Menunggu Kereta Berangkat, Berharap Kau Selalu Dekat
Menunggu kereta berangkat
ciptakan ruang tak bersekat,
Cinta tak diganggu ruang dan waktu,
di dalamnya kau dan aku; satu.
Kotaku dan kotamu tertata sementara
di bilangan jam tua,
bahkan aku selalu merasa mereka ada
ketika kuterjaga saja.
Pekik peluit petugas, tuas-tuas rem dilepas,
bendera dikibas, melepas katup-katup rindu.
Meletup! Meletuplah aku!
Ini rindu yang bertebaran di udara,
bukan lagi asap batubara.
Cinta telah ciptakan wangi semesta;
Kuhirup, hiduplah aku!
Perjalanan ini tak lama, persis tulisan
di brosur pariwisata. Sabarlah, Kekasih.
Sebab seperti itu juga, penantianmu tak lama.
Kau tahu, Kekasihku, aku selalu berharap
kereta cepat berderap,
hingga jarak kita semakin rapat,
semakin dekat.
Dan ini sungguh lucu.
Entah bagaimana aku merasa hatiku
telah jauh tinggalkan kereta yang melaju.
Menujumu.
Malam Telah Menutup Segala Pintu
Malam telah menutup segala pintu
dan buka satu jendela rahasia,
yang kau tahu,
dari sana kupandang wajahmu
Tak ada lagi rasa terkungkung,
layaknya anak domba,
lari aku di luasan pandang,
menghidu segar rerumputan
Bahtera ini terdampar oleh nyanyi Calypso bibirmu
di pantai-pantai abadi, cinta telah dilenakan waktu
Dan jika ku tak kuasa berpaling dari pandangmu,
semata-mata oleh cinta belaka. O, cinta begitu berbahaya
Hanya badai buat malam ini semakin galau,
tapi sepenuh cinta aku akan terus meracau
Bondowoso mengutuk Jonggrang
tersebab cinta, kekasih jadi arca
agar tak lagi tersimpan rahasia
Dalam gelap suasana, kuteriakkan,
Kau Kekasih, hanya kepadamu
mataku tertuju. Kau saja, Kekasih
Malam ini Kekasih,
tidurku akan sangat lelap,
tersebab namamu terdengar
sepenuh senyap.
Pada Pijar Lampu di Beranda
Pada pijar lampu di beranda
ketika senja di kotaku,
ada kobar rindu di dada
akan sendu wajahmu;
Wajah yang tak terstimulan
dengan benar oleh pendar cahaya bulan
di bangku taman, tak juga oleh kepak kupukupu
Hanya ada sayup suara terdengar
olehku, seperti suara sayap kelelawar
di antara rimbun daun jambu,
pertanda senyap telah menghingar,
menderu: memanggil namamu
Langsat pipi malam,
lelehkan tangisku;
ini rindu teramat kelam,
dan betapa waktu cepat berlalu
Hingga hanya pada pijar lampu,
kuangankan dirimu
Bercahaya penuh.
Tentang Kita
Kita bukan dua loh batu,
tak saling lengkapi pesan
Sibuk menyusun bisu
di ujung telepon tengah malam
Tapi kita tak seironi wajah-wajah
di lukisan Jalu Trisapta,
Sebab aku berusaha ramah,
dan kau selalu tersenyum indah
Meski kita saling tahu, rahasia apa
yang kita buhulkan di ujung selimut,
di kaca berkabut, dan lama kita pendam
Yakinlah, aku tak sedang menduga
seberapa tipis gaun tidurmu,
atau warna celana dalammu, Manis
Sebab di puncak rasa, ragamu-ragaku
sudah bersetubuh sempurna.
Hanya saja, kita tak pernah berpeluh
Dan nanti subuh, aku jamasi sendiri
kepala dari mimpi akan kata-kata
yang tak pernah punya arti
Aku semakin yakin, di ujung telepon
yang tergantung di sisi ranjangmu,
ada igau tak pernah tersambung.
-------------
Dedy Tri Riyadi, Tinggal dan bekerja di Jakarta. Bergiat di Paguyuban Sastra Rabu Malam (PaSaR Malam). Buku puisinya bersama 2 penyair lain adalah "Sepasang Sepatu Sendiri Dalam Hujan" (2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar