya coba memahami dan mengapresiasi karya tersebut yang dapat saya sampaikan sebagai apresiasi pada karya tersebut, yang saya sampaikan dengan cara saya, uraian sederhana yang mungkin kurang akademis dan kurang mencantumkan referensi atau pun menggunakan pisau bedah tertentu yang sukar untuk diadahkan. Terakhir saya sampaikan sukses untuk Luluk Andrayani, Untuk BPSM dan direkturnya, sukses untuk Indonesian Poetry Idol. Salam sastra budaya.
Trenggalek, 16 Juni 2012
Daftar pustaka:
Aminuddin. Tanpa tahun. Pengantar Apresiasi Karya sastra, Sinar Baru Agresindo.
Rafiek, M. 2010. Teori Sastra Kajian Teori dan Praktik, Bandung; Refika Additama.
Situmorang, Bp. 1983. Puisi Dan Metodelogi Pengajarannya, Flores: Nusa Indah.
Teeuw, A. 1984. Sastra Dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra, Jakarta: Pustaka Jaya.
http://www.facebook.com/groups/bengkelpuisimandiri/
http://www.facebook.com/luka.simawarputih
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar