Rabu, 12 November 2008

Melayu, Puisi, Mantra

Jamal D Rahman*
http://cetak.kompas.com/

Usaha merevitalisasi kebudayaan Melayu akhir-akhir ini berlangsung cukup marak, terutama di Riau. Berbagai kegiatan berkaitan dengan usaha menghidupkan atau menyemarakkan kembali kebudayaan Melayu kerap dilakukan, mulai dari penerbitan buku, festival, seminar, sampai pemberian penghargaan kepada individu-individu yang memainkan peran tertentu dalam memajukan kebudayaan Melayu.

Semua itu jelas menunjukkan adanya kesadaran generasi Melayu kini akan kebesaran kebudayaan mereka dan pentingnya menjaga kesinambungan kebudayaan Melayu itu sendiri kini dan esok, bahkan juga memajukannya sampai pada tingkat yang membanggakan, seperti telah dicapai kebudayaan Melayu pada masa silam.

Salah satu unsur penting dari kebudayaan Melayu tentu saja bahasa Melayu. Ini bukan saja karena bahasa Melayu sejak berabad-abad silam merupakan lingua franca di kawasan Nusantara, melainkan terutama juga karena corak atau watak yang memang inheren dalam bahasa Melayu itu sendiri. Dengan wataknya yang unik, bahasa ini tidak hanya berfungsi sebagai bahasa komunikasi dalam pergaulan sehari-hari di dunia Melayu dan kawasan Nusantara, tetapi juga berkembang menjadi bahasa yang kokoh sebagai alat ekspresi spiritual dan intelektual sehingga lingkup pengaruhnya melampaui wilayah geografis dunia Melayu itu sendiri.

Watak bahasa Melayu adalah terbuka, egaliter, dan praktis atau mudah digunakan. Tiga hal itu sangat cocok dengan kecenderungan atau orientasi masyarakat modern. Kemodernan adalah keterbukaan, kesamaan, dan kepraktisan. Keterbukaan bahasa Melayu menjadikan bahasa ini berkembang begitu kaya dan kokoh: ia menyerap berbagai bahasa asing berikut konsep-konsep modern dalam berbagai aspek kehidupan. Kiranya ia juga mendorong masyarakat menuju masyarakat terbuka dan toleran. Sementara itu, kesamaan atau egaliterianisme bahasa Melayu pastilah turut mendorong masyarakat berkembang menjadi masyarakat egaliter dan demokratis, baik menyangkut hak-hak ekonomi, politik, maupun budaya. Dalam pada itu, kepraktisan bahasa Melayu membuat bahasa ini memiliki daya guna maksimal, baik secara sosial, sastra, maupun keilmuan.

Dalam proses panjang pembentukan bahasa dan kebudayaan Melayu yang berlangsung khususnya sejak abad ke-17, Islam jelas memainkan peran sangat penting. Seiring dengan islamisasi yang berlangsung sangat efektif di kawasan ini, Islam merupakan salah satu sumber isi sekaligus bentuk kebudayaan Melayu, yang tentu saja turut memperkaya khazanah kebudayaan setempat. Di samping bentuk puisi khas Melayu, seperti pantun, terus berkembang, kebudayaan Melayu selanjutnya diperkaya oleh bentuk puisi Arab yang kemudian dikenal dengan syair. Sementara itu, pemikiran Islam—bahkan sampai bentuknya yang paling muskil, spekulatif, dan kontroversial, seperti faham wahdatul wujud—mewarnai dunia intelektual Melayu setidaknya sejak abad ke-17. Transmisi ajaran dan pemikiran Islam serta berbagai polemik yang menyertainya, yang sangat marak di dunia Melayu sejak abad itu menunjukkan intensitas pergaulan intelektual dunia Melayu dengan dunia Islam secara luas. Dalam arti itulah Islam secara umum memberi isi pada kebudayaan Melayu. Dan, dengan cara itu, kebudayaan Melayu mewujud sebagai sebuah entitas kebudayaan yang kokoh.

Jika inti atau substansi dari agama adalah aspek kerohaniannya, Islam benar-benar diterima bukan saja pada aras formalnya, melainkan juga pada aras substansialnya, yakni aspek moral dan kerohaniannya. Demikianlah misalnya pemikiran atau ajaran Islam ditransmisi dan diajarkan kepada masyarakat luas, dan bersamaan dengan itu pemikiran dan praktik tarekat-kesufian dikembangkan pula di tengah masyarakat luas. Kita tahu, Raja Ali Haji, ulama dan pujangga kenamaan itu, adalah pemuka tarekat Naqsyabandiyah yang berbasis di Pulau Penyengat, Riau, pusat penting kebudayaan Melayu pada abad ke-19. Melihat begitu maraknya kehidupan intelektual dan praktik kerohanian Islam di dunia Melayu, sumsum kebudayaan Melayu pada dasarnya adalah moralitas, spiritualitas, nilai-nilai kerohanian, yang antara lain—karena kuatnya pengaruh Islam di kawasan ini—secara formal terlembaga melalui praktik kesufian kelompok tarekat.

Turut memperkaya

Uraian di atas sama sekali tidak bermaksud menafikan sumber-sumber lain dalam proses pengayaan kebudayaan Melayu. Harus dikatakan bahwa beberapa kebudayaan dan agama lain juga hidup di kawasan Melayu dan tentulah turut memperkaya kebudayaan Melayu itu sendiri, seperti China, India, dan Persia. Dengan demikian, kebudayaan Melayu pada dasarnya bersifat jamak, dengan Islam sebagai arus utama yang sekaligus merupakan orientasi umum kebudayaannya. Hal ini merupakan konsekuensi yang wajar belaka dari pergaulan yang intens dan berlangsung lama antara dunia Melayu dan dunia Arab-Islam.

Ketika bahasa Melayu diterima sebagai bahasa Indonesia, ia telah mencapai tingkat kematangan yang cukup mengesankan. Ditambah dengan keinginan melahirkan Indonesia sebagai negara-bangsa pada awal abad ke-20 dan kemudian hasrat menjadikan Indonesia sebagai negara-bangsa modern pada paruh kedua abad itu, bahasa Indonesia adalah alat yang amat sejalan dengan semangat modernitas. Modernisasi Indonesia dengan demikian didukung oleh bahasa nasionalnya yang memang berwatak modern. Membawa serta watak bahasa Melayu yang terbuka, egaliter, dan praktis tidaklah mengherankan bahwa bahasa Indonesia dengan cepat berkembang menjadi bahasa modern. Ia segera menyerap bahasa etnis-etnis lain, menyerap juga bahasa negara-negara lain sehingga ia benar-benar mampu menjadi alat artikulasi modern.

Di bidang sastra kita tahu lahirlah sastra Indonesia modern, yang berbeda, baik bentuk maupun isinya dari sastra Melayu-Indonesia lama. Jika kemodernan adalah semangat melakukan pembaruan, modernisasi sastra Indonesia berlangsung dengan amat baiknya. Sastra Indonesia modern membebaskan diri dari belenggu atau kungkungan masa silamnya dan mencoba menerobos batas-batas bentuk dan isi konvensionalnya. Dirumuskan secara konsisten dengan watak bahasa Melayu yang terbuka, sastra Indonesia modern pun terbuka menerima bentuk-bentuk sastra asing, seperti roman, soneta, dan puisi bebas, sama seperti kebudayaan Melayu dulu terbuka terhadap bentuk syair dan bahasa asing. Sastra Indonesia modern diperkaya oleh pergaulannya secara terbuka dengan sastra belahan dunia lain.

Dalam pada itu, pengarang-pengarang modern kita dari dunia Melayu tetap berusaha berdiri kokoh dan menggali akar kebudayaan mereka sendiri. Itu merefleksikan betapa mereka menyadari sekaligus percaya diri bahwa mereka lahir dari kebudayaan besar mereka sendiri. Dalam konteks terakhir inilah mereka turut merayakan dan mengarnavalkan bahasa dan sastra Indonesia.

Salah satu sumbangan penting yang telah mereka berikan pada sastra Indonesia modern adalah elaborasi mantra dan memaknainya secara baru yang kemudian diturunkan ke dalam puisi Indonesia modern. Penyair Sutardji Calzoum Bachri dan Ibrahim Sattah adalah tokoh paling penting dalam hal ini. Puisi-puisi Sutardji, seperti diakuinya sendiri, adalah usaha mengembalikan bahasa pada mantra, di mana kata-kata dibebaskan dari beban makna. Mantra konon memiliki kedudukan penting dalam kebudayaan Melayu Riau sehingga usaha Sutardji Calzoum Bachri memaknai mantra secara baru dan menurunkannya dalam puisi merupakan usaha menggali kebudayaan Melayu Riau, kebudayaan Sutardji sendiri. Dan itu memang memberikan kebaruan sekaligus kesegaran pada puisi Indonesia modern.

Diteruskan

Usaha mengelaborasi mantra sebagai sebuah tradisi Melayu Riau untuk menciptakan puisi diteruskan oleh penyair yang lebih muda, Abdul Kadir Ibrahim alias Akib, seperti tampak misalnya dalam buku puisinya Negeri Airmata (2004). Sapardi Djoko Damono membicarakan pengaruh mantra dalam puisi-puisi Akib dalam diskusi buku itu di Taman Ismail Jakarta, 2004. Akib sendiri mengakui itu, seraya menekankan bahwa mantra merupakan tradisi Melayu Riau.

Sehubungan dengan pengaruh mantra Melayu Riau dalam puisi Indonesia modern, pada hemat saya, ada yang perlu dipertimbangkan. Mantra jelas bukanlah tradisi khas Melayu. Mantra terdapat juga dalam kebudayaan-kebudayaan lain, misalnya Sunda, Jawa, dan Madura. Meskipun mungkin intensitasnya berbeda-beda antara satu daerah dan daerah lain, fungsi dan kedudukan mantra pada hemat saya sama di mana-mana. Sehubungan dengan puisi Indonesia modern, mantra dalam kebudayaan Melayu seakan-akan memiliki kedudukan khusus, menonjol, dan amat penting. Padahal, dalam khazanah kebudayaan Melayu yang sangat kaya dengan capaiannya yang begitu cemerlang, terutama di bidang sastra dan pemikiran pada abad-abad silam, pada hemat saya, mantra hanyalah ”tradisi kecil”. Dalam kebudayaan Melayu, mantra bukan ”tradisi besar”. Dilihat dari kacamata hubungan pusat-pinggiran, mantra hanyalah ”tradisi pinggiran” dalam kebudayaan besar Melayu, bahkan mungkin merupakan tradisi yang sesungguhnya cenderung dihindari atau kurang diinginkan.

Dilihat dari konteks ini, mantra dalam kebudayaan Melayu menjadi penting bukan karena kedudukannya yang begitu penting dalam kebudayaan Melayu itu sendiri, melainkan karena ia mengilhami penyair untuk melahirkan karya baru dalam puisi Indonesia modern—dan penyair itu berasal dari Melayu Riau.

Namun, pada hemat saya, tidak seharusnya kenyataan itu lantas mendudukkan mantra pada posisi yang sedemikian penting dalam struktur kebudayaan Melayu. Menempatkan mantra pada posisi yang sedemikian penting dalam kebudayaan Melayu, pada hemat saya, hanya akan membuat ”tradisi kecil” ini mengaburkan atau bahkan menutupi sama sekali ”tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu. Orang jadi silau pada ”tradisi kecil” dan sementara itu dia lupa pada ”tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu yang agung. Bagi saya, sesungguhnya agak mengherankan bahwa generasi Melayu kini lebih mewarisi ”tradisi kecil” mereka tinimbang mewarisi secara sungguh-sungguh ”tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu. Penyair Melayu kini, demikianlah saya berharap, sejatinya mewarisi ”tradisi besar” mereka setidaknya dengan cara yang sama kreatif dan produktifnya dengan cara mereka mewarisi ”tradisi kecil” kebudayaan Melayu.

Apa ”tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu itu? Bagi saya, tak lain adalah moralitas, intelektualitas, spiritualitas, nilai-nilai kerohanian, dan kearifan yang terpancar antara lain dalam bahasa Melayu yang cemerlang. Inilah sumsum kebudayaan Melayu, yang telah dicapai dengan gemilang dan diwariskan antara lain oleh Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji. Jika mantra mengilhami penyair untuk bereksperimen dalam puisi, bagaimana pula Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji tidak mengilhaminya bereksperimen dalam puisi? Jika penyair berfilsafat dengan mantra, bagaimana pula penyair tidak berfilsafat dengan Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji?

Inilah satu eksemplar masalah kebudayaan Melayu dalam hubungannya dengan puisi Indonesia modern.

*) Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Horison

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae