Ilenk Rembulan
http://www.kompas.com/
Sekilas menggenggam kumpulan puisi yang dipeluk dalam buku berjudul Aku Hendak Pindah Rumah dari M. Aan Mansyur selanjutnya disingkat MAM ini terasa berat di isi.
Bukan apa-apa, sejak kecil sering membaca puisi pendek yang keindahannya sudah tidak diragukan lagi, walau kadang ditemui sedikit agak panjang namun tidak dengan jumlah bait, tapi jumlah kata dalam satu baris.
Pada kumpulan puisi ini ada sarat banyak puisi-puisi MAM yang banyak baris banyak kata, sehingga merasa kedodoran untuk menangkap roh dari puisi itu sendiri. Terus terang tanpa membaca puisi tanpa bisa menangkap jiwa dari kata-kata yang sudah dirangkai dengan susah panyah oleh penyair maka tidak akan bisa dengan tenang dan nyaman menikmatinya.
Kali ini saya mencoba untuk mulai menyukai puisi MAM dan mendalami maknanya karena tanpa itu rasanya tidak fair bagi jiwa ini hanya membaca puisi-puisi pendek tanpa membandingkan dengan puisi panjang, dengan keterpaksaan yang dalam dan iklas mau tidak mau saya menyelami dan mulai masuk di alam pikiran MAM dalam balutan puisinya yang cukup melelahkan bagi mata ini.
Buku berbalut 182 halaman ini mulai terbuka perlahan dengan iringan Way to Mandalay nya Ritchie Blackmore, seperti kata penyair Hasan Aspahani dalam pengantar di buku tersebut, bahwa keindahan puisi selalu ada dan terus ada, maka mengabaikan yang lain, bermodal keindahan ini saya mulai menikmati puisi MAM.
Menyitir sekapur sirih dari pengarang di halaman akhir, bahwa kumpulan sajak ini terdiri dari 4 bab yang awalan setiap bab dimulai dengan “Rumah “ dan berisi 99 sajak.
Rumah 1 : Pintu lama, Pintu Kenangan terdiri dari 24 puisi
Suara penyanyi perempuan menyanyikan 3 black crows nya Ritchie Blackmore diiringi kecringan sayup-sayup, menemani semakin dalam menjelajahi 24 puisi MAM dalam rumah 1 ini.
Saya mulai menangkap keindahan pada puisi pendek (Ah! lagi lagi pendek) tetapi banyak baris dengan judul “Hujan Pagi”. Pada bait ke lima yang ku kutipkan disini :
………………………………….
Aku hirup kopi sebelum berlalu dingin
Kau tahu, kopi itu kuseduh
Sambil tersedu-sedu
Sebab alangkah sendu
Bunyi sendok dan gelas beradu
………………………….
Entahlah, karena ada bunyi di sini dan yang pasti puisi ini pendek sehingga rohnya dengan mudah dapat saya tangkap, maka saya menikmatinya dengan geleng-geleng kepala seirama petikan Joe Satriani dalam The crush of love.
Kemudian saya jatuh cinta lagi dan terperangkap pada puisi yang berjudul Sepasang Pohon Gerbang.
Puisi panjang MAM ini terdiri dari 7 bait masing-masing bait terdiri dari 4 baris, dan yang membuatku terpesona adalah diakhir setiap kalimat ada bunyi “ng”, Wow, dahsyat, mata ini tak lelah menjelajahi dan berusaha masuk di sajak ini. Saya jadi terbayang pohon beringin di bekas rumah ex Wedana di jl. Getengkali Surabaya yang sekarang menjadi tempat berkesenian dengan nama "Cak Durasim" itu. Entahlah! Apakah pohon beringin saksi sejarah itu masih tegak berdiri sekarang? Karena dulu waktu mbakyu (kakak perempuan) rajin menjadi anggota teater di sana sering berlatih di bawah pohon itu.
Selanjutnya saya tenggelam lagi pada beberapa puisi MAM yang panjang melelahkan mata, karena rohnya tak dapat tertangkap, namun saya terjegal di sajak yang berjudul “Pada sebuah tengah malam”
Sebenarnya terus terang roh MAM di puisi pendek amat kuat dibandingkan di puisi panjangnya yang seperti cerita mini (cermin). Saya kutip disini :
Udara begitu kelam,
Diam bagai air kolam.
Engkau mengendap-endap ke dalam kenangku,
Pelan letakkan satu ciuman di keningku.
Lalu seluruh waktu silam
Tiba-tiba ingin kembali aku sulam.
Wahai di mana gerangan kini engkau tertambat,
Jika sekarang aku pulang apakah aku terlambat?
Mantap , kuat roh itu membelengguku, petikan Joe masih mengiringi dengan hentakkan Flying in a blue dream,
Terperangkap lagi pada puisi cermin MAM yang berjudul “Aku dan sepasang mata”, ini karena di setiap akhir baris ada bunyi “ap”, dengan bentuk bebas di setiap bait dan barisnya, namun keutuhan tetap terjaga. Kukutip sebagian :
……………………………………………………
Dan kelopaknya yang diam tak mengerjap,
Tak pernah mau menyingkap
Tetanda yang seharusnya terungkap
Kata-kata yang seharusnya terucap
Lalu isyarat apa yang mesti kutangkap?
………………………………………
Sebab aku tak lagi genap, tak lagi lengkap
Satu baris akhir yang menyudahi sajak ini, sarat makna dalam. Saya terkadang juga merasa tak genap lagi, apalai lengkap, seiring waktu yang terus berputar.
Selebihnya sajak-sajak lainnya terlalu penat saya tangkap rohnya, walau saya tahu bagi penyair lain akan dibilang indah, tapi harus disadari bahwa tidak semua orang termasuk saya bisa dengan nikmat melahap puisinya yang sebagian seperti cermin itu, tapi setidaknya di rumah pertama ini, saya sudah bisa melahap dengan lega, dan akan saya lanjutkan masuk di rumah-rumah berikutnya, agar saya bisa dengan lahap menikmati sajian dalam buku ini.
Rumah 2: Pintu hati, pintu persembunyian
Clouds race across the sky masih tetap si Joe ganteng, dengan matap mengalun terus menemani, diiringi petir menggelegar di langit bogor pada sabtu siang, dengan hujan rintik, saya susupi lagi roh MAM di puisi-puisinya pada rumah ke 2 ini dengan jumlah sajak ada 32 buah.
Kesandung awal pada sajak “Mata Ibu”, seperti sajak Dino tempo hari, entahlah, setiap penyair membuat syair yang ditujukan untuk ibu, saya selalu menyukainya seperti apapun bentuk puisi itu. Ibu bagi saya dan mungkin juga banyak penikmat lainnya akan selalu menjadi ladang penciptaan kreasi dalam merangkai kata-kata untuk disajikan menjadi sajak yang utuh. Di bait akhir dari sajak ini saya kutip :
………………………………………………….
Tetapi engkau sungguh tak tahu mengeluh
Mulutmu corong seluruh doa paling minta
Agar tuhan tak mengeringkan kali
Sebelum ternak dan anak-anak
Menemukan hujan
Doa ibu untuk siapapun orang dekat yang dicintainya, selalu akan terus meluncur dari batinnya, menyirami, mendorong langkah kita menapaki kehidupan yang semakin jauh ke depan. Berkat doa ibu juga dia sudah berjalan dan menjadi penyair hingga kini.
Kali ini puisi pendek MAM yang berjudul “di Rahim Tanah” membuat terpana sebentar, saya kutip berikut ini :
Di MANA rumputan menemukan bunga?
Di rahim tanah, di rahim tanah yang gembur
Dimana sumur mendapatkan mata air?
Di mana alir sungai-sungai akan berhilir?
Di rahim tanah, di rahim tanah yang subur
Di mana akan kau tanam air matamu?
Di rahim tanah, di tempat ibu terkubur
Kemudian berlanjut di sajak “Doa” terdiri 3 bait dalam barisan berjumlah 8 dan singkat kata tapi sarat makna.
Ingatkan agar aku sadar
Usiaku akan pelan-pelan
Berubah jadi bumi
Ingatkan aku seluruh tangan
Yang pernah menanam bebijian
Di ladang-tubuhku
Sebab aku ingin melihat mereka
Merayakan pesta di musim panen
Di perjalanan merasuki roh dia dalam menyajikan puisi , saya tertambat pada sajak yang berjudul “Meriang”, menyelami sejenak dengan menghela nafas satu bait dari 3 bait yang tersaji ,
SETIAP malam
Pintu tak kututup
Jendela tak kukatup
Kuundang angin yang ingin
Merasuk jadi meriang di tubuhku
Dan merusak suaraku
Pada saat membuat ulasan ini terus terang suara saya juga sedang rusak kena flue, apa mungkin ini jadi roh puisi dengan mudah tertangkap ketika mengukir meriang ini?
I love you dari Saigon kick mendendang renyah menemani saya selanjutnya menikmati sajak lain yang lagi-lagi pendek saja berjudul “Sungai Susu”.
DI PANGKAL tidurnya mereka dengar bisikan
Halus bagai biji-biji hujan yang berkecambah
Siap tumbuh memanjat udara ke awan-awan
Setelah di guyur panas matahari tidak terbelah
“Nak, mari ikut Ibu berenang ke muara,
Sungai susu sudah mulai mengaliri dada”
Kuntum-kuntum mata mereka dikatupkan
Dan menikmati tubuhnya hanyut perlahan
Sempat berdesir membaca puisi “Sahabat-sahabat Ibu”, lagu Love hurts by Nazareth menghentak lamunan ini , baru dua rumah saya jelajahi tapi sebenarnya MAM ini siapa baru saya temukan di puisi ini. Sulaman kehidupan pribadinya tersamar jelas di puisi ini, tanpa sadar mata meradang basah.
SEJAK kaki ayah tak lagi mengenal bilah-bilah
Lantai rumah kayu yang pernah dibangunnya
………………………………………………….
Pada bait 2 : pisau
KADANG-KADANG ia benci ranum buah-buahan
Apel dan tomat yang merah,
Semangka dan mangga berkulit kencang,
Atau mentimun yang segar dan putih
Masa-masa remajanya tak bisa kembali
Seperti juga alamat ayah yang sia-sia dicari
Pada bait 3 : gunting
BUNGA-BUNGA dan rumput di halaman
Suka berubah jadi uban di kepalanya
Ia tak ingin ada hutan menyeramkan
Tumbuh di sana. Sebab bagaimanapun
Ia tak pernah lelah menunggu anaknya
Datang mencium keningnya atau
Mungkin ayah dengan oleh-oleh
Sebuah cerita tentang petualangan
Di sini tercermin perjuangan ibu sang penyair dan kuatnya beliau digambarkan dalam membesarkan anak-anaknya, salah satunya MAM sang penyair itu sendiri. Bahagialah dia masih ditemani oleh Ibu, tidak seperti saya menapak separuh kehidupan tanpa ibu lagi.
Rumah 3: Pintu baru, pintu kegaduhan, terdiri dari 20 sajak
Terus terang saya tertatih-tatih memasuki rumah ke tiga ini. Sarat puisi bak cermin, dan berat ditangkap maknanya. Apa mungkin terlalu panjang sehingga awalnya roh itu sudah ada, keindahanyapun sudah terpampang, tapi kemudian cepat hilang, ketika saya sudahi dengan penuh kelelahan panjang mengakhiri setiap sajak-sajak MAM di rumah ini.
Namun saya tak putus asa berusaha mencari bilik yang tidak membuat lelah dan sesak, sampai pada judul “Aku hendak pindah rumah” judul yang sama yang dipakai untuk membungkus kumpulan buku kedua ini, baru saya bisa bernafas lega. Puisi panjang ini, dapat dengan mudah ditangkap aromanya, dan saya menikmatinya dengan lahap dan ringan diiringi I’m too deep dari Genesis. Dua baris kalimat akhir dari kutipan puisi tersebut :
……………………………………
Aku hanya menginginkan sebuah rumah yang penuh
Dengan kalimat gaduh atau kalimat rusuh. Sungguh !
Wah, opo yo tenan MAM? Kamu inginkan demikian? Bukankah sekarang banyak orang mendambakan rumah yang tenang dan damai bak di dalam tanah kuburan? Bahkan di sebagian negeri ada sebagian orang menginginkan juga seperti itu ketika sebagian ada kegaduhan dan rusuh?
Rumah 4: Pintu Waktu, Pintu Perjalanan, terdiri dari 23 sajak
Akhirnya perjalanan menjelajahi lorong waktu rumah di dalam kumpulan puisi MAM ini menginjak pada bab akhir. Rumah yang berisi puisi yang paling saya suka, berisi pendek-pendek seperti sebuah coretan perjalanan, namun kaya makna dan pendalaman arti dalam rangkaian kata.
Saya telah sampaikan di awal bahwa, roh itu ada pada sajak-sajak pendek MAM, ini adalah kata saya, pasti akan ditebas oleh mereka pengangum puisi cermin dia. Saya sadari ada beberapa yang dapat dengan mudah bisa dicerna dalam membaca puisi cermin itu, namun saya lebih suka dan melahap sampai tuntas sajak sajak ringkasnya.
Dari beberapa catatan harian di awal-awal halaman rumah 4 ini, saya suka puisi yang ia tulis
-Bone 14/01/1999
SEBERAPA jauh kuda waktu
Mampu membawaku di pelana?
Oi, anak sulung tanpa ayah,
Beradik dua, ibumu sudah tua,
Cepat sekali kau tujuhbelas!
Mengapa anak-anak itu
Tak mau meninggalkan mainannya
Dari pekarangan di dadamu?
Lagi-lagi – Bone 14/01/2003
AKU hanya menginginkan
Ulang tahunku yang ketujuh
Pesta kecil tak perlu kenangan
Tentang hujan dan perempuan
Yang nafasnya pernah membantu
nafasku memadamkan nyala lilin
Aku hanya menginginkan
Hadiah mainan dan buku kosong
Banyak perihal perih mau aku gambar
Catatan harian pada saat dia ulang tahun, dan saya suka catatan yang di tulis di Bone, karena Bone tanah kelahirannya, juga Bone mengingatkan saya akan seseorang, pada Lelaki masa laluku.
Saya menyenangi hampir semua puisi yang ada di rumah ke 4 ini. Apa memang sengaja MAM memasangnya di akhir? supaya kelelahan panjang melahap di rumah-rumah terdahulu, jadi ringan di bab akhir.
Salah satu yang saya suka “Baju Penglaris”, tersenyum dibuatnya, sajak cibiran nan getir, ada permainan nakal di akhir puisinya. Saya kutip sebagian :
……………………………………….
“Ini memang mahal, Tuan.
Safari bersaku banyak, membuat
fasih berbohong dan berjanji.
Hanya beberapa bulan dijamin
uang kembali. Beli satu ada bonus
rumah dan kendaraan dinas
juga perempuan simpanan
kalau Tuan mau”
………………………………………………………….
Lukman nampak tak tertarik
Pada gadis pelayan ia berbisik,
“Ada yang buat lelaki kesepian, Dik?”
Gadis pelayan tersenyum
“Maaf Tuan, ini toko pakaian,
bukan toko mainan”
Senyumanku berbarengan dengan Linger by Cranberries yang mengalun ringan.
Di samping berisi catatan harian, ada lagi bentuk sajak dalam rumah terakhir ini yang saya suka, ada 4 judul yang bentuknya hampir sama, masing-masing adalah : Sejarah mata sejarah waktu ; Sejarah mata sejarah jarak ; Sejarah mata sejarah kata ; Sejarah mata sejarah arah
……………………
SEBELUM ada mata
waktu adalah batu
………………………………………
MATAKU tak mengenal matamu
Jarak adalah matahari, jauh tak terjangkau
…………………………………………………………….
AKU intip matamu
di siang hari
berserak huruf-huruf
seperti kering dedaunan
akan bersatu jadi tanah
……………………………………………….
MATAMU lengkap jadi mataku
Yang manakah arah
Selain yang satu?
-kita adalah arah
Kemudian saya terpukau pada deretan makna yang berbaris di lukisan sajak yang berjudul “Sesaat setelah kapal bersandar”
……………………………………
Inilah petualangan terakhirku, Ibu
setelah semua dermaga yang pernah menerimaku
tidak lebih lidah perempuan-perempuan nakal
Menjilat lalu muntah sambil mengumpat-umpat
Tak tahan pada kerat-kerat
dagingku dan keringat pekat
yang kusuling dari mata air susumu
Saya mengais tanah harapan masa lalunya di buku itu, tentang asal usul dia dari Angin Mamiri yang datang mengalir dari timur ke barat sangat sedikit disajikan di sajak-sajaknya, dan baru saya temukan pada sajak yang berjudul “Teluk Puntondo, Suatu Senja”.
MENJELANG petang, langit belang-belang
Seperti ingatan seperti kenangan
Ungu-biru-ungu-biru-ungu
Dedaun bakau yang hijau dan payau
Aku dengar seperti kau berceracau
Pergilah kau!
Pergilah kau!
Lupakan aku!
Love of my life by Queen dengan dentingan pianonya yang khas mengalun bercampur samar-samar lagu Angin Mamiri yang didendangkan si cantik Andi Meriem Matalata menambah senja di teluk Puntondo, semakin membentang, memanjang lalu menjelma bayang-bayang.
Di awal dan akhir buku ini ada 2 sajak, namun saya suka sajak yang ada di akhir buku yang berjudul “Lubang Untukmu”
……………………………………….
Aku ingin jadi lubang tanam bagi mayatmu
Agar kau dan aku bisa sempurna menyatu
Ada beberapa puisi MAM bertema tentang perjalanan hari tua dan kematian, disajikan dengan perih namun dalam, mengingatkan saya tentang akhir kehidupan yaitu mati.
Pertemuan sepintas pada awal lauching buku MAM di Graha Cipta II, TIM, tempo hari membuat saya sedikit kecewa, karena MAM terkesan mengasingkan diri dari penikmat puisi, padahal ada banyak tanya di kepala ini yang ingin disampaikan padanya saat itu, namun penyair satu ini menyendiri di sudut keramaian dan memilih diam dan sunyi.
Apakah dia memang penyendiri atau ada hal lain yang menyebabkan dirinya menarik dari keramaian ? padahal sajak-sajaknya itu ramai, jarang dijumpai kesendirian di permainan kata-katamya, walau ada juga sajak yang berbicara batinnya. Tapi jiwa muda dinamiknya itu bergerak bagaikan tiupan angin mamiri.
Ada keinginan memesan untuk dibuatkan sajak pendek tak lebih dari 4 kata dalam sebaris namun terdiri dari 7 bait yang sarat makna dan kuatnya roh , daripada saya dibuatkan sajak cermin , rasanya lelah menangkap maknanya !, dia keburu pergi jauh, metaforanya tak ada sama sekali, kering!.
Saya akui sampai tuntas agak kesulitan memahami puisinya yang bak cermin itu, namun yang ada dentingan bunyi dan yang di tulis pendek dengan cekatan imajinasi dan rohnya dengan mudah bisa saya nikmati.
Salam damai dari Bogor, sore ini hujan deras di sabtu tanggal 12/04/2008, tepat 2 hari setelah hari kelahiranku.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar