A.S. Laksana
aslaksana.com
Cerpen “Hills Like White Elephants” terbit pertama kali tahun 1927 dan membingungkan orang-orang pada saat itu. Ia seperti ditulis tanpa plot, dengan narator yang fungsinya sangat minimum, tanpa berupaya memberi sedikit pun penjelasan tentang latar belakang si lelaki dan si gadis, atau seperti apa pakaian mereka, atau bagaimana intonasi mereka saat bicara, atau dengan bahasa tubuh seperti apa mereka menyampaikan kata-kata, dan sebagainya. Si lelaki hanya diperkenalkan sebagai “seorang lelaki Amerika” dan si gadis disebut begitu saja sebagai “seorang gadis”. Namun dari koper-koper mereka, yang masih dilekati label hotel-hotel tempat mereka pernah menginap, kita tahu bahwa mereka dua orang pendatang. Dan, tanpa penjelasan narator, kita juga tahu bahwa si gadis tidak memahami bahasa setempat.
Dengan fungsi narator yang kecil sekali, bahkan nyaris tidak ada kecuali untuk memperkenalkan seting secara ringkas, cerita digerakkan hanya dengan menampilkan dialog antartokoh, yang berlangsung di sebuah stasiun persimpangan antara Barcelona dan Madrid, yang tidak secara gamblang kita ketahui mereka sedang membicarakan apa. Si gadis menyebut “bukit-bukit” dan “gajah putih” dan pelan-pelan kita merasakan situasi yang menegang di antara mereka. Si pemuda menyebut-nyebut “operasi”, yang menurutnya bahkan “bukan operasi sama sekali” karena terlalu sepele.
Lalu kita tahu bahwa mereka berbeda cara pandang: si lelaki meyakinkan tentang cinta dan kebahagiaan dan semuanya akan baik-baik saja setelah itu; si gadis gelisah tentang sesuatu yang “mereka renggut dari kita” dan tak akan pernah mereka dapatkan kembali. Namun, segalanya tetap samar-samar di permukaan, dan terasa kian menekan di lapis bawah permukaan.
Versi terjemahan “Hills Like White Elephants” pernah dimuat dalam buku Antologi Cerpen Nobel, yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka, Mei 2004, dengan penyair Wendoko sebagai penyunting. Saya tidak ingat siapa penerjemahnya. Website Fiksi Lotus memuat juga terjemahan cerpen ini. Saya tidak tahu siapa yang menerjemahkan, hanya rasa-rasanya penerjemahan tersebut dilakukan dengan menyusupkan hasrat si penerjemah untuk membuat tulisan Hemingway itu menjadi “lebih jelas”.
Saya menerjemahkan cerpen ini dan mencoba mempertahankan gaya Hemingway dan situasi samar-samar cerpen tersebut agar bisa sedekat mungkin dengan tulisan aslinya (meskipun, kita tahu, tidak mungkin seorang penerjemah bisa benar-benar setia kepada naskah asli saat memindahkan sebuah karya dari satu bahasa ke bahasa lain).
Selanjutnya, saya juga mau ringkas saja: Silakan menikmati.
Bukit-Bukit Seperti Gajah Putih
Cerpen karya: Ernest Hemingway
Diterjemahkan: A.S. Laksana
PERBUKITAN di seberang lembah Sungai Ebro panjang dan putih. Tak ada tempat teduh dan pohon-pohon di sisi sebelah sini dan stasiun diapit oleh dua jalur rel di bawah matahari. Di dekat stasiun ada sebuah bangunan dan ambang pintunya yang terbuka lebar ditutup dengan tirai, yang dibuat dari sulur-sulur senar dengan rangkaian manik-manik bambu, untuk mencegah lalat masuk. Seorang lelaki Amerika dan seorang gadis duduk di meja yang terlindung dari matahari, di luar bangunan tersebut. Hari sangat panas dan kereta ekspres dari Barcelona akan tiba empat puluh menit lagi. Ia akan berhenti dua menit di stasiun persimpangan ini dan melanjutkan perjalanan ke Madrid.
“Minum apa kita?” tanya si gadis. Ia melepaskan topinya dan menaruhnya di atas meja.
“Panas sekali udaranya,” kata si lelaki.
“Kita pesan bir kalau begitu.”
“Dos cervezas,” si lelaki berkata ke arah tirai.
“Gelas besar?” seorang wanita bertanya dari ambang pintu.
“Ya. Gelas besar dua.”
Wanita itu membawa dua gelas besar bir dan dua tatakan gelas. Ia meletakkan tatakan dan menaruh gelas-gelas bir di atas tatakan tersebut dan melihat si lelaki dan si gadis. Si gadis memandangi lekuk-lekuk perbukitan. Bukit-bukit memutih di bawah matahari dan pedesaan ini coklat gersang.
“Mereka seperti kawanan gajah putih,” kata si gadis.
“Aku belum pernah melihat gajah putih,” si lelaki meneguk birnya.
“Memang, kau takkan melihatnya.”
“Mungkin aku pernah melihatnya,” kata si lelaki. “Kata-katamu tadi tidak membuktikan apa-apa.”
Si gadis menoleh ke arah manik-manik tirai. “Mereka menuliskan sesuatu di manik-manik itu,” katanya. “Apa bunyinya?”
“Anis del Toro. Jenis minuman.”
“Boleh coba?”
Si lelaki menyerukan “Kaudengar” ke arah tirai. Si wanita keluar dari bar.
“Empat real.”
“Kami mau dua Anis del Toro.”
“Dengan air?”
“Kau mau dengan air?”
“Entahlah,” kata si gadis. “Enakkah kalau ditambah air?”
“Oke juga.”
“Dengan air atau tidak?” tanya si wanita.
“Ya, dengan air.”
“Rasanya seperti licorice,” si gadis berkata dan meletakkan gelasnya di meja.
“Semuanya seperti itu.”
“Ya,” kata si gadis. “Semua rasanya seperti licorice. Terutama semua hal yang sudah kaunantikan sekian lama, seperti absinthe.”
“Jangan bicara itu, deh.”
“Kau yang memulainya,” kata si gadis. “Aku sedang merasa senang. Aku sedang nyaman.”
“Nah, kalau begitu mari kita menikmati perasaan nyaman.”
“Oke. Aku berupaya begitu tadi. Kubilang bukit-bukit itu seperti gajah putih. Bukankah itu keren?”
“Keren.”
“Aku ingin mencicipi minuman baru ini: Cuma itu yang kita lakukan, bukan? Memandangi segala sesuatu dan mencoba minuman-minuman baru.“
“Kurasa begitu.”
Si gadis memandangi bukit-bukit di seberang.
“Bukit-bukit itu indah sekali,” katanya. “Mereka tidak benar-benar seperti gajah putih. Aku cuma mau bilang bahwa warnanya sama dengan kulit binatang itu.”
“Mau coba minuman lain?”
“Boleh.”
Angin yang hangat mendorong tirai manik-manik ke arah meja.
“Bir ini enak dan menenteramkan.”
“Membawa kegembiraan,” kata si gadis.
“Itu hanya operasi yang ringan sekali, Jig,” kata si lelaki. “Bahkan tak bisa dibilang operasi.”
Si gadis memandangi tanah di bawah kaki meja.
“Aku tahu kau takkan keberatan, Jig. Itu benar-benar sepele. Hanya meniupkan udara ke dalamnya.”
Si gadis tidak bicara.
“Aku akan menemanimu dan selalu di sampingmu sampai kapan pun. Mereka hanya akan meniupkan udara dan kemudian semuanya akan terjadi secara alami.”
“Terus apa yang akan kita lakukan setelah itu?”
“Kita akan baik-baik saja setelah itu. Seperti sebelum-sebelumnya.”
“Apa yang membuatmu seyakin itu?”
“Itu satu-satunya hal yang mengganggu kita. Hanya satu hal itu yang membuat kita tidak bahagia.”
Si gadis mengamati manik-manik tirai, menjulurkan tangan dan meraih dua sulur senar.
“Dan kau berpikir setelah itu kita akan baik-baik saja dan bahagia?”
“Aku yakin begitu. Kau tak perlu takut. Aku tahu sudah banyak orang yang melakukannya.”
“Aku tahu juga,” kata si gadis. “Dan setelah itu mereka semua bahagia sekali.”
“Oke,” kata si lelaki, “kalau kau berkeberatan, kau tidak perlu melakukannya. Aku tidak akan memaksamu jika kau tak mau. Namun aku tahu itu urusan sepele.”
“Dan kau sangat menginginkannya?”
“Kupikir itu yang terbaik. Tapi aku tidak akan memaksamu melakukannya kalau kau benar-benar tidak mau.”
“Dan jika aku melakukannya kau akan bahagia dan segalanya akan seperti semula dan kau akan mencintaiku?”
“Sekarang pun aku mencintaimu. Kau tahu itu.”
“Aku tahu. Tapi kalau aku melakukannya, apakah kita akan baik-baik saja seandainya suatu saat nanti aku mengatakan sesuatu mirip gajah putih, dan kau akan senang mendengarnya?”
“Aku akan senang sekali. Sekarang pun aku senang, hanya saja belum sanggup memikirkan itu. Kau tahu bagaimana perangaiku jika sedang kalut.”
“Kalau aku melakukannya, kau tidak merasa kalut sama sekali?”
“Aku tidak akan kalut oleh hal itu, sebab itu urusan sepele.”
“Baiklah, akan kulakukan. Sebab, persetan dengan diriku sendiri.”
“Apa maksudmu?”
“Aku tidak peduli pada diriku sendiri.”
“Aku menyayangimu.”
“O, ya. Tapi aku tak peduli pada diriku sendiri. Dan aku akan melakukannya dan kemudian semuanya akan baik-baik saja.”
“Aku tak mau kalau kau merasa terpaksa melakukannya.”
Si gadis bangkit dan berjalan ke ujung stasiun. Di seberang sana, di sisi yang lain, ladang-ladang gandum dan pepohonan berderet di sepanjang tepian sungai Ebro. Lebih ke sana lagi, jauh dari sungai, tegak gunung-gunung. Bayang-bayang awan menyapu ladang gandum dan ia memandangi sungai melalui sela-sela jajaran pepohonan.
“Dan kita bisa memiliki semua ini,” katanya. “Dan kita bisa memiliki apa saja dan setiap hari kita kita menjadikan itu semua kian mustahil.”
“Apa kaubilang?”
“Kubilang kita bisa memiliki segalanya.”
“Ya, kita bisa memiliki segalanya.”
“Tidak, kita tak akan bisa.”
“Kita bisa memiliki seluruh isi dunia ini.”
“Tidak akan bisa.”
“Kita bisa pergi ke mana pun.”
“Tidak akan bisa. Ia bukan milik kita lagi.”
“Ia milik kita.”
“Bukan. Dan sekali mereka merenggutnya, tak mungkin kita bisa merebutnya lagi.”
“Tapi mereka tidak merenggutnya dari kita.”
“Lihat saja nanti.”
“Kemarilah, di sini teduh,” kata si lelaki. “Janganlah merasa seperti itu.”
“Aku tidak merasa,” kata si gadis. “Aku tahu.”
“Aku tidak ingin kau melakukan apa pun yang kau enggan melakukannya—“
“Atau yang tidak bagus akibatnya buatku,” kata si gadis. “Aku tahu. Boleh minta bir lagi?”
“Oke. Tapi kau harus mengerti—“
“Aku mengerti,” kata si gadis. “Bisa kita berhenti bicara?”
Mereka duduk di meja dan si gadis memandang bukit-bukit di seberang sana di sisi gersang lembah dan si lelaki memandanginya dan memandangi meja.
“Kau harus mengerti,” kata si lelaki, “bahwa aku tidak ingin kau melakukannya jika kau tidak mau. Aku akan berusaha menerimanya jika ia benar-benar sangat berarti buatmu.”
“Apa ia tidak ada artinya sama sekali buatmu?”
“Tentu saja ia punya arti. Tapi aku tidak menginginkan orang lain kecuali engkau. Aku tidak menginkan siapa-siapa lagi. Dan aku tahu urusannya sangat sepele.”
“Ya, kau memang tahu itu sepele sekali.”
“Silakan mencibir sesukamu, tapi aku tahu betul soal itu.”
“Boleh aku minta tolong sesuatu?”
“Dengan senang hati.”
“Aku minta tolong please please please please please please berhentilah bicara.”
Si lelaki tidak bicara lagi selain memandangi tumpukan koper di dinding stasiun. Ada label di koper-koper itu dari setiap hotel tempat mereka pernah menginap.
“Tapi aku tak mau memaksamu,” kata si lelaki. “Aku tidak akan menyinggung-nyinggung sedikit pun soal itu.”
“Kau bicara lagi dan aku akan teriak,” kata si gadis.
Si wanita pelayan muncul dari balik tirai dengan dua gelas bir dan meletakkannya pada tatakan yang lembap. “Kereta akan datang lima menit lagi,” katanya.
“Apa katanya?” tanya si gadis.
“Kereta akan datang lima menit lagi.”
Gadis itu tersenyum cerah kepada si wanita, untuk menyampaikan terima kasih.
“Sebaiknya kupindahkan dulu koper-koper ini ke sebelah sana,” kata si lelaki. Si gadis tersenyum kepadanya.
“Oke. Lalu segeralah kembali untuk menghabiskan birmu.”
Si lelaki mengangkut dua koper besar dan memindahkannya ke jalur rel di sisi lain stasiun. Ia melempar pandangan jauh-jauh ke rel itu tetapi tidak melihat kereta datang dari arah sana. Kembali ke mejanya, ia berjalan melewati ruang bar, tempat orang-orang tentunya sedang menunggu kereta. Ia keluar melalui tirai manik-manik. Si gadis duduk di meja dan tersenyum kepadanya.
“Sudah lebih enak sekarang?” tanyanya.
“Tak ada masalah kurasa,” kata si gadis. “Aku baik-baik saja dari tadi.” []
http://www.aslaksana.com/2015/05/membaca-ulang-hemingway-hills-like.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar