Selasa, 19 Desember 2017

MEMBACA ULANG HEMINGWAY: HILLS LIKE WHITE ELEPHANTS

A.S. Laksana
aslaksana.com

Cerpen “Hills Like White Elephants” terbit pertama kali tahun 1927 dan membingungkan orang-orang pada saat itu. Ia seperti ditulis tanpa plot, dengan narator yang fungsinya sangat minimum, tanpa berupaya memberi sedikit pun penjelasan tentang latar belakang si lelaki dan si gadis, atau seperti apa pakaian mereka, atau bagaimana intonasi mereka saat bicara, atau dengan bahasa tubuh seperti apa mereka menyampaikan kata-kata, dan sebagainya. Si lelaki hanya diperkenalkan sebagai “seorang lelaki Amerika” dan si gadis disebut begitu saja sebagai “seorang gadis”. Namun dari koper-koper mereka, yang masih dilekati label hotel-hotel tempat mereka pernah menginap, kita tahu bahwa mereka dua orang pendatang. Dan, tanpa penjelasan narator, kita juga tahu bahwa si gadis tidak memahami bahasa setempat.

Dengan fungsi narator yang kecil sekali, bahkan nyaris tidak ada kecuali untuk memperkenalkan seting secara ringkas, cerita digerakkan hanya dengan menampilkan dialog antartokoh, yang berlangsung di sebuah stasiun persimpangan antara Barcelona dan Madrid, yang tidak secara gamblang kita ketahui mereka sedang membicarakan apa. Si gadis menyebut “bukit-bukit” dan “gajah putih” dan pelan-pelan kita merasakan situasi yang menegang di antara mereka. Si pemuda menyebut-nyebut “operasi”, yang menurutnya bahkan “bukan operasi sama sekali” karena terlalu sepele.

Lalu kita tahu bahwa mereka berbeda cara pandang: si lelaki meyakinkan tentang cinta dan kebahagiaan dan semuanya akan baik-baik saja setelah itu; si gadis gelisah tentang sesuatu yang “mereka renggut dari kita” dan tak akan pernah mereka dapatkan kembali. Namun, segalanya tetap samar-samar di permukaan, dan terasa kian menekan di lapis bawah permukaan.

Versi terjemahan “Hills Like White Elephants” pernah dimuat dalam buku Antologi Cerpen Nobel, yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka, Mei 2004, dengan penyair Wendoko sebagai penyunting. Saya tidak ingat siapa penerjemahnya. Website Fiksi Lotus memuat juga terjemahan cerpen ini. Saya tidak tahu siapa yang menerjemahkan, hanya rasa-rasanya penerjemahan tersebut dilakukan dengan menyusupkan hasrat si penerjemah untuk membuat tulisan Hemingway itu menjadi “lebih jelas”.

Saya menerjemahkan cerpen ini dan mencoba mempertahankan gaya Hemingway dan situasi samar-samar cerpen tersebut agar bisa sedekat mungkin dengan tulisan aslinya (meskipun, kita tahu, tidak mungkin seorang penerjemah bisa benar-benar setia kepada naskah asli saat memindahkan sebuah karya dari satu bahasa ke bahasa lain).
Selanjutnya, saya juga mau ringkas saja: Silakan menikmati.

Bukit-Bukit Seperti Gajah Putih
Cerpen karya: Ernest Hemingway
Diterjemahkan: A.S. Laksana

PERBUKITAN di seberang lembah Sungai Ebro panjang dan putih. Tak ada tempat teduh dan pohon-pohon di sisi sebelah sini dan stasiun diapit oleh dua jalur rel di bawah matahari. Di dekat stasiun ada sebuah bangunan dan ambang pintunya yang terbuka lebar ditutup dengan tirai, yang dibuat dari sulur-sulur senar dengan rangkaian manik-manik bambu, untuk mencegah lalat masuk. Seorang lelaki Amerika dan seorang gadis duduk di meja yang terlindung dari matahari, di luar bangunan tersebut. Hari sangat panas dan kereta ekspres dari Barcelona akan tiba empat puluh menit lagi. Ia akan berhenti dua menit di stasiun persimpangan ini dan melanjutkan perjalanan ke Madrid.

“Minum apa kita?” tanya si gadis. Ia melepaskan topinya dan menaruhnya di atas meja.

“Panas sekali udaranya,” kata si lelaki.

“Kita pesan bir kalau begitu.”

“Dos cervezas,” si lelaki berkata ke arah tirai.

“Gelas besar?” seorang wanita bertanya dari ambang pintu.

“Ya. Gelas besar dua.”

Wanita itu membawa dua gelas besar bir dan dua tatakan gelas. Ia meletakkan tatakan dan menaruh gelas-gelas bir di atas tatakan tersebut dan melihat si lelaki dan si gadis. Si gadis memandangi lekuk-lekuk perbukitan.  Bukit-bukit memutih di bawah matahari dan pedesaan ini coklat gersang.

“Mereka seperti kawanan gajah putih,” kata si gadis.

“Aku belum pernah melihat gajah putih,” si lelaki meneguk birnya.

“Memang, kau takkan melihatnya.”

“Mungkin aku pernah melihatnya,” kata si lelaki. “Kata-katamu tadi tidak membuktikan apa-apa.”

Si gadis menoleh ke arah manik-manik tirai. “Mereka menuliskan sesuatu di manik-manik itu,” katanya. “Apa bunyinya?”

“Anis del Toro. Jenis minuman.”

“Boleh coba?”

Si lelaki menyerukan “Kaudengar” ke arah tirai. Si wanita keluar dari bar.

“Empat real.”

“Kami mau dua Anis del Toro.”

“Dengan air?”

“Kau mau dengan air?”

“Entahlah,” kata si gadis. “Enakkah kalau ditambah air?”

“Oke juga.”

“Dengan air atau tidak?” tanya si wanita.

“Ya, dengan air.”

“Rasanya seperti licorice,” si gadis berkata dan meletakkan gelasnya di meja.

“Semuanya seperti itu.”

“Ya,” kata si gadis. “Semua rasanya seperti licorice. Terutama semua hal yang sudah kaunantikan sekian lama, seperti absinthe.”

“Jangan bicara itu, deh.”

“Kau yang memulainya,” kata si gadis. “Aku sedang merasa senang. Aku sedang nyaman.”

“Nah, kalau begitu mari kita menikmati perasaan nyaman.”

“Oke. Aku berupaya begitu tadi. Kubilang bukit-bukit itu seperti gajah putih. Bukankah itu keren?”

“Keren.”

“Aku ingin mencicipi minuman baru ini: Cuma itu yang kita lakukan, bukan? Memandangi segala sesuatu dan mencoba minuman-minuman baru.“

“Kurasa begitu.”

Si gadis memandangi bukit-bukit di seberang.

“Bukit-bukit itu indah sekali,” katanya. “Mereka tidak benar-benar seperti gajah putih. Aku cuma mau bilang bahwa warnanya sama dengan kulit binatang itu.”

“Mau coba minuman lain?”

“Boleh.”

Angin yang hangat mendorong tirai manik-manik ke arah meja.

“Bir ini enak dan menenteramkan.”

“Membawa kegembiraan,” kata si gadis.

“Itu hanya operasi yang ringan sekali, Jig,” kata si lelaki. “Bahkan tak bisa dibilang operasi.”

Si gadis memandangi tanah di bawah kaki meja.

“Aku tahu kau takkan keberatan, Jig. Itu benar-benar sepele. Hanya meniupkan udara ke dalamnya.”

Si gadis tidak bicara.

“Aku akan menemanimu dan selalu di sampingmu sampai kapan pun. Mereka hanya akan meniupkan udara dan kemudian semuanya akan terjadi secara alami.”

“Terus apa yang akan kita lakukan setelah itu?”

“Kita akan baik-baik saja setelah itu. Seperti sebelum-sebelumnya.”

“Apa yang membuatmu seyakin itu?”

“Itu satu-satunya hal yang mengganggu kita. Hanya satu hal itu yang membuat kita tidak bahagia.”

Si gadis mengamati manik-manik tirai, menjulurkan tangan dan meraih dua sulur senar.

“Dan kau berpikir setelah itu kita akan baik-baik saja dan bahagia?”

“Aku yakin begitu. Kau tak perlu takut. Aku tahu sudah banyak orang yang melakukannya.”

“Aku tahu juga,” kata si gadis. “Dan setelah itu mereka semua bahagia sekali.”

“Oke,” kata si lelaki, “kalau kau berkeberatan, kau tidak perlu melakukannya. Aku tidak akan memaksamu jika kau tak mau. Namun aku tahu itu urusan sepele.”

“Dan kau sangat menginginkannya?”

“Kupikir itu yang terbaik. Tapi aku tidak akan memaksamu melakukannya kalau kau benar-benar tidak mau.”

“Dan jika aku melakukannya kau akan bahagia dan segalanya akan seperti semula dan kau akan mencintaiku?”

“Sekarang pun aku mencintaimu. Kau tahu itu.”

“Aku tahu. Tapi kalau aku melakukannya, apakah kita akan baik-baik saja seandainya suatu saat nanti aku mengatakan sesuatu mirip gajah putih, dan kau akan senang mendengarnya?”

“Aku akan senang sekali. Sekarang pun aku senang, hanya saja belum sanggup memikirkan itu. Kau tahu bagaimana perangaiku jika sedang kalut.”

“Kalau aku melakukannya, kau tidak merasa kalut sama sekali?”

“Aku tidak akan kalut oleh hal itu, sebab itu urusan sepele.”

“Baiklah, akan kulakukan. Sebab, persetan dengan diriku sendiri.”

“Apa maksudmu?”

“Aku tidak peduli pada diriku sendiri.”

“Aku menyayangimu.”

“O, ya. Tapi aku tak peduli pada diriku sendiri. Dan aku akan melakukannya dan kemudian semuanya akan baik-baik saja.”

“Aku tak mau kalau kau merasa terpaksa melakukannya.”

Si gadis bangkit dan berjalan ke ujung stasiun. Di seberang sana, di sisi yang lain, ladang-ladang gandum dan pepohonan berderet di sepanjang tepian sungai Ebro. Lebih ke sana lagi, jauh dari sungai, tegak gunung-gunung. Bayang-bayang awan menyapu ladang gandum dan ia memandangi sungai melalui sela-sela jajaran pepohonan.

“Dan kita bisa memiliki semua ini,” katanya. “Dan kita bisa memiliki apa saja dan setiap hari kita kita menjadikan itu semua kian mustahil.”

“Apa kaubilang?”

“Kubilang kita bisa memiliki segalanya.”

“Ya, kita bisa memiliki segalanya.”

“Tidak, kita tak akan bisa.”

“Kita bisa memiliki seluruh isi dunia ini.”

“Tidak akan bisa.”

“Kita bisa pergi ke mana pun.”

“Tidak akan bisa. Ia bukan milik kita lagi.”

“Ia milik kita.”

“Bukan. Dan sekali mereka merenggutnya, tak mungkin kita bisa merebutnya lagi.”

“Tapi mereka tidak merenggutnya dari kita.”

“Lihat saja nanti.”

“Kemarilah, di sini teduh,” kata si lelaki. “Janganlah merasa seperti itu.”

“Aku tidak merasa,” kata si gadis. “Aku tahu.”

“Aku tidak ingin kau melakukan apa pun yang kau enggan melakukannya—“

“Atau yang tidak bagus akibatnya buatku,” kata si gadis. “Aku tahu. Boleh minta bir lagi?”

“Oke. Tapi kau harus mengerti—“

“Aku mengerti,” kata si gadis. “Bisa kita berhenti bicara?”

Mereka duduk di meja dan si gadis memandang bukit-bukit di seberang sana di sisi gersang lembah dan si lelaki memandanginya dan memandangi meja.

“Kau harus mengerti,” kata si lelaki, “bahwa aku tidak ingin kau melakukannya jika kau tidak mau. Aku akan berusaha menerimanya jika ia benar-benar sangat berarti buatmu.”

“Apa ia tidak ada artinya sama sekali buatmu?”

“Tentu saja ia punya arti. Tapi aku tidak menginginkan orang lain kecuali engkau. Aku tidak menginkan siapa-siapa lagi. Dan aku tahu urusannya sangat sepele.”

“Ya, kau memang tahu itu sepele sekali.”

“Silakan mencibir sesukamu, tapi aku tahu betul soal itu.”

“Boleh aku minta tolong sesuatu?”

“Dengan senang hati.”

“Aku minta tolong please please  please please please please berhentilah bicara.”

Si lelaki tidak bicara lagi selain memandangi tumpukan koper di dinding stasiun. Ada label di koper-koper itu dari setiap hotel tempat mereka pernah menginap.

“Tapi aku tak mau memaksamu,” kata si lelaki. “Aku tidak akan menyinggung-nyinggung sedikit pun soal itu.”

“Kau bicara lagi dan aku akan teriak,” kata si gadis.

Si wanita pelayan muncul dari balik tirai dengan dua gelas bir dan meletakkannya pada tatakan yang lembap. “Kereta akan datang lima menit lagi,” katanya.

“Apa katanya?” tanya si gadis.

“Kereta akan datang lima menit lagi.”

Gadis itu tersenyum cerah kepada si wanita, untuk menyampaikan terima kasih.

“Sebaiknya kupindahkan dulu koper-koper ini ke sebelah sana,” kata si lelaki. Si gadis tersenyum kepadanya.

“Oke. Lalu segeralah kembali untuk menghabiskan birmu.”

Si lelaki mengangkut dua koper besar dan memindahkannya ke jalur rel di sisi lain stasiun. Ia melempar pandangan jauh-jauh ke rel itu tetapi tidak melihat kereta datang dari arah sana. Kembali ke mejanya, ia berjalan melewati ruang bar, tempat orang-orang tentunya sedang menunggu kereta. Ia keluar melalui tirai manik-manik. Si gadis duduk di meja dan tersenyum kepadanya.

“Sudah lebih enak sekarang?” tanyanya.

“Tak ada masalah kurasa,” kata si gadis. “Aku baik-baik saja dari tadi.” []

http://www.aslaksana.com/2015/05/membaca-ulang-hemingway-hills-like.html

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae